Jangan lupa komen, like, dan vote ya.
Esme terlelap dalam pelukan pria yang menolongnya, sementara mobil yang membawa mereka melaju perlahan menembus dinginnya malam. Di kursi depan, Kailash menggenggam kemudi dengan tenang. Matanya sesekali melirik ke spion tengah, memandangi Reinan yang mendekap Esme seakan menjaga kristal yang mudah pecah. Mobil berhenti di depan apartemen Reinan yang bergaya modern. Sebelum menghentikan mobilnya, Kailash menoleh.“Tuan Muda, Anda yakin ingin membawa Nyonya Muda ke sini?”Reinan menatap wajah Esme yang pucat sembari menghela napas. “Ya. Jika kita pulang ke mansion, akan muncul banyak spekulasi dari para pelayan. Kabar itu pasti sampai ke telinga Mama.”“Baiklah, kalau itu keputusan Anda,” ucap Kailash mengangguk mengerti.Tak lama berselang, Kailash memarkirkan mobil di area khusus penghuni apartemen. Usai mematikan mesin, pria itu keluar dari kursi kemudi dan membuka pintu belakang. Reinan turun lebih dulu, lalu dengan hati-hati menarik tubuh Esme yang lunglai ke pelukannya. Saat it
Suasana di dalam Prime Steak House & Bar semakin ramai menjelang jam makan malam.Vera yang kembali duduk di samping Esme, mengulurkan tangan untuk mengambil minumannya sendiri. Ia mendekatkan gelas itu ke wajah, lalu pura-pura terkejut.“Kau minum ini, Esme?” tanyanya, menunjuk cairan merah keunguan yang masih menyisakan embun dingin. “Velvet Dawn?”Esme menoleh, matanya sedikit kabur, tetapi ia berusaha fokus. “Iya, Kak.”Mendengar jawaban itu, Vera membelalak dramatis sambil menatap Chika dan Lisya di seberangnya. “Chika, Lisya, kenapa kalian memesan Velvet Dawn? Kadar alkoholnya cukup tinggi, bisa berbahaya bagi Esme.”Chika mengangkat tangan dengan ekspresi bersalah yang dibuat-buat. “Maaf, Ver. Kupikir Velvet Dawn adalah minuman signature resto ini.”Lisya menambahkan dengan nada setengah mengejek, “Kami tidak menyangka adik iparmu ini belum pernah mencicipi rasa alkohol.”Esme tersentak. Kepalanya semakin berat. Suara orang-orang terasa seperti gema jauh yang datang dan pergi.
Sepanjang perjalanan menuju restoran, suasana di dalam mobil tampak hangat, setidaknya di permukaan. Dengan nada lembut yang menyerupai perhatian seorang kakak, Vera mulai menceritakan kebiasaan makan Reinan.“Dia suka steak medium rare pakai saus jamur,” tuturnya manis. “Juga sup labu, dan roti panggang keju untuk sarapan.”Ada nada halus bernuansa peringatan yang menyelip, ketika ia menambahkan, “Tapi usahakan jangan biarkan dia makan yang terlalu manis atau berlemak. Reinan itu keras kepala. Harus ada yang mengingatkan.”Esme mengangguk sopan, mencoba mengingat semua yang dikatakan Vera. Sekilas, ia merasa disentuh oleh perhatian sang kakak ipar.Mungkin, ini adalah upaya Vera membuka lembaran baru. Siapa tahu, sikap keras dan dingin yang diperlihatkan Vera dulu, hanya bentuk dari rasa sayang yang tak terungkap.Ketika mobil mulai memasuki kawasan kuliner di pinggir kota, keraguan perlahan menyelinap di hati Esme. Matanya menatap keluar, menelusuri nama-nama yang tertera di setiap
Usai membasuh tubuhnya dengan air hangat, Esme melangkah pelan ke dalam kamar. Ia sengaja menyegarkan diri untuk menghapus rasa getir yang tersisa, akibat pertemuan keluarga tadi siang.Handuk melilit rambut Esme yang masih lembap, dan aroma sabun masih melekat samar di kulitnya. Namun, tatkala menatap kamar yang sunyi, jantung Esme serasa direngkuh sepi.Reinan tak ada di sana. Tak terdengar tawa polosnya, atau bunyi tembakan yang biasanya memenuhi sudut kamar.Esme melangkah ke sisi tempat tidur, menelusuri selimut yang masih rapi. Saat ini, Reinan pasti tenggelam dalam dunianya sendiri—di ruang baca, bermain PS, atau tertidur sambil memeluk bantal seperti anak kecil.Perkataan Kailash beberapa waktu lalu, kembali terngiang. “Tuan Muda akan sangat terganggu bila keinginannya tidak terpenuhi. Lebih baik tidak diganggu saat sedang asyik bermain."Mengingat pesan tersebut, Esme memutuskan untuk melakukan aktivitasnya sendiri. Selesai mengeringkan rambut, ia duduk di tepi tempat tidur.
Di dalam mobil yang melaju meninggalkan rumah keluarga Raharja, Reinan bersandar santai di kursi penumpang. Kepalanya menempel pada sandaran kulit yang empuk, mulutnya bersenandung pelan, menyanyikan lagu yang hanya dikenalnya sendiri. Sesekali, ia juga mengayunkan kaki sesuai irama. Esme melirik dari samping. Ada secercah tanya di wajahnya, yang perlahan berubah menjadi perasaan ganjil. Reinan terlihat sangat senang. Sang suami tak menunjukkan keberatan sama sekali, padahal ia baru saja kehilangan uang. Meski Esme tidak tahu persis berapa jumlahnya, tas hitam kecil yang diserahkan Kailash pasti berisi banyak.Diam-diam, hati Esme terasa berat. Ia mencoba menyusun keberanian, sebelum akhirnya berdehem pelan. “Rein, aku minta maaf soal Papa tadi,” ucapnya lembut. “Seharusnya kamu nggak perlu memberikan uang tabunganmu.”Mendengar itu, Reinan malah tergelak sehingga membuat Esme menatapnya dengan bingung. “Kenapa tertawa? Apa kamu ingat adegan dari film kartun?”Reinan menggeleng de
Pada mulanya, Reinan membuka laci bagian atas. Matanya yang bulat kian membesar, seolah menemukan harta karun dalam dongeng. "Banyak sekali kotaknya!" serunya, dengan girang.Penuh rasa ingin tahu, Reinan mengambil salah satu kotak panjang yang berlapis satin biru. Ia membuka perlahan, dan seketika, senyumnya mengembang takjub."Wah, ini berkilau.”Di dalam kotak tersebut, terhampar set perhiasan berlian yang terdiri dari kalung berbentuk tetesan air, anting, dan cincin mungil bertatahkan permata di tengahnya. Kilauan cahaya dari batu-batu itu memantul di mata Reinan, membuat bibirnya membentuk huruf O. Namun, sebelum ia sempat menyentuh lebih jauh, Esme dengan cepat merebut kotak di tangannya."Kembalikan, Rein. Ini bukan milik kita," tukas Esme, segera menyimpannya ke dalam laci semula.Reinan cemberut, menatap Esme sambil mencondongkan tubuh. Suaranya terdengar kesal meski masih dibungkus dengan keluguan."Kamu punya nggak perhiasan seperti Wina?” tanya Reinan penasaran.Esme men