Share

Suamiku ABG
Suamiku ABG
Penulis: Nev Nov

Bab 1

Pagi yang berisik di jalanan yang padat. Suara makian orang-orang di luar, juga bising kendaraan tidak memecah konsentrasi Eleanor dalam mengendarai mobilnya. Orang-orang gak berpendidikan, gerutunya dalam hati.

Memakai kacamata hitam, matanya lurus ke depan memandang jalan. Jakarta terasa padat menyesakkan setiap pagi di jalan yang Eleanor lalui. Suara klakson ditimpa dengan makian pengendara seakan-akan membawa suasana pagi nan damai berubah jadi area perang. Eleanor membawa mobilnya melaju pelan di antara lalu lintas yang padat. Headset terpasang di telinga kanannya untuk menerima telepon yang tidak ada habisnya. Sebentar-sebentar matanya melirik spion, memperhatikan suasana sekitar.

“Selamat pagi,  Pak Sandy. Iya betul, saya Eleanor. Bagaimana dengan meeting hari ini? Bisa? Oke, nanti akan saya konfirmasi dengan Bapak Direktur. Terima kasih.”

Nada bicara Eleanor berubah-ubah dalam menelepon, kadang lembut merayu tetapi sering tajam menusuk. Tergantung siapa lawan bicaranya. Posisinya sekarang sebagai sekretaris direktur utama tidak didapatkan dengan mudah. Semua hasil dari kerja keras dan loyalitas tinggi pada pekerjaannya.

Sampai di halaman kantor tepat jam delapan lewat sepuluh menit. Kantor mulai buka jam setengah sembilan, dan Eleanor selalu membiasakan diri datang dua puluh menit lebih awal untuk mempersiapkan pekerjaan. Memarkir mobil di tempat khusus untuknya tepat di samping parkir direktur. Hari ini baju yang dia kenakan rok berwarna putih yang panjangnya tepat di lutut, dikombinasi dengan blazer warna peach pudar dan memakai sepatu hak tinggi berwarna peach yang serasi dengan blazernya. Mematut sebentar di kaca spion, mengambil tas dan memeluk setumpuk dokumen di tangan kirinya, Eleanor melangkah ke pintu gedung.

“Selamat pagi, Ibu.” Dua orang satpam yang bertugas menjaga pintu menyapa dengan ramah. Eleanor mengangguk dan tersenyum kecil. Melewati pintu detektor, menempelkan tanda pengenal dan melangkah lurus menuju lift.

Lobi gedung ramai pengunjung. Gedung tempat Eleanor bekerja adalah milik pribadi atasannya, Dirga. Gedung megah dua belas lantai dengan dua bangunan utama. Lantai gedung terbuat dari marmer mengilat warna putih dengan langit-langit berwarna biru laut. Bagian samping bangunan utama terbuat dari kaca bening yang menyilaukan dengan taman kecil sebagai hiasan. Eleanor berjalan cepat melewati dua orang cewek yang tengah berdiri mengobrol di tengah lobi.

“Eih, lihat cewek itu nggak?”

“Yang mana?”

“Itu yang pakai blazer warna peach, dia kan simpanan bos besar.”

“Bohong lu!”

Eleanor mendengar bisik-bisik mereka dengan cuek dan terus melangkah. Dia sudah sering digosipkan seperti itu jadi bukan masalah lagi buatnya.

Palingan mereka pegawai rendahan. Sekali jentik juga akan keluar dari gedung ini. Tapi buat apa? Gak ada gunanya. Eleanor bergumam dalam hati, tak ingin membiarkan perasaan kesal menguasainya. Pintu lift terbuka, tidak banyak orang di dalam. Eleanor memencet tombol dua belas dan berdiri di sudut.

“Pagi, Kak.” Juwita sang asisten sekretaris berdiri dari tempat duduknya untuk mengambil dokumen dari tangan Eleanor.

“Pagi, Juwita. Ini tolong rapikan dan susun berdasarkan catatan yang sudah kubuat.” Eleanor menyerahkan dokumen ke tangan Juwita, menghampiri meja kerjanya yang berada di ujung ruangan. Menyalakan komputer dan mengecek jadwal.

“Juwita, apa sudah terhubung dengan Bu Irish dari PT. Pelita Jaya?” Eleanor bertanya tanpa mengalihkan kepala dari catatan elektronik di tangannya.

“Sudah, Kak. Tapi orangnya berkepribadian sulit. Harus dirimu yang mengatasi. Aku nggak sanggup.”

“Oh, oke. Ingatkan aku untuk menelepon dia nanti jam dua.”

Juwita mengangguk, menulis catatan di kertas kecil dan menempelkannya di atas meja. Eleanor berdiri, berjalan menuju ruangan direktur yang berada persis di samping ruangan mereka. Dia membuka pintu, menghampiri meja direktur untuk mengecek berkas yang ada di atas meja. Memeriksa air minum dan juga obat-obat yang harus dikonsumsi Dirga.

Obat jantung, darah tinggi, dan kolesterol sudah ada semua.” Eleanor menghitung cepat dalam hati, kemudian merapikan vas bunga dan menyalakan komputer Dirga. Suara telepon di meja membuyarkan konsentrasinya dalam mengecek berkas. Dia mengangkat dan menempelkan di kuping.

“Selamat pagi, dengan Elang Dirga Enterprise di sini.”

"...."

“Ah, ya. Selamat pagi, Pak Narto. Ini dengan Eleanor.” Eleanor tersenyum, mendengarkan dengan saksama apa yang dikatakan lawan bicaranya.

"...."

“Baiklah, akan saya sampaikan. Besok siang jam setengah dua belas sepertinya tepat. Bagaimana kalau kita bertemu di Menara Raya? Ada restoran yang enak di sana, cocok buat kita bertemu.”

Jam menunjukkan tepat pukul sembilan ketika Eleanor mengakhiri pembicaraan di telepon. Terdengar bunyi pintu dibuka, tampak direkturnya memasuki ruangan.

“Selamat pagi, Elea Sayang. Bagaimana jadwal hari ini?” Dirga adalah laki-laki berumur enam puluhan yang masih sehat dan bugar dengan rambut putihnya. Eleanor tersenyum dan menghampiri Dirga.

“Hari ini dasinya sudah keren, hanya agak miring sedikit.” Eleanor merapikan dasi Dirga dan tersenyum manis.

“Terima kasih. Beginilah duda, gak ada istri yang mengurusi. Jadi, akan ke mana kita hari ini?” Dirga duduk di kursinya sambil memperhatikan jadwal yang telah rapi tersusun di meja. “Wah … Senin sibuk ya?”

“Iya, Pak. Dan sekarang sarapan dulu, lalu minum obat darah tinggi.” Eleanor menyerahkan nampan berisi roti lapis dan teh tanpa gula yang baru saja diseduhnya.

“Ehm, roti lapis ini enak. Tidak terlalu manis.” Dirga makan dengan lahap. Eleanor memperhatikan atasannya makan dengan senyum sayang tersungging di bibirnya.

***

Reynand

Jam beker berbunyi memekakkan telinga. Reynand terbangun dengan kaget.

“Sial ini jam! Bikin gue pusing aja!”

Dengan berteriak marah Reynand bangkit dari tempat tidur. Waktu menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit. Masih pagi, tetapi dia harus bangun untuk sekolah. Reynand mengucek mata, dengan malas menyeret kaki menuju kamar mandi. Mandi, gosok gigi semua dilakukan dengan sangat cepat, berganti seragam dan langsung turun dari kamarnya. Di anak tangga terakhir dia menyambar jaket hitam yang tersampir di susuran tangga dan setengah berlari menuju halaman.

“Nak Reynand, kamu belum sarapan.” Sarni berlari dengan membawa roti untuknya.

“Udah nggak keburu, Bi. Entar aja di sekolah.” Dia memakai helm dan menstarter motor gedenya keluar rumah. Jalanan sudah mulai padat. Wah, bisa telat gue nih!

Semalam gara-gara mikirin lagu baru untuk band-nya, dia tidur menjelang subuh. Memacu motornya kencang-kencang dan mendapat banyak makian di jalan, Reynand melaju tak terkalahkan. Mendekati tikungan terakhir, motornya terhenti tiba-tiba. Ada apa ini, kenapa jalannya ditutup?

Matanya berkeliling mencari jalan memutar dan mendengkus sebal karena jalanan ditutup dengan bangku panjang. Dia melihat banyak anak cowok yang sepertinya berasal dari sekolah lain tengah bergerombol di samping bangku panjang.

“Woi! Lu Reynand anak SMU 44, bukan?” Salah seorang di antara mereka, yang bertampang sangar dengan memegang semacam tongkat pukul, berteriak padanya.

“Siapa kalian?” Reynand bertanya dengan dingin.

“Lu nggak usah tahu siapa kami. Yang pasti kami di sini mau ngingetin lu biar nggak banyak tingkah.” Cowok paling depan yang mukanya hitam dan rambutnya kucel berkata mengancam sambil mengayunkan tongkat bisbol di tangannya.

Sial, bisa panjang urusannya, nih! Reynand menggerutu dalam hati.

“Oke, gue nggak akan cari tahu soal kalian. Lagian gue juga nggak peduli urusan kalian. Tapi bisa nggak, minggir sekarang? Gue mau telat, man!”

“Kalian dengar? Reynand anak 44 takut telat, coy!” Mereka tertawa terbahak-bahak.

“Manis banget, sih!” Mereka kembali tertawa dan bergerak pelan secara bersamaan untuk mendekati Reynand.

“Kalau kalian udahan ketawanya dan nggak mau minggir, jangan salahin kalau gue tabrak semua.” Reynand membuka helm dan memegangnya menggunakan tangan kiri. Tangan kanan mulai bergerak memasukkan kopling dan siap-siap menambah kecepatan.

“Lu pikir lu jagoan? Gue kasih tahu lu sekarang sebelum babak belur hari ini dan siapa tahu nggak bangun lagi. Kami dari SMU 38 sengaja datang buat ngasih pelajaran ama lu yang terbiasa ngrebut cewek orang.” Si Rambut Kucel berkata dengan suara lantang.

“Gue ngrebut cewek orang? Kagak salah dengar? Cewek-cewek itu yang nyodorin dirinya ke gue!” Reynand mendengkus geli. Jadi urusan ini cuma karena perempuan? Cuih, buang-buang waktu gue aja!

“Dia belagu, coy! Hajar sekarang!”

Mereka menyerbu Reynand dengan sangar. Reynand yang sudah bersiap dengan kecepatan penuh, mengegas motornya melewati mereka. Saat pengeroyoknya yang paling depan mengayunkan tongkat bisbol, Reynand menangkis menggunakan helm. Mengayunkan sekuat tenaga helmnya untuk menggebuk siapa pun yang mendekat.

Reynand merasa ada sesuatu yang menggebuk punggungnya, membuatnya sakit. Dia menghentikan laju motor dan berdiri meninggalkan motor. Membuka tas dan mengeluarkan gesper dengan banyak paku payung tersemat di sana. Reynand berdiri menantang menghadapi para pengeroyoknya.

“Ayok sini, kita lihat siapa yang banci sekarang! Gara-gara perempuan aja kayak gini. Cuih!” Reynand meludah di tanah. Selanjutnya dia tak tahu lagi siapa yang memukul siapa. Dia seorang diri menyabet, menggebuk, dan memukul setiap pengeroyoknya. Melumpuhkan mereka yang punya senjata tajam lebih dahulu selanjutnya menghabisi yang paling lemah. Setengah jam kemudian, semua pengeroyoknya tergolek di tanah dengan darah berlumuran di wajah mereka. Reynand berdiri sempoyongan menyeka darah dari mulutnya.

“Gue kasih tahu kalian semua! Gue anak 44 nggak akan nyerah sama pertarungan. Tapi gue paling empet kalau berantem soal perempuan. Kurang kerjaan!” Berkata dingin, Reynand menyimpan sabuknya kembali ke dalam tas dan menstarter motor.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status