Share

Bab 5a

Kejadian dengan Renata membuat Reynand sedikit lebih berhati-hati soal cewek. Reynand tidak pernah peduli dengan gosip di sekelilingnya, tetapi dia tidak suka bila orang-orang mengatakan dia merebut pacar orang.

“Pantang buat gue merebut pacar orang. Cewek banyak, Bro. Lu nggak harus naksir cewek orang lain biar bisa punya pacar.”

Itu yang selalu Reynand katakan pada teman-temannya. Makanya dia sangat kesal dengan masalah Renata. Dia berusaha keras untuk menghindar dari cewek itu. Namun, sepertinya penolakan Reynand tidak membuat Renata patah semangat. Nyaris setiap hari dia menelepon, SMS atau mencarinya di kantin. Sikap Renata yang posesif membuatnya sebal. Lucunya, kesebalan Reynand adalah hiburan bagi teman-temannya.

“Upz, Miss Universe datang.” Begitu ucapan Topan tiap kali melihat Renata muncul dan artinya itu waktu untuk Reynand menghilang dari pandangan.

“Hai, Kalian Semua. Ada ngelihat Reynand, nggak?” Renata tersenyum manis menghampiri mereka yang tengah asyik nongkrong di kantin.

“Nggak, Manis. Sepertinya Reynand nggak masuk hari ini.” Dedy menjawab sambil mengedipkan sebelah mata ke arah Renata.

“Oh gitu. Salam ya kalau kalian bertemu dia.”

“Siap, Manis.”

Dengan langkah gemulai Renata meninggalkan mereka. Setelahnya Roki mengetuk papan yang memisahkan meja mereka dengan dapur. Reynand muncul dari balik papan dengan muka kesal.

“Mau sampai kapan lu menghindar terus?” Roki bertanya pada Reynand yang duduk di sampingnya. Dia menyambar mangkuk berisi soto dan mulai makan dengan lahap.

“Gue udah nolak dia sekasar gue mampu, tapi tetap aja itu cewek nyariin gue terus. Nomor HP dia udah gue blok juga.” Reynand menjawab di sela kegiatannya mengunyah.

“Gue ada usul gimana caranya nolak dia.” Dedy berkata sambil menyeringai.

“Gimana?” Anjas kelihatan tertarik.

“Lu kejar cewek lain, Bro. Biar dia tahu lu udah nggak naksir dia."

"Ah, gila lu. Masalah baru itu mah.” Anjas menyela, tidak setuju dengan pendapat Dedy.

“Masalah baru gimana? Kalau Reynand punya cewek lain otomatis Renata akan berhenti ngejar. Masa' iya Reynand ada cewek lain dia nggak nyerah juga?”

Semua terdiam mendengar usul Dedy. Sekilas terdengar masuk akal. Reynand termenung. Menghabiskan sotonya, mengelap mulut dengan tisu dan berkata perlahan, “Usul lu bagus. Gue akan coba.”

Yes!” Dedy mengepalkan tangan memberi semangat. Roki dan Topan  mengedikkan bahu tidak peduli. Anjas mendecak lidah tidak setuju.

“Ada ide, cewek mana yang harus gue deketi?”

“Lu jangan cari cewek yang terlalu populer, Bro. Jenis mereka pasti sudah punya pacar. Cari yang biasa aja tapi nggak jelek juga. Yang penting bisa buat diajak jalan.” Dedy terus memberi usulan karena merasa pendapatnya diterima.

“Lu ngomongin cewek udah kayak ngomongin baju. Mereka punya perasaan, tauk.” Anjas melempar gulungan tisu ke arah kepala Dedy. Tidak habis pikir dengan isi otak Dedy.

“Ya udah, ada ide?” Reynand memandang berkeliling ke arah teman-temannya. “Kali ini gue nggak akan main-main, promise. Cariin cewek sederhana yang nggak banyak tingkah dan nggak populer.”

“Ehm, Ana gimana?” Roki mengusulkan.

“Siapa Ana?” Reynand bertanya heran.

“Ketua klub voli. Orangnya tinggi, kuat, rajin olahraga.”

“Oh dia. Gue nggak setuju. Terlalu laki-laki cewek itu. Bisa-bisa dia ngajak ribut semua cewek yang melirik Reynand.” Anjas berargumen.

“Jadi siapa?” tanya Dedy.

“Cindy.” Topan yang sepanjang perdebatan hanya diam, tiba-tiba memberi usulan. Keempat temannya menoleh.

“Cindy yang mana?” Reynand bertanya. Topan tidak menjawab, mengedikkan kepala ke arah serombongan cewek yang berjalan melewati mereka. Reynand memperhatikan cewek-cewek itu memegang alat musik. Ada biola, gitar, dan banyak jenis lagi.

“Yang megang gitar, itu Cindy. Anggota klub musik. Anaknya manis. Menurut kabar yang gue dengar, dia naksir lu.” Topan menjelaskan dengan suara pelan.

Reynand memperhatikan gadis yang dimaksud. Tidak terlalu tinggi, langsing, dan mempunyai wajah tirus yang menarik meski tidak bisa dikatakan sangat cantik. Gadis-gadis itu berjalan sambil melirik ke arah mereka duduk. Reynand terus memperhatikan Cindy yang rombongannya tertahan tepat di hadapan mereka oleh kereta dorong berisi piring-piring kotor.

“Oke, kenalin gue sama dia, Topan.” Reynand setuju.

Kelompok mereka menyeringai puas. Akhirnya terbebas juga dari cerewetnya Renata. Sebelum pergi, Cindy sempat mengerling ke arah Reynand. Mata mereka bersirobok dan Cindy memalingkan wajahnya yang memerah.

“Dari dulu urusan cinta-cintaan lu ama cewek selalu bikin kita pusing.” Anjas menggerutu.

“Bukan salah gue terlahir ganteng, Bro. Salah kalian yang tercipta biasa-biasa aja.” Reynand menimpali dengan cuek, membuat teman-temannya geram. Tanpa banyak kata meninggalkan Reynand sendiri untuk membayar makanan mereka.

“Woi, bayar dulu, woi!” Teriakan Reynand tak dihiraukan mereka.

***

Kantor terasa sunyi saat sore hari. Eleanor terus berkutat dengan pekerjaan. Menghitung, menandai, dan membuat laporan di komputer. Sesekali berbicara serius di telepon untuk mengonfirmasi jadwal dengan klien. Juwita yang duduk tidak jauh dari meja Eleanor juga sibuk menyusun dokumen. Akhir bulan pak direktur akan keluar negeri untuk ekspansi perusahaan. Dan mereka berdua dituntut menyiapkan dokumen perusahaan yang diperlukan secepatnya.

“Kak, apa Pak Direktur akan pergi sendirian?”

“Nggak. Dengan Kepala Manajer Pak Jaya juga beberapa staf lain.” Eleanor menjawab tanpa menolehkan kepala dari atas keyboard.

“Kenapa Kakak nggak ikut? Bukannya Kakak yang tahu seluk-beluk dokumen dan semuanya?”

“Sudah kuserahkan sama Tomi, staf Pak Jaya. Dia bisa menghubungiku kapan pun saat memerlukan sesuatu. Aku nggak bisa ikut karena ada beberapa pertemuan harus dihadiri.”

“Oh, gitu.” Juwita akhirnya paham.

“Kenapa banyak tanya? Bilang saja kamu ingin oleh-oleh kalau aku ke luar negeri, 'kan?” Eleanor memandang ke arah Juwita yang menyeringai lucu.

“Ih ketahuan, hihihi.”

“Minta langsung saja pada Pak Direktur.”

“Yah setelah itu langsung ditendang.” Juwita memutar bola matanya, Eleanor tertawa lirih. Tiba-tiba HP-nya berbunyi. Dia memeriksa nomor yang tertera di layar dan mengangkatnya.

“Hallo, selamat sore.”

“Sore, Eleanor. Apa kabar?” Suara laki-laki yang dalam dan sopan terdengar dari ujung telepon.

“Pak Ferdinand, kabar baik. Ada yang bisa saya bantu?”

“Ah, selalu to the point, Eleanor.”

“Bapak terlalu menyanjung.” Eleanor menjawab sopan.

“Bagaimana kalau kita bertemu malam ini? Ada beberapa perubahan yang akan kukatakan. Dan aku menginginkan persetujuanmu sebelum kucetak.”

“Apa tidak bisa diutarakan di telepon?” Eleanor mengerutkan kening.

“Tidak, karena ada banyak.” Jawaban tegas Ferdinand membuat Eleanor menghela napas. Dia kurang suka rapat di luar dan hanya berdua dengan laki-laki, tetapi demi pekerjaan harus dilakukan.

“Baiklah, malam ini jam tujuh di Kafe M?”

Good, perfectSee you tonight. Bye, Eleanor.”

Bye.” Eleanor menutup telepon dan memutar badannya menghadap Juwita. “Juwita, malam ini kamu ada acara?”

“Nggak, Kak. Ada apa?”

“Bagus. Aku traktir makan malam sekalian ketemu klien.”

Yes, tentu saja mau.”

“Cepat selesaikan pekerjaanmu. Jam setengah enam kita meluncur.” Eleanor melanjutkan pekerjaannya.

Juwita terlihat berseri-seri dan berkata yes dalam hati. Sudah lama dia ingin ikut pertemuan dengan klien. Menurutnya itu sesuatu yang bagus dan penting. Dia bekerja sudah hampir setahun di perusahaan ini. Selama menjadi asisten Eleanor dia merasa sangat menyukai pekerjaannya. Eleanor adalah atasan juga teman yang baik yang selalu bisa membimbingnya. Di bawah asuhan Eleanor, kemampuannya dalam bekerja berkembang sangat pesat. Dan akhirnya tiba waktunya mereka memberikan kesempatan untuk ikut meeting dengan klien. Juwita merasa bahagia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status