Share

tolong bangkit

last update Last Updated: 2025-06-24 22:50:29

Hari ini, minggu pertama pernikahan kami, rasanya seperti berjalan diatas serpihan kaca Setiap langkah menggores diam-diam, tanpa suara, tapi berdarah juga pada akhirnya.

Kami memang tinggal satu atap, satu kamar, tapi tidak benar-benar bersama. Ada batas tak kasat mata yang terus memisahkan aku dan Amara.

Dia masih memanggilku "Kakak."

Bukan "suami." Dan aku tidak pernah menuntut untuk disebut begitu.

Minggu pertama ini bahkan aku masih memilih tidur di sofa kamar kami, memberikannya ruang untuk beradaptasi dengan kehilangan, bukan dengan kehadiranku. Aku tahu, bagi Amara, kepergian Arsen masih terlalu segar. Dan kehadiranku, meski sah secara hukum dan restu, masih terasa seperti pengkhianatan terhadap masa lalu.

Kadang-kadang aku terbangun tengah malam dan mendengar isaknya. Suara pelan yang ia tahan dengan bantal, agar dunia tak tahu ia sedang rapuh. Tapi aku tahu. Aku melihat bahunya bergetar, tubuhnya membungkuk menahan pecah, sementara bayi kecil di pelukannya tetap tertidur lelap.

Dan aku... hanya bisa menatap dalam diam. Sakit, perih? Tentu saja! Aku tidak bisa melihat seseorang yang aku ... Ah sudahlah.

Pagi ini hujan mengguyur dengan derasnya sejak subuh tadi, langit seolah mengerti bahwa hati di rumah ini belum juga berhenti berkabung. Bias cahaya matahari yang biasanya menyelinap di sela jendela pun enggan menampakkan diri.

Aku duduk di meja makan sendirian. Sepiring nasi dan sayur bening daun kelor untuk Amara yang sengaja ku buat sejak satu jam lalu kini sudah dingin. Amara belum keluar dari kamar. Arsenio juga belum terdengar menangis. Sunyi kembali menyelimuti kami, seperti biasa.

Kupikir aku sudah terbiasa.

Tapi ternyata tidak.

"Bi," aku memanggil bi Susi dengan pelan, takut jika nada bicaraku mengganggu tidur Amara dan bayinya.

Bi Susi yang tengah mencuci piring segera menoleh. "Iya, Mas?"

"Kalau Amara sudah bangun, tolong hangatkan sayur beningnya ya. Katanya daun kelor bagus untuk ibu menyusui, ya, Bi?"

Bi Susi tersenyum kecil. "Iya, Mas. Bagus banget. Tapi ya... ibunya juga harus mau makan dulu atuh biar gak percuma."

Aku mengangguk. Bi susi benar, mau sebagus apa pun manfaatnya, mau seenak apa pun masakannya kalau Amara tidak memakannya ya rasanya percuma.

"Iya, aku tugaskan bibi mulai hari ini buat perhatiin pola makan istriku ya bi. Kalau bisa bibi yang bujuk dia buat makan, nanti aku kasih bonus"

Bibi susi mengangguk cepat. "Gampang itu, bibi akan bujuk non Amara tanpa bosan-bosan deh."

"Kalau gitu aku titip ya bi, sama Arsenio juga."

ucapku pelan sambil berdiri, memindahkan cangkir teh yang isinya sudah dingin ke wastafel.

“Siap, Mas Rafi. Arsenio mah udah bibi anggap cucu sendiri. Tenang aja,” jawab Bi Susi sambil menepuk dadanya.

Aku mengangguk kecil, mencoba tersenyum, walau rasanya hati ini masih berat.

"Aku kerja dulu ya bi, kalau ada apa-apa sama mereja jangan lupa kabari ya,"

sambil mengambil jas hujan dan tas kerja yang kuletakkan di dekat pintu.

“Siap, Mas Rafi. Bibi jaga mereka baik-baik. Hati-hati di jalan, ya,” jawab Bi Susi, suaranya tulus, penuh perhatian.

Aku mengangguk, tapi langkah kakiku berat saat menuju pintu. Rasanya seperti meninggalkan sepotong hati yang belum utuh. Aku menatap pintu kamar sekali lagi masih tertutup rapat. Tidak ada suara dari dalam.

Ah sudahlah. Biarkan mereka beristirahat dengan tenang, Rafi.

Tanpa ucapan pamit pada Amara aku berangkat dengan mobil BMW berwarna hitam yang sudah menemaniku hampir lima tahun lamanya.

Hujan belum juga berhenti ketika mobilku melaju menyusuri jalanan ibukota yang basah dan licin. Mobil BMW hitam yang biasanya kukendarai dengan percaya diri, hari ini terasa seperti ruang hampa. Kursi pengemudi jadi lebih sepi, musik radio pun hanya menjadi latar bunyi tanpa makna.

Sesampainya di kantor, ayah menyambutku dengan senyuman hangat. "Akhirnya, datang juga, Rafi. Ayah pikir kamu masih mau cuti hari ini."

Aku memaksakan senyum. "Aku nggak mau terlalu lama bolos kerja, Yah. Tugas di rumah cukup berat, tapi bukan alasan untuk mengabaikan tanggung jawab di sini."

Ayah menepuk bahuku ringan. "Kamu hebat, Nak. Arsen pasti bangga lihat kamu pegang semua ini."

Nama Arsen membuat tenggorokanku tercekat. Aku mengangguk pelan tanpa menjawab.

"Gimana kabar Amara dan cucu ayah, Fi?" tanyanya. Kami berjalan beriringan menuju ruang CEO untuk membahas rapat yang akan kami hadiri siang nanti.

Aku menghela napas pelan. “Masih sama, Yah. Amara belum bicara banyak. Lebih sering diam. Kalau bicara pun seperlunya. Seperti... hidup di balik kabut.”

Ayah duduk di kursinya, menatapku dengan sorot prihatin. "Dan kamu?"

Aku menatap meja kerja, bukan wajahnya. "Aku? Seperti yang ayah lihat," jawabku mengedikkan bahu.

Ayah mengangguk paham, tubuhnya ia condongkan kedepan. Matanya lekat menatapku. "Menjalani pernikahan dengan orang yang belum selesai masa lalunya memang berat Fi tapi ayah yakin kamu bisa. Niatkan ini untuk ibadah Fi. Jalani dengan ikhlas supaya ringan,"

Aku menarik napas dalam. Kata-kata Ayah seperti obat, meski pahitnya masih terasa hingga ke dada.

“Iya, Yah,” jawabku pelan. “Aku nggak mau menyia-nyiakan kepercayaan Arsen. Apalagi titipannya.”

Ayah menatapku lebih dalam, lalu mengangguk dengan bangga. "Kamu sudah dewasa, Fi. Mungkin cara Tuhan mempercepat kedewasaanmu... ya dengan cara yang berat seperti ini."

Aku tersenyum tipis, lalu membuka berkas rapat yang telah kusiapkan semalam. Tapi pikiranku tetap tertinggal di rumah. Di balik pintu kamar yang tadi pagi masih tertutup rapat. Di tubuh lelah Amara. Di suara tangis yang ia sembunyikan. Apakah dia baik-baik saja?

***

Rapat berjalan dengan lancar, jam pulang juga sudah berbunyi. Aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah tanpa menunggu ayah yang masih berbicara banyak hal dengan sahabat serta rekan bisnisnya.

Mobil yang ku kendarai membelah jalanan sore ini dengan kecepatan tinggi, rasanya aku ingin buru-buru pulang. Aku ingin buru-buru memastikan Amara sudah makan, memastikan Arsenio baik-baik saja, dan memastikan bahwa rumah yang kini kami tinggali belum sepenuhnya kosong.

Saat sampai di depan gerbang, aku mendapati suasana rumah sudah terang. Hujan sudah reda sejak sore tadi, dan udara Jakarta malam ini terasa lebih dingin dari biasanya.

Kuparkir mobil perlahan, mematikan mesin, dan sempat diam beberapa detik sebelum keluar. Hatiku mendadak gelisah tanpa alasan yang jelas.

Ketika memasuki rumah, bi susi menyambutku dengan Arsenio di gendongannya.

"Mas Rafi, baru pulang?" sapa Bi Susi sambil tersenyum ramah, menggendong Arsenio yang tampak sudah bersih dan wangi, mengenakan baju bayi bermotif bulan-bintang.

Aku tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, Bi. Gimana hari ini? Amara… udah makan?"

Bi susi menggeleng lemah. "Sudah sih Mas tapi sedikit. Cuma beberapa sendok doang,"

Aku mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan rasa kecewaku.

“Ya udah, yang penting dia makan dulu, walau sedikit. Nanti malam aku coba temani dia makan,” kataku sambil mengulurkan tangan, meminta Arsenio.

Bi Susi menyerahkan bayi itu kepadaku dengan hati-hati. “Nangisnya juga udah nggak terlalu sering, Mas. Kayaknya mulai terbiasa. Tapi ya… Non Amara itu masih suka melamun, duduk diam sambil natap kosong.”

Aku menatap wajah Arsenio yang tenang dalam gendonganku. Matanya sudah setengah tertutup. Hati kecilku berharap, setidaknya anak ini tidak merasakan luka sebesar yang sedang dialami ibunya.

"Dia di kamar?" tanyaku pelan.

"Iya mas, masih jarang keluar"

Segera aku membawa Arsenio menuju kamar untuk menemui Amara.

Ketika aku membuka pintu kamar dengan pelan, aroma sabun bayi dan lavender langsung menyambutku. Lampu tidak terlalu terang, hanya lampu tidur yang menyala redup di sudut ruangan.

Hatiku teriris begitu perih saat mendapati Amara tengah tergugu pilu dengan memeluk kaos berwarna biru yang kuyakini milik Arsen.

Aku terdiam di ambang pintu.

Langkahku mengakar. Napasku tercekat. Rasanya seperti melihat luka yang terbuka lebar di hadapanku, tapi tak bisa kulakukan apa pun selain menyaksikannya menganga.

Perlahan aku memberanikan diri untuk mendekatinya dengan Arsenio yang begitu nyaman tidur dipangkuanku.

"Dia tidur" ucapku sambil berjalan pelan ke arahnya. “Tadi main sebentar sama Bi Susi. Katanya hari ini dia lebih tenang.”

Amara menoleh, ia segera menghapus jejak air matanya, lalu mengangguk pelan. Ia masih mendekap kaos itu, tapi sudah tidak tergugu lagi.

Aku duduk di ujung tempat tidur, memberinya ruang. Lalu perlahan, kuturunkan Arsenio ke boks bayi. Ia menggeliat sebentar, kemudian kembali lelap.

"Ara?" Aku memberanikan diri memanggilnya untuk membuka percakapan.

Ia menoleh, satu alisnya terangkat seolah tengah bertanya "ada apa?"

"Saya tau kepergian Arsen itu menyesakkan. Saya juga kehilangan tapi rasanya tidak pantas jika kita terlalu lama berlarut dalam kesedihan"

Amara menghela napas. "Aku masih tidak percaya,"

"Setiap yang bernyawa pasti akan mati Ra. Setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan, kita semua hanya menunggu waktu"

Amara terdiam lama. Seolah memikirkan perkataanku.

"Ra, kamu lupa? Saya mengizinkan kamu menangis sepuasnya malam itu tapi kamu malah berlarut sampai selama ini. Saya mohon Ra, jangan begini. Arsenio butuh kamu, rumah ini sunyi tanpa kamu. Jangan seperti ini ya, untuk kali ini saya memohon"

"Tolong bangkit," pintaku memohon

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami pengganti   ternyata nikah itu enak?

    Hari-hariku ternyata kini penuh dengan warna-warni, bak seperti pelangi setelah badai. Setiap harinya bahkan senyuman tak pernah pudar diwajahku, kebahagiaan seolah tak pernah surut dihidupku. Bahkan kini, jam pulang pada waktu kerja adalah hal yang paling aku nantikan. Rasanya aku ingin segera pulang, menemui bintang yang kini kembali menampakan sinarnya. Serta matahari kecil yang selalu menghangatkan rumahku. Begitu jam kantor menunjukkan pukul lima sore, aku langsung semangat membereskan laptop dan buru-buru keluar.“Pulang buru-buru terus, Fi? Bulan madunya panjang amat ya” celetuk Ayah dengan kekehan saat kami berpapasan di lift. Aku cuma nyengir. “Rumah udah jadi tempat paling nyaman sekarang yah,"Ayah mengangguk, ia menepuk pundakku. "Gimana rasanya nikah, Fi?" Aku terdiam sebentar. Pertanyaan Ayah itu sebetulnya sederhana, tapi entah kenapa jawabannya tak pernah sesingkat itu.Aku menghela napas kecil, lalu menatapnya dengan senyum yang tulus. "Rasanya seperti punya rumah

  • Suami pengganti   patner hidup?

    Setelah pagi itu, semuanya terasa berjalan lebih ringan. Hari-hari berikutnya Amara tak lagi selalu menyendiri di kamar. Ia mulai ikut menjemur pakaian, menyiapkan sarapan, bercengkrama dengan bi susi tanpa ku suruh bahkan beberapa kali tertangkap basah sedang tersenyum kecil saat aku bermain dengan bayinya. Dan malamnya, kami mulai membiasakan diri untuk tidur seranjang, dengan berdiskusi panjang lebar tentang kehidupan kedepannya sebelum kami tidur. Meski masih ada jarak. Tidak apa-apa. Jarak bisa dijembatani, asal bukan keengganan yang dipelihara. Kami bahkan saling berbagi peran satu sama lain, saling bekerja sama untuk merawat baby Arsenio."Kak pasti capek, jangan dulu gendong baby Nio. Mandi dulu ya, air hangatnya sudah siap. Ara juga udah siapkan makan malam untuk kakak"Aku tersenyum, ketika perhatian kecil itu terlontar dari mulutnya. Ah, bahagia sekali. "Kamu udah makan, Ra?" tanyaku duduk disamping Amara yang tengah bermain bersama Arsenio. Bayi kecil itu belum tertidur

  • Suami pengganti   pagi yang hangat

    "Tapi kalau semisal Ara ingin pergi apakah kakak akan tetap mempertahankan kami?"Pertanyaan itu menggaung di gendang telingaku. menusuk seperti jarum kecil yang tidak berdarah tapi meninggalkan ngilu lama.Aku tak langsung menjawab, dadaku sesak. Lidahku kelu. Jika saja aku boleh egois, aku ingin memaksa mereka untuk tetap tinggal. Disini, dirumah yang pernah kusiapkan untuknya, tapi tak jadi ketika dia sudah memiliki tambatan hati yang lain. Adikku sendiri. Ah jangan egois kamu, Fi! Ini bukan soal mempertahankan apa yang aku mau tapi tentang memastikan dia merasa cukup aman untuk bertanya sejauh itu.Aku bangkit dari kursi, beranjak ke sampingnya, lalu berlutut tepat di sebelah kursinya. Kupandangi mata bening itu yang kini mulai menggenang air."Kalau kamu ingin pergi karena lelah, saya akan pastikan menggenggam tanganmu lebih erat."Nafasnya tercekat.Mataku terpejam sesaat. "Kalau kamu ingin pergi karena merasa bersalah, aku akan memaafkan sebelum kamu sempat minta maaf"Matanya

  • Suami pengganti   Retak yang mulai luruh

    Aku tak tau sejak kapan aku terbiasa mendengar tangisan bayi di pagi buta. Sejak kapan aku terbiasa bangun ditengah malam menggantikannya popok. Aku tidak tau. Dulu, waktu hidup sendiri, suara alarm pun sering kuabaikan. Bahkan suara jeritan bi Susi yang memintaku terbiasa untuk shalat tahajud pun, aku tak memperdulikannya. Yang penting aku tidak telat untuk melaksanakan shalat subuh.Tapi kini, bahkan suara rengekan kecil Arsenio pun bisa langsung membangunkanku. Ya, malam ini pun begitu. Sekitar pukul dua lewat lima belas, aku terbangun. Bukan karena mimpi buruk. Tapi karena suara rengekan dari box bayi yang tak jauh dari sofa yang kujadikan sebagai tempat tidur.Tangannya bergerak-gerak, wajahnya mengerut, mungkin popoknya penuh atau ia lapar.Amara masih terlelap. Nafasnya berat, tubuhnya menggulung selimut rapat-rapat. Beberapa hari ini, ia mulai sedikit terbuka, meski belum sepenuhnya. Sebuah kemajuan yang sangat aku nantikan. Pelan-pelan aku bangkit. Kuhampiri Arsenio dan sege

  • Suami pengganti   Es yang mulai mencair

    "jagoan papa ini udah wangi banget nak, ganteng pula" aku terkekeh gemas saat mendandani Arsenio pagi ini seusai ku mandikan bersama bi susi. Bayi kecil itu hanya bisa tertawa-tawa sambil memainkan bibirku dengan tangannya yang mungil dan basah.Sementara Amara, perempuan itu semalam demam gara-gara kelelahan mengurus Arsenio dan terlalu larut dalam kesedihan. Dan pagi ini ia bahkan masih tertidur, bergelung dengan selimut tebalnya beberapa kali aku dengar ia merintih kesakitan dengan memegangi kepalanya semalaman.Melihatnya begitu aku tidak diam, sejak ia tak menolak dengan sikap perhatianku. Aku bahkan berusaha memerankan suami yang baik untuknya, meski tidak sama seperti Arsen setidaknya Amara tidak terlalu merasa kesepian. Tapi tunggu dulu, apa sikapku ini sudah benar? Atau justru semakin menyakitinya?"Bi, tadi subuh aku buat sayur sop. Bisa tolong hangatkan? Biar nanti kalau Ara bangun bisa langsung dimakan" ujarku sambil berjalan menggendong Arsenio ke luar untuk aku jemur.

  • Suami pengganti   pelan-pelan saja

    Aku tidak tahu bagaimana caranya mencintai seseorang yang hatinya sedang berduka. Tapi aku tahu, mencintai bukan berarti menuntut balasan. Mencintai, kadang sesederhana memastikan dia makan hari ini, memastikan tidurnya cukup, memastikan anaknya tumbuh sehat dan bahagia. Sudah dua minggu pernikahan kami berjalan. Dan selama ini pula aku berusaha memerankan posisi suami serta ayah untuk Arsenio. Rasanya aneh, biasanya aku menjalani hari dengan datar hanya bangun untuk shalat dan bekerja tapi sekarang? Kesibukanku bertambah, aku tidak lagi hidup untuk diriku sendiri tetapi juga untuk dua orang yang aku cintai.Tunggu dulu, cinta? Bukannya ini hanya sekedar tanggung jawab?Pagi ini aku membuatkan bubur ayam. Kupakai kaldu ayam kampung, kutambahkan potongan wortel dan sedikit bayam di dalamnya. Aku tahu Amara belum punya selera makan besar, tapi tubuhnya butuh nutrisi. Apalagi ia masih menyusui Arsenio"Bi, nanti tolong ya kalau istiriku sudah bangun, tolong kasih ini ke Amara, ya?” ucap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status