Usulan sayembara membuat seisi aula terdiam. Semua mata memandang pada Li Shaofeng yang berdiri tegak tak jauh dari sang kaisar, jubah putihnya sesekali bergerak halus tertiup angin. Zhu Peiling, Penasihat Agung yang terkenal berhati-hati, menimpali dengan senyum samar. "Sayembara ...."Zhu Peiling menghadap ke arah Li Shaofeng. "Guru Negara, saya rasa itu adalah yang bagus dan cukup menarik. Tapi ...." Zhu Peiling menyentuh dagu. "Bukankah itu berarti membuka kesempatan bagi siapa pun? Bagaimana kalau nanti ada seorang pengemis, atau bandit yang menjadi pemenangnya, bukankah itu akan mempermalukan status tuan putri yang terhormat?""Benar sekali apa yang dikatakan oleh Tuan Penasihat Agung," seru salah seorang pejabat. "Kita tidak mungkin merelakan tuan putri kita dimenangkan oleh orang-orang seperti itu!"Pejabat itu lalu mengangkat papan huban sambil membungkuk hormat. "Yang Mulia, mohon pertimbangakan secara baik-baik jika Yang Mulia hendak menyetujui saran dari Guru Negara!" S
Di balik dinding, ketiga pelayan perempuan itu saling tatap dengan mulut menganga. Mereka sungguh takjub dengan nilai tuan putri mereka yang dihargai sedemikian tinggi."Sepertinya tuan putri kita ini benar-benar berharga. Bahkan mereka pun tak segan-segan memberi mahar yang sangat banyak seperti itu," gumam Hong Er. "Dan pelayan kecil seperti kita ini hanya bisa jadi penonton saja.""Tapi kalau dipikir-pikir, tuan putri kita ini diperlakukan seperti barang dagangan saja!" gerutu Xiao Mei dengan nada kesal namun ia tak berani bersuara terlalu keras."Ssst, jangan bicara sembarangan! Apa kamu sudah tidak sayang lagi pada kepalamu?" tegur Da Jie, meski hatinya juga ikut prihatin."Iya, aku tahu. Aku hanya sedang merasa kesal saja karena masalah perjodohan tuan putri kita ini," ucap Xiao Mei."Meski begitu, kita tetap tidak layak membicarakan buruk tentang tuan putri." Da Jie menatap bergantian kedua kawannya. "Ingatlah, satu kata yang salah saja kalau sampai ditinggal oleh orang lain ma
Kaisar menghela napas panjang. "Tepatnya mantan musuh. Itu karena mereka cukup tahu diri dengan kekuatan angkatan tempur mereka yang jelas tidak akan bisa menandingi kehebatan angkatan tempur negara kita ini yang membuat mereka menyatakan kekalahan dan bersedia menjadi sekutu negara kita ini."Kaisar melirik bangga ke arah putranya, Jenderal Chu Ruan yang masih berdiri berdampingan dengan putra mahkota. Pemuda itu bahkan tak begitu memerhatikan jikalau sang ayah sedang melihat ke arahnya."Meski demikian, kita tetap harus berhati-hati dan mewaspadai suku yang satu ini," ujar Kaisar setelah kembali memandang ke arah barisan para pejabat negara.Di aula ini, hampir semua orang mengetahui kalau Suku Shamo terkenal sangat ganas dalam bertarung. Rata-rata pria di sana bertubuh besar, kekar dan tinggi mereka melebihi dua zhang atau dua meter dengan otot keras dan darah yang panas. Pakaian adatnya kebanyakan dari kulit macan dan beruang, sabuk berhias gigi-gigi musuh istimewa yang berhasil m
Semua orang lantas berseru, "Siap, Yang Mulia!"Kaisar melanjutkan berkata, "Seperti yang kita semua ketahui jikalau putriku telah dewasa dan sudah saatnya bagi dia untuk memiliki seorang pendamping.""Namun selama beberapa tahun ini, dia selalu menolak secara halus lamaran demi lamaran yang datang dengan berbagai macam alasan." Kaisar Chu memandang semua orang yang sabar mendengarkan."Sebagai seorang ayah, tentu saja aku menginginkan putriku hidup bahagia bersama pria pilihannya. Maka dari itu memberinya kebebasan padanya dalam memilih calon suami, tetapi tetap saja putriku masih tidak mau menjatuhkan pilihannya." Nada ucapan kaisar kali ini terdengar seperti sebuah keluhan. "Jujur saja, aku merasa khawatir dan hatiku menjadi sangat terbeban dengan sikapnya itu." Menteri Wang mengangkat papan hubannya. "Ampun, Yang Mulia. Menurut hamba, bisa jadi tuan putri sudah memiliki seseorang di hatinya. Mungkin Yang Mulia perlu menanyakannya secara langsung kepada tuan putri untuk masalah i
Di tempat lain. Pagi itu, Aula Naga berdiri dalam kemegahan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Sinar mentari menembus celah-celah jendela tinggi yang berbingkai kayu ukiran naga dan phoenix, memantulkan cahaya keemasan pada pilar-pilar raksasa berlapis marmer. Asap dupa dari tungku perunggu mengalun perlahan, menebarkan wangi cendana yang khidmat, seolah menyelimuti seluruh ruangan dalam suasana sakral. Lantai marmer abu-abu berkilau seperti permukaan danau musim semi, memantulkan bayangan para pejabat yang berjalan masuk dengan langkah penuh tata krama. Di ujung aula, sebuah panggung kehormatan menjulang, menaikkan singgasana naga dari kayu serat emas berlapis emas murni. Di belakangnya, pahatan naga raksasa seolah hidup, matanya berkilau keemasan, cakar dan sisiknya menggambarkan kekuatan yang tak tertandingi. Patung itu bukan sekadar hiasan, melainkan lambang nyata supremasi Kekaisaran Da Chu, tanda bahwa naga agung menaungi Negeri Da Chu. Di bawah tangga singgasana, p
Putri Chu Rong Xi merasa heran dengan sikap Qing Yuan yang penuh teka-teki. Akan tetapi, seandainya suatu hari nanti ia bisa bertemu lagi dengannya, maka dirinya pasti akan membalas semua kebaikan yang pernah dilakukan pemuda itu. Bagaimana mungkin dia bisa berutang budi pada seseorang yang begitu baik padanya?Bahkan jika seandainya takdir menyatukan mereka dalam sebuah ikatan suci, maka Putri Chu Rong Xi dengan rela hati menerimanya. "Ini bukan soal rupa dan status, melainkan tentang perasaan nyaman dan bahagia saat bersamanya. Meskipun mungkin saja wajahnya tidak tampan, itu tak menjadi masalah bagiku," bisik Putri Chu Rong Xi sambil tersenyum, membayangkan seperti apa rupa wajah Qing Yuan."Matanya itu ....""Matanya terlalu cantik untuk ukuran mata seorang pria.""Dan suaranya juga lumayan bagus." Putri Chu Rong Xi tentu saja mengetahui perbedaan suara Qing Yuan saat mengenakan topeng dan tidak. Dia pernah mendengar keduanya. Jelasnya, mata dan suara itu akan dia ingat sepanj