Share

Bab 4

Selesai rapat, Eleanor tergesa-gesa pulang. Dia pamit karena ada urusan penting. Dengan kecepatan tinggi, dia memacu mobilnya. Sejam kemudian, dia buru-buru memarkir mobil. Dengan langkah tergesa memasuki rumah. Mencopot sepatu di depan pintu dan setengah berlari menuju kamar adiknya.

“Maaf Kakak terlambat, Andro. Bisa kita berangkat sekarang?” Adiknya sudah duduk tenang menunggu di atas kursi roda.

“Nggak apa-apa, Kak. Pasti sibuk dan macet ya?”

“Iya, ada rapat penting. Kamu sudah siap, 'kan?”

Aleandro mengangguk. Eleanor mendorong kursi roda adiknya ke depan. Sampai ruang tamu dia menghentikan kursi roda dan berjalan menuju pintu kecil yang menghubungkan ruang tamu dengan ruangan kecil di sebelahnya. Ruangan itu berfungsi sebagai toko roti. Seketika tercium wangi mentega dan aroma gula-gula membuat perut Eleanor berkeriuk lapar.

“Ma, Pa. Kami pergi dulu, ya.” Dia berteriak untuk pamitan.

“Iya, hati-hati. Tadi Mama sudah telepon dokter kalau kalian agak terlambat.” Mama mendongakkan kepala dari loyang tempat dia tengah mengoles mentega. Papanya sibuk membungkus roti. Ada dua orang pembeli menunggu pesanan mereka dihitung.

“Iya, Ma.” Eleanor melangkah keluar dengan sedih. Akhir-akhir ini toko kedua orang tuanya sepi orderan. Dalam satu hari biasanya terjual 50 loyang sekarang bisa menjual 10 loyang sudah bagus.

“Nanti pulang dari terapi kamu mau makan apa? Kakak akan traktir kamu.” Setelah mendudukkan Aleandro di kursi depan, Eleanor melipat kursi roda dan menaruh di bagasi.

“Pizza boleh nggak, Kak? Tapi jangan makan di tempat.”

“Kenapa nggak mau makan di tempat? Pizza lebih enak kalau dinikmati langsung selagi panas.”

“Nggak, ah. Makan di mobil saja.” Eleanor menghela napas, susah membujuk adiknya bila rasa rendah dirinya sedang muncul. Dalam diam mereka berdua menembus jalanan Jakarta saat macet di sore hari.

***     

Suasana garasi yang panas merusak konsentrasi Reynand dalam mencipta lagu. Dia mengambil botol air mineral, meneguk isinya lalu melempar botol kosong ke tempat sampah. Reynand melangkah keluar garasi. Karena suasana hatinya yang kacau, ditambah dengan suasana panas yang dirasakan membuatnya ingin mengisap rokok. Namun, keinginan itu ditekan kuat-kuat.

Bisa mati gue kalau merokok lagi. Menggaruk kepala, Reynad berjalan menuju motor.

“Mau ke mana lu? Latihan kita belum selesai!” Suara teriakan entah dari siapa di dalam tak menghentikan langkahnya.

“Panas banget. Mau pulang cepat gue. Nggak tahan!” Reynand balas berteriak.

“Ya udah, kita stop aja. Gara-gara kipas angin sialan itu mati kita semua jadi kayak pepes panggang.” Dedy menggerutu.

Mereka merapikan peralatan musik. Anjas keluar terlebih dulu, mencuci muka di wastafel samping garasi dan menghampiri Reynand yang sudah memakai helm.

“Gue boleh nebeng lu bentar nggak?”

“Mau ke mana?”

“Rumah Sakit Kencana. Sepupu gue kecelakaan.”

“Ya udah, pakai helm.”

Anjas berlari ke dalam garasi mengambil helm, setelah memakainya dia duduk di belakang Reynand. Motor melaju dengan kekuatan penuh menembus ramainya lalu lintas. Meliuk di antara banyak kendaraan yang terkena macet. Reynand sangat ahli mengendarai motornya, pintar memotong jalan meski mendapat beberapa kali makian dari pengendara yang lain. Mereka tiba di rumah sakit dengan cepat.

“Gue masuk dulu. Lu mau nunggu atau pulang langsung nggak masalah.”

Reynand memperhatikan suasana rumah sakit yang agak ramai. Para pengunjung berseliweran dan banyak gadis cantik terkikik melihatnya.

“Gue tungguin lu di lobi. Mau ngadem dulu.”

Anjas mengangguk dan melangkah masuk rumah sakit. Reynand merapikan helm, menyampirkan tas sekolah di belakang punggung dan mengikuti Anjas menuju lobi. Melihat ada sofa besar di lobi bagian samping di mana tidak banyak pengunjung berlalu-lalang, Reynand menghempaskan badan di sana dan memejamkan mata.

***

“Kakak mau nebus obat. Kamu mau nunggu di mana?” Eleanor mendorong kursi roda adiknya menuju lobi rumah sakit yang ramai.

“Di sana, Kak. Dekat pohon palem itu.”

Eleanor mengangguk dan mendorong Aleandro menuju sofa besar dengan suasana agak sepi. “Tunggu di sini, ya. HP-mu ada?”

Aleandro mengangguk. “Andro bawa komik untuk dibaca. Tenang, Kak.”

Eleanor tersenyum dan meninggalkan adiknya di samping sofa besar. Aleandro membuka komik dan mulai membaca. Pengunjung tidak banyak yang duduk di sofa besar karena letaknya agak menyamping. Aleandro melihat seorang anak laki-laki SMU yang tengah tertidur pulas. Mendecakkan lidahnya tak percaya bahwa di tengah hiruk pikuk pengunjung yang berlalu-lalang ada orang bisa tidur dengan pulas. Mengabaikan keheranannya Aleandro meneruskan membaca.

Dari arah depan tanpa diduga tiba-tiba datang dua orang anak kecil tengah berlari-lari, mereka bercanda dan tertawa mengitari kursi roda. Membuat Aleandro sedikit tidak nyaman.

“Kalian pergilah, jangan di sini.” Aleandro berusaha bicara dengan anak laki-laki yang kira-kira berumur tujuh tahun. Namun, anak laki-laki itu tak peduli, meleletkan lidah ke arah Aleandro dan terus berkejar-kejaran dengan temannya. Menarik napas kesal, dia memindahkan kursi roda untuk menghindari mereka.

Tiba-tiba peristiwa yang tak disangka terjadi. Serombongan orang datang dari pintu depan dengan dua suster di samping kanan kiri mendorong brankar. Karena panik, mereka tidak menyadari ada anak laki-laki yang tengah berlari. Tak ayal tabrakan akan terjadi. Aleandro yang melihat bahaya, berusaha melemparkan tubuhnya untuk meraih anak kecil agar tidak tertabrak brankar. Karena mengeluarkan seluruh tenaga, membuatnya ambruk dari kursi roda. Anak kecil yang diraihnya ikut terjatuh dan menangis kencang sekali.

“Aduh, ada apa ini?” Dua orang ibu-ibu yang sebelumnya terlihat asyik mengobrol di ujung lorong berlari tergopoh menghampiri anak yang menangis.

“Hei, apa yang kamu lakukan pada anakku? Kamu tahu 'kan, dia masih kecil dan kau menindihnya dengan kursi rodamu!” Ibu itu terus mengoceh tanpa henti, mengabaikan Aleandro yang tengah kesakitan berusaha untuk menggapai kursi rodanya.

“Harusnya emak-emak kayak lu dikasih pelajaran, baru tahu gimana caranya jaga anak.” Suara yang dalam menghentikan ocehan ibu itu.

Aleandro merasa tubuhnya diangkat dan didudukkan di kursi roda. Mendongakkan kepala, dia melihat anak SMU yang sebelumnya tengah tertidur pulas kini datang membantunya.

“Eh, kamu anak sekolah gak tahu sopan santun, ya! Bicara dengan orang tua kasar sekali.” Ibu yang anaknya tertindih kursi roda mulai mengomel.

“Kalian emang pantas dikasari! Nggak tahu terima kasih. Kalau bukan karena bocah ini anak lu udah ketabrak brankar. Bukannya ngucapin terima kasih malah ngoceh sembarangan.”

Aleandro melihat ibu yang tengah marah itu akhirnya melunak. Tanpa berucap apa-apa lagi wanita itu menggendong anaknya dan meninggalkan mereka berdua.

“Lu nggak apa-apa, Boy?” Cowok SMU itu bertanya pada Aleandro, membuatnya kaget dan hanya menganggukkan kepalaDia berpikir jika kakak berseragam SMU ini ganteng sekali.

“Terima kasih, Kak.” Aleandro berucap pelan.

“Lain kali lu nggak boleh membiarkan orang lain semena-mena sama lu. Kalau nggak salah, harus membela diri.”

Aleandro mengangguk malu. Cowok SMU itu kembali duduk di tempatnya. Dengan gerakan tangannya menyuruh Aleandro mendekat.

“Apa kamu suka komik Conan juga?” tanya pemuda itu sambil menunjuk komik di tangannya.

Aleandro mengangguk dan memamerkan komiknya.

“Gue juga suka. Banyak koleksi di rumah. Nanti kalau ada waktu bertemu lagi kita bisa saling menukar.”

Aleandro mengangguk dan tersenyum cerah. “Benarkah, Kak?"

Pemuda SMU itu tersenyum mendengar suaranya dan makin terlihat tampan.

“Tentu saja. Siapa nama lu, Boy?”

“Aleandro, Kak. Biasa dipanggil Andro.”

Pemuda itu tersenyum mengacungkan jempol dan kembali memejamkan mata.

Eleanor yang telah menyelesaikan penebusan obat untuk Aleandro, mempercepat langkahnya. Dia agak khawatir karena telah meninggalkan Aleandro agak lama dari yang diperlukan. Namun, merasa lega ketika dari jauh dilihatnya adiknya tetap duduk di tempat dengan komik terbuka di pangkuannya.

“Andro, Kakak kelamaan, ya?”

Adiknya menggeleng. “Nggak, Kak. Sudah tebus obatnya?”

“Sudah, ayo kita pulang. Tetap mau makan pizza?”

“Iya. Eh, Kak. Ini kenalin teman aku.” Aleandro menunjuk pemuda yang duduk di sampingnya. Saat mengenali sosok itu, mata Eleanor membulat. Tepat saat Reynand membuka mata. Keduanya bertatapan lalu senyum kecil keluar dari mulut pemuda di samping adiknya.

“Ah, Sekretaris Arogan ada di sini. Kalian bersaudara ternyata.”

Aleandro menatap bergantian ke arah sang kakak lalu Reynand. “Kalian saling kenal?” tanyanya polos.

“Tentu saja, Boy. Kami saling mengenal dengan baik, bisa jadi saling cinta mencintai.” Reynand tergelak. Terlebih saat menatap Aleandro yang kebingungan dan Eleanor yang menatapnya dengan kesal.

“Andro, kita pulang!” Mengabaikan Reynand, Eleanor meraih kursi roda sang adik dan bersiap pergi.

“Tunggu, Kak.” Aleandro memutar kursi roda dan berucap lantang ke arah Reynand. “Terima kasih, Kak. Kapan-kapan kita ketemu lagi.”

“Okeee, jangan lupa bawa komik!”

Salam perpisahan yang diucapkan dengan riang dan lantang oleh adiknya pada Reynand membuat Eleanor heran, karena sudah lama sekali dia tidak melihat adiknya segembira ini. Terlebih pada orang yang baru saja ditemui. Dia menatap Reynand dan mengangguk kecil, tanpa berpamitan mendorong kursi roda ke arah parkiran.

Sepanjang lorong yang mereka lewati, Aleandro tak henti-hentinya memuji Reynand dan berharap dapat bertemu pemuda itu lagi. Eleanor hanya mendengarkan dalam diam, sama sekali tidak menyangka jika pemuda berandalan seperti Reynand ternyata bersikap baik pada adiknya. Sesuai janji, dalam perjalanan pulang mereka membeli pizza dan makan di dalam mobil dengan gembira sepanjang jalan.

***

Rumah terasa sepi saat malam. Kakek sudah masuk kamar entah untuk bekerja atau tidur. Reynand yang belum merasakan kantuk mengambil gitar, mulai memetik untuk mencari nada-nada. Petikannya berhenti ketika ponsel di sampingnya berbunyi. Nomor tak dikenal. Dia menimbang sejenak dan mengangkatnya.

“Hallo.”

“Hallo, ini Reynand?” Suara cewek yang merdu terdengar dari ujung telepon.

“Yuuup, siapa ini?”

“Aku Renata.”

Reynand mengernyit, mencoba mengingat tentang cewek bernama Renata. Akhirnya dia ingat tentang cewek di kantin hari itu.

“Oh ya, Renata. Ada apa, Manis?”

Terdengar tawa merdu. “Katamu kalau ada waktu suruh ngasih tahu?”

Senyum tersungging dari mulut Reynand. “Jadi kapan kita bisa kencan?”

“Sabtu gimana? Sore mungkin?”

“Boleh. Aku jemput di mana? Kamu SMS aja alamatnya.”

“Ok, dadah.”

Reynand meletakkan ponsel di atas kasur dan tersenyum simpul. Selalu semudah ini. Cewek-cewek itu menyerahkan dirinya. Nyaris tanpa dia berusaha keras. Meneruskan aktivitasnya, Reynand tak memperhatikan ada pesan masuk. Rumah yang sepi, suasana hati yang mendukung, Reynand tenggelam dalam pikirannya.

***

Sabtu sore Reynand memakai pakaian kasual, jin dan kaus oblong hitam. Melajukan motor menuju rumah Renata. Ternyata Renata sudah menunggu di ujung gang. Terlihat manis sekali dengan celana panjang putih dan blus biru. Reynand menghentikan motornya di samping Renata.

“Nggak apa-apa kita naik motor?”  Reynand menyerahkan helm pada Renata.

“Nggak apa-apa. Aku malah pingin naik motor.”

“Bagus. Naik kalau gitu.”

Renata tersenyum dan naik ke atas motor di belakang Reynand. Hatinya berdebar tidak keruan. Melingkarkan tangannya untuk memeluk pinggang Reynand dan merasakan dirinya dibawa melesat pergi.

Tempat yang mereka tuju ternyata kafe kecil bernuansa retro, sangat ramai dengan pengunjung yang rata-rata anak muda. Reynand menghentikan motor di parkiran, menyimpan helm dan mengajak Renata masuk.

“Oiii, Bro! Ke mana aja lu? Lama nggak kelihatan.”

Terdengar banyak sapaan ketika Reynand masuk. Dia mengacungkan jempol pada pelayan berbaju hitam yang menyapanya.

“Sibuk sama sekolah gue.”

“Hah, mulai kapan lu rajin sekolah?”

Suara tawa terdengar di seluruh ruangan.

“Abaikan mereka. Ayo kita duduk di sana.” Reynand menuntun Renata duduk di meja yang agak tersembunyi. Renata terus-menerus tersenyum senang.

“Mau makan sesuatu?” Reynand menyodorkan buku menu.

Renata menggeleng dan menyahut pelan, ”Minum aja. Aku udah kenyang.”

Reynand mengangguk. Memanggil pelayan dan memesan minum untuk Renata, kopi untuknya dan seporsi steak.

Steak di sini enak sekali, lho. Yakin nggak mau coba?”

Renata tetap menggeleng. Reynand mengacungkan jempol tanda mengertiKenapa cewek-cewek harus menjaga image setiap kali ke kafe? Menolak makan padahal kelaparan. Dia bingung dengan jalan pikiran mereka.

Pesanan datang. Reynand langsung menyantap steak-nya. Dari rumah sengaja dia tidak makan siang karena ingin makan steak di sini. Renata cewek yang sangat menjaga penampilan, berbicara sangat halus dan pelan. Reynand memperhatikan wajahnya dirawat sekali. Mereka mengobrol tentang sekolah dan hal lain.

“Apa setelah ini kamu mau nonton? Aku lihat kamu nggak suka di sini.” Reynand bertanya sambil menyuap seiris daging ke mulutnya.

Renata menggelengkan kepala. “Aku suka di sini, Rey. Kalau mau nonton atau ke mana juga terserah kamu. Aku ikut aja.”

Reynand mengangguk. Suara musik mengalun merdu dari penyanyi wanita yang bernyanyi di pojok ruangan dengan musik seadanya. Untuk sejenak Reynand terhanyut dengan suara penyanyi itu. Kemudian tersadar, lalu memanggil pelayan dan membayar tagihan.

”Ayo kita pergi sekarang.” Mereka bangkit dari duduknya berjalan menuju parkiran. Keduanya melangkah beriringan.

“Renata! Ngapain di sini?” Suara membentak terdengar dari arah samping. Serentak keduanya menoleh. Reynand melihat seorang cowok yang sepertinya dia kenal.

“Gun?” Renata terlihat kaget dengan kehadiran cowok itu.

“Kenapa lu bisa bareng si Playboy ini?” Gun menunjuk dada Reynand.

“Upz, tenang. Gue ngajak dia nggak ada pemaksaan.” Reynand menepis tangan Gun dari dadanya. Melirik Renata yang terlihat ketakutan.

“Gun, ini masalah gue berdua Reynand. Lu nggak usah ikut campur!” ucap Renata nyaring.

“Urusan lu berarti urusan gue. Ingat Renata, kita belum benar-benar putus. Lu minta break, gue kasih waktu berpikir.” Gun membalas omongan Renata.

“Iya, tapi gue bebas dengan diri gue sendiri!” Renata berteriak.

“Oke. Cukup drama kalian. Gue nggak akan ikut campur urusan kalian. Silakan diselesaikan. Gue cabut dulu.” Reynand melangkah pergi ketika merasakan tangannya ditarik.

“Aku ikut kamu, Rey.” Renata menatapnya manja.

“Nggak. Lu ikut gue, Renata. Ngapain lu ikut si Berengsek ini?” Suara Gun meninggi, tetapi Renata tetap memegang tangan Reynand. Membuat Gun kalap dan melayangkan pukulan ke arah Reynand.

Pukulan Gun nyaris mengenai wajahnya, tetapi Reynand berhasil mengelak. Dengan satu pukulan bertubi-tubi ke arah perut dan muka, dia memberikan serangan yang mematikan. Dalam pukulan kelima, Reynand berhasil membuat Gun duduk terdiam dengan tangan diborgol olehnya ke belakang punggung. Posisi cowok itu setengah berjongkok di tanah. Renata menjerit ketakutan.

“Gue bilangin lu sekali lagi. Pantang buat gue untuk rebut pacar orang. Dan sekali lagi lu panggil gue berengsek, gue hancurin muka lu!” bisik Reynand geram.

Gun hanya menggertakkan gigi, merasa kesakitan juga malu. Reynand melepas pitingannya dan berdiri tegap menghadap Renata.

“Mending lu urus cowok lu dulu. Kencan sore ini kita batalin!”

“Tapi dia bukan cowokku lagi, Rey.” Renata memelas menatap Reynand.

“Itu gue nggak peduli. Buktinya demi lu sampai mau menghajar gue.” Melepaskan tangan Renata yang terus menggayutinya, Reynand pergi meninggalkan mereka berdua. Terdengar teriakan marah dan bentakan di belakangnya. Dia tetap tak peduli.

"Ah, dasar sial!” Reynand menggerutu marah dan memacu motor meninggalkan kafe.

Entah dari mana datangnya, keesokan harinya beredar kabar di sekolah bahwa Reynand dan Gun terlibat baku hantam memperebutkan Renata. Teman-teman Reynand bertanya tak percaya dengan kabar burung itu.

“Lu rebutan cewek?” Roki bertanya pada Reynand yang duduk di bangku, tengah serius memandangi ponselnya.

“Kalau lu percaya kabar burung itu berarti otak lu miring.”

Jawaban Reynand membuat Roki nyengir.

“Iya, ya. Reynand sang Playboy bisa mudah mendapatkan cewek mana pun. Untuk apa rebutan cewek sama cowok lain?”

“Nah, kali ini lu pinter.”

Suara tawa mereka berdua terdengar nyaring di seantero kelas. Reynand sudah menduga hal ini akan terjadi. Selalu saja, dia tidak pernah beruntung masalah cewek.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status