Saat memarkirkan motornya di depan rumah, Hendra mendengar tangisan anaknya sampai ke luar rumah. Tak biasanya Alan menangis sekencang itu. Karena itu dia berlari untuk memastikan apa yang terjadi di dalam rumah.
“Lis, Lilis?” panggil Hendra, tangannya sigap menggendong Alan, putra mereka satu-satunya yang belum genap berusia satu tahun. Anak itu merangkak di tengah rumah dan menangis sangat kencang.
“Lis, Lilis?”
Rumah itu kosong, tak ada tanda-tanda keberadaan Lilis di dalam rumah. Tak lama setelahnya, suara ibu mertuanya terdengar dari pintu masuk.
“Lilis nggak ada, dia pergi sejak siang tadi dan belum pulang. Lagian kamu ini lama bener pulangnya. Ini bubur untuk Alan, kamu yang suapin sendiri!” cetus wanita lima puluhan itu, meletakkan bubur untuk cucunya.
Pergi sejak siang dan belum pulang? Hendra tidak yakin sebab Lilis tak biasanya seperti itu.
“Masa sih, Buk? Lilis bukannya di rumah Ibu?” Hendra menghampiri ibu mertua yang kini sudah berdiri di ambang pintu. “Dia di rumah Ibu, kan?”
“Nggak ada! Ngapain juga ibu berbohong? Sudah, ibu mau pergi. Gara-gara Alan ibu telat pergi kondangan!” Ratna, ibu mertua Hendra segera meninggalkannya.
Lilis memang suka membangkang, tapi selama tiga tahun pernikahan mereka, tidak pernah istri Hendra itu menunjukkan sikap yang aneh-aneh. Apalagi sampai meninggalkan anak seperti ini, rasanya Hendra tidak percaya dengan ucapan ibu mertuanya. Tapi kenapa Lilis tidak ada di rumah?
“Ma-ma... Mama....”
Tangisan Alan memanggil mamanya menyadarkan Hendra dari pikiran. “St, st, st... jangan nangis lagi, ya... papa ada di sini,” bujuk Hendra, menggoyangkan tubuhnya bagaikan ayunan untuk menenangkan Alan yang masih menangis. Dia juga meraih bubur yang tadi diantar oleh mertuanya untuk membujuk Alan bisa diam.
“Mama... Mama....” Alan terus menangis memanggil mamanya. Dia menggeleng saat Hendra menyuapkan bubur itu ke dalam mulutnya.
“Cup, Cup, Cup... sabar, ya... bentar lagi mamanya Alan pasti pulang.”
Alan memang masih menyusu pada mamanya, mungkin karena itu lah dia terus menangis memanggil Lilis. Apalagi jika benar yang dikatakan oleh Ratna bahwa Lilis pergi sejak siang, sudah barang tentu anak itu merindukan dekapan mamanya.
“Astaga, Lis... ke mana sih kamu ini?”
Sedang Hendra sibuk mendiamkan Alan yang masih terus menangis, sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah kontrakannya. Hendra segera keluar ketika telinganya mendengar suara sang istri berbicara di luar sana. Benar saja, Lilis terlihat berdiri di dekat pintu mobil yang masih terbuka.
“Lis, kamu dari mana aja, sih?” Hendra menghampiri istrinya yang tengah sibuk berbincang dengan seorang wanita. Wanita berparas ayu yang mengantar istrinya terlihat bingung menatap Hendra.
“Jeng Lisa, ini....”
Pasti Juwita curiga melihat kedatangan Hendra dari kontrakan jeleknya. Padahal, barusan saja Lilis berbohong menyebut rumah mewah tetangga kanannya sebagai miliknya. Sebal sekali hati Lilis pada Hendra. 'Kenapa sih dia harus keluar?'
"Alan nangis terus manggil kamu. Ibu bilang kamu pergi sejak siang." Hendra mengatakan ucapan ibu mertuanya.
"Bukan urusan kamu! Udah, sih, sana bawa Alan masuk!" Lilis mendorong suaminya menjauh.
Juwita yang masih di sana menyaksikan suami istri itu terlihat sedikit bingung. 'Bukannya tadi Lisa bercerita kalau suaminya seorang direktur perusahaan besar?' pikir Juwita. Dia membaca nama perusahaan di seragam pabrik yang Hendra kenakan.
"Tapi Alan haus, Lilis... dia manggil kamu terus. Kamu juga masuk, dong, diamkan Alan dulu!"
Jika ditanya hatinya, Hendra sangat geram melihat sang istri. Tapi dia berusaha untuk menahan amarah itu, sebab tak ingin rumah tangganya menjadi bahan tontonan orang asing.
Lilis berpura tuli dan justru memasang senyum pada Juwita.
“Bukannya Jeng Juwi masih mau pergi arisan, ya? Udah, Jeng, langsung pulang aja. Makasih loh udah anterin aku, sampai ketemu besok ya, Jeng Juwi.” Lilis menyuruh Juwita agar segera pergi meninggalkan halaman rumahnya.
“Sama-sama, Jeng Lisa. Kalo begitu, aku pamit dulu, ya.” Meski masih bingung, wanita itu memilih meninggalkan mereka.
‘Jeng Lisa?’ Panggilan macam apa itu? Lagian sejak kapan pula istrinya berganti nama menjadi Lisa? Kepala Hendra dipenuhi berbagai tanda tanya.
Begitu mobil itu keluar dari gang rumah mereka, Hendra menarik Lilis masuk ke dalam rumah. Rasa geram dan marahnya sudah tak bisa ditahan melihat sikap sang istri yang sangat keterlaluan. Apalagi penampilan Lilis yang mengenakan celana olahraga di atas lutut, juga baju tanpa lengan dan menunjukkan setengah belahan dadanya.
“Dari mana aja kamu, Lis? Anak ditinggal gitu aja. Terus, baju apaan ini yang kamu pakai, hah?” sentak Hendra tak tertahan.
Lilis masih terlihat santai memasuki kamar tidur mereka. Ransel yang tersampir di pundak dia gantungkan di balik pintu seakan tidak terusik dengan omelan sang suami. Hal itu tentu membuat Hendra semakin kesal saja.
“Jelasin kamu pergi ke mana dan siapa orang yang tadi ngantar kamu?” cecar Hendra semakin geram. Mungkin suaranya sudah terdengar sampai ke tetangga.
Siapa yang tidak geram melihat istrinya pulang diantar dengan mobil? Meski orang itu perempuan, wajar saja Hendra curiga sebab selama ini dia tidak pernah melihat istrinya bergaul dengan orang kaya. Dan jangan lupakan, banyak sesama perempuan yang tega menjual temannya pada para hidung belang, untuk mendapatkan komisi. Hal seperti itu sudah sering viral di sosial media, bahkan di berita yang disiarkan televisi. Hendra tentu tidak ingin istrinya terjebak hal seperti itu.
“Jawab, Lis, dari mana kamu sejak siang tadi!”
“Aku zumba, aku pengen langsing, nggak melar kayak gini,” kata Lilis, menunjuk perutnya yang melar sejak melahirkan Alan.
“Lantas, siapa yang ngantar kamu? Kamu jangan bohong, ya, sampe aku dengar kamu aneh-aneh di luar sana, aku nggak bakal maafin kamu, Lis!” ancam Hendra tak main-main. Kepalanya terus berpikir jika mungkin perempuan yang mengantar istrinya adalah seorang mucikari.
Lilis menghela napas membalas tatapan garang suaminya. “Kamu ini kenapa, sih? Orang baru pulang juga udah diomelin! Aku udah bilang, kan, aku pergi zumba, dan yang anter aku itu namanya Jeng Juwita. Dia instruktur zumba kami yang kaya raya punya banyak uang! Bukannya senang istrinya diantar orang, malah marah-marah! Makanya, kalo nggak mau istri kamu pulang sama orang lain, beliin mobil dong!” serga Lilis membalas Hendra. Hidungnya terangkat ke atas, matanya memindai Hendra dari kepala sampai ke bawah dan lanjut berbicara dengan entengnya. “Beliin motor aja nggak mampu, gimana mau beli mobil, ya? Rumah aja mampunya ngontrak!”
Hendra yang merasa harga dirinya terluka, mengangkat tangan bersiap untuk menampar Lilis, tapi terhenti saat mendengar putranya kembali menangis. Dia turunkan tangannya, memikirkan Alan yang bisa saja merekam kejadian itu hingga mengganggu perkembangannya. Hendra yang sudah dipenuhi kemarahan takut khilaf sehingga memilih mundur menjauh.
Kata-kata itu sangat menohok Hendra yang saat ini hanya seorang buruh pabrik. Untuk mengisi perutnya pun dia tidak bernafsu. Kalimat sang istri terus berputar di dalam kepala, memaksa Hendra ikut memutar pikiran bagaimana caranya untuk mendapatkan uang lebih.
Sekarang Lilis sudah tidur bersama Alan, tapi Hendra belum juga bisa memicingkan matanya. Rasa bersalah yang sangat besar memenuhi pikiran lelaki berusia 27 tahun itu, bahkan membuatnya tidak berselera untuk makan.
Ah... dia sudah membuat Lilis menderita, begitulah isi pikiran Hendra. Dia sadar betul, sejak Lilis menikah dengannya, Hendra belum mampu membahagiakan istri juga anaknya. Jangankan rumah dan mobil yang tadi Lilis bahas, bahkan untuk sekedar merawat wajahnya pun, Lilis sudah tak bisa. Hanya ada bedak murahan yang selalu dipakai istrinya setiap hari, yang terletak di atas meja rias usang itu.
“Maafin aku, Lis, gaji aku hanya cukup untuk kebutuhan kita. Tapi aku bakal cari uang tambahan untuk kamu merawat diri,” bisik Hendra lemah.
Sepatutnya dia tidak semarah itu pada Lilis. Istrinya toh hanya pergi berolahraga. Jika Lilis menjadi lebih langsing dan menarik, toh yang menikmati tubuhnya juga Hendra sendiri. Meski bagi Hendra tidak masalah andai pun Lilis bertubuh melar juga wajahnya tidak selalu cantik, tapi bagi Lilis itu tentunya sangat berarti. Bukankah semua wanita ingin terlihat cantik di depan suami dan teman-temannya?
Waktu sudah subuh saat Hendra kembali dari pangkalan ojek. Ada senyum sumringah di wajahnya membayangkan Lilis akan senang menerima uang itu nantinya. Tidak banyak memang, hanya 46.000 yang dia dapatkan malam ini. Tapi jika dapat segitu saja pun setiap malamnya, pasti bisa Lilis gunakan membeli skincare seperti yang dipakai orang-orang.“Kamu dari mana aja? Aku pulang malem kamu omelin, tapi kamu boleh pulang subuh?” Lilis sudah menunggu Hendra di teras rumah dan langsung mengomelinya. Dia memang tidak tahu saat tadi malam Hendra memutuskan mengojek malam, demi bisa menyenangkan sang istri.“Ini loh, aku habis ngojek di pengkolan. Nggak banyak sih, tapi lumayan buat kamu beli bedak,” terang Hendra, menyerahkan gulungan uang yang dia ambil dari saku celana. “Kamu tabung dulu, ya. Aku bakal ngojek tiap malam biar kamu bisa bebelian bedak," ucapnya dengan bannga.Bukannya senang, Lilis hanya menatap gulungan uang di tangannya. &l
Lagi-lagi ketika Hendra pulang, dia tidak menemukan Lilis di rumah. Mertuanya datang mengantar Alan, sama persis seperti kemarin malam. Tak lupa dengan omelan pedas yang dilontarkan Ratna, menyuruh Hendra mencari baby sitter agar tidak menyusahkan dirinya. Hendra hanya bisa diam mendengar mertuanya mengomel sambil lalu.“Kamu ini kenapa sih, Lis....” keluh Hendra memikirkan istrinya.Padahal sebelum pulang tadi, Hendra sengaja membawa martabak, makanan kesukaan Lilis. Niatnya untuk membujuk istrinya itu agar tidak marah-marah seperti kemarin malam. Tapi nyatanya, dia yang kembali dibuat geram oleh kelakuan sang istri yang tidak tahu keberadaannya. Ponsel Lilis tidak aktif, Hendra hanya bisa mendesah lesu meletakkan lagi ponselnya.Belum lagi Alan yang terus saja menangis, tidak mau makan dan selalu hanya memanggil mamanya, itu membuat Hendra berasa ingin gila. Ketika Lilis pulang nanti, Hendra akan memberi istrinya pelajaran agar tidak lagi mengulang
Menjual diri? Benarkah Lilis menyuruh Hendra menjual diri? Sejak kapan pula Lilis bisa berbicara hal tabu seperti itu? Apakah ini yang Lilis pelajari selama dua hari pulang selalu malam?“A-apa maksud kamu?” Hendra tergagap, tidak ingin percaya dengan isi kepalanya yang mulai berpikir buruk pada istrinya.“Kamu yang jual diri, biar aku yang carikan pelanggan buat kamu.”“Lilis!” sentak Hendra. "Aku udah cukup sabar, ya. Aku nggak akan segan-segan nampar kamu kalau berani ngomong gitu lagi!"“Kalo kamu nggak mau, ya sudah. Nggak usah ngancam aku segala, deh... aku yang bakal jual diri kalo kamu nggak mau. Kamu mau bantu aku carikan om-om kaya, nggak?”Apakah Lilis tidak sadar dengan ucapannya? Dia ingin suaminya menjual diri, apa yang ada di dalam kepalanya? Istri di luar sana justru banyak yang makan hati melihat suaminya menikah lagi. Hendra sendiri, jangankan berpikir menikah, bahkan membalas
Pertengkaran Lilis dan Hendra masih terus berlanjut. Alan yang menangis kencang tak mengurunkan niat Lilis mendesak Hendra untuk keinginannya. Sampai kapan mereka akan terus bertengkar, apa tidak malu sama tetangga? Juwita sangat gemas melihat Lilis yang bersitegang memaksa Hendra menceraikannya.“Buruan ceraikan aku!” Lilis mendorong Hendra yang hanya menatap istrinya tajam.“Jangan berharap. Sampai kapan pun, aku nggak bakal mau pisah sama Alan!”“Oke, nggak apa-apa. Kalo gitu, kamu ambil Alan buat kamu dan aku yang pergi dari rumah ini!”“Lis!”“Nggak! Aku nggak mau dengar apa pun. Kalo kamu mau aku tetap di sini, kamu harus ikuti omongan aku!” Lilis berlari ke kamar dan mulai menyusun pakaian lagi ke dalam tasnya. “Aku nggak mau miskin sampai mati! Aku juga mau menikmati hidup seperti orang-orang.”Keduanya kembali saling merampas tas yang di tangan Lilis. Benar-bena
“Me-menikah?” Lilis masih tidak percaya dengan pendengarannya. “Kamu mau menikah dengan suami aku?” “Kenapa, kamu keberatan? Kalo gitu, aku nggak jadi beli suami kamu.” “Bu-bukan begitu!” seru Lilis, takut jika Juwita akan menarik lagi ucapannya. “Kamu yakin mau menikah dengan Hendra? Tiga miliar bukan uang yang sedikit, loh!” ucapnya penuh tekanan. “Yakin. Atau mungkin itu kurang? Oke, aku tambahi dengan satu unit apartemen.” Napas Lilis hampir berhenti. Dia sangat tidak percaya, bagaikan tertimbun reruntuhan uang yang sangat banyak. Bayangkan saja, uang 3 miliar pun sudah sangat besar, dan masih ditambah dengan satu unit apartemen? Astaga, mimpi apa Lilis kemarin malam! “Kamu keberatan?” tanya Juwita, melihat Lilis yang terdiam sangat lama seperti sedang mempertimbangkan. ‘Tiga miliar. Tiga miliar.' Lilis mengulang-ulang nominal yang Juwita ucapkan, di kepalanya. Hanya syarat menikah? Ah, itu mah kecil! Lilis nggak akan m
Beberapa saat Hendra terpaku di depan pintu kamarnya. Ada rasa takut jika Lilis akan benar melakukan apa yang tadi diucapkannya. Tentu saja itu menakutkan, Hendra tidak ingin istrinya menjadi nekad melakukan bunuh diri. Tak ada pilihan, dia pun membuka pintu kamar untuk memastikan istrinya baik-baik saja.Tapi fakta yang Hendra lihat sekarang adalah, Lilis tengah meletakkan sebilah pisau di atas pergelangan kirinya, dan menatap Hendra dengan tajam.“Kamu nggak mau nikah, kan? Berarti kamu juga harus rela aku mati!”“Lilis, jangan, Lis!” Hendra yang terkejut lantas memeluk sang istri untuk menghentikan perbuatan gila itu. Dia pegangi kedua tangan Lilis dan mendorongnya ke dinding rumah. “Jangan lakuin itu, jangan aneh!”“Lepasin aku! Aku nggak mau hidup begini terus-terusan! Kalo kamu nggak mau nikah sama Juwita, kamu juga harus rela lihat aku mati di depan kamu!” jerit Lilis bersama tangisan dari mulut
Senam zumba kali ini sangat spesial bagi Lilis. Dia bergerak penuh semangat mengingat jawaban suaminya tadi malam. Rasanya tidak sabar agar musik itu segera berhenti lantas dia akan menemui Juwita dan mengatakan bahwa Hendra sudah setuju.“Satu, dua, tiga, empat....”Juwita sebagai instruktur mereka terus menghitung, bersahutan dengan musik yang sangat kencang di arena yang dikelilingi cermin besar. Lilis terus menari dengan semangat sembari menatap dirinya di pantulan cermin di sebelahnya.‘Sebentar lagi aku bakalan kaya! Aku bisa beli baju-baju bagu, sepatu bagus, juga perhiasan mahal kayak punya kalian!’ batinnya terus berbicara dan sesekali menatap teman-temannya.Hingga olahraga zumba itu berakhir, semua anggota duduk di atas lantai untuk meregangkan tubuh mereka. Lilis sama sekali tidak merasa lelah seperti biasa, mungkin karena terlalu senang akan menjadi orang kaya?“Lis, mau ganti bareng, nggak?” Vanny m
“Ada apa sih, Lis... ini mau ngapain?” tanya Hendra tidak mengerti, saat Lilis memaksanya mengenakan pakaian rapi. Tidak biasanya Lilis sangat perhatian seperti ini, mengambilkan baju dari lemari, membantu Hendra mengenakannya, bahkan sekarang menyisir rambutnya. Tidak seperti Lilis yang biasanya.“Lis, jawab dulu, dong. Ini ada apa aku harus pake baju bagus? Cuma mau tidur juga.”“Kamu harus ketemu Juwita, Sayang. Tadi sore dia bilang, dia mau ketemu kamu dulu. Inget, ya, di sana nggak usah banyak ngomong. Bilang aja kamu setuju nikah sama dia, tentukan tanggal nikahnya biar urusan cepat kelar.”Sontak hal itu membuat Hendra terkejut bukan main. Ternyata kebaikan istrinya tidak lah tulus seperti yang dia bayangkan. Lilis melakukan semua ini masih tetap demi... uang yang Juwita tawarkan.“Tapi, Lis-““Nggak ada tapi-tapian! Ingat, kamu udah janji kemarin malam,” serga Lilis memotong ucapan