Share

Baikan

"Assalamu'alaikum..."

Nata mengucap salam setelah membuka pintu rumah kediaman orang tuanya. Dari arah dapur tampak Lita muncul sambil membawa nampan berisi jus lalu berjalan menghampiri putranya. Seakan dia memang sudah menantikan kedatangannya.

"W*'alaikum salam... Udah pulang kamu, Mas? Atau bolos dari kantor?"

Nata mengernyit samar sebelum kemudian menggelengkan kepala, "Pulang, Bun," jawabnya singkat.

"Minum dulu sana, tuh udah Bunda buatin," Lita mengedikan kepalanya ke belakang dimana minuman itu diletakan.

Mengerti kode dari sang Ibunda tercinta, Nata segera berjalan masuk ke dalam rumah kemudian duduk di sofa ruang tamu. Tangannya segera meraih gelas yang berada di atas meja lalu menenggaknya hingga tandas.

Perlahan, Lita ikut mendudukan dirinya berdampingan dengan Nata. Setelah meletakan kembali gelas ke atas meja, Nata melarikan pandangan sepenuhnya pada wanita yang telah melahirkannya itu.

"Gea dimana, Bun?" tanya Nata to the point.

Ya, tujuan Nata tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menjemput sang istri yang kabur dari rumah. Sebenarnya sebelum dia datang kemari, Lita sudah menghubunginya terlebih dahulu dan mengatakan bahwa Gea sedang berkunjung ke rumahnya.

Nata yang memiliki kapasitas kepintaran diatas rata-rata, tentu sangat paham arti kata 'berkunjung' yang dimaksud Lita. Untuk itu, setelah urusannya selesai dia tak langsung kembali ke kantor apalagi pulang ke rumah, melainkan langsung datang ke kediaman orang tuanya.

Lita menunjuk kamar atas menggunakan dagu, "Di atas lagi tidur kayaknya," ujarnya seraya bangkit menuju dapur untuk menaruh gelas kotor di tempat cuci piring.

Nata ikut berdiri, "Kalau gitu, Nata ke kamar dulu, Bun," pamitnya sopan.

Namun baru saja kakinya menapaki anak tangga kedua, Lita tiba-tiba memanggilnya dari arah dapur.

"Mas?"

"Ya?" Nata menoleh, melihat Lita yang ternyata sudah berdiri tak jauh dari posisinya.

Sambil tersenyum, wanita itu berpesan dengan suaranya yang khas, lembut dan penuh keibuan. "Selesain masalah kalian baik-baik, pake kepala dingin. Jangan terlalu di kasarin, Bunda gak suka,"

Tanpa membantah, Nata menganggukan kepalanya. Sebelum akhirnya kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

Kini Nata sudah berada di depan pintu kayu bercat hitam, dimana tempat itu adalah kamar miliknya dulu sebelum melepas masa lajangnya dan memiliki rumah sendiri.

Tubuh seorang wanita yang sedang tidur meringkuk diatas sofa menjadi pemandangan pertama begitu dia berhasil masuk ke dalam kamar.

Setelah menutup pintu tanpa menimbulkan suara, Nata berjalan perlahan dimana istrinya berada. Helaan napas panjang langsung keluar begitu saja dari mulutnya saat dia melihat pakaian kerja yang digunakan Gea masih melekat sempurna ditubuh wanita itu.

Kebiasaan. Pikirnya.

Nata kemudian melepas jas miliknya lalu menaruhnya di atas meja kaca beserta tas kerjanya yang selalu dia bawa.

Seusai itu, tubuhnya pun dia bungkukan sedikit ke arah sang istri. Dengan hati-hati tangannya melepas sepatu high heels yang terpasang apik di kedua kaki jenjang Gea. Diletakan kembali benda tersebut ke tempat yang seharusnya.

Kemudian, Nata mulai mengangkat tubuh Gea selembut mungkin agar tidak mengusik tidurnya yang sangat lelap. Nata benar-benar melakukannya dengan penuh perasaan, hingga sampai menyentuh kasur pun, Gea sama sekali tak bergerak.

Senyum Nata terukir saat tubuh Gea menggeliat dengan sedikit kerutan dikening ketika dia dengan jahilnya menjepit hidung sang istri selama beberapa detik.

Untungnya hal tersebut tak berlangsung lama, karena di detik selanjutnya Nata ikut membaringkan tubuhnya di samping Gea, setelah sebelumnya melepaskan kemeja hingga bertelanjang dada.

Karena sudah menjadi kebiasaan pria itu tidur dalam keadaan bagian atas yang naked. Tidak nyaman katanya kalau tidur dengan pakaian lengkap.

Seraya memejamkan mata, Nata mendekatkan tubuh keduanya sehingga tidak menyisakan jarak sedikitpun, tangannya pun juga turut andil dengan merengkuh tubuh sang istri, namun tidak terlalu kuat.

Biarlah nanti mereka membicarakan masalah selepas bangun tidur, karena sungguh saat ini Nata benar-benar dalam keadaan sangat lelah dan dia memerlukan sedikit waktu untuk beristirahat sejenak agar pikirannya kembali jernih.

***

Waktu menjelang sore ketika Gea perlahan membuka kelopak matanya. Tubuhnya berangsur ringan setelah tidur berjam-jam lamanya.

Baru sekian detik dia menggeliatkan tubuh, tiba-tiba matanya dipaksa terbuka lebar ketika menyadari tempatnya berbaring berbeda saat dia mulai memejamkan mata.

Seingatnya dia tadi tidur di sofa lalu kenapa sekarang dia berada di atas kasur? Begitulah pikirnya.

Dengan kening berkerut Gea menelusuri seisi ruangan, takut-takut jika ada sosok tak kasat mata yang memindahkan dirinya sewaktu tidur. Namun, begitu pandangannya jatuh pada bagian perut. Sontak Gea berjengit dan secepat kilat melakukan gerakan bangun, membuat Nata yang tengah terlelap menjadi terusik.

"Ada apa, Ge?" tanya Nata setengah sadar, rasa kantuk masih mendominasi bagian tubuhnya, sehingga untuk sekedar membuka mata saja rasanya sangat berat dilakukan.

Melihat wajah pria tersebut dalam jarak dekat membuat Gea teringat pada kejadian tadi pagi yang berhasil melukai sedikit hatinya. Alhasil Gea yang perasaannya baru membaik kini menjadi sensitif kembali.

Dengan agak kasar dia menyentak lengan sang suami yang bertengger manis di atas perutnya. Tindakan tersebut rupanya berhasil membangunkan Nata yang berusaha mengumpulkan nyawa.

"Kamu kenapa sih?" lagi Nata bertanya, kali ini sambil menyandarkan tubuhnya pada punggung ranjang.

Namun, Gea justru membuang muka dan membungkam mulutnya rapat-rapat. Sejenak Nata menghela napas panjang. Sepertinya masalah ini memang harus segera dibereskan.

Dengan gerakan selembut sutra, Nata merengkuh dan membawa Gea masuk ke dalam pelukan. Dia letakan dagunya diantara ceruk leher sang istri yang selalu menjadi tempat paling nyaman.

Gea menurut tanpa perlawanan karena sesungguhnya dia juga sudah sangat merindukan sosok hangat dibelakangnya tersebut.

"Maaf kalo sikap Mas bikin kamu tersinggung," sesal Nata dengan tulus.

Gea masih diam, ingin melihat sejauh mana usaha suaminya ini untuk mendapatkan maaf darinya.

"Yang, kenapa diem? Gak mau maafin, Mas?" Gea seketika merinding. Bukan karena suaminya hantu, melainkan disebabkan bibir pria itu yang sesekali menyentuh lehernya yang menjadi bagian paling sensitif.

Fiks, kalau semua ini terus berlanjut maka dapat dipastikan Gea akan segera meleleh dan rencana mendiamkan pria itu akan gatot alias gagal total.

Gea sedikit berontak, berharap rengkuhan Nata akan terlepas, "Lepas ih, aku masih marah sama kamu," rajuknya yang justru terdengar lucu ditelinga Nata.

Sambil terkekeh Nata semakin mengeratkan pelukannya berbanding terbalik dengan permintaan sang istri beberapa detik yang lalu.

"Kalau Mas gak mau, gimana?" Gea mencibir sangat keras. Dan bukannya marah, Nata malah semakin gemas dengan tingkah wanitanya.

Tak tanggung-tanggung dia menciumi pipi Gea dengan brutal sampai wanita itu kewalahan untuk menghindar. Sampai akhirnya suara pekikan Gea terdengar, baru Nata berhenti.

"Nyebelin banget sihh! Bikin tambah emosi aja!" kesal Gea.

Sontak sebelah alis Nata terangkat ke atas. Perasaan yang seharusnya marah kan dia, kenapa jadi istrinya yang ngegas?

Menghela kan napas panjang, Nata kembali merangkul tubuh Gea namun kali ini dengan gerakan yang lebih lembut, "Maaf. Kemarin Mas kebawa emosi karena akhir-akhir ini Mas merasa kalau prioritas kamu sekarang berubah,"

Gea menggeleng, "Aku gak pernah menomor duakan kewajiban aku di rumah," sangkalnya dengan suara lirih.

"Lagipula, bukannya Mas yang ngizinin aku untuk kerja. Terus kenapa sekarang dipermasalahin?"

"Mas memang mengizinkan tapi dengan syarat kamu ga boleh lupa sama status kamu. Dan entah sadar atau engga kamu mulai lupa sama hal penting itu,"

Meski Nata mengucapkannya dengan suara lembut, namun Gea merasa sangat tertohok. Suka atau tidak, tapi apa yang dikatakan oleh Nata memang benar adanya dan Gea menyadari itu semua.

Perlahan Gea membalikan badannya menghadapa sang suami. Kepalanya dia tundukan dalam-dalam, membuat Nata tersenyum simpul melihatnya.

"Aku salah," aku Gea masih dengan kepala menghadap bawah.

"Dimaafiin. Sini peluk dulu," wajah Gea seketika terangkat sembari tersenyum. Jika Nata sudah berkata demikian, itu tandanya pria itu tidak marah lagi.

Sepersekian detik, Gea mengangsurkan tubuhnya masuk ke dalam pelukan Nata yang disambut sama antusiasnya dari pria itu.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status