Rasanya seperti palu besar menghantam dadaku. Jika bukan ke masjid, lantas Mas Farhan pergi ke mana?
Kekhawatiran di dadaku makin menjadi. Jantungku berdetak tak karuan. Aku mulai memikirkan berbagai kemungkinan buruk. Apa mungkin dia sengaja pergi meninggalkanku? Tapi rasanya tidak mungkin. Dia sangat mencintaiku, terlebih ada buah hati yanh sedang kami tunggu kelahiranya dan sudah kami nantikan sejak tiga tahun yang lalu. Atau jangan-jangan... Mas Farhan diculik? Mengalami kecelakaan? Dibegal? Ah Rasanya kepalaku hampir pecah memikirkanya. Aku menelan ludah. Menepis pikiran-pikiran buruk yang muncul tiba-tiba di kepala. Tidak, aku tidak boleh berburuk sangka. Tapi... kenapa rasanya... ada yang tidak beres? Aku segera kembali ke rumah, membuka lemari pakaian Mas Farhan, memeriksa setiap lipatan baju di dalamnya. Ingin memastikan apakah dia benar-benar berniat pergi meninggalkanku. Nyatanya semua pakaianya masih utuh. Seragam kerja, baju santai di rumah, baju koko untuk ke masjid hingga pakaian dalam masih teronggok rapi di tempatnya. Tidak ada yang berkurang. Bahkan sepeda motornya yang biasa dia pakai bekerja pun masih terparkir di halaman. Itu artinya… dia memang tidak ada niat untuk pergi. Tapi kalau begitu... ke mana dia? Sesekali aku masih mencoba kembali menghubungi nomornya. Tapi hasilnya tetap sama, tidak aktif. Aku mencoba lagi beberapa menit kemudian. Tetap tak ada perubahan. Suara mesin penjawab itu seakan mengejekku, membuat cemas yang menumpuk di dada kian terasa menyesakkan. Aku berinisiatif menghubungi satu per satu orang yang mungkin tahu di mana keberadaanya. Mulai dari ibunya. "Assalamualaikum Nak Indira?" suara ibu mertuaku terdengar dari ujung telepon. "Maaf Bu, Indira mau tanya apakah Mas Farhan pulang ke rumah ibu?" tanyaku kelu. Entah mengapa firasatku mengatakan Mas Farhan tak ada di sana setelah mendengar suara ibu mertuaku yang tenang. Mas Farhan selalu pamit padaku jika ingin mengunjungi ibunya, bahkan seringnya mengajakku untuk ikut. Ibu mertuaku tinggal tak jauh dari kami bersama kakak Mas Farhan. Mba Fani namanya. Beliau orang tua tunggal. Untuk menghidupi kedua anaknya, beliau memiliki usaha catering. "Farhan?" tanyanya dengan nada heran. "Memangnya dia tak pulang?" lanjut ibu mertuaku, nadanya berubah cemas seketika. Aku pun menyesal telah menanyakan padanya, karena malah menambah beban pikiran bagi ibu mertuaku. "Tadi sudah pulang kok Bu, hanya saja sedang pergi ke masjid dan belum kembali. Yasudah Bu, mungkin Mas Farhan sedang ikut kajian. Assalamualaikum" ucapku berbohong, lalu buru-buru mengakhiri percakapan di telepon. Aku kembali memutar otak. Jika tidak ke rumah ibunya, mungkin ke rumah sahabatnya. Mas Anto. Nama itu yang muncul di pikiranku. Hanya dia yang aku kenal dan ku tahu cukup dekat dengan Mas Farhan. Mungkin Mas farhan pergi menemui Mas Anto. Dengan jantung berdegup kencang, tanganku gemetar saat mencari nama Anto di daftar kontak. Begitu kutemukan, tanpa pikir panjang, aku menekan tombol panggil. Suara Anto terdengar di seberang, santai seperti biasa. "Halo, Indira? Ada apa nih? Tumben nelpon aku." Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku sebelum berbicara. "Maaf, Mas Anto... Saya mau tanya, apa Mas Farhan ada di sana?" suaraku terdengar ragu, nyaris berbisik. Anto terdengar heran. "Farhan? Wah, udah lama banget aku nggak ketemu dia, In. Aku malah pengin nanya kamu, gimana kabar Farhan? Dia sehat, kan?" Jawaban sekaligus pertanyaan dari Mas Anto membuat dadaku semakin sesak. Mas Farhan juga tidak sedang bersama Anto, lalu... di mana dia? Aku berusaha terdengar tenang, walau nadaku bergetar. "Iya, sehat kok Mas..." Ada jeda hening sesaat, lalu Anto bertanya pelan, seolah curiga. "Terus kenapa kamu nyariin dia ke aku? Kalian lagi berantem, ya?" Cepat-cepat aku menyangkal. "Nggak, enggak Mas. Nggak ada apa-apa kok." Aku buru-buru menutup pembicaraan, tak ingin siapa pun tahu tentang apa yang terjadi pada rumah tanggaku. "Sudah dulu ya Mas Anto. Maaf ganggu. Assalamualaikum." Malam itu, aku menghubungi semua orang yang mungkin tahu keberadaan Mas Farhan. Ibunya, sahabatnya, teman kantor, bahkan atasan langsungnya. Namun hasilnya nihil, tak ada satupun dari mereka yang tahu di mana Mas Farhan. Kelelahan mulai merayapi tubuhku. Perutku yang mulai membesar karena kehamilanku yang memasuki bulan ke lima membuatku cepat merasa lelah. Tapi kali ini bukan hanya karena fisik, melainkan juga karena pikiran yang terus-menerus bekerja memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Akhirnya, aku merebahkan tubuh di ranjang. Mataku juga terasa berat, meskipun hatiku tetap gelisah. Perasaan cemas menghimpit dadaku. Aku mencoba cara lain. Mungkin, jika dia tak bisa dihubungi lewat telepon, aku bisa menghubunginya lewat media sosial. Dengan penuh harap, aku membuka akun media sosialnya. I*******m dan F******k, hanya dua akun itu yang ku yang ku tahu. Tapi yang kutemukan justru membuat jantungku semakin berdebar. Semua akun media sosial Mas Farhan... menghilang. Tak bisa ditemukan. Seolah dia menghapus semuanya, atau sengaja menghilang dari dunia maya. Tapi sejak kapan? Aku tak tahu karena aku jarang bermedia sosial, kecuali untuk mempromosikan daganganku. Tanganku gemetar saat menutup ponsel. Nafasku terasa berat. Aku terbaring dengan perasaan gelisah tempat tidur, dikelilingi sunyi dan tanda tanya yang makin menyesakkan. Ke mana sebenarnya Mas Farhan? Apa yang terjadi? Kenapa dia menghilang begitu saja? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, tak henti-henti. "Ya Allah... ke mana suamiku?" rintihku lirih, nyaris seperti bisikan yang menelan seluruh harapanku. Air mataku mulai menetes satu per satu. Rasa khawatir, takut, dan sedih membuatku tak mampu menahan butiran air bening itu untuk jatuh. Bagaimana mungkin orang dewasa bisa menghilang begitu saja? Kenapa Mas Farhan tak memberi kabar? Apa dia baik-baik saja? Atau... jangan-jangan terjadi sesuatu padanya? Aku menunduk, mengelus perutku seolah memberikan kekuatan pada bayiku untuk bersabar menunggu ayahnya kembali. "Mas... di mana kamu? Pulanglah aku dan anakmu membutuhkanmu..." bisikku pelan, nyaris tak bersuara.hth
"Suamiku hilang, sahabatku meninggal, dan anak dalam kandunganku gugur... Kenapa semua penderitaan ini harus aku tanggung?" suara Indira pecah, parau, seperti keluar dari rongga dada yang hampa. Tatapannya kosong menembus ruang rawat yang dingin, seolah tak lagi mengenali dunia di sekelilingnya.Air mata yang sudah kering di pipinya seakan tak mampu lagi menetes, tapi matanya tetap sembab, merah, seperti menyimpan lautan duka yang tak terbendung. Tubuhnya gemetar kecil, menahan rasa sakit yang bukan hanya dari luka fisik, melainkan juga dari jiwa yang porak-poranda.Bu Fatma, dengan mata berkaca-kaca, hanya bisa mengelus bahu putrinya, berusaha menyalurkan kekuatan meski hatinya sendiri remuk melihat Indira seperti itu. Sementara ayahnya berdiri di sudut ruangan, menatap penuh iba. Tangannya mengepal menahan rasa sakit karena merasa tak mampu melindungi putrinya, hingga harus mengalami penderitaan sepedih ini.Indira belum boleh pulang. Tubuhnya masih lemah, penuh infus dan perban, te
Dalam sekejap, jalanan yang semula lengang berubah kacau. Suara klakson mobil bersahut-sahutan, beradu dengan sirine ambulance dan polisi yang meraung dari kejauhan. Namun kemacetan panjang membuat laju kendaraan darurat itu tersendat, seakan waktu ikut bersekongkol melawan Indira dan Yanti.Indira terbaring di atas aspal panas, napasnya memburu. Tangannya masih menekan perut yang berlumuran darah, sementara sinar matahari yang mulai naik menyorot wajahnya yang pucat. Pandangannya nanar menatap langit biru yang perlahan diselimuti awan tipis, seolah berusaha tetap sadar meski tubuhnya terus melemah.Di sampingnya, Yanti tak bergerak. Rambutnya berantakan, wajahnya tampak pucat di bawah bayangan kendaraan yang berhenti tak beraturan. Orang-orang mulai berkerumun, sebagian panik berteriak minta tolong, sebagian lain hanya berdiri terpaku menatap ngeri.Indira berusaha mengatur napasnya yang semakin pendek. “Bertahan… Kamu harus bertahan bersama Ibu, nak...” bisiknya lirih, meski suarany
"Udah buruan naik, nunggu apa lagi, sih?" seru Yanti sambil menepuk jok belakang motornya.Indira masih terpaku di tempat, tangannya menggenggam ujung tas dengan ragu. "Yan... apa kita batalkan aja ya pergi ke orang pintar itu?" suaranya pelan, lebih seperti berbicara pada diri sendiri."Waduh, jangan gitu dong! Aku udah rapi-rapi, motor juga udah siap, masa mau dibatalin sekarang? Sayang banget, Dira!" Yanti langsung menolak mentah-mentah dengan nada sedikit kesal.Indira menggigit bibirnya. Hatinya penuh keraguan. "Aku bener-bener nggak tenang, Yan. Selain takut dosa, aku juga khawatir, naik motor jarak jauh begini bahaya buat aku. Kandunganku kan udah besar.""Ah, tenang aja! Aku janji bawanya pelan-pelan, aman kok! Jangan kebanyakan mikir, nanti malah nggak jadi-jadi," Yanti meraih lengan Indira, seakan memaksa sahabatnya itu segera naik.Indira menunduk, menimbang sejenak. Rasa takutnya masih ada, tapi dorongan Yanti membuatnya tak enak hati untuk menolak terus. Dengan berat hati
Indira menatap Yanti dengan penuh penasaran, menunggu sahabat lamanya itu melanjutkan kalimatnya.Yanti merapatkan duduknya, lalu menurunkan suara seolah takut ada telinga lain yang mendengar. “Aku dengar… di daerah Karawang ada orang pintar yang cukup terkenal. Katanya, dia bisa membantu menemukan segala hal yang hilang. Barang hilang, uang hilang, bahkan orang hilang seperti suamimu”Spontan Indira menutup mulutnya dengan tangan. “Astaghfirullah, Yanti!” serunya dengan mata membesar. Kepalanya langsung menggeleng kuat. “Mendatangi paranormal itu syirik. Itu dosa besar yang tidak akan diampuni Allah. Aku tidak mau menjerumuskan diri pada hal seperti itu.”Nada suara Indira tegas, bahkan agak bergetar. Jelas sekali penolakannya.Namun Yanti justru semakin mendekat, menatap Indira dengan sorot serius. “Dir, kamu jangan keras kepala dulu. Aku tahu ini bertentangan dengan agamamu, tapi pikirkan baik-baik. Farhan hilang sudah berhari-hari, polisi pun belum bisa memberi petunjuk yang jel
"Maafkan kami atas kesalahpahaman ini. Jenazah tidak memiliki identitas, sedangkan di mobil tertera STNK atas nama Farhan. Jadi, kami mengira jenazah tersebut adalah orang yang sedang Ibu cari," ucap seorang polisi dengan nada hati-hati, ditemani dokter forensik di sisinya."Indira terdiam. Hanya anggukan kecil yang ia berikan, meski hatinya terasa kian berkecamuk. Matanya masih basah, dadanya berdesir tak menentu. Ia tidak marah, hanya bingung dan perih.Tangannya refleks memegangi perutnya, seakan mencoba menenangkan diri sekaligus calon buah hati dalam kandungannya. "Mas Farhan..." bisiknya lirih. Nama itu pecah di ujung bibirnya, meninggalkan getar yang membuat tubuhnya lemas.Yang membuatnya lebih gelisah, adalah kenyataan bahwa nama yang tertera di STNK itu sama persis dengan nama suaminya 'Farhan Wicaksana'. Sebuah kebetulan atau mungkin petunjuk baru?Indira pulang ke rumah, di temani ayah dan ibunya. Air mata Indira tak berhenti menetes selama perjalanan dari Rumah Sakit ke R
"Indira, ada telepon masuk di HP-mu," ucap Bu Fathimah sambil menyerahkan ponsel ke tangan putrinya.Indira menerimanya, menatap layar yang menampilkan nomor tak dikenal. Jemarinya terasa dingin. Ia menoleh pada ibunya, seolah meminta persetujuan. Bu Fathimah hanya mengangguk pelan, memberi isyarat agar Indira segera menjawab."Halo… dengan Indira di sini," suaranya terdengar ragu saat menjawab."Selamat malam, Bu Indira," suara berat dan resmi terdengar di ujung sana. "Kami dari pihak kepolisian ingin menginformasikan bahwa kami menemukan petunjuk baru terkait suami Ibu, Bapak Farhan."Jantung Indira hampir melompat keluar. Nafasnya tercekat. "Pe… petunjuk baru? Apa maksudnya… Mas Farhan ditemukan?""Kami menemukan sebuah mobil yang terdaftar atas nama Farhan, dalam kondisi ringsek."Indira membeku. Mobil? Setahunya, Farhan hanya punya sepeda motor untuk bekerja. Gaji Mas Farhan sangat kecil, bahkan untuk kebutuhan sehari-hari saja masih dibantu pendapatan Indira dari jualan online.