Seketika aku terfikir untuk mengecek HP mas Bagas ku buka aplikasi hijaunya,di daftar paling atas ada nama Anita.
[Nanti datang ya.. aku tunggu]
pesan masuk jam 6 pagi. [Ok siap]Balasnya seketika itu juga.Ini cukup memberitahuku bahwa mas Bagas memang menemui perempuan dan bersamanya seharian ini.
"Dek... Kopi Dek... " Pinta mas Bagas setelah bangun dari tidurnya.
"Iya Mas." Aku langsung menuju dapur menyiapkannya.
"Ini mas," ucapku sambil meletakan kopi di meja depan mas Bagas. Sekarang kami duduk berhadapan hanya terhalang meja.
" Mas aku mau tanya," ucapku serius.
"Tentang?" jawab mas Bagas seraya menyipitkan matanya.
"Apa benar seharian ini kamu gak narik?"
"Iya" jawab mas Bagas datar.
"Apa benar kamu bersama perempuan seharian ini?" tanyaku kubuat setenang mungkin.
"Iya" Jawab mas Bagas seraya menganggukan kepalanya.
"Dia siapa Mas, kenapa seharian kamu bersamanya?" tanyaku mulai gusar tapi masih coba untuk tenang.
"Namanya Anita,Dia sering minta ditemani sekedar ngobrol ato jalan-jalan, uang yang tadi aku berikan ke kamu juga pemberiannya."
"Kamu menafkahi anakmu dengan uang dari selingkuhanmu Mas?!" tanyaku mulai emosi.
"Aku sama sekali nggak ada perasaan apapun sama Anita, yang kulakukan hanya karna kebutuhan, aku butuh uang dan dia bisa kasih, itu aja," ucap mas Bagas dengan agak keras.
"Trus kamu selingkuh di depan anak kita, anak sekecil itu harus menyaksikan bapaknya dengan wanita lain? kamu punya pikiran gak si Mas." emosiku sudah tak tertahankan lagi.
"Mau jadi apa anakku nantinya, astaghfirullah.... . " Aku bicara panjang lebar sambil menepuk-nepuk dadaku agak keras.
Tak habis pikir dengan kelakuan mas Bagas, air mataku sudah tak tertahankan lagi marah sedih kecewa jadi satu.
"Aku hanya duduk bersama Anita sambil ngobrol, ato kadang cuma jalan bersama makan ngobrol tidak lebih," jelas mas Bagas.
“yang dilihat Adit kami teman yang sedang ngobrol itu aja." Nampak mas Bagas berusaha meyakinkanku."Mana ada laki-laki dan perempuan bersama dalam waktu lama dan cuma ngobrol Mas, aku tidak bodoh," bentakku pada mas Bagas.
"Demi Allah Sari, aku tidak seperti yang kamu pikirkan, Aku tidak melakukan yang melebihi batas," mas Bagas mencoba meyakinkanku.
"Aku bersamanya juga karna butuh uangnya saja, demi tetap bisa membiayai sekolah Adit, demi tetap mempertahankan hidup kita," lanjutnya."tarikan sepi Sar, sekarang semua orang punya motor sendiri, anak sekolah pun diantar jemput orang tuanya." Mas Bagas terus mencoba memeberi penjelasan.
“Ketika aku bisa mendapatkan uang,ya aku lakukan apapun caranya, aku mencintaimu dan anak kita,aku akan lakukan apapun demi kalian," ucap mas Bagas seraya merubah posisi duduknya di sebelahku.
"Tapi kenapa harus dengan cara itu Mas?" aku berkata dengan derasnya cucuran air mata.
Aku sedih dengan keadaanku aku kecewa dengan cara mas Bagas akupun kasihan juga padanya.
"Maafkan aku karna belum bisa membahagiakanmu, aku akan tetap berusaha demi kita semua," ucap mas Bagas sambil memelukku.
"Percayalah padaku karena kepercayaanmu adalah kekuatanku," bujuknya lagi.
“Tapi kamu sudah menerima uangnya, apa iya dia gak akan minta lebih,mustahil Mas,” ucapku frustasi.
“Aku sudah katakan dari awal kalau aku hanya sebatas menemaninya ngobrol dan dia sepakat.” ucap mas Bagas mantab.
“Kamu pikir dia akan tetap begitu setelah kasih kamu uang Mas! kalau begitu untuk apa dia kasih kamu uang Mas,gak masuk akal tau gak si,” ucapku dengan penuh penekanan di setiap kata.
“Aku akan buktikan kalau aku bisa dipercaya, dan semua akan baik-baik saja, aku bisa jamin kepercayaanmu akan terjaga dengan baik,” jawab mas Bagas meyakinkan.
“Kalau dia yang gak bisa dipercaya gimana Mas?!” tanyaku ragu.
"Mas berangkat dulu ya Dek, Assalamu'alaikum," ucap mas Bagas sambil mendekat dan mengulurkan tangannya. Aku menghentikan aktifitas mencuci piring kemudian menghadap ke mas Bagas. "Mas nanti mau ketemu sama perempuan itu lagi?" tanyaku tanpa menghiraukan uluran tangannya. "Gak kok nih liat WAnya," jawab mas Bagas seraya menunjukan hpnya. "Mas sudah berapa banyak memakai uangnya," ucapku dengan menatap matanya lekat. "Gak terlalu banyak kok, udah gak usah kamu pikirin, semuanya baik-baik saja," ucap mas Bagas sambil mengusap kepalaku dan beranjak pergi.Hari sudah malam, tapi mas Bagas belum juga pulang, padahal tidak biasany mas Bagas pulang malam. "Mah, kok sudah malam begini Papah belum pulang ya," ucap Adit menyadarkan dari lamunanku."Udah malam kamu tidur dulu ya, sebentar lagi pasti Papah pulang," kataku sambil menggandeng tangan Adit menuju kamar. "Adit memang sudah ngantuk tapi Adit pengin tidur ditemani Papah," jawab Adit sambil menghentikan langkahnya dan melepas tang
"Adit ke mana Dek?" tanya mas Bagas menyusulku ke dapur. "Di ajak Andi main futsal," ucapku acuh. "Kamu kenapa Dek, jutek amat.""Kamu yang kenapa Mas, pulang malam mabok juga, sejak kapan kamu jadi suka mabok-mabokan gitu," ucapku emosi. "Pusing banget Dek, narik seharian gak dapat duit,malah Santo ngajakin hiburan jadi aku ngikut,” ucapnya santai sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Maaf Dek gak lagi-lagi deh," lanjutnya tanpa dosa. "Daripada pusing mending pacaran ya Mas?" sindirku sinis. "Pacaran apaan aku sama Santo kok Dek,""Liat ini! sini!" bentakku sambil menariknya kedepan cermin. "Apa ini Mas!?" ucapku emosi sambil menunjuk bekas merah di lehernya kasar. "Aku gak tau Dek, beneran, aku gak ngapa-ngapain, semalam aku cuma bertiga sama Santo dan Aris,” kata Mas Bagas ngotot. “Kamu juga kenal mereka kan coba deh kamu telpon mereka dan pastikan." Mas Bagas tampak menghubungi seseorang dan mengaktifkan loudspeaker. "Halo Gas sudah sadar kamu?""Ceritakan yang te
Hampir 3 tahun sudah Mas Bagas kembali menyibukan diri dengan pekerjaan sablonnya. Sampai sekarang belum ada kemajuan dan masih sering kekuarangan. "Jadi jual rumah ini aja ya Dek, daripada pusing tiap hari didatangi orang nagih,” ucap mas Bagas pasrah. “Kamu juga takut kan kalo mas lagi gak di rumah dan datang orang nagih?" lanjutnya. "Trus kita nanti tinggal di mana Mas?" tanyaku lesu. "Nanti hasil penjualan rumah ini buat nutup semua utang kita, trus kita cari rumah di pinggiran kota aja," terangnya. "Jangan cari di komplek perumahan biar lebih murah, sisanya buat modal usaha sablon,” ujar mas Bagas. “ Kalo masih ada sisa kita buka warung kecil-kecilan di rumah, gimana menurut kamu Dek?" lanjutnya penuh harap. "Sepertinya tidak buruk juga Mas, daripada tiap hari dikata-katain sama Penagih, sakit ati aku Mas," ujarku mendukung usulan mas Bagas."Tapi...apa mungkin Ibu akan setuju Mas? " tanyaku ragu. “mas akan bicarakan sama Ibu,mudah-mudahan Ibu ngerti keadaan kita,” jawab
Dari pesan mas Bagas terahir, pemeriksaan sudah selesai tinggal menunggu antrian obat,kemungkinan sebentar lagi sampai. "Assalamu'alaikum.... "ucap mas Bagas dan Ibu berbarengan.“Wa'alaikumsalam.. “Aku langsung bangkit dari sofa mendekat ke pintu utama dan mencium punggung tangan Ibu dan mas Bagas. "Mari Bu langsung makan saja mumpung masih anget, Sari masak kesukaan Ibu ini lho." Aku mempersilahkan Ibu langsung ke meja makan.“Kebetulan ini sudah siap semua,” lanjutku sambil menarik kursi untuk Ibu. Sementara mas Bagas membawa tas Ibu ke kamar. Selesai makan kami duduk di ruang tengah sambil menikmati cemilan.Aku dan mas Bagas saling pandang dan menganggukan kepala berniat melancarkan rencana. "Bu, Bagas mau bicara Bu," ucap mas Bagas dengan pelan. "Ya bicara aja Gas, kenapa pake pamit, ada apa?" tanya Ibu terlihat penasaran. "Ibu kan tahu hutang Bagas banyak, Bagas bingung mau gimana nutupnya, Bagas sudah mencoba berbagai upaya tapi nyatanya masih belum ketutup juga." "
“Sekarang kamu bikin banner buat di pasang di depan rumah biar orang-orang tau rumah ini mau dijual!” perintah ibu tidak sabar. “Jangan lupa kamu foto rumah ini dan unggah di sosial mediamu biar lebih cepat laku,” lanjutnya lagi. Kami masih diam mematung. “Ayok cepat lakukan, malah diam,mau cepet lunas utang-utangmu gak?” ucap Ibu agak keras. “Iya Bu,” jawab mas Bagas sembari bangkit dari duduknya dan meraih hpnya untuk mengambil foto rumah ini. "Iklannya di sosmed ajalah Bu, gak usah bikin banner segala, masa rumah masih ditinggali mau ditulis dijual," ucap mas Bagas tak terima."Lha terus mau kamu gimana? kamu mau pindah dulu baru rumahnya dijual, lha terus pindahnya mau pake apa, duit aja gak punya kok!" ucap Ibu ketus. "Iya iya terserah Ibu aja lah," jawab mas Bagas sambil ke luar rumah hendak mengambil foto. **"Dek, apa kita ngontrak rumah aja nanti, kalo buat beli kayaknya uangnya belum cukup deh, kita juga harus punya modal buat usaha kan?" ujar mas Bagas ketika kami se
"Jadi ini pas masing-masing mendapat 75 juta ya, trus hutang-hutang mas Bagas ke Nisa selama ini Nisa hitung-hitung ada 10 juta ya Mas." Anisa adik bungsu mas Bagas menimpali. "Jadi ini bagian Mas, Nisa ambil 10 juta dan utangmu sama Nisa lunas ya Mas." Nisa lanjut berujar.Aku memandang ke arah mas Bagas berharap dia mengajukan keberatannya karena kami harus cari tempat tinggal juga, dan ditanggapi baik oleh mas Bagas. "Jangan sekaranglah Nis, maskan butuh uang buat modal juga,atau setengahnya dulu aja, gimana?" mas Bagas coba bernegosiasi. "Mau kapan lagi Mas, ini aja udah utang dari taun kapan coba, inikan mumpung Mas Bagas ada uang," jawab Nisa tak mau kalah."Habis ini jadi tenang udah gak punya utang lagi sama Nisa, besok-besok kalau butuh pinjeman lagi juga pasti larinya sama Nisa juga kan Mas?" Nisa berucap dengan sombongnya. "Yang ke Tuti gak lupa kan Mas, yang 5 juta." Hastuti adik ke dua mas Bagas tak mau kalah ikut juga angkat suara. "Dibayar sekalian ya Mas, bener ka
Aku dan mas Bagas masih duduk di ruang tamu tanpa ada obrolan apapun, sedang yang lain sudah pulang ke rumah masing-masing. "Gimana Dek menurut kamu, seandainya tinggal bareng Ibu kamu keberatan gak?" ucap mas Bagas di sela keheningan. "Masalahnya bukan keberatan atau enggak, kalau kita bisa tinggal sendiri ya akan lebih baik jika kita gak bareng Ibukan Mas?" jawabku datar. "Mas juga maunya begitu, tapi... untuk saat ini mungkin akan sulit,kalau untuk sementara aja gak papa Dek?" ucap mas Bagas ragu. "Mending Mas bayarin utang-utangnya dulu deh nanti liat ada sisa uang berapa," ucapku masih kesal. "Aku kawatir utangnya jadi dua kali lipat ke Bu Rahayu kalo makin kelamaan gak dibayar," jawabku seraya menarik nafas dalam. Bu Rahayu adalah rentenir di komplek sebelah yang kami pinjam uangnya."Kalau dihitung-hitung total utang kita dari pinjol dan Bu Rahayu akan sampai 30 jutaan ya Mas?" ucapku menerawang. "Ya kurang lebih sekitar itu Dek setelah ditambah pembengkakan karena mulur
Pagi ini adalah hari pertamaku terbebas dari semua hutang. Rasanya sedikit lega,yah hanya sedikit karena aku bukan hanya tak punya uang tapi juga tak punya rumah. "Kita tinggal di rumah Ibu aja dulu ya Dek, setidaknya di sana mungkin uang kita gak keluar banyak, kamu mau Dek? " pinta mas Bagas dengan hati-hati. "Jadi kalau nanti mas dapat orderan pendapatannya bisa difokuskan untuk tambahan buat beli mesin sablonnya," lanjutnya. "Gimana menurutmu Dek?" tanya mas Bagas lembut. Aku tak punya alasan lagi untuk menolak, ahirnya akupun menyetujui permintaan mas Bagas dengan menganggukan kepala."Iya Mas, seperti tujuan awal kita, bisa beli mesin baru," kataku menyemangati. Mas Bagas memeluku erat dan mencium pucuk kepalaku."Maafkan mas ya belum bisa berikan yang terbaik buat Adek,""Adek bisa liat usaha Mas selama ini,bagi adek semua itu terbaik Mas," ucapku seraya membalas erat pelukannya. "Ya sudah kita mulai bereskan barang-barang kita ya Dek, kita cuma dikasih waktu seminggu bua