“Jawabannya ada pada detak jantung ini,” jawab Mas Burhan.Detak jantungnya terasa nyata. “Jadi, kamu hantu atau manusia, Mas? Jawablah langsung. Aku tidak tahu hantu punya detak jantung atau tidak.”Baru saja Mas Burhan hendak menjawab, dari luar terdengar suara langkah kaki perlahan-lahan mulai mendekat ke arah kami. “Kalian ngapain?” tanya ibu mertua. Ternyata dia yang datang. Ibu juga tampaknya sudah lupa dengan kejadian cermin pecah, dia bersikap biasa saja ketika melihat Mas Burhan, tidak ketakutan.“Quality time, Bu,” jawab Mas Burhan.Ibu mertua lalu memberitahu bahwa di dapur sudah ada Bi Idah. “Katanya tadi disuruh kamu ke sini, sana samperin,” kata ibu mertua pada Mas Burhan.Percakapan serius kami pun akhirnya buyar karena kedatangan tamu. Mas Burhan lekas memakai kembali kausnya dan menuju dapur menemui Bi Idah.“Itu kenapa pentol-pentol dibungkusin semua bukannya dijual?” tanya ibu mertua padaku. Kami masih berada di dalam kamar kecil ini.“Katanya mau dibagikan, Bu. M
“Mungkin waktunya tidak akan lama,” jawab Mas Burhan datar.Aku menghentikan tangan Mas Burhan yang tengah mengupas bawang putih. Suamiku itu jadi menoleh padaku.“Hah? Tidak akan lama bagaimana maksudnya, Mas?” tanyaku semakin bertambah penasaran.“Aku hanya diberi kesempatan hidup oleh Alloh. Saat tenggelam, setelah mencapai dasar lautan dan melihat Risma serta Mang Dasa sakaratul maut, tiba-tiba ada sebuah cahaya di depan mataku dan cahaya itu sangat menyilaukan hingga aku tak dapat membuka mata. Aku terpejam dan seperti tertidur pada saat itu juga, lalu aku bermimpi. Dalam mimpiku, cahaya itu memutar kembali kehidupanku selama di dunia, dimulai ketika aku mulai bosan dengan pernikahan kita. Aku diperlihatkan banyak kelakuanku yang tidak sepantasnya padamu,” jawab Mas Burhan, lalu dia kembali mengupas bawang sambil bercerita. “Hingga saat aku berselingkuh dengan Risma, semuanya diputar. Aku seperti melihat film dengan diriku sendiri sebagai aktornya.”Bawang putih yang dikupas Mas
“Lepaskan Burhan dan kembalikan kalungku!” kata Risma dengan suara serak dari dalam cermin.Lidahku mendadak kelu, aku sangat ketakutan. Ini bukan yang pertama kali Risma datang menggangguku, harusnya aku sudah terbiasa dan tak perlu terlalu takut. Tapi hantu Risma begitu lain, auranya sangat kuat hingga mampu mengintimidasiku walau hanya dengan kehadirannya. Apalagi saat dia mengancam, meneror dan berbicara padaku ... selalu membuatku tak berkutik. Beberapa saat kemudian, Risma menghilang dan cermin langsung pecah. Aku terperanjat mundur beberapa langkah, kagetnya bukan kepalang. Dan semua rasa gerah juga lengket di badan mendadak hilang, kembali normal. Aku mengurungkan niat untuk membersihkan badan dan kembali ke kamar untuk tidur. Kupandangi suami dan bayiku yang masih pulas, suara teriakanku barusan tidak membangunkan mereka. Syukurlah. Mas Burhan juga tidak menyadari kedatangan Risma kali ini, apakah besok perlu kuceritakan tentang kejadian malam ini atau aku cukup diam saja?
“Risma ... pergilah ke alammu. Jangan menggangguku lagi, kita sudah berbeda dunia.” Untuk pertama kalinya aku menjawab teror hantu Risma meski sambil berbisik.“Aku tidak akan pergi tanpa membawa Burhan bersamaku. Enak saja dia bebas tanpa mempertanggungjawabkan perbuatannya padaku!” balas Risma.“Semua sudah berlalu, Risma. Jika yang kamu maksud adalah karena Mas Burhan telah merenggut kesucianmu ... hal itu sudah menjadi masa lalu, kamu pun sudah meninggal dunia. Lagipula, itu salahmu sendiri kenapa kamu tidak pandai menjaga kehoramatanmu. Jadi, apa lagi yang mau kamu tuntut dari suamiku?” jawabku.“Ini bukan soal itu! Tapi ini soal kejahatan suamimu padaku saat berada di dasar laut, hingga membuatku gentayangan!”“Aku sudah dengar semuanya dari Mas Burhan, kamu tidak perlu mengecohku. Dia tidak bersalah apa-apa atas meninggalnya dirimu, dosa-dosamu sendiri lah yang mengantarkanmu hingga ajal!” tegasku seraya memberanikan maju untuk mematikan kompor.Ikan asin yang kugoreng jadi han
Aku jadi penasaran kenapa Risma terus-terusan menggangguku. Pasti ada hal yang sangat penting yang harus diselesaikannya denganku atau dengan Mas Burhan, dan itu bukan hal remeh-temeh. Bagaimana mungkin seseorang yang sudah meninggal arwahnya menjadi tidak tenang dan terus-terusan menghantui, apalagi Risma sempat mengatakan bahwa suamiku pembohong, penipu, pencuri, dan julukan buruk lainnya? Kenapa Risma mengatai Mas Burhan seperti itu? Seharusnya, jika Risma mencintai Mas Burhan … dia tidak akan mengatakan hal yang buruk tentang Mas Burhan.Aku mulai menganggap serius terror hantu Risma ini. Dan pasti masih ada yang dirahasiakan Mas Burhan dariku sehingga hal ini bisa terjadi.“Lita, tolong telepon ojek Mang Ojak. Ibu mau ke Toko Arjuna komplain paketnya kosong. Untung aja beli di toko yang deket, jadi gampang ngurusnya,” kata ibu mertua sambil membereskan cangkang dan dus bekas paket-paket yang sudah dibuka untuk barang bukti.“Tidak usah komplain, Bu. Aku tahu kemana paket-paket i
“Mas Burhan belum pulang,” jawabku mencoba setenang mungkin meski hati deg-degan karena takut. Mereka terlihat sangar dan menunjukkan sikap tidak bersahabat.“Halah, cuma jualan pentol doang udah banyak gaya, berani main judi sampai utang menumpuk!” kata salah seorang dari mereka yang berbadan agak gemuk.Aku khawatir Mas Burhan dulu pinjam ke rentenir, dan mereka yang ada di hadapanku sekarang ini adalah para algojo suruhan rentenir itu. Bisa jadi seperti itu, kan?“Maaf, suami saya punya utang bekas apa ya? Dan sama siapa dia berutang? Setahu saya, suami saya tidak punya utang pada siapa pun,” kataku.“Bekas judi! Dulu suamimu doyan judi, ketika kalah taruhan dia minjam kami untuk modal berjudi lagi. Dan jelas suamimu tidak akan jujur padamu, orang seperti dia pandai berbohong dan menipu!” Salah seorang diantara mereka maju selangkah mendekat ke arahku, dan aku pun mundur selangkah. Dia mengatakan hal yang sama dengan Risma, bahwa Mas Burhan suka berbohong dan menipu, sehingga terl
Seperti ada seutas tali yang mencekik leher ini, dan aku terseret ke belakang dari posisi duduk.Kupegangi leherku dengan kedua tangan, tak ada suatu benda pun yang mencekikku namun rasanya aku benar-benar tengah dicekik.“Risma! Kamu datang lagi!” kataku.“Ayo, bilang pada suamimu untuk segera menebus dosa-dosanya padaku! Dan kembalikan kalungku! Dia pembohong, jangan tertipu kata-kata dan sikap manisnya!” bisik Risma di telingaku.Setelah itu, dia melepaskan cekikkannya dengan kasar, membuatku tersungkur ke depan hingga menubruk punggung Mas Burhan yang sedari tadi memang duduk di depanku.“Kamu kenapa?” tanya Mas Burhan, menoleh padaku.“Ri—risma datang lagi, Mas. Apa kamu tidak merasakan kehadirannya barusan?”Mas Burhan cukup terkejut. “Kalung yang kuberikan padamu, kamu masih menyimpannya, kan?” tanyanya.“Kusimpan di lemari,” jawabku. “Mas, Risma sering datang dan menggangguku ... sepertinya dia tidak akan berhenti sampai tujuannya tercapai.Sebenarnya, apa maunya dia , Mas? Di
Tangisku pecah“Rasanya aku tak sanggup lagi dengan kondisi ini, Mas. Aku capek, Lelah menghadapinya. Aku ingin hidup normal seperti dulu, tidak dihantui rasa takut dan penuh ketegangan seperti sekarang,” keluhku dalam tangisan. Mas Burhan hendak memberikan klarifikasi namun urung karena tangisku makin kencang, jujur aku sudah muak dengan keadaan di rumah ini, rasanya kesabaranku sudah habis. Aku merindukan kehidupanku yang dulu.Mendengar suara tangisanku, tampaknya membuat Mas Burhan terdiam. Sekilas kulihat dia tengah memandangiku dengan tatapan yang tak kumengerti apa artinya. Lalu dia melangkah pelan mendekat, semakin dekat sambil menawarkan pelukan, mungkin dia ingin meredakan tangisku namun kutolak. Aku menggeser posisiku demi menghindari pelukannya. Yang kubutuhkan sekarang bukan pelukan, melainkan sebuah jawaban yang sebenarnya. Akan tetapi, sepertinya Mas Burhan hanya terfokus pada tangisanku saja dan ingin menenangkanku. Akhirnya suamiku itu mundur lagi, kembali ke posisi