Tenggelam dalam pemikirannya sendiri, Catleya tidak tahu jika Rajendra membawanya ke peternakan, bukan kembali ke rumah mereka. Perempuan itu baru tersadar saat hidungnya mencium aroma khas ayam yang menusuk. “Jendra, kenapa kita ke peternakan?” tanya Catleya. Tubuh Rajendra yang jangkung membuatnya harus mendongakkan kepala setiap kali bertanya kepada suaminya itu. “Tempat ini lebih dekat dari sungai. Kalau kita kembali ke rumah, Mbak Leya bisa masuk angin.” Tak berani bertanya lagi, Catleya terpaksa patuh saat Rajendra membawanya ke area peternakan. Namun kali ini mereka tidak memasuki kandang, melainkan berbelok ke bangunan kayu yang berjajar di seberangnya. Mereka sempat bertegur sapa dengan Pak Yadi yang sedang berjaga di sana. Pria berkulit sawo matang itu langsung berinisiatif untuk membawakan payung milik Rajendra. “Mau saya buatkan teh jahe hangat? Ibu sepertinya kedinginan,” tawar Pak Yadi kepada Rajendra. “Iya, Pak, terima kasih.” Catleya tak menyangka bila di peter
Kelopak mata Catleya terbuka otomatis pada pukul setengah enam pagi. Sungguh ini adalah sebuah pencapaian yang luar biasa selama dia berada di desa Purwabinangun. Barangkali alarm tubuhnya sudah kembali menyesuaikan dengan ritme kerjanya selama ini. Memang setiap pagi, Catleya bangun sekitar pukul enam, supaya bisa menghindari kemacetan di ibu kota. Sebagai akuntan senior, dia selalu berupaya memberikan contoh kepada para staf baru agar tidak terlambat masuk ke kantor. Teringat bahwa dirinya sekamar dengan Rajendra, Catleya langsung menoleh ke samping. Tadinya ia khawatir bila mereka akan terbangun dalam kondisi yang berpelukan. Atau wajah mereka berhadapan satu sama lain dalam jarak yang begitu dekat. Namun ternyata Rajendra masih terlelap dengan posisi yang memunggungi dirinya. ‘Ck, pagi-pagi pikiranku sudah melantur. Lebih baik aku membangunkan dia supaya mengantarku pulang,’ pikir Catleya. Perempuan itu bergeser sedikit lantas mencolek-colek lengan Rajendra. “Jendra, bangun,
“Itu... belum ada, Pak, saya akan lanjut membaca pasal-pasalnya,” jawab Catleya tersadar.Bila dipikir lagi kemiripan nama Rajendra dan bos besar perusahaan tempatnya bekerja hanya kebetulan belaka. Bagaimanapun nama adalah sesuatu yang bersifat umum dan bisa dipakai oleh siapa saja. Bahkan jika diadakan survei ke seluruh pelosok negeri, mungkin akan ditemukan beberapa nama keluarga yang sama meski mereka tidak memiliki hubungan kekerabatan. Untuk mempersingkat waktu, Catleya segera membaca isi pasal pertama. Di situ tertulis bahwa Rajendra akan melakukan tugasnya untuk melindungi nama baik Catleya di depan keluarga, mengusut kematian ibunda Catleya sampai tuntas, dan mengizinkan sang istri bekerja. Sedangkan pasal berikutnya mengatur seputar tempat tinggal, tidak boleh melakukan perselingkuhan, dan tidak ada kontak fisik tanpa persetujuan kedua belah pihak. Namun begitu menginjak pasal selanjutnya, Catleya mulai merasa heran. Alih-alih seperti perjanjian suami-istri, peraturan di
“Leya, kamu sudah sampai di mana? Gerbang kos sebentar lagi akan ditutup,” tanya Ineke melalui sambungan telepon. “Sabar, Ke, aku masih di dalam taksi. Sekitar delapan sampai sepuluh menit lagi aku akan sampai,” ujar Catleya memakai ilmu kira-kira. “Katakan kepada drivernya untuk cari jalan pintas. Bu Husna hanya mengizinkan gerbang dibuka sampai jam sepuluh lewat lima menit,” kata Ineke. “Iya, kalau bisa aku akan request supaya taksi ini bisa terbang,” jawab Catleya sebal. Dia sendiri ingin lekas tiba di kos, mandi, dan berbaring di kasur yang empuk. Namun apalah dayanya bila ia harus terjebak kemacetan ibu kota. Apalagi busnya tadi sempat berhenti sebentar untuk mengganti ban yang bocor. Setelah melewati serangkaian rintangan kecil, Catleya akhirnya tiba di kos-kosan khusus karyawan wanita yang akan ditempatinya. Melihat Ineke berdiri di depan gerbang, Catleya pun tersenyum lebar. Dia segera memeluk temannya itu seolah-olah mereka sudah bertahun-tahun tidak berjumpa. “Dih, k
“Ini meja kerjamu. Oh, ya, namaku Catleya, kamu bisa memanggilku Leya,” ucap Catleya sambil menunjukkan meja yang akan dipakai oleh Bintang.“Saya harus duduk di sini?” tanya Bintang bingung. Dia ingin mengatakan siapa dirinya kepada Catleya, tetapi perempuan itu malah sibuk ke sana ke mari, seolah tidak mau mendengarkan penjelasannya. “Iya, karena cuma meja ini yang kosong. Tolong nyalakan stabilizer dan komputernya, ya. Colokannya ada di kanan bawah,” ujar Catleya beranjak pergi. Tak berapa lama, Catleya kembali dengan membawa sebuah map tebal di tangannya. Tanpa basa-basi ia langsung meletakkan map itu di hadapan Bintang.“Ini job desk kamu. Kalau ada yang belum jelas, jangan sungkan untuk bertanya. Aku akan mengambil voucher dan faktur-faktur penjualan yang akan kita jurnal hari ini,” ujar Catleya kemudian bergerak secepat kilat.Melihat kelincahan Catleya yang tak mengenal lelah, diam-diam Bintang merasa kagum. Nampaknya perempuan ini adalah salah satu staf andalan di divisi ak
Bagai tersambar petir di siang bolong, Catleya membeku di tempatnya berdiri. Baru saja dia merasakan berkah yang luar biasa, tetapi sekarang dia justru terancam dipecat dari Chandra Kirana Group. Bagaimana tidak, dia telah berbuat tidak sopan terhadap atasan, dan dengan lancangnya menyuruh seorang direktur untuk mengerjakan ini dan itu. Lebih parahnya lagi ia juga mencurigai Bintang sebagai seorang penipu. Sudah terbayang sanksi seperti apa yang akan ia peroleh nanti dari Bu Ambar. Namun yang membuat Catleya merasa heran kenapa bisa ada dua nama “Bintang” di hari yang sama? Mungkinkah ia yang terlalu ceroboh atau nasibnya saja yang sedang sial? Entahlah, yang jelas dia tidak menyangka akan tertimpa masalah sebesar ini. “S-saya minta maaf, Bu, saya benar-benar tidak tahu karena….““Sudah, Leya, kita bahas lagi nanti di ruangan saya. Sekarang saya akan mengajak Tuan Bintang ke ruangannya, dan kamu sekalian minta maaf,” ajak Bu Ambar.Dengan kepala tertunduk, Catleya terpaksa mengikuti
“Makanlah sedikit, nanti kamu pingsan,” tegur Ineke melihat Catleya hanya berdiam diri memandangi ayam goreng di hadapannya. Bukannya menurut, Catleya malah membenamkan wajahnya di atas meja sembari memejamkan mata. Melihat sang sahabat terus bertingkah aneh, Ineke pun memukulkan sendoknya ke meja hingga Catleya berjengit kaget.“Ke, tolong jangan lampiaskan kemarahanmu pada benda yang tidak bersalah,” lirih Catleya mendongakkan kepala. “Aku cuma menyadarkan kamu, Leya. Tidak ada gunanya kamu puasa makan dan minum. Separah-parahnya kamu hanya akan mendapat SP2 dari Bu Ambar, mengingat pengabdianmu yang hampir enam tahun lamanya di Chandra Kirana Group,” ucap Ineke memberikan semangat. Dengan ekspresi haru, Catleya lantas meraih kedua telapak Ineke dan menggenggamnya erat-erat.“Apa menurutmu aku tidak akan dipecat, Ke?” tanya Catleya penuh harap.“Begini, jika Bu Ambar atau Tuan Bintang bersikeras memecatmu, kamu harus membela diri di hadapan mereka. Katakan bahwa kamu tidak sengaj
“Ke, kita pindah saja,” bisik Catleya sembari menarik tangan Ineke agar menjauh dari restoran oriental tersebut.Ineke yang ditarik paksa oleh Catleya merasa terkejut, apalagi temannya itu berjalan dengan sangat cepat seperti dikejar maling. “Ada apa sih, Ley? Kamu berubah pikiran atau tidak suka menunya?”“Bukan, kita harus pergi dari sini. Nanti aku jelaskan.”Catleya terus melangkah hingga mereka tiba di area parkiran mall. Melihat mobil Ineke yang terpakir di sana, Catleya langsung menarik napas lega. Yang dia inginkan hanyalah lekas pergi dari tempat itu sebelum Meliana melihat dirinya. “Kita tidak jadi makan?” tanya Ineke penasaran.“Jadi, tapi di restoran lain. Di dalam mall tadi ada Meliana,” kata Catleya.“Meliana, adik tirimu? Dia bersama si Adrian?”“Tidak, dia sendirian,” jawab Catleya.“Lalu kenapa kamu ketakutan begitu, seperti orang habis melihat kuntilanak,” celetuk Ineke.“Karena aku tidak mau dia mengadu kepada Mama kalau aku ada di Jakarta.”Ineke pun menggaruk ke