Kepergian Arsen begitu meninggalkan duka yang mendalam bagi keluargaku, terutama Amara. Perempuan itu bersimpuh lama di depan nisan basah yang baru saja ditancapkan, tubuhnya membungkuk dalam diam, dan sesekali terdengar isakan tertahan yang memecah keheningan sore ini.
Hujan rintik turun pelan, seolah langit pun ikut berkabung. Aku masih setia berdiri tak jauh darinya. Bahkan sejak kepergiannya, aku juga tidak bisa berhenti untuk tidak menangis. Sungguh, Arsen benar-benar meninggalkan jejak duka yang begitu dalam dihatiku. Tenang disana Sen. Aku janji akan menjaga mereka demi kamu. Aku menguatkan diriku untuk melangkah mendekatinya, walau langkah ini terasa begitu berat. Tanganku meraih payung yang sejak tadi tergenggam, menaunginya dari rintik hujan yang kian deras. Amara tidak menoleh. Ia tetap menunduk di depan nisan Arsen, menggenggam tanah basah yang mengering di sela jarinya. Jemarinya bergetar, dan bibirnya tampak bergerak, menggumamkan sesuatu. Doa? Atau mungkin bisikan perpisahan? "Amara..." panggilku pelan. Perempuan itu akhirnya menoleh. Matanya bengkak, merah dan begitu sembab. Wajah cantiknya basah oleh air mata dan rintik hujan yang bercampur. Meski begitu, sorot matanya tetap menyala dengan luka yang dalam, luka kehilangan yang mungkin tak akan pernah sembuh sepenuhnya. "Aku belum siap..." bisiknya lirih. "Aku belum siap ditinggalin gitu aja. Ini terlalu dini," Aku terdiam. Tidak ada yang bisa kujawab. Bahkan aku pun belum siap. Satu-satunya hal yang membuatku bertahan saat ini adalah janji itu. Janji terakhir Arsen padaku. Atau tepatnya, permohonannya yang jadi wasiat terakhirnya. Aku berlutut di sampingnya, menatap nisan sahabat sekaligus adikku itu. Rasanya mustahil bisa menggantikan kehadiran Arsen dalam hidup Amara dan anaknya, tapi aku berjanji, sekuat yang aku bisa, aku akan menjaga mereka. "Hari sudah mulai gelap, kita pulang ya," ucapku. Amara tak menjawab, tangannya masih setia mengusap lembut batu nisan itu. "Ara, bayi kamu menunggu di mobil bersama ibu. Apa kau akan tega membiarkan mereka terlalu lama?" Amara tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap nisan itu sekali lagi, lama. Seolah ingin memastikan wajah Arsen benar-benar telah terkubur di balik tanah merah itu. Kemudian perlahan, ia mengangguk masih dalam diam, masih menahan pecahan luka yang belum selesai ia kumpulkan. Aku membantunya berdiri. Tangannya dingin, tubuhnya lemas, tapi ia tidak menolak ketika kupegang erat lengannya. Kami berjalan pelan menuju mobil. Angin sore berhembus lirih membawa bau tanah basah dan bunga melati yang diletakkan di atas pusara tadi. Dari dalam mobil, suara tangis bayi terdengar semakin nyaring. Arsenio. Buah cinta mereka. Satu-satunya alasan mengapa aku harus tetap bertahan meski rasanya jiwaku ikut dikubur bersama Arsen hari ini. Aku buru-buru membuka pintu belakang, menggendong Arsenio dengan sigap. Bayi itu menggeliat gelisah di dekapanku, lalu mengeluarkan suara tangis yang menusuk hati. "Shhh… tenang, Nak. Papa…" aku terdiam sejenak. Lidahku kelu. Papa… siapa? Aku bukan papanya. Tapi aku harus jadi seseorang baginya.Karena dia tak punya siapa-siapa lagi kecuali Amara dan aku. Tidak, dia masih punya nenek kakeknya. Ya, orang tuaku yang kini menerima Amara dan anaknya dengan iba. "Dia lapar Fi, kalian lama sekali" ujar ibuku. Aku mengangguk, menyerahkannya pada pelukan Amara. Ia tak menolak, bahkan ia segera mendekapnya lalu memasuki mobil kemudian ia mencoba memberikan asinya. Aku berdiri sejenak di luar, membiarkan rintik hujan mengguyur wajahku. Udara dingin sore itu menyusup ke pori-pori, tapi rasanya tak seberapa dibandingkan dingin yang kini menetap di dalam dada. Dingin kehilangan. Dingin kesepian yang tertinggal setelah kepergian seseorang yang begitu berarti. Kupandangi Amara dari kaca jendela mobil. Ia tampak berusaha tegar saat menyusui Arsenio, meski aku tahu dalam dirinya badai belum reda. Ia menggigit bibir bawahnya, matanya terpejam seolah sedang menahan air mata, atau mungkin luka yang terasa hingga ke sumsum. "Ayo masuk, nanti kamu sakit. Ibu tidak mau kehilangan kamu. Sudah cukup arsen saja" ibuku berujar pelan. Raut wajahnya kini lebih tegar dari sebelumnya. Mungkin ia tau bagaimana caranya mengikhlaskan kepergian orang yang ia cintai. Aku mengangguk kecil. Lalu masuk ke dalam mobil, duduk di kursi belakang, tepat di samping Amara dan bayi kecil itu. Mobil mulai melaju perlahan meninggalkan pemakaman, menyusuri jalan beraspal yang basah dan berkerikil. Hening. Tak ada satu pun yang berbicara. Hanya suara hujan yang terus mengetuk-ngetuk atap mobil, mengiringi langkah pulang kami yang tak lagi sama. Aku mencuri pandang ke arah Amara. Ia masih memeluk Arsenio erat, seolah takut kalau bayi itu juga akan diambil darinya. Tatapannya kosong. Pucat. Sesampainya di rumah, aku membuka pintu kamar lebar-lebar dan membiarkan Amara masuk lebih dulu. Ia menatap sekeliling ruangan itu sekilas, kamar yang dulu milikku, kini akan menjadi ruang aman baru untuknya dan Arsenio. Tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Di pojok ruangan ada ranjang dengan seprai abu-abu yang belum sempat aku ganti sebab terlalu sibuk mengurusi pemakaman. "Kamu bisa istirahat di sini dulu," ujarku pelan, meletakkan tas kecil berisi pakaian bayi di atas meja. "Kalau butuh apa-apa, tinggal panggil saja." Amara hanya mengangguk. Ia tidak banyak bicara. Kaki jenjangnya mengayun menuju tempat tidur kemudian dengan hati-hati ia menidurkan Arsenio dari gendongannya. Bayi itu tampak tenang, seolah tahu bahwa dunia yang baru saja kehilangan ayahnya masih menyisakan tempat yang aman untuknya. Aku berdiri sebentar, memperhatikan mereka dari ambang pintu. Ada perasaan aneh yang menyelusup ke dalam dadaku antara ingin melindungi, tapi juga takut gagal. Aku bukan Arsen. "Kak Rafi?" Aku menoleh cepat ketika mendengar suara Amara memanggil namaku. "Ya, kenapa?" tanyaku menghampirinya pelan. "Ini malam pertama kita, tapi aku belum siap" ucapnya pelan, nyaris tak terdengar namun aku paham. Aku terdiam. Kata-katanya menampar pelan, tapi tajam. Aku menghela nafas, "kau tenang saja. Jangan memikirkan hal itu, saya tidak akan menuntut apa pun. " Amara mengangguk lemas. "Maaf kak, rasanya aku berdosa sekali sebagai istri. Dimalam pertama pernikahan kita, bukannya aku bersiap untuk melayanimu, melakukan kewajibanku sebagai istri tetapi aku justru malah menangisi laki-laki lain. Maaf, aku berdosa sekali" Aku menelan ludah, mencoba meredam gelombang perasaan yang datang bertubi-tubi. Suaranya tadi membuat dadaku sesak. Bukan karena kecewa, bukan pula karena marah. Tapi karena sedih, sedih melihat perempuan yang begitu hancur di hadapanku ini bahkan masih bisa memikirkan apa yang ia anggap sebagai dosa, bahkan ketika dunia sedang merobek-robek hatinya. "Ini masih terlalu dini untuk membicarakan hal itu, Ra." ucapku pelan. "Saya tahu kamu perempuan yang baik, bahkan sangat baik. Tapi kamu juga manusia, Ara. Kamu baru kehilangan adikku, orang yang kamu cintai bahkan kamu kehilangan bagian dari dirimu. Kamu berhak berduka. Kamu berhak menangis. Dan kamu berhak tidak kuat hari ini.” Ia menatapku, kali ini tangisnya pecah. "Aku hanya… takut kamu kecewa, kak. Aku tahu pernikahan ini bukan karena cinta. Tapi kamu tetap pantas mendapatkan perlakuan yang baik dari seorang istri" Aku menggeleng, tanganku perlahan menyentuh pundaknya "Jangan pedulikan hal itu. Saya baik-baik saja. kalau kamu terus berpikir seperti ini, kamu akan menyiksa dirimu sendiri. Dengarkan saya… malam ini menangislah sepuasnya. Kamu adalah seorang perempuan yang sedang kehilangan, dan seorang ibu yang butuh waktu untuk pulih. Aku tidak akan menuntut apa pun darimu, bahkan sampai kapan pun" Amara mengangguk, tangisnya semakin tergugu. Tubuhnya terguncang hebat. Aku ingin memeluk, meredakan tangisnya tetapi rasanya sangat lancang. "Tapi cukup hanya malam ini saja, Ra. Saya tidak ingin melihat atau bahkan mendengar tangis pilu ini untuk seterusnya." Pintaku. "Kak, bagaimana kalau nantinya aku tidak bisa mencintaimu?""kamu yakin Ra, gak mau ikut sama kakak ke Bandung?" tanyaku kembali memastikan dengan memelas.Amara menggeleng, tangannya sibuk memasukan pakaianku ke koper. Setelah perdebatan malam itu, aku pikir Amara akan mendiamiku seperti kebanyakan. Mulai menjauh seperti saat awal pernikahan kami. Dingin. Tapi rupanya tidak, ia masih bersikap ramah padaku.Amara mendongak, ia menggeleng pelan. "Ngapain sih, yang ada ganggu kerjaan kakak kalau aku sama baby Nio ikut,"Aku menghela napas. Duduk di sisi ranjang, membiarkan koper terbuka di hadapanku dan pakaian yang belum sepenuhnya rapi tergeletak begitu saja.Kemudian aku mendesah pelan. "Ganggu apanya, Ra? Justru kakak bakal lebih tenang kerja kalau kalian ikut. Kakak jadi punya alasan pulang cepat. Punya alasan buat senyum walau seharian dikejar deadline.""Kak, bandung itu dingin. Arsenio belum terbiasa," ujarnya tepat ketika ia menutup koperku dan menarik resletingnya."Lagi pula cuma seminggu, kok jadi lebay gini?" tanyanya dengan duduk d
Waktu di jam dinding sudah menunjukan pukul setengah sepuluh malam, namun aku masih bergelut dimeja ruang tamu dengan setumpuk pekerjaan lembar-lembar berkas yang harus ditandatangani, laporan yang perlu direvisi, dan notulen rapat yang harus kukaji ulang sebelum kubawa ke pertemuan esok pagi. Bahkan hingga kini, aku belum sempat menyapa Amara dan bayinya.Samar-samar aku mendengar langkah pelan dari arah dapur. Suara air mengalir dari kran, diikuti dengan denting gelas yang bersentuhan. Tak lama kemudian, langkah itu makin dekat, lalu berhenti tepat di belakangku. Namun, aku masih tetap memfokuskan diri pada pekerjaan. Sungguh aku ingin pekerjaan ini cepat selesai. "Kak," suara itu terdengar pelan, kemudian aku rasakan Amara tengah duduk disebelahku. "Hmmm," kujawab dengan gumaman, bukannya apa-apa. Fokusku kali ini pada satu dokumen yang hampir selesai, setelahnya aku akan terbebas. "Kak," panggilnya lagi, lebih lembut. Ada jeda di antara suaranya, seolah sedang memilih untuk lan
"Ra, baby nya udah tidur?" tanyaku ketika aku baru saja memasuki kamar sehabis dari menunaikan shalat magrib di mesjid kompleks. Amara menoleh dengan meletakan jari telunjuk di mulutnya. "Pelan-pelan ngomongnya, kak. Dia baru tidur," ujarnya. Aku mengangguk. Melepaskan peci, lalu menaruhnya diatas nakas. "Mas mau makan sekarang, ayo Ara temanin" ajaknya dengan berjalan lebih dulu keluar dari kamar kami. "Kita makan diluar aja ya? Malam ini kata Bi Susi ada pasar malam di dekat kantor kelurahan," aku mengajaknya ragu. Pasalnya ini baru pertama kali aku mengajaknya jalan. Satu alis Amara terangkat. "Pasar malam?" tanyanya. Aku mengangguk pelan. "Iya. Katanya ramai. Banyak jajanan juga. Selama kamu pindah kerumah ini kakak belum pernah lihat kamu keluar rumah bahkan belum ngerasa kamu minta kakak untuk temanin kamu jalan-jalan. Kamu gak jenuh apa, tiap hari dirumah. Ngerjain pekerjaan rumah sama bi Susi, momong baby Arsenio juga. Kakak rasa kamu butuh refreshing deh,"Amara terseny
Hari-hariku ternyata kini penuh dengan warna-warni, bak seperti pelangi setelah badai. Setiap harinya bahkan senyuman tak pernah pudar diwajahku, kebahagiaan seolah tak pernah surut dihidupku. Bahkan kini, jam pulang pada waktu kerja adalah hal yang paling aku nantikan. Rasanya aku ingin segera pulang, menemui bintang yang kini kembali menampakan sinarnya. Serta matahari kecil yang selalu menghangatkan rumahku. Begitu jam kantor menunjukkan pukul lima sore, aku langsung semangat membereskan laptop dan buru-buru keluar.“Pulang buru-buru terus, Fi? Bulan madunya panjang amat ya” celetuk Ayah dengan kekehan saat kami berpapasan di lift. Aku cuma nyengir. “Rumah udah jadi tempat paling nyaman sekarang yah,"Ayah mengangguk, ia menepuk pundakku. "Gimana rasanya nikah, Fi?" Aku terdiam sebentar. Pertanyaan Ayah itu sebetulnya sederhana, tapi entah kenapa jawabannya tak pernah sesingkat itu.Aku menghela napas kecil, lalu menatapnya dengan senyum yang tulus. "Rasanya seperti punya rumah
Setelah pagi itu, semuanya terasa berjalan lebih ringan. Hari-hari berikutnya Amara tak lagi selalu menyendiri di kamar. Ia mulai ikut menjemur pakaian, menyiapkan sarapan, bercengkrama dengan bi susi tanpa ku suruh bahkan beberapa kali tertangkap basah sedang tersenyum kecil saat aku bermain dengan bayinya. Dan malamnya, kami mulai membiasakan diri untuk tidur seranjang, dengan berdiskusi panjang lebar tentang kehidupan kedepannya sebelum kami tidur. Meski masih ada jarak. Tidak apa-apa. Jarak bisa dijembatani, asal bukan keengganan yang dipelihara. Kami bahkan saling berbagi peran satu sama lain, saling bekerja sama untuk merawat baby Arsenio."Kak pasti capek, jangan dulu gendong baby Nio. Mandi dulu ya, air hangatnya sudah siap. Ara juga udah siapkan makan malam untuk kakak"Aku tersenyum, ketika perhatian kecil itu terlontar dari mulutnya. Ah, bahagia sekali. "Kamu udah makan, Ra?" tanyaku duduk disamping Amara yang tengah bermain bersama Arsenio. Bayi kecil itu belum tertidur
"Tapi kalau semisal Ara ingin pergi apakah kakak akan tetap mempertahankan kami?"Pertanyaan itu menggaung di gendang telingaku. menusuk seperti jarum kecil yang tidak berdarah tapi meninggalkan ngilu lama.Aku tak langsung menjawab, dadaku sesak. Lidahku kelu. Jika saja aku boleh egois, aku ingin memaksa mereka untuk tetap tinggal. Disini, dirumah yang pernah kusiapkan untuknya, tapi tak jadi ketika dia sudah memiliki tambatan hati yang lain. Adikku sendiri. Ah jangan egois kamu, Fi! Ini bukan soal mempertahankan apa yang aku mau tapi tentang memastikan dia merasa cukup aman untuk bertanya sejauh itu.Aku bangkit dari kursi, beranjak ke sampingnya, lalu berlutut tepat di sebelah kursinya. Kupandangi mata bening itu yang kini mulai menggenang air."Kalau kamu ingin pergi karena lelah, saya akan pastikan menggenggam tanganmu lebih erat."Nafasnya tercekat.Mataku terpejam sesaat. "Kalau kamu ingin pergi karena merasa bersalah, aku akan memaafkan sebelum kamu sempat minta maaf"Matanya