Share

Bab 4 Dosen Baru

Author: Nona Enci
last update Last Updated: 2025-10-03 18:26:51

Di Kampus.

Fakultas Manajemen Bisnis.

"Gue tadi ketemu dosen baru!" pekik salah satu mahasiswi.

Yang lain pun menyahut, "Gimana, ganteng nggak?"

"Banget! Keliatan masih muda. Terus gue dapet info, katanya ... dosen baru kita belum teken!" seru mahasiswi itu kegirangan sendiri.

"Serius lo?" Si perempuan berkaca mata itu seakan tidak percaya.

Ia mengangguk semangat. "Pokoknya harus gue pepet! Siapa tau jodoh?" katanya tertawa di akhir kalimat.

Meira dan Shelly pun langsung beradu pandang. Keduanya memang berada tepat di belakang para mahasiswi yang tadi sempat bergosip tersebut.

"Pada heboh banget, deh. Padahal cuma dosen baru. Kaya baru pertama kali aja," celetuk Meira.

Shelly melirik sebentar. "Aku justru makin penasaran. Seganteng apa dosen baru itu, apa dia mirip aktor Korea?"

"Itu mah otak kamu isinya Korea semua. Paling nggak jauh beda sama Pak Edwin dulu. Rumornya juga ganteng, belum nikah. Eh tau-tau anak udah otw dua."

"Pak Edwin, 'kan emang ganteng. Blasteran Korea dia. Minusnya udah punya istri aja, bikin patah hati semua orang."

Percakapan di sepanjang lorong itu berakhir karena keduanya sudah sampai di kelas. Beberapa bangku sudah terisi oleh para mahasiswa/i yang hadir lebih awal, sedangkan Meira dan Shelly bergabung dengan perempuan si penggosip tadi karena hanya barisan itu yang memungkinkan, di belakang sudah dipenuhi laki-laki.

"Eh liat, Ra. Ada yang kirim foto di grup!"

Mahasiswi bernama Rara itu langsung memuja. "Kan, apa gue bilang. Dari belakang aja udah cakep begini, pasti makin terpesona kalau lihat langsung!"

Meira yang melihat reaksi teman di sampingnya pun sontak bergidik ngeri. Ia juga termasuk pemuja cowok ganteng, tetapi tidak sampai segitunya.

"Menurut kamu, gantengan Pak Edwin atau dosen baru nanti?" Shelly bertanya seraya menunjukkan sebuah foto dari grup kelas.

Perempuan itu menoleh, melihat foto tersebut dengan kening mengerut. Tunggu, sepertinya ia mengenal kemeja yang dosen itu kenakan, tetapi di mana?

"Selamat pagi semuanya," sapa seseorang mampu mengejutkan semua orang.

Kepala Meira sontak terangkat. Suara berat itu seakan tidak asing di telinga. Namun, saat netranya menatap ke depan, sekujur tubuhnya langsung membeku di tempat.

Tidak. Pasti ada yang salah dengan penglihatannya. Meira yakin ini tidak mungkin. Seseorang yang tengah berdiri tegak dengan sorot mata tajam, tanpa ekspresi tersebut bukanlah Damian. Bukan Damian yang ia kenal semalam.

"Saya Damian Bagaskara Putra, dosen baru pengganti Pak Edwin di mata kuliah semester ini. Mungkin butuh penyesuaian. Saya harap semuanya bisa kuliah dengan semangat. Silakan aktif berdiskusi, jangan ragu untuk bertanya."

Meira makin tidak bisa berkata-kata. Perkenalan itu cukup menampar alam bawah sadarnya. Perlahan kepalanya menunduk, tangan mungil itu mengambil topi yang tadi sempat minta ia bawakan kepada Shelly, kemudian memakainya berharap Damian tidak mengenali dirinya di dalam kelas.

Namun, pergerakan itu justru tertangkap basah oleh sang dosen.

"Kamu," tunjuk Damian. "Yang pakai topi berwarna abu, siapa nama kamu?"

Sontak semua pandangan tertuju pada Meira, Shelly langsung menyenggol lengan sahabatnya. "Mei, kamu dipanggil."

Perempuan itu mendongak pelan. Tersenyum tipis seraya memegang topinya karena kini mereka beradu tatap, membuat bulu kuduknya merinding.

"S-saya Meira, Pak. Meira Anastasya," balas Meira setengah gugup.

Damian langsung mengedarkan pandangan ke arah lain. "Dengar untuk semuanya. Selain dilarang telat, saya nggak mau selama kelas berlangsung ada yang menggunakan topi di dalam kelas."

"Dan untuk kamu Meira, silakan patuhi aturan yang berlaku." Pria itu memandang penuh mahasiswinya.

Beberapa jam kemudian.

Mata kuliah berakhir selama kurang lebih dua jam.

Meira dan Shelly kini sudah berjalan menuju parkiran, keduanya sepakat untuk pergi ke tempat Shell's Bakery, sekalian sarapan di sana.

"Kesel banget aku. Cuma pake topi aja nggak boleh, dulu Pak Edwin nggak kaya gitu. Nyebelin banget, tuh, dosen!" gerutu Meira tidak terima ditegur di depan banyak mahasiswa.

"Itu artinya kamu udah ditandain, Mei. Hati-hati aja sama dosen kaya gitu."

Namun, langkah kaki itu terhenti ketika dua orang bodyguard menghadang jalannya. Meira yang melihat itu langsung menarik napas panjang.

"Maaf, Non Meira harus ikut kami," ucap pria bertato tersebut.

Meira lantas membuka suara. "Bilang sama Papa, aku nggak mau pulang sebelum pertunangan itu dibatalkan."

"Nggak bisa, Non. Ini perintah Tuan. Non Meira harus segera pulang."

Tidak peduli dengan perintah Tama, Meira tetap memilih pergi dan mengabaikan orang suruh sang Ayah yang terus mengikutinya dari belakang.

"Kalian bisa nggak si berhenti ikutin aku?" Meira membalikkan badannya dengan kesal.

"Maaf, Non. Ini sudah tugas kami mengikuti ke mana Non Meira pergi."

Ia memejamkan mata, berusaha menahan gejolak emosi. Jawaban template dari bodyguard itu selalu membuat Meira muak mendengarnya.

Lagi dan lagi perempuan itu memilih acuh, tetapi saat hendak pergi tangannya langsung dicekal bodyguard tersebut.

"Nggak usah pegang-pegang!" tepis Meira.

Shelly merasa keadaan mendadak tidak kondusif. Ia buru-buru pasang badan untuk sahabatnya.

"Kalian jangan kasar, ya. Ini masih area kamus, jangan macam-macam!" galak Shelly dengan wajah songongnya.

Karena pria itu juga mendapat perintah khusus dari Tama, mau tidak mau harus memaksa Meira ikut dengannya. Sudah cukup kemarin babak belur kehilangan jejak sang Nona.

"Non Meira harus ikut kami," ucapnya lagi, kali ini penuh penekanan.

Damian yang sedari tadi ikut memperhatikan akhirnya berjalan maju dan berdiri tegak dengan gaya maskulinnya.

"Pak Damian," lirih Shelly sama terkejutnya dengan Meira.

"Sudah?" Damian bertanya pada perempuan yang mendadak diam tersebut. "Meira. Saya bicara sama kamu."

"S-sudah apanya, P-pak?" Suara itu, ah gugup sekali.

"Urusan kamu sama pria aneh ini. Sudah selesai? Kalau iya, ayo pulang?"

Shelly memelotot di tempat. Menatap Meira seolah haus penjelasan. Mahasiswa lain yang berlalu-lalang ikut berhenti melihat tindakan Damian yang menurut mereka cukup menyita perhatian. Apalagi dosen tersebut tengah menjadi pembicaraan hangat.

"Maaf, Anda siapa? Tolong jangan ikut campur urusan orang lain," tegas pengawal itu.

Damian langsung memasang wajah serius. "Saya calon suaminya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku, Dosen Idola Kampus   Bab 14 Keputusan Besar

    Pukul 8 malam.Malam itu hujan turun dengan rintik kecil, menciptakan bayangan tajam di jalanan basah. Lampu-lampu taman menyala redup, sedangkan mobil Damian berhenti dipekarangan besar milik keluarga Meira.Keduanya kompak turun dari mobil. Damian menuntun Meira dan menjadikan tangannya sebagai payung, lalu jalan beriringan menuju pintu utama. Menekan bel rumah dengan sopan.Pintu itu kemudian terbuka, menampilkan Tama dengan tatapan dingin yang mampu membekukan udara. Pria itu memang sudah menunggu sang anak pulang sedari tadi. "Silakan masuk," katanya tanpa senyum.Damian melangkah masuk dengan kepala sedikit menunduk sebagai tanda hormat, hal itu diikuti Meira di belakang sana. Di depan sana, tepat di sofa ruang tamu berwarna putih ia melihat sang Ibu tengah duduk dengan wajah cemas, tetapi berusaha tenang. "Papa sudah tahu semuanya," kata Tama membuka percakapan. Meira memainkan jari-jemarinya di bawah sana, gelisah tiba-tiba menyerang. Ia tahu karena tidak mungkin Ayahnya di

  • Suamiku, Dosen Idola Kampus   Bab 13 Rasa Khawatir

    Ruang CEO. Damian masuk ke dalam ruangan dengan muka datarnya. Di sana terlihat sang Ayah tengah berdiri tegak menghadap ke luar jendela besar dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celananya. "Putuskan hubungan kamu dengan perempuan itu," tegas Tristan langsung membalikkan badannya. Keduanya saling beradu tatap. Ruang ber-AC rupanya tidak bisa menyejukkan suasana hati sang Ayah. Sorot mata tajam penuh peringatan itu jelas terpancar di sana. "Reputasi perusahaan itu penting. Seharusnya kamu tau itu, Damian. Kalau kamu terus keras kepala, Ayah nggak bisa menjamin kenaikan jabatanmu."Damian pun protes dengan cepat. "Yah!"Tristan memutus kontak mata dan berjalan ke arah meja kerja, lalu memegang sebuah map hitam yang di dalamnya sudah dihiasi foto Damian dan Meira, lengkap dari mereka di kampus hingga bermalam di apartemen. "Jelaskan. Bagaimana kamu bisa menyelesaikan ini semua?!" Pria itu melemparnya di atas meja.Ia lantas membisu. Menatap foto itu dengan emosi yang ha

  • Suamiku, Dosen Idola Kampus   Bab 12 Masalah Baru

    Apartemen. Damian menenteng kantong makanan yang sempat dibelinya dari luar. Kakinya berjalan menuju meja makan, menata beberapa hidangan lezat yang mereka pesan secara bersamaan. Meira duduk di kursi meja makan lebih dulu, fokusnya menatap Damian yang terlihat sibuk di sana. Tatapan kosong itu cukup ketara. Meira tampak tidak bersemangat. Siapa saja yang melihat pasti berpikir yang sama. Seolah masalah berputar di atas kepalanya.Damian berjalan, berdiri di samping Meira. "Kenapa?"Lima detik berlalu, pertanyaan itu berakhir tanpa jawaban."Meira?" Ia kembali menyadarkan. Lagi, panggilannya terabaikan. Damian mendekatkan diri, mengusap puncak rambut Meira, kemudian menariknya ke dalam pelukan. Sayangnya, pelukan itu bahkan hanya satu pihak saja. Meira tetap tidak ada pergerakan. Damian yang tidak tahu harus menghibur dengan cara apalagi pun malah makin kebingungan."Makan dulu. Ayo?" ajak Damian usai melepas dekapan itu.Meira akhirnya menurut. Mereka makan siang dengan keheninga

  • Suamiku, Dosen Idola Kampus   Bab 11 Pilihan Meira

    Pukul 12 siang.Hari ini hanya ada dua mata kuliah. Meira seorang diri selama pembelajaran berlangsung. Shelly duduk di bangku paling pojok seakan memperlihatkan jarak di antara keduanya. Meira mencoba tersenyum, tetapi perempuan itu bahkan tidak menoleh.Usai kelas selesai, Meira mulai merapikan buku-bukunya. Rumor itu masih meninggalkan bekas hebat di dalam sana. Orang-orang terus membicarakan tanpa henti. Shelly berjalan lebih dulu. Ia menatap punggung Meira sebelum benar-benar meninggalkan kelas. Namun, egonya masih terlalu tinggi. Ia memilih tidak peduli meski terdengar jelas para mahasiswa mulai mencemooh sang sahabat. "Shelly," panggil Rangga mencegahnya di luar. "Meira masih di dalam?" Perempuan itu tidak langsung menjawab. Pandangannya terpaku pada Rangga. Shelly merasa sesak di dalam dada, sebab ia tidak bisa meyangkal fakta bahwa Rangga yang ia kagumi selama ini ternyata menyukai Meira, sahabatnya sendiri. Rangga kembali menyadarkan. "Shelly?""Dia masih di dalam," jawa

  • Suamiku, Dosen Idola Kampus   Bab 10 Rumor Kampus

    Kabar itu meyebar lebih cepat dari embusan angin pagi. Baru satu hari Damian mengajaknya pulang, tetapi satu kampus sudah tahu. Segala sudut fakultas heboh membicarakan keduanya. Postingan paparazzi milik akun official lambe turah kampus itu kini sudah menjadi trending topik di grup percakapan mahasiswa. Meira masih terlelap indah ketika cahaya matahari mulai menembus tirai jendela, menyentuh kulitnya hangat. Namun, tidurnya terusik dengan suara notifikasi yang terus berdenting tanpa henti dari ponselnya di atas meja.Dengan mata setengah terbuka, Meira meraih ponselnya yang terus bergetar. Layar menyala. Di sana sudah banyak orang-orang menyebut dirinya melalui postingan di media sosial, kontan ia langsung terduduk. Bola matanya membesar.Berita di portal kampus terpampang jelas.[Hubungan Tak Terduga: Dosen Muda Jatuh Cinta Pada Mahasiswi Tingkah Akhir, Mereka Terlihat Pulang Bersama] Ia masih mematung di tempat tidur. Menggulir layar ponsel dengan perasaan cemas. Membaca berbagai

  • Suamiku, Dosen Idola Kampus   Bab 9 Kontrak Pernikahan

    Sore hari setelah menyelesaikan tiga mata kuliah, Meira berjalan dengan isi pikiran penuh. Kejadian di kantin tadi pagi membuat hubungannya dengan Shelly mendadak renggang. Perempuan itu menghindar. Seperti saat ini, pulang lebih dulu.Masih dengan tekanan yang sama, sang bodyguard sudah menunggu di depan sana tepat di depan mobil berwarna hitam. Lagi dan lagi Meira menarik napas panjang. Cukup menyebalkan, pikirnya."Hari ini kita pulang bersama," kata Damian mencegah Meira. Perempuan itu menoleh. Apalagi ini Tuhan? Bisakah semesta lebih adil? Ia lelah. Bahkan tidak ada energi untuk bicara."Saya udah dijemput," tunjuk Meira dengan dagunya.Damian menatap ke depan. Pria yang tidak asing itu terlihat memantau ke sini. Ia kemudian berpikir, apakah hidup Meira memang tidak bebas seperti perempuan seusianya? Seolah penuh kekangan."Nggak masalah. Ayo?" Ia menarik pergelangan tangan sang kekasih.Meira justru diam tidak bergerak. "Kenapa?" tanyanya.Ia melepas cekalan itu, menatap Damian

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status