“Calon istri?” Ann ternganga mendengar ucapan pria bernama Antasena itu.
“Saya ijin mengobrol berdua dengan Nona Annindita, Pak Adi,” pinta Sena dengan lembut dan sopan. Adi hanya mengangguk setuju, entah angina apa yang membuat pria paruh baya itu sangat mempercayai Sena. “Berbicaralah berdua, kami akan pergi dari ruangan ini,” pamit Adi. Dengan membawa Dewi dan Ratih, hanya tersisa dua orang di sana. Ann dan Sena, canggung yang membelenggu keduanya. 15 menit berlalu, ke duanya hanya saling diam tanpa sepatah kata. “Kenapa kamu mau menikah denganku, Sena?” tanya Ann mengintimidasi. “Saya hanya menerima tawaran Pak Adi, kebetulan saya ada rencana menikah tapi … saya belum memiliki calon,” jawabnya dengan rinci. Ann menghela nafasanya panjang. Jawaban yang tidak masuk akal baginya, mana ada orang merencanakan pernikahan saat belum memiliki calon? “Oke, Sena. Aku tidak ingin banyak basa-basi denganmu,kau tau aku terpaksa menikah denganmu kan. Aku ingin kau membuat kesepakatan denganku,” pinta Ann dengan ide cemerlangnya. “Kesepakata apa yang nona maksud?” tanya Sena, tatapannya penuh tanya yang menyelidik. “Aku ingin mengajukan kerjasama denganmu, em… sebuah kontrak pernikahan selama 2 tahun. Setelah itu, kau bebas mau menceraikanku,” dengan lantang Ann mengutarakannya. Berbeda dengan Ann yang sangat bersemangat mengatakan kalimat cerai, Sena menatapnya tajam seolah memberikan penolakan keras. “4 tahun, deal!” tegas Sena. Alih-alih memberikan persetujuan, Sena malah menambah jangka waktu kontrak yang ditawarkan Ann. Matanya membelalak lebar tidak menyangka akan penawaran Sena. “Aku masih ingin pergi ke luar negeri untuk-” ucapannya terhenti sejenak saat Sena menyentuh bibir Ann dengan telunjuknya. “Jika nona menolak, kontrak itu tidak berlaku. Dan kita akan menikah sampai maut memisahkan kita,” bisik Sena lembut. Mendengar itu, Ann tersenyum kecut. Niat hati memberikan penawaran agar terbebas dari keluarganya yang penuh tuntutan ini. “Bagaimana, Nona?” tanya Sena dengan penuh selidik. “Kenapa kau yang mengaturku?” tanya Ann dengan suara meninggi. “Karena aku calon suamimu, Ann,” lirih suara Sena terdengar. Deg! Tidak ada yang salah dengan itu, Sena memang calon suaminya kini. Tapi … kenapa ada perasaan tidak terima dalam dirinya. Sialnya, Ann tidak bisa menolak pernikahannya dengan Sena si penjual bakso keliling ini. *** Tibalah hari di mana Ann dan Sena menikah, banyak tanda tanya yang menguar. Cibiran tetangga yang mengatakan ada hal yang disembunyikan. “Kenapa harus menikah dengan Sena? Katanya calonnya manager,” “Jangan-jangan kumpul kebo sama Sena duluan, makanya gak jadi sama si manager. Dari pada malu, si manager sama si Dewi,” “Malu-maluin keluarga aja, katanya independen women. Halah!” Satu persatu cibiran yang mengarah pada Ann dan Sena, tetapi Sena terlihat tenang. Berbeda dengan Ann yang ingin menjambak para tetangga nyinyir itu. “Biarkan saja, Ann. Jika kamu marah sama saja kamu membenarkan ucapan mereka,” ucap Sena dengan lembut. Di seberang, terlihat wajah Ratih dan Dewi yang tertawa puas. Pernikahan Dewi dan Rafael akan dilangsungkan minggu depan. Ann ingin sekali menghilang atau acting pingsan saja. “Sena, jangan pernah menyentuhku!” tegasnya. Sena hanya mengulas senyum, memangnya apa yang bisa ia lakukan. Setelah acara resepsi selesai, ke duanya ada di kamar yang sama. Dengan dekorasi khas kamar pengantin. Ann memijat pelipisnya yang terasa pusing, bertemu dan mendengar nyinyiran tetangga membuatnya pusing. “Bagaimana bisa kau diam saja saat tetangga-tetangga itu membicarakanmu?” tanya Ann. Sena yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya mendongak, “Memangnya kita harus melakukan apa, Ann? Apakah dengan membuat keributan akan membungkam mulut mereka?” Sena membalikan tanya. Memang benar kata Sena, dengan keributan tidak akan membungkam mulut nyinyir tetangga. Akan tetapi, ucapannya yang menyakiti hati itu cukup memekakkan telinga. “Tapi mereka asal bicara tanpa tahu kebenarannya!” pekik Ann keras. “Perlahan mereka juga tahu kenyataannya, Ann. Kita bukan lagi anak kecil yang harus marah atas ucapan orang lain,” timpalnya. Akhirnya, Ann terdiam. Ia membuat pembatas di antara ranjang untuknya dan untuk Sena. “Aku tidak ingin tidur satu ranjang denganmu!” tegas Ann dengan tatapan tajam bak pisau. “Lalu, kamu mau aku tidur di mana?” Sena melempar tanya dengan menatap lekat Ann. Tanpa sepatah kata, telunjuk Ann hanya menunjuk sebuah sofa di kamar itu. Dengan helaan nafas panjang, Sena berjalan menuju sofa. “Selamat tidur, Ann istriku,” ucapnya. Ann hanya menatap aneh kelakuan Sena. Jika bukan karena terpaksa, ia tidak mau satu kamar dengan tukang bakso itu. *** Pagi-pagi sekali meja makan sudah ramai, dengan Sena yang sibuk ke sana ke mari. Ann yang baru saja turun menatap aneh kelakuan Ratih dan Dewi yang dengan sengaja menyuruh Sena. “Sena, bawakan makanan untuk kami sarapan!” teriak Ratih. “Oh ya, Sena buatkan aku teh manis!” seru Dewi. Dengan perasaan kesal dan dongkol, Ann menggebrak meja dengan keras. “Maksud kalian apa? dua tangan dan dua kaki kalian sudah lumpuh ya?!” tanya Ann dengan keras. “Ann, jaga ucapanmu pada ibumu!” seru Adi yang berjalan menuju ruang makan. “Aduh, Mas. Aku tidak tahu kenapa Ann mengatakan itu pada kami, padahal kami tidak melakukan apa-apa,” ucap Ratih dengan wajah melas yang dibuat-buatnya. Helaan nafas panjang dan gusar membuat tangan Ann hampir melayang pada pipi Ratih. Tatapannya tajam pada sosok ibu tirinya yang sangat kurang ajar itu. “Ayah tahu apa? dia dan jalang ini, menyuruh suamiku bak pembantu!” pekik Ann keras. Tidak berhenti di situ, Ann juga menarik baju Dewi dengan kuatnya. “Dan anak kesayangan ayah ini, sudah merebebut calon suamiku dengan cara yang menjijikkan! Apa ayah masih mau membelanya? Gara-gara skandal yang dia buat, aku dan Sena yang mendapatkan cibiran tetangga!” hardik Ann dengan keras. Kini, Adi hanya diam tanpa banyak bicara. Ingin membela diri namun tidak diberikan kesempatan, membela Dewi atau Ratih pun seolah tidak akan menyelesaikan masalah. “Lalu, kamu berharap apa dari ayah, Ann?” tanya Adi dengan penuh kelembutan. “Ayah, aku juga anakmu loh! Ann gak habis pikir sama pola pikir ayah yang kaya gini,” hardik Ann. Dengan tergopoh ia menarik tangan Sena, membawanya masuk ke dalam kamar dengan terburu-buru. “Kau sudah lihat, kan! Ini semua karena kamu mau-mau aja di suruh-suruh sama mereka. Aku malu, Sena! Bukan… bukan malu, lebih tepatnya sangat kesal!” pekik Ann. “Ann, stop! maaf jika aku belum bisa melakukan apa pun untukmu. Tapi, Bu Ratih dan Dewi itu masih keluargamu, terlebih Pak Adi itu ayah kandungmu. Jangan lupa menghormati mereka,” tutur Sena lembut. “Aku sibuk membelamu di depan mereka, dan sekarang kamu malah membela mereka di hadapanku?”"Sena aku ragu," ucap Ann saat tiba di dekat rumah Adi.. "Mau sampai kapan ragunya, Ann? Ayah pasti merindukan anaknya. Kita datang bersama, tidak peduli apa kata Bu Ratih tentang aku," terang Sena dengan yakin. "Tapi, Sena ... ayah tidak tahu aku hamil dan ..," Ann menghentikan ucapannya. "Hust, kamu tidak hamil di luar nikah. Ini anak kandung kita, entah diterima atau tidak oleh Pak Adi. Kita hadapi bersama," Sena menggenggam tangan Ann dengan erat. "Oke." Tibalah ke duanya di halaman rumah Adi, sosok pria paruh baya yang cukup lama tidak Ann lihat. Sepasang mata yang menatap dengan tidak yakin. "Ann, kamu kembali, Nak?" tanya Adi berseru. "Iya ayah." Ann mendekap ayahnya dengan erat, merengkuh tubuh tua yang cukup lama ia tinggalkan. Sama halnya Sena, Adi adalah alasannya untuk tetap yakin dengan hidupnya. "Ini?" sebelah tangannya menunjuk bayi laki-laki yang sedang lelap. "Anakku dengan Sena," ucap Ann. Sempat diam dengan penuh keterkejutan, Adi m
Hari yang paling ditunggu Sena telah tiba, kini ia tiba di desa tempat Ann tinggal. "Selamat pagi, Ibu," sapa Sena pada Ratmi yang sedang berjemur dengan Cakra. "Aduh, kamu sudah datang saja. Cucuku ini harus lekas berangkat dong!" keluh Ratmi. "Tidak, Bu. Masih besok pagi," timpal Sena. Ratmi mengangguk, di atas stroller Cakra terlelap dengan sangat tenang. "Nduk, panggilkan Mbak Ann!" pinta Ratmi pada Ratna. "Iya, Buk." Tidak berselang lama, Ann keluar dari rumah. Matanya berkaca-kaca melihat Sena berdiri di samping stroller. "Kita akan pergi besok 'kan? Sekarang ijinkan aku quality time bareng Bu Ratmi dan Ratna ya. Aku pengen mengajak mereka berbelanja dan makan enak," pinta Ann. "Iya, berangkat saja. Apa kamu perlu kutemani?" tanya Sena. Ann menggeleng. "Tapi, Sena. Aku butuh sopir untuk menyetir, tapi sepertinya mengajakmu tidak masalah," ucap Ann meralat. "Bersiaplah, aku akan menjaga Cakra," Sena mengusap pelan lengan anaknya. "Oke." Se
"Kerja bagus, Arka. Belikan tiket pulang pergi," tegas Sena. "Anda dalam waktu dekat tidak ada perjalanan bisnis, Tuan," Arka sempat termangu sejenak. "Menjemput istri dan anakku, memang bukan perjalanan bisnis," terang Sena. Arka tergelak sejenak, menatap Sena dengan penuh tanya. sebenarnya apa yang terjadi pada pertemuan Tuan dan Nonanya itu? "Anak yang mana, Tuan? Memangnya Nona Ann sudah lahiran?" berondong tanya Arka. Sena mengangguk. "Tuan, kenapa Anda diam saja? kenapa tidak mengumumkan kalau Nona Ann sudah melahirkan anak. Parah sih, bagaimana bisa Anda diam seperti itu!" gerutu Arka dengan penuh kekesalan. Ini hal yang tidak Sena sukai, Arka selalu ingin tahu banyak hal. Bahkan dia sangat oversharing terkadang. "Jangan katakan pada siapa pun, sebelum Ann benar-benar kembali ke rumah. Atau kau akan mendapatkan masalah!" tegas Sena. "Ba-baik!" *** "Kangen banget sama Ann," gumam Lena. Dia gadis yang kini duduk di sudut cafe, menikmati sore har
Pada detik-detik yang menegangkan, kontraksi yang kian terlihat jelas. Mau tidak mau bidan mengambil tindakan. Sena yang kini memasuki ruangan, melihat Ann merintih kesakitan. "Nona Ann, kita berjuang bersama ya, saya akan memberi aba-aba," ucap bidan dengan lembut. Di samping Ann, Sena mengusap pelan kening istrinya. Sesekali ia mengusap keringat yang keluar, dan membantu bidan menyampaikan aba-aba. Suara tangisan bayi yang memecah ramai suara rintihan Ann. Lahirlah seorang bayi laki-laki yang sangat lucu. "Syukurlah, bayinya lahir dengan kelamin laki-laki. Selamat Nona Ann dan Tuan Sena," ucap Bidan dengan membawa bayi itu untuk dibersihkan. Ann masih menggenggam erat tangan Sena, membiarkan pria di sampingnya itu luruh dalam perasaan campur aduknya. "Sayang, terima kasih banyak. Maafkan kesalahanku," bisik Sena lembut di telinga Ann. Sejenak mengingat keterangan Sena, ia merasa salah besar. Apakah ia berdosa sudah marah pada suaminya? Yah, Ann merasa gaga
Pulang tanpa membawa apa-apa, untuk urusan pekerjaan Sena dan Arka kembali ke kota. Membawa duka dan kesal yang mendalam. "Kita akan meninggalkan Nona Ann di sini, Tuan?" tanya Arka seraya memasukkan kopernya ke mobil. "Ya, kita tunggu saja. Selesaikan dulu yang di kota, lalu biarkan aku kembali di sini," terang Sena. "Tuan? Benarkah Anda akan datang ke sini sendiri?" tanya Arka kembali melempar tanya. "Kau!" pekik Sena. Arka tergelak, tidak biasanya ia mendengar amarah tuannya. Sepanjang perjalanan menuju bandara, Sena hanya diam. "Arka, berikan nomor Bu Ratmi," tegas Sena. "Untuk apa, Tuan?" tanya Arka dengan mendongak. "Berikan padaku!" seru Sena. Arka langsung memberikan nomor Bu Ratmi. Tidak lama, Sena menjauh meninggalkan Arka. "Halo," sapa Sena. "Siapa?" tanya Ratmi di seberang. "Saya Sena, Bu. Boleh mengobrol dengan Ann sebentar?" tanya Sena dengan lembut. Helaan nafas panjang terdengar samar di sambungan telepon. "Ada apalagi, Sena? B
Ratmi berjalan dengan gusar, setelah kepergian Sena dan Arka. Ia semakin tidak tega dengan Ann. "Ann," panggilnya. "Iya, Bu. Ada apa ya? Apa Sena sudah pulang?" tanya Ann memberondong. "Sudah, dia pria yang baik kelihatannya. Apa mualmu sudah mendingan, Nak?" tanya Ratmi. Ann hanya mengangguk pelan, dengan senyuman yang masih mengembang pada bibirnya. "Bu, apa yang aku lakukan ini salah?" tanya Ann. "Tidak, Ann. Laki-laki memang harus diberi pemahaman lebih agar dia mau berjuang. Jika kamu dengan mudah kembali dengannya, ia akan melakukan kesalahan yang sama," jelas Ratmi. Ratmi menggenggam tangan Ann dengan lembut. Mengusapnya secara perlahan, memberikan kekuatan pada gadis rapuh di hadapannya. "Baiklah, Bu. Aku akan beristirahat lebih cepat malam ini," ucap Ann. Raut wajahnya berubah, rona yang biasa Ratmi lihat kini telah berubah menjadi rona bahagia. Jiwa Ann seolah menemukan ketenangannya. "Ann, tunggu, apa kamu merindukan Sena?" tanya Ratmi. "Hehe