"Alhamdulillah sekarang Rehan udah bisa pulang," ucapku seraya memeluk Rehan. "Ayah mana Bun? katanya mau jemput Rehan?" tanya Rehan seraya memandang arah pintu. "Mungkin sebentar lagi datang, atau sepertinya Ayah akan langsung menyusul ke rumah," jawabku menyemangati Rehan. "Tapi Rehan takut Ayah gak datang," ucap Rehan dengan tertunduk lesu. "Bunda telepon Ayah sekarang yah," ucapku seraya meraih hpku di tas. "Iya Bunda, telepon sekarang cepat, Rehan mau pulang sama Ayah," ucap Rehan begitu semangat. "Rehan mau pulang ke tempat Ayah?" tanyaku cemas. "Iya, kan kemarin Bunda bilang, kalau Rehan udah sembuh Rehan boleh ikut Ayah," jawabnya dengan mata berkaca. Aku seperti tak mau merelakan, tapi juga tak kuasa merusak kebahagiaan Rehan yang baru sembuh dari sakitnya. "Bunda akan tepati janji Bunda kan," ucap Rehan menyadarkanku. "Iya Iyah, tentu saja," jawabku gugup. "Kalo gitu Bunda telepon Ayah sekarang, Rehan pengin mainan sama Ayah cepet," ucap Rehan seraya menggoyang-go
"Nih uang buat bayaran sekolah Adit." Mas Bagas meletakan beberapa lembar uang di meja tempatku melipat pakaian. Aku mendongak ke arahnya. ”Pulang-pulang bukannya ucap salam Mas.”“Ya, Assalamu’alaikum,” ucap mas Bagas sambil mengulurkan tangannya untuk ku salami. Akupun meraih tangannya dan ku cium punggung tangannya. "Uang dari mana Mas?" tanyaku sambil menyunggingkan senyum. "Ya usaha lah, nyari gimana caranya biar dapet tuh uang, biar kebayar uang sekolah," jawab mas Bagas sambil menarik tangannya segera dari genggamanku. “Kok kayaknya kesel banget gitu Mas, ada masalah, adek buatin kopi ya Mas?” ucapku mencoba menghibur. “Gak, gak ada apa-apa, capek aja aku Dek, gak usah bikin kopi aku mau istirahat aja,” jawabnya asal. Aku menyelesaikan melipat baju kemudian menyimpannya lantas pergi ke dapur berniat menyiapkan makanan untuk mas Bagas. “Kalo gitu makan dulu aja Mas, abis itu baru istirahat.” ucapku ku buat lembut. "Gak usah bikin kopi aku udah ngopi udah makan juga,sek
Seketika aku terfikir untuk mengecek HP mas Bagas ku buka aplikasi hijaunya,di daftar paling atas ada nama Anita. [Nanti datang ya.. aku tunggu] pesan masuk jam 6 pagi. [Ok siap]Balasnya seketika itu juga. Ini cukup memberitahuku bahwa mas Bagas memang menemui perempuan dan bersamanya seharian ini."Dek... Kopi Dek... " Pinta mas Bagas setelah bangun dari tidurnya. "Iya Mas." Aku langsung menuju dapur menyiapkannya. "Ini mas," ucapku sambil meletakan kopi di meja depan mas Bagas. Sekarang kami duduk berhadapan hanya terhalang meja. " Mas aku mau tanya," ucapku serius. "Tentang?" jawab mas Bagas seraya menyipitkan matanya. "Apa benar seharian ini kamu gak narik?""Iya" jawab mas Bagas datar. "Apa benar kamu bersama perempuan seharian ini?" tanyaku kubuat setenang mungkin. "Iya" Jawab mas Bagas seraya menganggukan kepalanya. "Dia siapa Mas, kenapa seharian kamu bersamanya?" tanyaku mulai gusar tapi masih coba untuk tenang. "Namanya Anita,Dia sering minta ditemani sekedar
"Mas berangkat dulu ya Dek, Assalamu'alaikum," ucap mas Bagas sambil mendekat dan mengulurkan tangannya. Aku menghentikan aktifitas mencuci piring kemudian menghadap ke mas Bagas. "Mas nanti mau ketemu sama perempuan itu lagi?" tanyaku tanpa menghiraukan uluran tangannya. "Gak kok nih liat WAnya," jawab mas Bagas seraya menunjukan hpnya. "Mas sudah berapa banyak memakai uangnya," ucapku dengan menatap matanya lekat. "Gak terlalu banyak kok, udah gak usah kamu pikirin, semuanya baik-baik saja," ucap mas Bagas sambil mengusap kepalaku dan beranjak pergi.Hari sudah malam, tapi mas Bagas belum juga pulang, padahal tidak biasany mas Bagas pulang malam. "Mah, kok sudah malam begini Papah belum pulang ya," ucap Adit menyadarkan dari lamunanku."Udah malam kamu tidur dulu ya, sebentar lagi pasti Papah pulang," kataku sambil menggandeng tangan Adit menuju kamar. "Adit memang sudah ngantuk tapi Adit pengin tidur ditemani Papah," jawab Adit sambil menghentikan langkahnya dan melepas tang
"Adit ke mana Dek?" tanya mas Bagas menyusulku ke dapur. "Di ajak Andi main futsal," ucapku acuh. "Kamu kenapa Dek, jutek amat.""Kamu yang kenapa Mas, pulang malam mabok juga, sejak kapan kamu jadi suka mabok-mabokan gitu," ucapku emosi. "Pusing banget Dek, narik seharian gak dapat duit,malah Santo ngajakin hiburan jadi aku ngikut,” ucapnya santai sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Maaf Dek gak lagi-lagi deh," lanjutnya tanpa dosa. "Daripada pusing mending pacaran ya Mas?" sindirku sinis. "Pacaran apaan aku sama Santo kok Dek,""Liat ini! sini!" bentakku sambil menariknya kedepan cermin. "Apa ini Mas!?" ucapku emosi sambil menunjuk bekas merah di lehernya kasar. "Aku gak tau Dek, beneran, aku gak ngapa-ngapain, semalam aku cuma bertiga sama Santo dan Aris,” kata Mas Bagas ngotot. “Kamu juga kenal mereka kan coba deh kamu telpon mereka dan pastikan." Mas Bagas tampak menghubungi seseorang dan mengaktifkan loudspeaker. "Halo Gas sudah sadar kamu?""Ceritakan yang te
Hampir 3 tahun sudah Mas Bagas kembali menyibukan diri dengan pekerjaan sablonnya. Sampai sekarang belum ada kemajuan dan masih sering kekuarangan. "Jadi jual rumah ini aja ya Dek, daripada pusing tiap hari didatangi orang nagih,” ucap mas Bagas pasrah. “Kamu juga takut kan kalo mas lagi gak di rumah dan datang orang nagih?" lanjutnya. "Trus kita nanti tinggal di mana Mas?" tanyaku lesu. "Nanti hasil penjualan rumah ini buat nutup semua utang kita, trus kita cari rumah di pinggiran kota aja," terangnya. "Jangan cari di komplek perumahan biar lebih murah, sisanya buat modal usaha sablon,” ujar mas Bagas. “ Kalo masih ada sisa kita buka warung kecil-kecilan di rumah, gimana menurut kamu Dek?" lanjutnya penuh harap. "Sepertinya tidak buruk juga Mas, daripada tiap hari dikata-katain sama Penagih, sakit ati aku Mas," ujarku mendukung usulan mas Bagas."Tapi...apa mungkin Ibu akan setuju Mas? " tanyaku ragu. “mas akan bicarakan sama Ibu,mudah-mudahan Ibu ngerti keadaan kita,” jawab
Dari pesan mas Bagas terahir, pemeriksaan sudah selesai tinggal menunggu antrian obat,kemungkinan sebentar lagi sampai. "Assalamu'alaikum.... "ucap mas Bagas dan Ibu berbarengan.“Wa'alaikumsalam.. “Aku langsung bangkit dari sofa mendekat ke pintu utama dan mencium punggung tangan Ibu dan mas Bagas. "Mari Bu langsung makan saja mumpung masih anget, Sari masak kesukaan Ibu ini lho." Aku mempersilahkan Ibu langsung ke meja makan.“Kebetulan ini sudah siap semua,” lanjutku sambil menarik kursi untuk Ibu. Sementara mas Bagas membawa tas Ibu ke kamar. Selesai makan kami duduk di ruang tengah sambil menikmati cemilan.Aku dan mas Bagas saling pandang dan menganggukan kepala berniat melancarkan rencana. "Bu, Bagas mau bicara Bu," ucap mas Bagas dengan pelan. "Ya bicara aja Gas, kenapa pake pamit, ada apa?" tanya Ibu terlihat penasaran. "Ibu kan tahu hutang Bagas banyak, Bagas bingung mau gimana nutupnya, Bagas sudah mencoba berbagai upaya tapi nyatanya masih belum ketutup juga." "
“Sekarang kamu bikin banner buat di pasang di depan rumah biar orang-orang tau rumah ini mau dijual!” perintah ibu tidak sabar. “Jangan lupa kamu foto rumah ini dan unggah di sosial mediamu biar lebih cepat laku,” lanjutnya lagi. Kami masih diam mematung. “Ayok cepat lakukan, malah diam,mau cepet lunas utang-utangmu gak?” ucap Ibu agak keras. “Iya Bu,” jawab mas Bagas sembari bangkit dari duduknya dan meraih hpnya untuk mengambil foto rumah ini. "Iklannya di sosmed ajalah Bu, gak usah bikin banner segala, masa rumah masih ditinggali mau ditulis dijual," ucap mas Bagas tak terima."Lha terus mau kamu gimana? kamu mau pindah dulu baru rumahnya dijual, lha terus pindahnya mau pake apa, duit aja gak punya kok!" ucap Ibu ketus. "Iya iya terserah Ibu aja lah," jawab mas Bagas sambil ke luar rumah hendak mengambil foto. **"Dek, apa kita ngontrak rumah aja nanti, kalo buat beli kayaknya uangnya belum cukup deh, kita juga harus punya modal buat usaha kan?" ujar mas Bagas ketika kami se