“Kenapa datang, sih, Nis?!” sergah Elza emosi. Dia tak bisa membayangkan bagaimana sahabatnya ini menghadapi dua orang paling hina itu seorang diri. Dia ngga habis pikir, kok, mau-maunya, sih Nisha meladeni mereka.
Sore ini Nisha meminta waktu Elza untuk bertemu. Sahabatnya itu masih dalam masa cuti melahirkan, jadi masih sempat untuk diajaknya jalan.“Kenapa ngga minta temenin aku, sih, Nis?!” tanya Elza masih kesal. Toh dia juga sering pergi bertiga sama Firdaus. Suami sahabatnya itu juga sudah terbiasa dengan kehadirannya.Nisha melirik bayi perempuan yang baru berumur empat puluh hari dipangkuan Elza. ‘Ya, ngga mungkinlah aku mengajakmu, terus ninggalin si kecil. Punya temen kok aneh-aneh aja pikirannya,’ dumelnya dalam hati.Terburu-buru Elza menyeruput ice coffee latte. Mulutnya sudah tidak sabaran mau protes ini dan itu, namun di lain sisi tenggorokannya terasa kering.Nisha menunggu kata-kata apa saja yang akan dimuntahkan oleh saMobil mungil bewarna silver berhenti di depan lorong buntu. Jalan lorong itu hanya dipergunakan untuk pemilik rumah keluar masuk. Satu mobil ini saja pas-pasan muatnya.Tak terasa Bella sudah sampai di rumah. Padahal, perjalanan dari mall menuju rumahnya ini cukup jauh. Semua karena hatinya tengah berbunga-bunga. Pipinya tak henti bersemu kemerahan tiap kali teringat Firdaus memilihnya daripada istri sahnya itu.‘Hm, awas saja kalau gue dianggap sebagai pelakor. Sorry banget, nih, ya! Suami dia sendiri yang lebih memilih gue, bukan karena gue paksa, lho. Makanya, kalau punya suami itu dijaga baik-baik. Cih!’ omel benak Bella membayangkan jikalau ada sumpah serapah yang keluar dari mulut Nisha. Untungnya, sih ngga.“Sayang,” panggil Firdaus pelan. Dia memerhatikan Bella memunggunginya sedari tadi. Jangan-jangan wanita itu marah karena kata-katanya yang ngga mau bercerai dari Nisha. Bella menoleh. Terpampang wajah datar tanpa ekspresi. “Ya?”
“Hah.” Helaan itu terdengar cukup jelas keluar dari mulut Nisha. Bola matanya bergerak ke kiri dan kanan sebelum memantapkan diri terarah ke depan. Tepat ke sebuah gedung diapit oleh bank daerah dan Bappeda provinsi, gedung pengadilan agama.Jemari Nisha menggenggam lebih erat map di pelukan. Lalu, mengambil langkah lebar mendekati pintu masuk.Dia berhenti setelah masuk gedung itu. Tertulis Pelayanan Satu Pintu Pengadilan Agama. Dia pun celingak-celinguk, memerhatikan isi ruangan. Seperti di bank saja ada konter untuk melayani.“Ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya seorang laki-laki mengenakan pakaian batik. Badannya agak tegap. Dilihat dari radio Ht tersemat diikat pinggang, pastilah dia satpam gedung ini.“Saya mau mengajukan gugatan cerai. Ke mana harus daftarnya, ya?” tanya Nisha.“Silakan ambil nomor antrian dulu, Bu,” ujar lelaki itu menunjuk ke arah mesin setinggi dada di sebelah kanannya.Ada seorang laki-laki yang mendekati mes
Hanya berselang sepuluh hari, proses sidang perceraian antara Jenisha dan Firdaus sudah dimulai.Tumit kaki Firdaus tiada hentinya mengetuk lantai hingga membuat getaran ke lututnya. Dipandanginya pintu ruang sidang yang masih tertutup. Pertanda masih ada sidang yang berlangsung di dalam sana.Jangan harapkan ada senyum di wajahnya. Rahangnya mengeras sejak pertama kali melihat Nisha sudah sampai duluan di ruang tunggu ini. Dia sudah menahan kesal semenjak mendapatkan surat gugatan cerai dari Nisha. Karena sudah dikatakannya agar tidak bercerai, namun istrinya itu melakukan langkah ini tanpa basa-basi.Tidak lama kemudian, pintu ruang sidang terbuka. Seorang laki-laki tinggi keluar terlebih dahulu dengan langkah marah. Diikuti oleh seorang wanita berambut pendek yang tersenyum penuh kemenangan. Mereka berdua sukses menjadi pusat perhatian dari peserta tunggu persidangan.Seorang pegawai pengadilan yang berdiri di dekat pintu setelah jeda sekitar s
“Bismillahirrahmanirrahim, pada hari ini Senin, Delapan Agustus 2016, Saya Muhammad Firdaus Al-Attar bin Bakhtiar Qadir Al-Attar menjatuhkan talak satu raj'i kepada istri Saya, Jenisha Munnawarroh binti Makhmud,” ucap Firdaus sembari mengikuti kata-kata dari Hakim yang membimbingnya.Jemarinya saling menggenggam di balik telapak tangan. Tidak mudah sebenarnya mengatakan itu semua. Hatinya terasa sakit harus menyelesaikan prosedur perceraian ini. Dia kesal, itu artinya akan sulit menyentuh Nisha lagi.Nisha memilih untuk tidak turut hadir pada hari itu, selain karena kesibukannya, juga merasa tak perlu lah hadir dan melihat pembacaan talak itu. Yang hadir hanyalah Bakhtiar dan Salma.Telapak tangan Bakhtiar tertempel erat di dada kirinya. Dadanya terasa sesak dan sakit. Air matanya berlinang. Dia termasuk orang yang jarang menangis. Namun, menyaksikan secara langsung pernikahan anaknya kandas, hatinya yang terasa tertusuk mata pisau bertubi-tubi. Nisha adal
Vika menyeruput mocha float di hadapannya. Kedua matanya mengekori tingkah sang buah hati yang tengah bermain perosotan. Dia hanya ingin memastikan bahwa Ara tidak terluka. Kalau kenapa-kenapa bisa habis dia dimarahi sang suami. Entar ngga bisa meet up lagi bareng Elza dan Nisha. Padahal, hanya itu kesempatannya bisa menikmati waktu karena kesibukan sang suami yang merupakan kepercayaan sang walikota.Sesaat kemudian, Elza muncul. Gadis kecil yang sedari turun mobil tadi melepas genggamannya begitu melihat kehadiran Ara di sana. Mungkin sangking rindunya sudah ngga bertemu sekian lama. Di belakangnya, Nisha muncul. Tidak seperti Vika dan Elza yang membawa buah hati mereka, Nisha hanya berlenggang seorang diri. Maklumlah, kedua anaknya lebih memilih berada di rumah. Nisha, sih senang-senang saja. Itu artinya dia bisa sedikit bebas melepas rindu pada Elza dan Vika."Shanum, Mami pesenin makanan yang kayak biasa, ya. Kalau makanannya datang, langsung kemari," ujar Elza agak berteriak. S
“Baba masuk rumah sakit,” beritahu Salma ketika menelepon Nisha siang itu. Semalam, setelah paginya menasehati Firdaus, suaminya tiba-tiba tidak sadarkan diri. Panik, ya jelas. Apalagi tidak ada anak-anak di rumah. Firdaus entah tidur di mana malam itu.Diantarkan oleh Reyhan, sepupu Firdaus yang tinggal di bagian lain rumah itu, Bakhtiar tiba di rumah sakit swasta dekat rumah. Setelah diperiksa, ternyata ginjalnya sudah sangat parah. Kini lelaki paruh baya itu sudah sadar, namun tampak tidak berdaya.Punggung Nisha terhempas ke bantalan kursi. Jemari kanannya mengatup, mulutnya yang refleks terbuka. Kabar ini sangat mengejutkan. Orang yang paling dihormatinya kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit.“Jadi, Baba sakit apa, Ma?” panggilan itu masih tersemat buat mereka walaupun bukan mertuanya lagi. Selama ini tidak terlihat gejala sakit apapun pada Bakhtiar. Bahkan, kemarin dia masih beraktifitas seperti biasa, datang ke kampus. Nisha sempat
Keesokan malamnya, Nisha merasa harus hadir di rumah duka. Karena sejak jenazah Bakhtiar sampai di rumah dan dikuburkan, dia belum ke sana. Walaupun atasannya merestui jika ia mau izin, tapi dia tidak pergi. Hanya kedua anaknya yang ia kirimkan ke rumah duka dan ikut hingga pemakaman.Nisha merasa tidak enak hadir di sana. Alasan yang sebenarnya adalah dia malas kalau bertemu Bella di sana. Namun malam ini dia sudah memantapkan tekad. Ngga masalah jika harus bertatap muka dengan wanita perebut suaminya itu. "Kak Nisha!" suara Queen, adik ipar Anggun yang sudah mengenal Nisha bahkan sebelum menikah dengan Firdaus. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, tangannya juga teracung begitu melihat kehadiran wanita penyuka warna biru itu.Nisha langsung mengenali wanita berkulit tan itu, begitu juga orang-orang yang duduk di dekat Queen. Ia pun menyalimi wanita muda sampai paruh baya yang masih memiliki silsilah keluarga yang sama dengan Firdaus."Nis," seru mereka bergantian setiap kali usai
Angin saja tidak tampak, apalagi hujan, kilat maupun petir juga tidak terlihat. Malah ada yang menyambar mood Nisha pagi itu. Tiba-tiba saja Firdaus menghubunginya. Nisha kira mau minta maaf atas sikapnya yang tidak memperbolehkan Nisha datang lagi ke rumah Salma, ternyata mau mengajak anaknya jalan-jalan. Ah, memang benar adanya kalau tidak boleh terlalu berharap pada manusia.“Nis, nanti aku ada waktu luang. Aku mau bawa Efa sama Bahri jalan,” cetus Firdaus hampir jam enam pagi tadi. Entah dapat hidayah dari mana sampai bersedia bertemu dengan anak-anaknya. Kirain sudah amnesia kalau punya keturunan yang harus diberi kasih sayang dan nafkah.Nisha menghela napas sejenak, lantas menjawab, “Bukannya ngga mau ngizinin, ya, Kak. Shareefa hari ini sekolah. Ada ujian mid katanya. Sama Bahri aja gimana?”Nisha harus menanggapi ini dengan sabar. Firdaus memang minim pengetahuan atau memang ngga mau tahu tentang sekolah Efa. Entah itu temen de