Share

Suami yang Tak Diinginkan
Suami yang Tak Diinginkan
Penulis: Butiran_Debu

1. Meninggalkan Anak Demi Zumba

Saat memarkirkan motornya di depan rumah, Hendra mendengar tangisan anaknya sampai ke luar rumah.  Tak biasanya Alan menangis sekencang itu. Karena itu dia berlari untuk memastikan apa yang terjadi di dalam rumah.

“Lis, Lilis?” panggil Hendra, tangannya sigap menggendong Alan, putra mereka satu-satunya yang belum genap berusia satu tahun. Anak itu merangkak di tengah rumah dan menangis sangat kencang.

“Lis, Lilis?”

Rumah itu kosong, tak ada tanda-tanda keberadaan Lilis di dalam rumah. Tak lama setelahnya, suara ibu mertuanya terdengar dari pintu masuk.

“Lilis nggak ada, dia pergi sejak siang tadi dan belum pulang. Lagian kamu ini lama bener pulangnya. Ini bubur untuk Alan, kamu yang suapin sendiri!” cetus wanita lima puluhan itu, meletakkan bubur untuk cucunya.

Pergi sejak siang dan belum pulang? Hendra tidak yakin sebab Lilis tak biasanya seperti itu.

“Masa sih, Buk? Lilis bukannya di rumah Ibu?” Hendra menghampiri ibu mertua yang kini sudah berdiri di ambang pintu. “Dia di rumah Ibu, kan?”

 “Nggak ada! Ngapain juga ibu berbohong? Sudah, ibu mau pergi. Gara-gara Alan ibu telat pergi kondangan!” Ratna, ibu mertua Hendra segera meninggalkannya.

Lilis memang suka membangkang, tapi selama tiga tahun pernikahan mereka, tidak pernah istri Hendra itu menunjukkan sikap yang aneh-aneh. Apalagi sampai meninggalkan anak seperti ini, rasanya Hendra tidak percaya dengan ucapan ibu mertuanya. Tapi kenapa Lilis tidak ada di rumah?

“Ma-ma... Mama....”

Tangisan Alan memanggil mamanya menyadarkan Hendra dari pikiran. “St, st, st... jangan nangis lagi, ya... papa ada di sini,” bujuk Hendra, menggoyangkan tubuhnya bagaikan ayunan untuk menenangkan Alan yang masih menangis. Dia juga meraih bubur yang tadi diantar oleh mertuanya untuk membujuk Alan bisa diam.

“Mama... Mama....” Alan terus menangis memanggil mamanya. Dia menggeleng saat Hendra menyuapkan bubur itu ke dalam mulutnya.

“Cup, Cup, Cup... sabar, ya... bentar lagi mamanya Alan pasti pulang.”

Alan memang masih menyusu pada mamanya, mungkin karena itu lah dia terus menangis memanggil Lilis. Apalagi jika benar yang dikatakan oleh Ratna  bahwa Lilis pergi sejak siang, sudah barang tentu anak itu merindukan dekapan mamanya.

“Astaga, Lis... ke mana sih kamu ini?”

Sedang Hendra sibuk mendiamkan Alan yang masih terus menangis, sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah kontrakannya. Hendra segera keluar ketika telinganya mendengar suara sang istri berbicara di luar sana. Benar saja, Lilis terlihat berdiri di dekat pintu mobil yang masih terbuka.

“Lis, kamu dari mana aja, sih?” Hendra menghampiri istrinya yang tengah sibuk berbincang dengan seorang wanita. Wanita berparas ayu yang mengantar istrinya terlihat bingung menatap Hendra.

“Jeng Lisa, ini....”

Pasti Juwita curiga melihat kedatangan Hendra dari kontrakan jeleknya. Padahal, barusan saja Lilis berbohong menyebut rumah mewah tetangga kanannya sebagai miliknya. Sebal sekali hati Lilis pada Hendra. 'Kenapa sih dia harus keluar?'

"Alan nangis terus manggil kamu. Ibu bilang kamu pergi sejak siang." Hendra mengatakan ucapan ibu mertuanya.

"Bukan urusan kamu! Udah, sih, sana bawa Alan masuk!" Lilis mendorong suaminya menjauh.

Juwita yang masih di sana menyaksikan suami istri itu terlihat sedikit bingung. 'Bukannya tadi Lisa bercerita kalau suaminya seorang direktur perusahaan besar?' pikir Juwita. Dia membaca nama perusahaan di seragam pabrik yang Hendra kenakan.

"Tapi Alan haus, Lilis... dia manggil kamu terus. Kamu juga masuk, dong, diamkan Alan dulu!" 

Jika ditanya hatinya, Hendra sangat geram melihat sang istri. Tapi dia berusaha untuk menahan amarah itu, sebab tak ingin rumah tangganya menjadi bahan tontonan orang asing.

Lilis berpura tuli dan justru memasang senyum pada Juwita.  

“Bukannya Jeng Juwi masih mau pergi arisan, ya? Udah, Jeng, langsung pulang aja. Makasih loh udah anterin aku, sampai ketemu besok ya, Jeng Juwi.” Lilis menyuruh Juwita  agar segera pergi meninggalkan halaman rumahnya.

 “Sama-sama, Jeng Lisa. Kalo begitu, aku pamit dulu, ya.” Meski masih bingung, wanita itu memilih meninggalkan mereka.

‘Jeng Lisa?’ Panggilan macam apa itu? Lagian sejak kapan pula istrinya berganti nama menjadi Lisa? Kepala Hendra dipenuhi berbagai tanda tanya.

Begitu mobil itu keluar dari gang rumah mereka, Hendra menarik Lilis masuk ke dalam rumah. Rasa geram dan marahnya sudah tak bisa ditahan melihat sikap sang istri yang sangat keterlaluan. Apalagi penampilan Lilis yang mengenakan celana olahraga di atas lutut, juga baju tanpa lengan dan menunjukkan setengah belahan dadanya.

“Dari mana aja kamu, Lis? Anak ditinggal gitu aja. Terus, baju apaan ini yang kamu pakai, hah?” sentak Hendra tak tertahan.

Lilis masih terlihat santai memasuki kamar tidur mereka. Ransel yang tersampir di pundak dia gantungkan di balik pintu seakan tidak terusik dengan omelan sang suami. Hal itu tentu membuat Hendra semakin kesal saja.

“Jelasin kamu pergi ke mana dan siapa orang yang tadi ngantar kamu?” cecar Hendra semakin geram. Mungkin suaranya sudah terdengar sampai ke tetangga.

Siapa yang tidak geram melihat istrinya pulang diantar dengan mobil? Meski orang itu perempuan, wajar saja Hendra curiga sebab selama ini dia tidak pernah melihat istrinya bergaul dengan orang kaya. Dan jangan lupakan, banyak sesama perempuan yang tega menjual temannya pada para hidung belang, untuk mendapatkan komisi. Hal seperti itu sudah sering viral di sosial media, bahkan di berita yang disiarkan televisi. Hendra tentu tidak ingin istrinya terjebak hal seperti itu.

“Jawab, Lis, dari mana kamu sejak siang tadi!”

“Aku zumba, aku pengen langsing, nggak melar kayak gini,” kata Lilis, menunjuk perutnya yang melar sejak melahirkan Alan.

“Lantas, siapa yang ngantar kamu? Kamu jangan bohong, ya, sampe aku dengar kamu aneh-aneh di luar sana, aku nggak bakal maafin kamu, Lis!” ancam Hendra tak main-main. Kepalanya terus berpikir jika mungkin perempuan yang mengantar istrinya adalah seorang mucikari.

Lilis menghela napas membalas tatapan garang suaminya. “Kamu ini kenapa, sih? Orang baru pulang juga  udah diomelin! Aku udah bilang, kan, aku pergi zumba, dan yang anter aku itu namanya Jeng Juwita. Dia instruktur zumba kami yang kaya raya punya banyak uang! Bukannya senang istrinya diantar orang, malah marah-marah! Makanya, kalo nggak mau istri kamu pulang sama orang lain, beliin mobil dong!” serga Lilis membalas Hendra. Hidungnya terangkat ke atas, matanya memindai Hendra dari kepala sampai ke bawah dan lanjut berbicara dengan entengnya. “Beliin motor aja nggak mampu, gimana mau beli mobil, ya? Rumah aja mampunya ngontrak!”

Hendra yang merasa harga dirinya terluka, mengangkat tangan bersiap untuk menampar Lilis, tapi terhenti saat mendengar putranya kembali menangis. Dia turunkan tangannya, memikirkan Alan yang bisa saja merekam kejadian itu hingga mengganggu perkembangannya. Hendra yang sudah dipenuhi kemarahan takut khilaf sehingga memilih mundur menjauh.

Kata-kata itu sangat menohok Hendra yang saat ini hanya seorang buruh pabrik. Untuk mengisi perutnya pun dia tidak bernafsu. Kalimat sang istri terus berputar di dalam kepala, memaksa Hendra ikut memutar pikiran bagaimana caranya untuk mendapatkan uang lebih.

Sekarang Lilis sudah tidur bersama Alan, tapi Hendra belum juga bisa memicingkan matanya. Rasa bersalah yang sangat besar memenuhi pikiran lelaki berusia 27 tahun itu, bahkan membuatnya tidak berselera untuk makan.

Ah... dia sudah membuat Lilis menderita, begitulah isi pikiran Hendra.  Dia sadar betul, sejak Lilis  menikah dengannya,  Hendra belum mampu membahagiakan istri juga anaknya. Jangankan rumah dan mobil yang tadi Lilis bahas, bahkan untuk sekedar merawat wajahnya pun, Lilis sudah tak bisa. Hanya ada bedak murahan yang selalu dipakai istrinya setiap hari, yang terletak di atas meja rias usang itu.

“Maafin aku, Lis, gaji aku hanya cukup untuk kebutuhan kita. Tapi aku bakal cari uang tambahan untuk kamu merawat diri,” bisik Hendra lemah.

Sepatutnya dia tidak semarah itu pada Lilis. Istrinya toh hanya pergi berolahraga. Jika Lilis menjadi lebih langsing dan menarik, toh yang menikmati tubuhnya juga Hendra sendiri. Meski bagi Hendra tidak masalah andai pun Lilis bertubuh melar juga wajahnya tidak selalu cantik, tapi bagi Lilis itu tentunya sangat berarti. Bukankah semua wanita ingin terlihat cantik di depan suami dan teman-temannya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
jjjjjkkkkkkkk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status