Aku tidak tahu bagaimana caranya mencintai seseorang yang hatinya sedang berduka. Tapi aku tahu, mencintai bukan berarti menuntut balasan. Mencintai, kadang sesederhana memastikan dia makan hari ini, memastikan tidurnya cukup, memastikan anaknya tumbuh sehat dan bahagia.
Sudah dua minggu pernikahan kami berjalan. Dan selama ini pula aku berusaha memerankan posisi suami serta ayah untuk Arsenio. Rasanya aneh, biasanya aku menjalani hari dengan datar hanya bangun untuk shalat dan bekerja tapi sekarang? Kesibukanku bertambah, aku tidak lagi hidup untuk diriku sendiri tetapi juga untuk dua orang yang aku cintai. Tunggu dulu, cinta? Bukannya ini hanya sekedar tanggung jawab? Pagi ini aku membuatkan bubur ayam. Kupakai kaldu ayam kampung, kutambahkan potongan wortel dan sedikit bayam di dalamnya. Aku tahu Amara belum punya selera makan besar, tapi tubuhnya butuh nutrisi. Apalagi ia masih menyusui Arsenio "Bi, nanti tolong ya kalau istiriku sudah bangun, tolong kasih ini ke Amara, ya?” ucapku sambil meletakkan mangkuk bubur di meja. Bi susi yang tengah asik menjemur pakaian kini berjalan menghampiri, ia bahkan berdecak kali ini. Aku menoleh heran. "Kenapa?" "Kebiasaan deh mas Rafi," Aku mengerutkan kening heran. "Bibi gak mau saya suruh?" Kepala bi Susi menggeleng pelan. "Bukan begitu Mas. Tapi kali ini coba deh mas Rafi sendiri yang kasih, siapa tau dengan ini hubungan kalian tidak dingin lagi" Aku menghela napas panjang. "Saya sibuk bi, ini udah siang. Saya mau kerja," Kembali suara decakan terdengar. "Bibi tau Mas. Tapi coba dong sempatin waktunya, masa ini nyempatin masak aja bisa tapi buat dekatinnya gak bisa. Cinta itu butuh perjuangan Mas. Dijemput bukan di tunggu, peran laki-laki itu aktif bukan pasif." Aku mendengus. "Lain kali aja," Bi susi menggeram kesal, tangannya bergerak seolah ingin mencakar wajahku. Tidak sopan emang tapi dia bi Susi. Asisten yang sudah lama bersamaku, aku bahkan menganggapnya sebagai ibuku sendiri. "Mas Rafi, dengarin bibi. Hati perempuan itu akan luluh sama laki-laki yang mau memperjuangkannya. Saat ini memang non Amara masih belum rela melepaskan cintanya, tapi akan terus berlanjut. Suatu hari nanti dia bakalan butuh seseorang yang menggantikan suaminya, kalau mas Rafi masih diam aja gak ada pergerakan bisa-bisa non Amara cari yang lain" "Tapi aku kan suaminya bi, gak mungkin perempuan shalihah kaya dia bisa begitu" elakku "Tidak ada yang tidak mungkin, mas Rafi ini ya bikin emosi" geramnya tertahan. Aku terkekeh menahan tawa. "Coba aja mas, pelan-pelan." Kepalaku menggeleng. "Apa sih bi, pelan-pelan gimana?" "Ih, umur sudah hampir kepala empat masih aja gak paham. Pantesan jomblo terus gak kaya mas Arsen. Kaku banget ih, padahal bibi mendidik kamu dengan perasaan cinta deh" Aku hanya bisa tertawa kecil menanggapi ocehannya. Bi Susi memang selalu begitu—nyablak, kadang kasar, tapi perhatian dan tulusnya tidak pernah bisa diragukan. Ia satu-satunya orang yang bisa memarahiku tanpa membuatku tersinggung. “Ya udah deh, Bi. Bawa aja dulu buburnya. Nanti sore aku sempatin...” ujarku berdamai. “Enggak,” sahut Bi Susi cepat. “Sekarang. Mumpung mas Rafi masih di rumah. Laki-laki sejati itu bukan yang kerja terus-terusan, tapi yang bisa dekat sama istrinya juga" Aku mendesah panjang, merasa kalah dalam perdebatan ini. Tapi anehnya, dalam hati... ada suara kecil yang setuju dengan Bi Susi. Suara yang selama ini kutekan jauh-jauh. Apa susahnya sih nganterin bubur ke kamar istri sendiri? Akhirnya aku menyerah. Kupindahkan bubur ke nampan kecil, kuletakkan sendok dan segelas air hangat di sampingnya. Tangan kananku memegang nampan, tangan kiriku mengetuk pintu kamar pelan. “Ra?” panggilku dari balik pintu. Tak ada sahutan. Tapi aku mendengar suara gerakan pelan dari dalam. "Boleh masuk?" tanyaku ragu. Amara mengangguk. "Masuk aja kak, ini kan kamar kakak. Tiap hari juga kakak disini," Ah iya lupa. Kita kan sekamar ya, bodoh kamu Fi. Malu kan jadinya. Aku mulai melangkah masuk dengan pelan, menjaga agar nampan di tanganku tidak tumpah. Amara duduk di sisi ranjang, menyusui setengah selimut yang menutupi tubuhnya. Rambutnya digelung seadanya, wajahnya pucat tapi tetap cantik dengan cara yang sangat... melankolis. Matanya hanya menatapku sekilas, lalu berpindah ke nampan di tanganku. “hari ini kakak buatkan bubur,” ucapku pelan, berusaha terdengar ringan Dia diam. Lalu bergeser sedikit, memberi ruang di sisi tempat tidur. “Taruh aja di meja,” katanya singkat. Aku mengangguk, lalu meletakkan nampan itu perlahan di meja kecil dekat tempat tidur. "Jangan lupa dimakan ya, ibu menyusui harus banyak tenaga. Oh iya, kemarin kakak bawain kue tart. Ada di kulkas, dimakan juga ya. Kakak juga sudah suruh bi Susi buat beliin kamu cemilan, biasanya ibu menyusui harus banyak ngemil juga" Amara tak langsung menjawab. Matanya hanya menatap bubur di meja, lalu beralih padaku dengan sorot yang sulit kuterjemahkan. Bukan marah. Bukan sedih. Tapi... seperti terharu, hanya saja ia terlalu gengsi untuk menunjukkannya. “Terima kasih, Kak,” ujarnya akhirnya. Lirih, nyaris seperti gumaman. Aku mengangguk pelan. “Kalau enggak enak, bilang aja. Nanti kakak coba resep lain.” Amara hanya diam, ia bahkan kini sudah mengacuhkan ku seperti biasanya. Sen. Istrimu ini katanya ramah perhatian, tapi yang aku rasakan kok lain? "Yasudah kalau gitu, kakak berangkat kerja dulu ya. Hati-hati dirumah," Amara mengangguk pelan, tanpa mengangkat wajahnya. “Assalamualaikum,” ucapku sebelum menutup pintu. Tak ada balasan. Hanya kesunyian. Tenang Rafi. Its okay, gak papa. Ini baru permulaan. Pelan-pelan saja."kamu yakin Ra, gak mau ikut sama kakak ke Bandung?" tanyaku kembali memastikan dengan memelas.Amara menggeleng, tangannya sibuk memasukan pakaianku ke koper. Setelah perdebatan malam itu, aku pikir Amara akan mendiamiku seperti kebanyakan. Mulai menjauh seperti saat awal pernikahan kami. Dingin. Tapi rupanya tidak, ia masih bersikap ramah padaku.Amara mendongak, ia menggeleng pelan. "Ngapain sih, yang ada ganggu kerjaan kakak kalau aku sama baby Nio ikut,"Aku menghela napas. Duduk di sisi ranjang, membiarkan koper terbuka di hadapanku dan pakaian yang belum sepenuhnya rapi tergeletak begitu saja.Kemudian aku mendesah pelan. "Ganggu apanya, Ra? Justru kakak bakal lebih tenang kerja kalau kalian ikut. Kakak jadi punya alasan pulang cepat. Punya alasan buat senyum walau seharian dikejar deadline.""Kak, bandung itu dingin. Arsenio belum terbiasa," ujarnya tepat ketika ia menutup koperku dan menarik resletingnya."Lagi pula cuma seminggu, kok jadi lebay gini?" tanyanya dengan duduk d
Waktu di jam dinding sudah menunjukan pukul setengah sepuluh malam, namun aku masih bergelut dimeja ruang tamu dengan setumpuk pekerjaan lembar-lembar berkas yang harus ditandatangani, laporan yang perlu direvisi, dan notulen rapat yang harus kukaji ulang sebelum kubawa ke pertemuan esok pagi. Bahkan hingga kini, aku belum sempat menyapa Amara dan bayinya.Samar-samar aku mendengar langkah pelan dari arah dapur. Suara air mengalir dari kran, diikuti dengan denting gelas yang bersentuhan. Tak lama kemudian, langkah itu makin dekat, lalu berhenti tepat di belakangku. Namun, aku masih tetap memfokuskan diri pada pekerjaan. Sungguh aku ingin pekerjaan ini cepat selesai. "Kak," suara itu terdengar pelan, kemudian aku rasakan Amara tengah duduk disebelahku. "Hmmm," kujawab dengan gumaman, bukannya apa-apa. Fokusku kali ini pada satu dokumen yang hampir selesai, setelahnya aku akan terbebas. "Kak," panggilnya lagi, lebih lembut. Ada jeda di antara suaranya, seolah sedang memilih untuk lan
"Ra, baby nya udah tidur?" tanyaku ketika aku baru saja memasuki kamar sehabis dari menunaikan shalat magrib di mesjid kompleks. Amara menoleh dengan meletakan jari telunjuk di mulutnya. "Pelan-pelan ngomongnya, kak. Dia baru tidur," ujarnya. Aku mengangguk. Melepaskan peci, lalu menaruhnya diatas nakas. "Mas mau makan sekarang, ayo Ara temanin" ajaknya dengan berjalan lebih dulu keluar dari kamar kami. "Kita makan diluar aja ya? Malam ini kata Bi Susi ada pasar malam di dekat kantor kelurahan," aku mengajaknya ragu. Pasalnya ini baru pertama kali aku mengajaknya jalan. Satu alis Amara terangkat. "Pasar malam?" tanyanya. Aku mengangguk pelan. "Iya. Katanya ramai. Banyak jajanan juga. Selama kamu pindah kerumah ini kakak belum pernah lihat kamu keluar rumah bahkan belum ngerasa kamu minta kakak untuk temanin kamu jalan-jalan. Kamu gak jenuh apa, tiap hari dirumah. Ngerjain pekerjaan rumah sama bi Susi, momong baby Arsenio juga. Kakak rasa kamu butuh refreshing deh,"Amara terseny
Hari-hariku ternyata kini penuh dengan warna-warni, bak seperti pelangi setelah badai. Setiap harinya bahkan senyuman tak pernah pudar diwajahku, kebahagiaan seolah tak pernah surut dihidupku. Bahkan kini, jam pulang pada waktu kerja adalah hal yang paling aku nantikan. Rasanya aku ingin segera pulang, menemui bintang yang kini kembali menampakan sinarnya. Serta matahari kecil yang selalu menghangatkan rumahku. Begitu jam kantor menunjukkan pukul lima sore, aku langsung semangat membereskan laptop dan buru-buru keluar.“Pulang buru-buru terus, Fi? Bulan madunya panjang amat ya” celetuk Ayah dengan kekehan saat kami berpapasan di lift. Aku cuma nyengir. “Rumah udah jadi tempat paling nyaman sekarang yah,"Ayah mengangguk, ia menepuk pundakku. "Gimana rasanya nikah, Fi?" Aku terdiam sebentar. Pertanyaan Ayah itu sebetulnya sederhana, tapi entah kenapa jawabannya tak pernah sesingkat itu.Aku menghela napas kecil, lalu menatapnya dengan senyum yang tulus. "Rasanya seperti punya rumah
Setelah pagi itu, semuanya terasa berjalan lebih ringan. Hari-hari berikutnya Amara tak lagi selalu menyendiri di kamar. Ia mulai ikut menjemur pakaian, menyiapkan sarapan, bercengkrama dengan bi susi tanpa ku suruh bahkan beberapa kali tertangkap basah sedang tersenyum kecil saat aku bermain dengan bayinya. Dan malamnya, kami mulai membiasakan diri untuk tidur seranjang, dengan berdiskusi panjang lebar tentang kehidupan kedepannya sebelum kami tidur. Meski masih ada jarak. Tidak apa-apa. Jarak bisa dijembatani, asal bukan keengganan yang dipelihara. Kami bahkan saling berbagi peran satu sama lain, saling bekerja sama untuk merawat baby Arsenio."Kak pasti capek, jangan dulu gendong baby Nio. Mandi dulu ya, air hangatnya sudah siap. Ara juga udah siapkan makan malam untuk kakak"Aku tersenyum, ketika perhatian kecil itu terlontar dari mulutnya. Ah, bahagia sekali. "Kamu udah makan, Ra?" tanyaku duduk disamping Amara yang tengah bermain bersama Arsenio. Bayi kecil itu belum tertidur
"Tapi kalau semisal Ara ingin pergi apakah kakak akan tetap mempertahankan kami?"Pertanyaan itu menggaung di gendang telingaku. menusuk seperti jarum kecil yang tidak berdarah tapi meninggalkan ngilu lama.Aku tak langsung menjawab, dadaku sesak. Lidahku kelu. Jika saja aku boleh egois, aku ingin memaksa mereka untuk tetap tinggal. Disini, dirumah yang pernah kusiapkan untuknya, tapi tak jadi ketika dia sudah memiliki tambatan hati yang lain. Adikku sendiri. Ah jangan egois kamu, Fi! Ini bukan soal mempertahankan apa yang aku mau tapi tentang memastikan dia merasa cukup aman untuk bertanya sejauh itu.Aku bangkit dari kursi, beranjak ke sampingnya, lalu berlutut tepat di sebelah kursinya. Kupandangi mata bening itu yang kini mulai menggenang air."Kalau kamu ingin pergi karena lelah, saya akan pastikan menggenggam tanganmu lebih erat."Nafasnya tercekat.Mataku terpejam sesaat. "Kalau kamu ingin pergi karena merasa bersalah, aku akan memaafkan sebelum kamu sempat minta maaf"Matanya