Setelah berpikir keras, akhirnya Hendra memutuskan untuk berbicara terus terang. Ia mengambil napas, membuang dengan perlahan dan berkata, “Juwi, kamu tahu aku punya anak, kan.”Juwita mengangguk. “lalu?” “Dia bersama Lilis.” lanjut Hendra, jujur mungkin dia sangat tidak enak jika harus berkata terus terang sama Juwita. Sedangkan sudah beberapa bulan ini dia menghabiskan harta wanita yang telah ia nikahi demi Lilis, istrinya yang tidak tahu di untung tersebut. Di tambah lagi Juwita pasti tidak terbiasa dengan adanya anak kecil. “Terus? Apa masalahnya jika anakmu bersama Lilis?” tanya Juwi, belum bisa memahami ucapan Hendra.Hendra mulai gusar, dari perkataan Juwita ia ragu mungkin wanita itu tidak menyukai anak kecil. “Aku tidak tega jika dia bersama Lilis. Kamu tahu sendiri Lilis hanya mementingkan diri sendiri." Hendra tidak kuasa menyebutkan perselingkuhan Lilis, itu terlalu memalukan.Hendra mengurunkan niatnya, saat melihat Juwita tak bergeming. “Ya sudah kamu pasti tidak ak
Hendra semakin mengeratkan pelukannya, Juwita merasa nyaman tak berpikir bahwa Hendra hanya sebagai suami yang dia beli. Wajahnya yah sempat murung kini bersemu bahagia. Entah mengapa Juita merasa nyaman bersama laki-laki ini, bau parfum maskulin menyengat di penciuman Juwita, parfume yang Juwi pilihkan untuk Hendra. Detak jantungnya menjadi lebih cepat berada di dalam pelukan Hendra.Sedang Hendra sibuk dengan pikirannya. Pengkhianatan yang Lilis lakukan begitu membuat Hendra merasa tidak berguna menjadi seorang suami. Tapi di balik semua itu, Hendra merasa nyaman berada di dalam pelukan Juwi.Entah apa yang membuat Juwi mau menerima Alan tinggal dengan mereka. Apakah hanya sekedar ingin membuat Hendra kagum padanya, hanya Juwi lah yang tahu. Tapi di dasar hatinya, Hendra tetap senang untuk itu. Secara tidak langsung hatinya justru berterima kasih mengenal Juwi, sebab di sini lah dia dihargai sebagai suami. “Juwita, terima kasih kamu mau mengerti dengan keadaanku yang memprihatink
Juwi menatap wajah Hendra, kepalanya mengangguk dengan bibir menjawa, "Ya, apa pun itu, aku siap."Dengan begitu, Hendra mulai menurunkan wajahnya menuju tempat sensitif Juwita, hangat napasnya terasa mempermainkan bulu-bulu halus Juwi dan membuat seluruh tubuhnya meremang."Hen..." panggil Juwi tak sadar, dia menyentuh rambut lelaki itu dan meremasnya.Hendra tidak bisa hanya diam. Sekarang dia mulai mempermainkan bagian sensitif itu dengan lidah basahnya, sehingga Juwi menggelinjang kenikmatan. Darahnya bagaikan terbang dan berkumpul di kepala oleh sensasi dari permainan Hendra yang memabukkan."Hen... please..." erang Juwi di tengah kenikmatan yang mendera. Permainan yang semakin panas itu membuat Juwi merasakan sesuatu akan keluar dari bagian intinya. Miliknya sudah sangat basah oleh air liur milik lelaki itu, seperti pelumas yang membuatnya menjadi licin. Rasa nikmat pun Juwi rasakan oleh gesekan lidah Hendra yang semakin cepat saja.Tak sabar hanya menerima, Juwi bangkit dari
Di sisi lain, tampak ada anak kecil sedang bermain mobil-mobilan, anak laki-laki tersebut terlihat gembul dengan lesung pipi, bulu mata lentik membuat wajah bocah gembul terlihat sangat tampan. "Blum... Blum...."Ia memaju-mundurkan mobil-mobilan yang ia pegangi, mobil kecil berwarna biru warna favorit bocah kecil itu. Alan, begitu dia biasa dipanggil.Seketika mata Alan teralihkan oleh pintu yang terbuka dari luar sana. Senyumnya mengembang, Alan mencoba bangun dengan dua kakinya yang belum benar-benar kuat.“Ma...” Lilis masuk, melihat putranya bermain sendiri, sedang baby sitter yang biasa menjaganya baru saja kembali dari dapur. Melirik ke sofa di dekat televisi, Lilis bisa melihat ibunya tengah memainkan ponsel di sana. Sejak kapan ibunya datang ke apartemen ini?“Ibu kok di sini? Bukannya seharusnya ibu menenin tukang di rumah?” tanya Lilis penasaran.Ratna menoleh, dia tersenyum melihat kedatangan putrinya. Tapi tunggu, kenapa penampilan Ratna sangat berbeda hari ini? Tidak
Sejak Lilis mengenal Steve, bisa dikatakan dia sangat jarang pulang ke rumah. Segala keperluan Alan dia serahkan pada baby sitter, tidak memikirkan anak itu apakah diurus dengan benar. Mendapat penolakan dari Alan membuat Lilis menjadi teringat betapa dia sudah sangat lalai pada putranya sendiri.Hatinya sedikit pilu, sekali lagi Lilis mencoba meminta Alan datang padanya, tapi masih terus dapat penolakan. Apakah anak kecil bisa merasakan patah hati karena tidak diurus oleh ibunya?Sesaat kemudian, ponsel di dalam tas Lilis berdering. Dia segera melupakan Alan saat melihat nama Steve di layar ponselnya."Halo, Sayang..." jawab Lilis, suaranya dibuat sangat manja."Kamu udah nyampe di rumah, Babe?""Udah, dong. Dari tadi.""Terus, gimana soal Alan? Kamu udah beresin dia?" Seperti tertampar, Lilis melihat lagi putranya yang juga menatap dirinya kini. Mata sendu anak itu terlihat sangat menyedihkan, membuat Lilis semakin merasa bersalah."Lis, jawab dong, Lisa....""Itu... belum.""Ya am
Dua bola mata cantik milik Juwita mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya mata itu terbuka sempurna. Wajah tampan Hendra langsung menyapa pemandangannya, lelaki itu masih tertidur dengan pulasnya. Juwi memperhatikan Hendra, mengamati bentuk wajah lelaki itu.Hendra tidak terlalu putih, malah terkesan hitam jika dibandingkan dengan kulit Juwi yang putih bak porselen. Tapi kulitnya terlihat bersih, apalagi setelah beberapa hari ini Juwita rajin membawanya perawatan. Garis wajah Hendra juga tegas, dengan dagu lancip dan sedikit maju ke depan. Hal itu membuat Hendra terlihat lebih menawan, nyaman untuk dipandang.Jika Hendra terlahir menjadi anak orang kaya seperti Juwi, mungkin laki-laki itu akan lebih tampan lagi. Tangannya tidak akan memiliki urat nadi yang timbul sebab tidak harus bekerja keras di pabrik. Dia akan bisa lebih tampan daripada laki-laki di luar sana yang sering mengejar cinta Juwita."Tapi nggak apa, kok. Justru urat di tangannya kelihatan seksi," bisik Juwi tiba-tiba,
Percikan air yang jatuh dari shower memberi kesan romantis bagi sepasang suami istri yang tengah mandi bersama. Hendra menatap istrinya yang tengah membasahkan diri di bawah shower, pemandangan yang sangat seksi dan menyejukkan. Matanya sulit dialihkan dari sana, ingin berlama-lama menatap tubuh sintal Juwita yang sempurna.Juwi menyadari tatapan suaminya dan langsung menutup bagian dada. Ini kali pertama mereka mandi bersama, sangat berbeda kesannya dengan telanjang saat bercinta di atas ranjang. Dia malu-malu."Kenapa ditutup?" tanya Hendra, tersenyum dia melihat Juwi yang malu-malu."Kamu lihatin.""Loh, dari tadi juga udah aku lihat, kan? Aku juga sentuh dan menikmatinya pake mulut."Mata Juwita membesar, wajahnya semakin merah mendengar perkataan Hendra yang semakin berani."Udah pinter ya sekarang," gerutu Juwi menepis rasa malunya."Pinter, dong. Kan diajarin sama istriku yang cantik ini." Hendra mencolek dagu Juwi untuk menggodanya, seakan menggoda Juwita menjadi candu baru ba
Hendra mengusap bibirnya dengan tissue setelah meletakan sendok perlahan di atas piring. Hal itu tidak lepas dari pandangan Juwita yang belum selesai dengan makannya. “Kok nggak dihabiskan? Nggak enak?” tanya Juwi, tak biasanya Hendra menyisakan makanan.“Enak. Masakan kamu mana ada tandingan, sih," sahut Hendra menggoda.Juwi tersipu mendapat pujian dari suaminya tersebut, tapi berikutnya dia mengerutkan kening."Loh, mau ke mana?" tanya Juwi yang melihat Hendra sudah berdiri dari kursinya.Sebenarnya sejak tadi Hendra tidak bisa tenang pikirannya. Lilis memiliki selingkuhan, bahkan tega meninggalkan putra mereka di pagi-pagi sekali. Bukan tidak mungkin Lilis juga melakukan itu kapan pun dia ingin menemui laki-laki itu.Alan pasti sering ditinggal hanya dengan baby sitter. Anak itu tentu akan kekurangan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya, apalagi sejak Hendra tinggal di rumah Juwi. Dia tidak tega membayangkan nasib putranya hanya diurus seorang baby sitter."Wi, aku