Share

Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya
Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya
Penulis: Dominic

1. Kesabaran Hendra

Penulis: Dominic
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-15 23:16:09

“Kamu nggak masak, Dek? Mas laper,” ujar pria berkulit sawo matang dengan rambut yang masih terlihat basah baru selesai mandi itu.

Sementara, wanita yang tak lain adalah istrinya hanya menoleh sekilas. Ia duduk sambil bersandar ke dinding kontrakan kecil itu dan fokus memainkan ponselnya tanpa menggubris suaminya itu.

Merasa tak ada jawaban. Hendra, hanya menghela napas lalu menuju ke arah dapur. Di atas piring. Ada satu butir telur dan segenggam sisa nasi, Hendra segera memasaknya karena dia merasa lapar, dan setelah telur itu matang, suara anak kecil di belakang membuatnya menoleh.

“Ayah, Putri mau makan,” ucap gadis kecil itu dengan polosnya.

Hendra yang sedang memegang piring pun langsung tersenyum kepada anaknya.

“Sini, sayang. Ayah suapin,” jawab Hendra dengan lembut.

Putri langsung tersenyum senang.“Asyik! Di suapin sama ayah!”

Putri lekas menghampiri dan duduk di samping sang ayah. “Putri, memangnya belum makan ya?” tanya Hendra sambil menyuapkan nasi ke mulut anaknya.

Lalu putri dengan polos menggeleng pelan.“Belum, Ayah. Kata Bunda, tunggu Ayah dateng aja.”

Deg! Mendengar itu, Hendra langsung termenung ternyata putrinya belum di beri makan seharian oleh istrinya itu.

Baginya, tak apa jika dia yang harus menahan lapar, tapi... jika itu anaknya dia akan merasa sangat bersalah.

“Kau tega sekali, Sarah kau biarkan anak kita kelaparan seperti ini,”  batin Hendra sambil menatap sendu ke arah sang anak.

Sementara, saat Hendra fokus menyuapi sang anak. Sarah dengan wajah tanpa dosanya berlalu pergi, dengan keadaan sudah berpakaian rapi. Hendra yang melihat itu, jelas bertanya.

“Mau kemana, dek? Malam-malam begini?” tanya Hendra.

Sarah menghentikan langkahnya sejenak lalu menoleh.“Bukan urusan mu Mas!,” sahutnya dengan ketus.

Hendra menghela napas sejenak.“Kenapa kamu nggak ngasih putri makan sejak tadi pagi?” tanyanya dengan tenang.

Sarah berdecak.

“Itu kan anak mu, urus saja sendiri!” jawabnya sambil berlalu pergi.

Hendra hanya mengelus dada sambil menatap Sarah yang pergi dengan terburu-buru.

Singkat nya Hendra pun segera menidurkan anaknya di kamar. Setelah beberapa saat Putri tertidur, Hendra menuju kursi di teras Kontrakan nya. Ia menyalakan sebatang rokok pemberian kawan nya di proyek, untuk sejenak menghilangkan penat.

“Sarah, kenapa kamu jadi seperti ini, apa kurang? uang gaji yang selama ini Mas berikan kepadamu?” gumamnya sambil menatap kosong ke arah jalanan.

Pintu kontrakan terbuka. Hendra pun langsung terbangun, kini nampak di hadapannya seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah—sang mertua.

Dengan wajah letih sang mertua menatap ke arah Hendra tanpa ekspresi.

“Kemana Sarah?” tanya Bu Aminah dengan menampilkan wajah datarnya.

Hendra hendak menyalami sang ibu mertua, namun tangannya ditepis penuh penolakan.

“Kemana sarah? Ditanya malah diem aja kamu,” lanjut Bu Aminah.

Hendra pun menunduk.“Dia pergi sama temen nya bu,” jawab Hendra pelan.

Bu Aminah menatap Hendra dengan tajam lalu, berjalan ke arah kamar. Dan menengok ke atas kasur melihat cucunya yang sedang terbaring.

“Putri sudah kamu kasih makan?” tanya Bu Aminah masih tanpa ekspresi.

Hendra mengangguk pelan.“Sudah bu,” jawab Hendra.

Bu Aminah hanya mendengus, lalu menoleh dingin. “Kalau bukan karena kamu, Sarah nggak akan sengsara tinggal di kontrakan kumuh kayak gini. Kau laki-laki nggak becus, Hendra. Kerja cuma kuli, dapat gaji pas-pasan. Anak saya cantik, pintar, masa hidupnya begini? Kau bikin dia menderita!”

Hendra terdiam, dadanya sesak. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Ucapan mertua itu menusuk hatinya.

“Dengar ya, kalau kamu nggak bisa bahagiakan Sarah, lebih baik lepaskan dia. Jangan seret anak saya hidup susah terus!” ucap Bu Aminah dengan suara meninggi.

Hendra menunduk makin dalam, tangannya mengepal. Putri yang setengah terbangun mendengar suara keras itu keluar dari kamar, mengucek mata.

“Eyang… kenapa marah sama Ayah?” tanyanya polos.

Hendra segera menghampiri anaknya, meraih tubuh kecil itu agar tidak semakin mendengar caci-maki. Ia tersenyum paksa, meski matanya panas menahan air mata.

“Tidak apa-apa sayang, Eyang cuma lagi capek,” ucap Hendra sambil menggendong Putri kembali ke kamar.

Di luar, Bu Aminah masih berdiri dengan tatapan penuh benci. “Ingat kata saya, Hendra. Kalau masih punya harga diri, lepaskan Sarah!”

Hendra hanya bisa terdiam. Malam itu ia merasakan perih di hatinya saat menjadi menantu yang dihina, dipandang rendah, dan dipersalahkan atas semua keadaan, meski hatinya tahu ia sudah berjuang sekuat tenaga.

Seusai mertuanya pergi, Hendra termenung.

“Aku harus bagaimana, aku harus bekerja sekeras apa lagi?” batin Hendra sambil dirinya mengunyah sarapannya tanpa selera sedikit pun. Dia terpaksa menghabiskan nya, agar dia memiliki tenaga saat bekerja nanti.

Sambil menanti istrinya pulang, Hendra bersiap mengenakan pakaian nya. Tepat saat dia hendak menghampiri Putri. Istrinya datang, tanpa rasa bersalah sedikitpun dia masuk tanpa menyapa anak dan suaminya.

Hendra langsung berdiri dan mengikuti istrinya ke kamar.

“Dek, kamu darimana saja?” tanya Hendra dengan nada yang sedikit tegas.

Sarah melempar tasnya ke atas kasur, lalu menoleh.

“Sudah aku bilang, itu bukan urusan mu, Mas! Mau aku pergi kemana pun itu bukan lagi urusan mu!” jawabnya dengan nada yang sedikit meninggi.

Hendra memperhatikan penampilan istrinya, dan ketika dia menemukan sebuah noda merah di leher sang istri, hatinya bergemuruh hebat, pikirannya seketika kalut. Nafasnya terasa sesak, seakan dunia runtuh di depan matanya. Namun, Hendra menggenggam erat jemarinya sendiri, mencoba meredam amarah yang mendidih di dadanya.

“Dek… habis dari mana kamu semalam?” suaranya bergetar, tapi tetap ia paksa terdengar lembut, “Tolong jujur, noda merah bekas apa di lehermu itu?”

Dalam hatinya, Hendra ingin berteriak, ingin menggebrak, ingin meluapkan segala kecewa. Tapi ia sadar, jika emosinya meledak, semua akan sia-sia.

Maka ia hanya menghela napas panjang, menundukkan kepala, dan duduk di tepi ranjang.

“Sebenarnya darimana kamu, dan dengan siapa? Kamu semalam tidur dimana?” bisiknya lirih. “Kalau uang dari mas kurang. Mas bisa usahakan lebih, asal kamu nggak kaya gini sama, Mas.”

Sarah hanya mendengus kesal.

“Sudah ku bilang, itu bukan urusanmu, Mas! Dari dulu bilang nya kaya gitu, tapi mana buktinya? Aku capek mas!” bentak Sarah sehingga membuat Hendra sangat terkejut dengan perubahan sikap sang istri.

Sarah melanjutkan kalimatnya.“Aku menyesal menikah dengan mu! Aku pikir kamu bakalan usahain semua kemauanmu, Mas. Tapi buktinya, nggak ada sama sekali!”

Bagai di sambar petir, Hendra seketika dibuat terdiam oleh kalimat istrinya itu. 'Aku menyesal menikah denganmu'  Kalimat itu, cukup merobohkan kesabarannya. Seketika ekspresinya berubah menjadi datar.

“Lalu, apa mau mu?” ucap Hendra lirih nyaris tak bernada, namun cukup membuat Sarah membeku, ketika mendengarnya. Nada bicara dan ekspresi Hendra jelas jauh berbeda dari biasanya.

Sejenak Sarah menimbang ucapannya. Tapi setelah itu dia menjawab dengan Nada yang sedikit mengancam untuk menekan suaminya itu.

Sarah menghela napas panjang.

“Aku ingin kita Cerai, Mas! Aku bosan hidup miskin denganmu, urus anakmu itu. Dan segera ceraikan aku!” pungkasnya dengan suara yang hampir bergetar. Lalu meninggalkan Hendra yang membeku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   7. Gugup

    “Jam tujuh, supir saya menjemput mu. Kamu harus sudah siap,” ucap Kanaya dengan wajah datarnya.Hendra hanya mengangguk saja, tanpa basa-basi lagi Hendra segera masuk ke dalam kontrakan kecilnya. Sementara Kanaya langsung pergi meninggalkan tempat itu.“Apa maksud semua ini?” gumam Hendra sambil memperhatikan ke arah mobil Kanaya yang perlahan menjauh.singkatnya Hendra selesai membersihkan diri, dia pun memakai pakaian yang menurutnya rapih, meskipun sedikit lusuh karena sudah lama dia tak pernah membeli pakaian.Matanya memandangi amplop coklat di tangannya itu. Hendra menarik napas panjang, seolah sedang menimbang apakah ia pantas menerima semua ini. Namun, bayangan Putri kembali hadir dalam benaknya. Perlahan, ia menggenggam amplop itu erat.“Kalau ini memang buat masa depan Putri… aku harus kuat,” gumamnya lirih.Tepat jam tujuh kurang beberapa menit, suara klakson terdengar dari depan kontrakan. Hendra buru-buru keluar, dan benar saja—mobil hitam dengan sopir Kanaya sudah menun

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   6. Bu Bos

    Setelah selesai dari pekerjaan, Hendra menyempatkan diri untuk melihat Putri anaknya. Setelah sampai, Putri sedang asik memainkan kakinya sambil menahan dagu dengan tangan, dan tangan satunya sibuk menggambar, membuat Hendra tersenyum saat memperhatikannya. Hendra pun mengetuk pintu yang setengah terbuka itu. Membuat Pak Budi yang ada di dalam lekas membuka pintunya. “Ehh, Dra. Mau jemput ya, sini masuk dulu,” sapa Pak Budi sambil mengajaknya masuk terlebih dulu. Hendra memperhatikan penampilannya, merasa pakaiannya kotor Hendra menggeleng pelan. “Nggak Pak, saya gak enak. Baju saya kotor,” jawabnya. Putri yang sedang asik menggambar, langsung berdiri begitu melihat Ayahnya datang. “Ayah!” teriaknya sambil berhambur hendak memeluk sang Ayah. Hendra langsung berjongkok, sambil menahan Putri dan berkata.“Ayah, masih kotor bajunya sayang,” ujarnya sambil mengusap kepala sang anak membuat Putri sedikit cemberut. Bu Hanum yang baru keluar dari kamar mandi lekas menyapa Hendra dan

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   5. Menikahlah denganku

    “Kamu yakin bisa membahagiakan Putri dengan keadaanmu sekarang?”Pesan misterius itu masuk.Hendra termenung cukup lama menatap layar ponselnya. Kata-kata itu terasa menusuk jauh ke dalam dadanya. Jari-jarinya sempat gemetar, lalu buru-buru ia kunci kembali layar ponsel dan menarik napas dalam-dalam.“Siapa orang ini? Kenapa harus ngomong begini? Apa maksudnya?” gumamnya sambil menatap kosong ke arah jalan.Namun rasa penasaran jauh lebih kuat. Ia kembali membuka pesan itu, mencoba mencari petunjuk. Tak ada nama, tak ada foto profil, hanya nomor asing yang tak dikenalnya.Hendra menghela napas, menunduk, lalu meremas rambutnya sendiri. Kata-kata dalam pesan itu justru terus terngiang di kepalanya, seolah mempertebal rasa rendah diri yang selama ini ia simpan rapat-rapat.Belum juga ia tenang perkara perceraiannya dengan Sarah, kini datang pesan misterius yang entah berasal dari siapa.***Siang itu matahari terik, para pekerja sibuk dengan aktivitas masing-masing. Hendra baru saja sel

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   4. Menjelang perceraian

    Putri menangis dari kamar, terbangun karena suara gaduh dari rumahnya. Dengan langkah gontai Hendra bergegas menghampiri, menggendong anaknya sambil mencoba menenangkan. Tapi justru saat ia menimang Putri, air matanya makin deras.“Maafin Ayah, Nak... Ayah gagal jadi suami... Tapi Ayah nggak akan gagal jadi Ayah buat kamu.”Malam itu, Hendra tak bisa tidur. Ia duduk di teras kontrakan, merokok berulang kali, memandang langit tanpa arah. Gaji yang baru saja diterimanya hanya diletakkan begitu saja di atas meja kecil. Bayangan tentang perceraian, masa depan Putri, dan cibiran orang-orang terus menghantui pikirannya.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia memberanikan diri mendatangi Kantor Urusan Agama. Dengan map lusuh berisi fotokopi KTP, KK, dan buku nikah di tangannya, ia melangkah berat. Pegawai yang melayani menatap iba melihat wajah letihnya.“Bapak mau daftar sidang cerai?” tanya sang petugas.Hendra hanya mengangguk pelan. Suaranya tercekat, nyaris tak bisa keluar.“Iyaa, Bu...

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   3. Tidak!

    Menjelang sore, Hendra dan Putri bersiap untuk pulang. Saat dia hendak menyalakan motor, Pak Budi menghampirinya sambil membawa amplop putih di tangannya. “Dra!” panggilnya. Hendra pun menoleh sambil tersenyum.“Iyaa Pak, ada apa?” sahutnya. Pak Budi tersenyum.“Ini gajimu masa langsung pulang gitu aja,” jawabnya sambil tertawa.“Dan kalo besok kamu bawa lagi anakmu, biar istri saya aja yang asuh. Sekalian Putri nemenin istri saya, Dra,” tawarnya sambil menyodorkan amplop putih di tangannya. Hendra menepuk jidatnya pelan.“Yaa ampun, saya hampir lupa kalo hari ini gajian, Pak.” dia sedikit terkejut dengan ucapan mandornya itu, dia sejenak terdiam dan menoleh ke arah Putri sekilas. “Nanti malah ngerepotin, Pak. Putri mending disini aja, nanti saya juga mau cari kontrakan yang dekat sama tempat kerja,” jawabnya. Pak Budi menepuk pundak Hendra.“Ck! Kamu ini, Dra. Soal itu kamu Nggak usah khawatir, lagi pula. Kami belum punya anak, mungkin dengan ada nya Putri bisa bikin istri say

  • Suami yang Terhina Menjadi Kaya Raya   2. Arsitek Junior

    Sepanjang jalan, Hendra tak ada henti-hentinya memikirkan permintaan Sarah. Meskipun ia marah, tapi tidak sampai meminta bercerai, kan? “Dra, kenapa kamu bawa anak? Nanti dia ganggu pekerjaan kamu gimana?” tegur sang mandor saat Hendra sampai di proyek. Sambil menggendong Putri yang diam. “Maaf Pak Budi, anak saya nggak akan ganggu kok. Yang penting dia aman, nanti aku titip ke mbak Yuni kantin. “ tukasnya lalu menitipkan Putri ke kantin. Meskipun penjaga kantin itu centil, ia akhirnya mau. Apalagi, yang menitip adalah Hendra. Bagaimanapun, di proyek itu hanya Hendra yang paling dicolek oleh penjaga kantin. Hendra tersenyum lalu berdiri perlahan, lalu menunduk ke arah Putri. Ia meraih tangan mungil itu, menciumnya dalam-dalam sambil berbisik lirih. “Ayah kerja dulu ya, Sayang. Nanti Ayah jemput. Jangan nakal, jangan bikin Mbak Yuni repot.” Putri hanya tersenyum lebar dan mengangguk mantap. Senyuman itu membuat dada Hendra sedikit lega, meski langkah kakinya terasa berat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status