Home / Rumah Tangga / Suami pengganti / Es yang mulai mencair

Share

Es yang mulai mencair

last update Last Updated: 2025-08-15 13:02:43

"jagoan papa ini udah wangi banget nak, ganteng pula" aku terkekeh gemas saat mendandani Arsenio pagi ini seusai ku mandikan bersama bi susi. Bayi kecil itu hanya bisa tertawa-tawa sambil memainkan bibirku dengan tangannya yang mungil dan basah.

Sementara Amara, perempuan itu semalam demam gara-gara kelelahan mengurus Arsenio dan terlalu larut dalam kesedihan.

Dan pagi ini ia bahkan masih tertidur, bergelung dengan selimut tebalnya beberapa kali aku dengar ia merintih kesakitan dengan memegangi kepalanya semalaman.

Melihatnya begitu aku tidak diam, sejak ia tak menolak dengan sikap perhatianku. Aku bahkan berusaha memerankan suami yang baik untuknya, meski tidak sama seperti Arsen setidaknya Amara tidak terlalu merasa kesepian.

Tapi tunggu dulu, apa sikapku ini sudah benar? Atau justru semakin menyakitinya?

"Bi, tadi subuh aku buat sayur sop. Bisa tolong hangatkan? Biar nanti kalau Ara bangun bisa langsung dimakan" ujarku sambil berjalan menggendong Arsenio ke luar untuk aku jemur. Matahari pagi baik untuk pertumbuhannya.

Bi susi mengangguk. "Mas Rafi mau bibi buatkan sarapan?"

"Tidak usah bi, biar nanti saja" tolakku halus.

"Oke, bibi tinggal ya. Bisa kan momong dedek bayi ini?" tanyanya  ragu.

Aku mendengus. "Aku emang belum pernah menikah dan memiliki anak bi, tapi aku lagi belajar jadi papa yang baik untuknya. Jangan gitu ah," kesalku.

Bi Susi terkekeh. "Iya bibi tau, semangat ya mas."

Aku mendelik, aku ia sedang mengejekku kali ini. "Udah bi sana, keburu Aranya bangun."

Setelah kepergian bi Susi, aku memutuskan membawa Arsenio jalan-jalan pagi ini, sekedar mengelilingi kompleks sembari aku berolahraga kecil. Jalan santai juga baik untuk kesehatan bukan?

Setelah memutar dua kali mengelilingi kompleks, aku berhenti sejenak di taman kecil dekat rumah. Arsenio tertidur di pelukanku, wajah mungilnya teduh sekali. Damai. Seolah tak punya beban apa pun di dunia ini. Dan entah kenapa, aku merasakan kedamaian yang sama.

“Papa sedang belajar ya, Nak,” bisikku lirih. “Papa belum sempurna, tapi papa janji bakal berusaha. Buat kamu. Buat mama kamu juga"

Aku duduk bangku taman sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang berolahraga pagi ini. Hari minggu memang taman kompleks selalu rame.

Baru beberapa menit, tiba-tiba ponselku berdering menampakan nama bi Susi dilayarnya.

Aku menghela napas. Menggeser tombol hijau ke atas.

"Ada apa bi?" tanyaku.

"Mas Rafi dimana? Ini non Ara nangis teriak-teriak nyariin den Arsen. Bibi gak tau kenapa, bibi udah bilang kalau bayinya sama mas Rafi tapi non Ara gak percaya"

Deg.

Aku langsung berdiri dari bangku taman, jantungku berdebar kencang. Arsenio yang tertidur di pelukanku mulai bergerak pelan, mungkin karena suara panik dari telepon barusan.

“Bi, saya pulang sekarang!” ucapku buru-buru sebelum memutus sambungan.

Aku mempercepat langkah, setengah berlari menuju rumah. Keringat mulai bercucuran bukan karena panas, tapi karena khawatir. Aku tahu betul, tangisan seorang ibu bukan sekadar soal kehilangan visual. Tapi kehilangan rasa aman dan aku... bisa jadi telah membuat Amara merasa kehilangan untuk kedua kalinya.

Saat aku tiba di rumah, suara tangisan itu sudah terdengar dari depan pintu. Bukan Arsenio, tapi Amara. Suaranya lirih namun penuh luka, menyayat di tiap hentakan napasnya.

Aku membuka pintu cepat-cepat.

"Astagfirullah, Ara" kagetku ketika melihat Amara tengah duduk di lantai ruang tengah, wajahnya panik dan air mata membanjiri pipinya. Bi Susi berusaha menenangkan, tapi tak berhasil. Saat melihatku masuk dengan Arsenio dalam pelukan, Amara langsung berdiri, berjalan cepat lalu merebut Arsenio dari tanganku.

"Sayang, jangan tinggalin mama" lirihnya mendekap Arsenio. Bayi itu spontan menangis kaget.

"Ra, dia tidak kemana-mana. Dia tidak akan meninggalkan kamu," aku berusaha menenangkannya, mengusap pundaknya lembut.

Amara terdiam, ia kini mulai tenang. Beberapa kali ia mengecup wajah Arsen, membawanya dalam pelukan berusaha meredakan tangisnya.

"Maaf Ra, saya tidak tau kalau-"

"Lain kali izin dulu kak, biar Ara gak khawatir" potongnya dengan berlalu meninggalkanku dan bi Susi ke kamar kami.

Aku menghembuskan napas pasrah.

"Sabar mas," ucap bi Susi menepuk pundaku.

Aku menoleh. Rasanya cape sekali menghadapi semua ini.

"Assobru minal iman mas. Sabar sebagian dari iman, jangan menyerah. Semua pasti ada jalan. Allah hanya menginginkan mas Rafi untuk berjuang agak lama lagi"

Disaat begini memang petuah bi Susi yang aku butuhkan. Wanita tua itu tau caranya menenangkan, mengingatkan kalau aku lagi terpuruk seperti ini.

"Allah tidak pernah menaruh tanggung jawab dibahu yg salah, jika kamu terpilih berarti kamu yang mampu. Ingat selalu kata-kata itu Mas. Biar gak goyah, tetap sabar dan tawakal"

Aku mengangguk paham. Rencana Allah itu selalu yang terbaik, walaupun terkadang prosesnya sulit, melelahkan, dan perlu air mata.

harusnya aku selalu mengingat bahwa sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Anfal: 46)

"Mas pasti cape, istirahat dulu. Biarkan dia tenang, nanti kalau dirasa tenang mas antarkan sarapan buat non Amara ya" pintanya.

"Siapkan saja dulu bi, saya mau mandi dulu."

(Lanjutan Cerbung)

Aku melangkah pelan ke kamar mandi, membawa tubuh yang rasanya berat sekali. Entah lelah fisik, batin, atau mungkin keduanya. Air mengalir membasuh tubuhku, namun tak mampu membilas rasa sesak yang mengendap di dada. Aku memejamkan mata, mencoba mengingat lagi, sudah sejauh mana aku bertahan. Untuk Amara. Untuk Arsenio. Untuk sebuah keluarga yang sebenarnya bukan milikku.

Tapi mungkin... inilah bentuk cinta yang lain. Cinta yang tidak memiliki, namun tetap memilih tinggal.

Setelah selesai mandi dan mengganti pakaian, aku keluar dengan rambut masih setengah basah. Bi Susi sudah menyiapkan nampan berisi semangkuk sop hangat dan segelas air putih. Tangannya gemetar sedikit saat menyerahkannya.

“Ini mas, bismillah ya. Niatkan untuk menguatkan yang lemah, bukan untuk menyuapi yang marah.”

Aku tersenyum kecil. Petuah bi Susi memang selalu seperti tamparan halus.

“Terima kasih, Bi.”

Aku melangkah menuju kamar pelan. Suasana hening. Aku mengetuk pintu lembut, dua kali.

“Ra... Saya masuk ya.”

Tak ada jawaban. Tapi aku membuka pintu perlahan. Amara duduk di atas tempat tidur, bersandar pada sandaran kepala ranjang. Arsenio tertidur di pelukannya, wajahnya tenang, berlawanan dengan wajah ibunya yang tampak lelah dan sembab.

“Saya bawakan sop,” ucapku pelan, menaruh nampan di meja kecil di samping tempat tidur.

Ia hanya menoleh sekilas. Tidak marah, tapi belum juga membuka ruang bicara.

“saya minta maaf,” lanjutku, duduk di tepi ranjang dengan jarak aman. “saya kira kamu akan tidur lebih lama. Saya cuma ingin menjemur Arsen sebentar. Nggak niat ninggalin kamu dalam kekhawatiran.”

Amara menatapku kali ini. Matanya masih sembab, tapi tak lagi setajam tadi.

“Aku mimpi buruk,” bisiknya. “Dalam mimpiku, aku kehilangan Arsen. Dan ketika aku bangun dia nggak ada. Rumah bahkan kosong, dingin. Rasanya nyata sekali, Kak.”

Aku mengangguk pelan. “Maaf Ra, itu pasti menakutkan. Maaf,”

Ia menatap Arsenio di pelukannya, lalu mengecup ubun-ubunnya lembut. “Aku cuma takut. Kadang rasanya seperti... semuanya bisa hilang sewaktu-waktu. Termasuk dia kak”

Hatiku mencelos. Mungkin aku terlalu meremehkan trauma yang ia simpan. Kehilangan Arsen suaminya, bukan bayi ini masih menyisakan lubang besar di hatinya.

Aku menatap mereka berdua. “saya  tahu Ra, saya bukan Arsen. Tapi saya akan ada di sini. Selama kamu butuh, saya enggak akan pergi. Bahkan kalau kamu tolak pun, saya akan tetap mencoba jadi sandaran semampu saya. Jangan dipendam sendirian Ra. Berat,”

Amara menghela napas. “Terima kasih, Kak. Aku... belum bisa menjanjikan apa-apa.”

“Dan saya enggak minta janji. Cuma minta kesempatan. Itu saja, Ra”

Beberapa detik berlalu dalam hening, sampai Amara melirik semangkuk sop di meja.

“Kamu yang buat?”

Aku mengangguk.

Ia menghela napas pelan. “Baiklah. Tapi kamu yang suapin ya. Ara masih lemes.”

Aku terkekeh kecil. “Siap, Bu Amara.”

Untuk pertama kalinya pagi ini, kulihat ada senyum di sudut bibirnya. Meski samar, tapi itu cukup bagiku untuk percaya pelan-pelan, semua ini akan baik-baik saja.

Mungkin belum hari ini. Tapi suatu hari.

Ah apakah gunung es ini mulai mencair?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami pengganti   ternyata nikah itu enak?

    Hari-hariku ternyata kini penuh dengan warna-warni, bak seperti pelangi setelah badai. Setiap harinya bahkan senyuman tak pernah pudar diwajahku, kebahagiaan seolah tak pernah surut dihidupku. Bahkan kini, jam pulang pada waktu kerja adalah hal yang paling aku nantikan. Rasanya aku ingin segera pulang, menemui bintang yang kini kembali menampakan sinarnya. Serta matahari kecil yang selalu menghangatkan rumahku. Begitu jam kantor menunjukkan pukul lima sore, aku langsung semangat membereskan laptop dan buru-buru keluar.“Pulang buru-buru terus, Fi? Bulan madunya panjang amat ya” celetuk Ayah dengan kekehan saat kami berpapasan di lift. Aku cuma nyengir. “Rumah udah jadi tempat paling nyaman sekarang yah,"Ayah mengangguk, ia menepuk pundakku. "Gimana rasanya nikah, Fi?" Aku terdiam sebentar. Pertanyaan Ayah itu sebetulnya sederhana, tapi entah kenapa jawabannya tak pernah sesingkat itu.Aku menghela napas kecil, lalu menatapnya dengan senyum yang tulus. "Rasanya seperti punya rumah

  • Suami pengganti   patner hidup?

    Setelah pagi itu, semuanya terasa berjalan lebih ringan. Hari-hari berikutnya Amara tak lagi selalu menyendiri di kamar. Ia mulai ikut menjemur pakaian, menyiapkan sarapan, bercengkrama dengan bi susi tanpa ku suruh bahkan beberapa kali tertangkap basah sedang tersenyum kecil saat aku bermain dengan bayinya. Dan malamnya, kami mulai membiasakan diri untuk tidur seranjang, dengan berdiskusi panjang lebar tentang kehidupan kedepannya sebelum kami tidur. Meski masih ada jarak. Tidak apa-apa. Jarak bisa dijembatani, asal bukan keengganan yang dipelihara. Kami bahkan saling berbagi peran satu sama lain, saling bekerja sama untuk merawat baby Arsenio."Kak pasti capek, jangan dulu gendong baby Nio. Mandi dulu ya, air hangatnya sudah siap. Ara juga udah siapkan makan malam untuk kakak"Aku tersenyum, ketika perhatian kecil itu terlontar dari mulutnya. Ah, bahagia sekali. "Kamu udah makan, Ra?" tanyaku duduk disamping Amara yang tengah bermain bersama Arsenio. Bayi kecil itu belum tertidur

  • Suami pengganti   pagi yang hangat

    "Tapi kalau semisal Ara ingin pergi apakah kakak akan tetap mempertahankan kami?"Pertanyaan itu menggaung di gendang telingaku. menusuk seperti jarum kecil yang tidak berdarah tapi meninggalkan ngilu lama.Aku tak langsung menjawab, dadaku sesak. Lidahku kelu. Jika saja aku boleh egois, aku ingin memaksa mereka untuk tetap tinggal. Disini, dirumah yang pernah kusiapkan untuknya, tapi tak jadi ketika dia sudah memiliki tambatan hati yang lain. Adikku sendiri. Ah jangan egois kamu, Fi! Ini bukan soal mempertahankan apa yang aku mau tapi tentang memastikan dia merasa cukup aman untuk bertanya sejauh itu.Aku bangkit dari kursi, beranjak ke sampingnya, lalu berlutut tepat di sebelah kursinya. Kupandangi mata bening itu yang kini mulai menggenang air."Kalau kamu ingin pergi karena lelah, saya akan pastikan menggenggam tanganmu lebih erat."Nafasnya tercekat.Mataku terpejam sesaat. "Kalau kamu ingin pergi karena merasa bersalah, aku akan memaafkan sebelum kamu sempat minta maaf"Matanya

  • Suami pengganti   Retak yang mulai luruh

    Aku tak tau sejak kapan aku terbiasa mendengar tangisan bayi di pagi buta. Sejak kapan aku terbiasa bangun ditengah malam menggantikannya popok. Aku tidak tau. Dulu, waktu hidup sendiri, suara alarm pun sering kuabaikan. Bahkan suara jeritan bi Susi yang memintaku terbiasa untuk shalat tahajud pun, aku tak memperdulikannya. Yang penting aku tidak telat untuk melaksanakan shalat subuh.Tapi kini, bahkan suara rengekan kecil Arsenio pun bisa langsung membangunkanku. Ya, malam ini pun begitu. Sekitar pukul dua lewat lima belas, aku terbangun. Bukan karena mimpi buruk. Tapi karena suara rengekan dari box bayi yang tak jauh dari sofa yang kujadikan sebagai tempat tidur.Tangannya bergerak-gerak, wajahnya mengerut, mungkin popoknya penuh atau ia lapar.Amara masih terlelap. Nafasnya berat, tubuhnya menggulung selimut rapat-rapat. Beberapa hari ini, ia mulai sedikit terbuka, meski belum sepenuhnya. Sebuah kemajuan yang sangat aku nantikan. Pelan-pelan aku bangkit. Kuhampiri Arsenio dan sege

  • Suami pengganti   Es yang mulai mencair

    "jagoan papa ini udah wangi banget nak, ganteng pula" aku terkekeh gemas saat mendandani Arsenio pagi ini seusai ku mandikan bersama bi susi. Bayi kecil itu hanya bisa tertawa-tawa sambil memainkan bibirku dengan tangannya yang mungil dan basah.Sementara Amara, perempuan itu semalam demam gara-gara kelelahan mengurus Arsenio dan terlalu larut dalam kesedihan. Dan pagi ini ia bahkan masih tertidur, bergelung dengan selimut tebalnya beberapa kali aku dengar ia merintih kesakitan dengan memegangi kepalanya semalaman.Melihatnya begitu aku tidak diam, sejak ia tak menolak dengan sikap perhatianku. Aku bahkan berusaha memerankan suami yang baik untuknya, meski tidak sama seperti Arsen setidaknya Amara tidak terlalu merasa kesepian. Tapi tunggu dulu, apa sikapku ini sudah benar? Atau justru semakin menyakitinya?"Bi, tadi subuh aku buat sayur sop. Bisa tolong hangatkan? Biar nanti kalau Ara bangun bisa langsung dimakan" ujarku sambil berjalan menggendong Arsenio ke luar untuk aku jemur.

  • Suami pengganti   pelan-pelan saja

    Aku tidak tahu bagaimana caranya mencintai seseorang yang hatinya sedang berduka. Tapi aku tahu, mencintai bukan berarti menuntut balasan. Mencintai, kadang sesederhana memastikan dia makan hari ini, memastikan tidurnya cukup, memastikan anaknya tumbuh sehat dan bahagia. Sudah dua minggu pernikahan kami berjalan. Dan selama ini pula aku berusaha memerankan posisi suami serta ayah untuk Arsenio. Rasanya aneh, biasanya aku menjalani hari dengan datar hanya bangun untuk shalat dan bekerja tapi sekarang? Kesibukanku bertambah, aku tidak lagi hidup untuk diriku sendiri tetapi juga untuk dua orang yang aku cintai.Tunggu dulu, cinta? Bukannya ini hanya sekedar tanggung jawab?Pagi ini aku membuatkan bubur ayam. Kupakai kaldu ayam kampung, kutambahkan potongan wortel dan sedikit bayam di dalamnya. Aku tahu Amara belum punya selera makan besar, tapi tubuhnya butuh nutrisi. Apalagi ia masih menyusui Arsenio"Bi, nanti tolong ya kalau istiriku sudah bangun, tolong kasih ini ke Amara, ya?” ucap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status