Beranda / Rumah Tangga / Suami pengganti / Retak yang mulai luruh

Share

Retak yang mulai luruh

Penulis: AkaraLangitBiru
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-18 12:44:38

Aku tak tau sejak kapan aku terbiasa mendengar tangisan bayi di pagi buta. Sejak kapan aku terbiasa bangun ditengah malam menggantikannya popok. Aku tidak tau. Dulu, waktu hidup sendiri, suara alarm pun sering kuabaikan. Bahkan suara jeritan bi Susi yang memintaku terbiasa untuk shalat tahajud pun, aku tak memperdulikannya. Yang penting aku tidak telat untuk melaksanakan shalat subuh.

Tapi kini, bahkan suara rengekan kecil Arsenio pun bisa langsung membangunkanku. Ya, malam ini pun begitu. Sekitar pukul dua lewat lima belas, aku terbangun. Bukan karena mimpi buruk. Tapi karena suara rengekan dari box bayi yang tak jauh dari sofa yang kujadikan sebagai tempat tidur.

Tangannya bergerak-gerak, wajahnya mengerut, mungkin popoknya penuh atau ia lapar.

Amara masih terlelap. Nafasnya berat, tubuhnya menggulung selimut rapat-rapat. Beberapa hari ini, ia mulai sedikit terbuka, meski belum sepenuhnya. Sebuah kemajuan yang sangat aku nantikan.

Pelan-pelan aku bangkit. Kuhampiri Arsenio dan sege
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Suami pengganti   Kota yang hampir tak oernah jujur

    "kamu yakin Ra, gak mau ikut sama kakak ke Bandung?" tanyaku kembali memastikan dengan memelas.Amara menggeleng, tangannya sibuk memasukan pakaianku ke koper. Setelah perdebatan malam itu, aku pikir Amara akan mendiamiku seperti kebanyakan. Mulai menjauh seperti saat awal pernikahan kami. Dingin. Tapi rupanya tidak, ia masih bersikap ramah padaku.Amara mendongak, ia menggeleng pelan. "Ngapain sih, yang ada ganggu kerjaan kakak kalau aku sama baby Nio ikut,"Aku menghela napas. Duduk di sisi ranjang, membiarkan koper terbuka di hadapanku dan pakaian yang belum sepenuhnya rapi tergeletak begitu saja.Kemudian aku mendesah pelan. "Ganggu apanya, Ra? Justru kakak bakal lebih tenang kerja kalau kalian ikut. Kakak jadi punya alasan pulang cepat. Punya alasan buat senyum walau seharian dikejar deadline.""Kak, bandung itu dingin. Arsenio belum terbiasa," ujarnya tepat ketika ia menutup koperku dan menarik resletingnya."Lagi pula cuma seminggu, kok jadi lebay gini?" tanyanya dengan duduk d

  • Suami pengganti   tapi saya bukan dia, Ra.

    Waktu di jam dinding sudah menunjukan pukul setengah sepuluh malam, namun aku masih bergelut dimeja ruang tamu dengan setumpuk pekerjaan lembar-lembar berkas yang harus ditandatangani, laporan yang perlu direvisi, dan notulen rapat yang harus kukaji ulang sebelum kubawa ke pertemuan esok pagi. Bahkan hingga kini, aku belum sempat menyapa Amara dan bayinya.Samar-samar aku mendengar langkah pelan dari arah dapur. Suara air mengalir dari kran, diikuti dengan denting gelas yang bersentuhan. Tak lama kemudian, langkah itu makin dekat, lalu berhenti tepat di belakangku. Namun, aku masih tetap memfokuskan diri pada pekerjaan. Sungguh aku ingin pekerjaan ini cepat selesai. "Kak," suara itu terdengar pelan, kemudian aku rasakan Amara tengah duduk disebelahku. "Hmmm," kujawab dengan gumaman, bukannya apa-apa. Fokusku kali ini pada satu dokumen yang hampir selesai, setelahnya aku akan terbebas. "Kak," panggilnya lagi, lebih lembut. Ada jeda di antara suaranya, seolah sedang memilih untuk lan

  • Suami pengganti   kencan pertama

    "Ra, baby nya udah tidur?" tanyaku ketika aku baru saja memasuki kamar sehabis dari menunaikan shalat magrib di mesjid kompleks. Amara menoleh dengan meletakan jari telunjuk di mulutnya. "Pelan-pelan ngomongnya, kak. Dia baru tidur," ujarnya. Aku mengangguk. Melepaskan peci, lalu menaruhnya diatas nakas. "Mas mau makan sekarang, ayo Ara temanin" ajaknya dengan berjalan lebih dulu keluar dari kamar kami. "Kita makan diluar aja ya? Malam ini kata Bi Susi ada pasar malam di dekat kantor kelurahan," aku mengajaknya ragu. Pasalnya ini baru pertama kali aku mengajaknya jalan. Satu alis Amara terangkat. "Pasar malam?" tanyanya. Aku mengangguk pelan. "Iya. Katanya ramai. Banyak jajanan juga. Selama kamu pindah kerumah ini kakak belum pernah lihat kamu keluar rumah bahkan belum ngerasa kamu minta kakak untuk temanin kamu jalan-jalan. Kamu gak jenuh apa, tiap hari dirumah. Ngerjain pekerjaan rumah sama bi Susi, momong baby Arsenio juga. Kakak rasa kamu butuh refreshing deh,"Amara terseny

  • Suami pengganti   ternyata nikah itu enak?

    Hari-hariku ternyata kini penuh dengan warna-warni, bak seperti pelangi setelah badai. Setiap harinya bahkan senyuman tak pernah pudar diwajahku, kebahagiaan seolah tak pernah surut dihidupku. Bahkan kini, jam pulang pada waktu kerja adalah hal yang paling aku nantikan. Rasanya aku ingin segera pulang, menemui bintang yang kini kembali menampakan sinarnya. Serta matahari kecil yang selalu menghangatkan rumahku. Begitu jam kantor menunjukkan pukul lima sore, aku langsung semangat membereskan laptop dan buru-buru keluar.“Pulang buru-buru terus, Fi? Bulan madunya panjang amat ya” celetuk Ayah dengan kekehan saat kami berpapasan di lift. Aku cuma nyengir. “Rumah udah jadi tempat paling nyaman sekarang yah,"Ayah mengangguk, ia menepuk pundakku. "Gimana rasanya nikah, Fi?" Aku terdiam sebentar. Pertanyaan Ayah itu sebetulnya sederhana, tapi entah kenapa jawabannya tak pernah sesingkat itu.Aku menghela napas kecil, lalu menatapnya dengan senyum yang tulus. "Rasanya seperti punya rumah

  • Suami pengganti   patner hidup?

    Setelah pagi itu, semuanya terasa berjalan lebih ringan. Hari-hari berikutnya Amara tak lagi selalu menyendiri di kamar. Ia mulai ikut menjemur pakaian, menyiapkan sarapan, bercengkrama dengan bi susi tanpa ku suruh bahkan beberapa kali tertangkap basah sedang tersenyum kecil saat aku bermain dengan bayinya. Dan malamnya, kami mulai membiasakan diri untuk tidur seranjang, dengan berdiskusi panjang lebar tentang kehidupan kedepannya sebelum kami tidur. Meski masih ada jarak. Tidak apa-apa. Jarak bisa dijembatani, asal bukan keengganan yang dipelihara. Kami bahkan saling berbagi peran satu sama lain, saling bekerja sama untuk merawat baby Arsenio."Kak pasti capek, jangan dulu gendong baby Nio. Mandi dulu ya, air hangatnya sudah siap. Ara juga udah siapkan makan malam untuk kakak"Aku tersenyum, ketika perhatian kecil itu terlontar dari mulutnya. Ah, bahagia sekali. "Kamu udah makan, Ra?" tanyaku duduk disamping Amara yang tengah bermain bersama Arsenio. Bayi kecil itu belum tertidur

  • Suami pengganti   pagi yang hangat

    "Tapi kalau semisal Ara ingin pergi apakah kakak akan tetap mempertahankan kami?"Pertanyaan itu menggaung di gendang telingaku. menusuk seperti jarum kecil yang tidak berdarah tapi meninggalkan ngilu lama.Aku tak langsung menjawab, dadaku sesak. Lidahku kelu. Jika saja aku boleh egois, aku ingin memaksa mereka untuk tetap tinggal. Disini, dirumah yang pernah kusiapkan untuknya, tapi tak jadi ketika dia sudah memiliki tambatan hati yang lain. Adikku sendiri. Ah jangan egois kamu, Fi! Ini bukan soal mempertahankan apa yang aku mau tapi tentang memastikan dia merasa cukup aman untuk bertanya sejauh itu.Aku bangkit dari kursi, beranjak ke sampingnya, lalu berlutut tepat di sebelah kursinya. Kupandangi mata bening itu yang kini mulai menggenang air."Kalau kamu ingin pergi karena lelah, saya akan pastikan menggenggam tanganmu lebih erat."Nafasnya tercekat.Mataku terpejam sesaat. "Kalau kamu ingin pergi karena merasa bersalah, aku akan memaafkan sebelum kamu sempat minta maaf"Matanya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status