Matahari sudah sedikit naik ketika aku terbangun karena suara pintu yang diketuk dari luar. "Assalamualaikum Indira, Nak ibu datang" suara Ibuku memanggil.
Setiap weekend ibuku memang rutin datang ke rumahku semenjak aku hamil. Katanya beliau ingin membantuku agar aku tak terlalu lelah mengerjakan pekerjaan rumah.
Aku mengerjapkan mata, penyesalan menyusup dadaku karena tak sengaja melewatkan sholat subuh akibat bangun kesiangan. Dengan segera aku bangkit dari tempat tidur dan membukakan pintu untuk ibu.
"Ibu... Maaf Indira kesiangan" ucapku jujur.
Bukanya menjawab, Ibu malah menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Apa kamu baik-baik saja Nak? Wajahmu pucat sekali" ucap Ibuku, mimik wajahnya terlihat khawatir.
Aku diam, bingung harus menjawab apa. Aku memang lelah dan tak bisa tidur hingga larut malam karena memikirkan suamiku yang menghilang tiba-tiba.
Ibuku menatap ke dalam rumahku, matanya menyisir ke seluruh ruangan yang terlihat sepi. Biasanya jam segini aku sudah selesai masak dan menyiapkan makanan untuk suamiku. Tapi hari ini, suamiku tak ada.
"Ke mana Farhan Nak?" Tanya Ibuku setelah menyadari tak ada Mas Farhan di rumah.
Aku hanya diam tak sanggup menjawab, tapi justru buliran bening yang kembali jatuh dari mataku.
"Ada apa Nak?" Tanya Ibuku dengan khawatir, beliau tahu ada yang tidak beres.
"Mas Farhan... dia... dia hilang Bu..." Tangisku kini pecah, aku tak sanggup menyembunyikan kepedihan ini di hadapan ibuku.
Ibu menatapku tak percaya, atau mungkin tak paham apa yang ku maksud dengan hilang. Yah, memang tak masuk logika jika dipikir. Bagaimana mungkin orang dewasa bisa menghilang begitu saja?
"Hilang bagaimana Indira? Farhan pergi? Atau kalian sedang bertengkar?" Ibu menuntut penjelasan
Aku menggeleng pelan, "Kami tidak bertengkar Bu. Mas Farhan kemarin sore pamit untuk pergi sholat Maghrib di masjid... Tapi... Dia tak pernah kembali hingga sekarang..." Ucapku terbata sambil mengelap air mata yang terus mengalir.
"Ya Allah... Kok bisa begitu Nak... Semoga Farhan baik-baik saja" Ibuku terlihat sama khawatirnya dengan aku. Terlebih melihat kondisiku yang nampak menderita. Pikiran kacau dan badan lelah karena memikirkan suamiku yang hilang dalam kondisiku yang sedang hamil.
Ibu menuntunku duduk di sofa, lalu memelukku. Membiarkan aku menangis dengan puas di pelukkanya. Tangannya dengan lembut mengusap punggungku, seolah ingin memindahkan kekuatan dari tubuhnya ke tubuhku yang lemah dan rapuh.
Setelah puas menangis, aku menatap ibuku. Kulihat matanya berkaca-kaca yang juga menatap wajahku yang masih basah oleh air mata.
"Nak, kamu tidak sendiri..." Ucapnya dengan suara pelan. "Ada Ibu dan Ayah yang selalu di sampingmu. Selama ibu masih ada, ibu janji tidak akan meninggalkanmu. Kita cari Farhan bersama-sama, ya! Ibu janji, sampai ketemu!"
Aku masih menatap wajah Ibuku, ada keteguhan di sana. Ada cinta tak terbatas dari seorang Ibu, hangat dan tak terbatas. Tatapan Ibuku selalu hangat dan menenangkan, seolah mampu memeluk lukaku yang tak terlihat.
Tangisku pecah lagi, kali ini bukan karena putus asa, tapi karena rasa syukur. Di tengah kehilangan yang menyayat, Tuhan masih memberiku satu anugerah yang paling berharga, seorang ibu seperti Bu Fathimah.
"Terima kasih, Bu..." ucapku dengan suara serak, menggenggam tangan beliau erat.
Ibu tersenyum, lalu membelai rambutku penuh kasih.
Tiba-tiba, ku dengar suara ponselku yang berdering dari dalam kamarku. Aku langsung bangkit dari sofa untuk mengambil ponsel dan mangangkatnya, Ibu mengikutiku.
Ku lihat layar di ponselku sebelum mengangkatnya. Nama suamiku muncul di layar. "Mas Farhan?" Ucapku hampir tak percaya.
"Ibu, lihat Mas Farhan menelponku!" Seruku pada Ibu sambil menunjukan layar ponsel yang masih terpampang nama Mas Farhan. Wajahku terlihat berbinar, seolah sebuah harapan muncul bahwa suamiku akan segera pulang.
"Alhamdulilah... Cepat angkat Indira!" Wajah ibuku terlihat tak sabar.
"Assalamualaikum Mas Farhan..." Ucapku, tak sabar mendengarkan suara suamiku yang semalam tak pulang. Aku sudah siap mendengar alasan mengapa suamiku menghilang tiba-tiba kemarin sore. Bahkan aku langsung memaafkan Mas Farhan yang tidak jadi mengantarkan aku periksa kehamilan sebelum beliau meminta maaf.
Namun, beberapa detik ku tunggu suara Mas Farhan tak kunjung ku dengar dari sebrang sana.
"Halo... Mas... Mas Farhan dengar aku?" Ulangku dengan suara yang lebih keras , berharap suamiku mendengar suaraku dan menjawabnya.
Tapi tak ada suara yang menjawab. Yang terdengar hanya desiran angin... dan suara berisik seperti keramaian atau percakapan yang jauh, samar tak bisa kujelaskan.
Plak!Tamparan itu mendarat telak di pipi Indira—keras, tiba-tiba, dan penuh amarah. Suara tamparan menggema di parkiran yang sepi, membuat beberapa orang menoleh heran. Indira tertegun. Rasa panas menjalar di pipinya, diikuti perasaan campur aduk antara kaget dan marah yang nyaris meledak.“Kurang ajar kau, gundik!” seru Indira dengan suara bergetar, bukan karena takut, tapi karena menahan amarah yang memuncak. Tangannya terangkat, lalu balas menampar pipi kiri Mayangsari dengan keras—bunyi tamparan itu sama nyaringnya.“Berani-beraninya kau menamparku!”Mayangsari terhuyung setengah langkah, rambutnya terurai menutupi wajah. Pipi kirinya memerah, tapi yang lebih menyala adalah matanya—mata seorang perempuan yang dikuasai kemarahan.“Kau tega, Indira!” jeritnya, suaranya pecah, penuh emosi. “Kau tega memisahkan ayah dari anaknya! Anak yang bahkan baru berusia dua tahun!”“Kau tega, Indira!” jerit Mayangsari, suaranya pecah dan menggema di area parkiran yang mulai dipenuhi tatapan her
"Aku hanya ingin tahu bagaimana keadaanmu Indira..." suara Aksara terdengar lembut, nyaris berbisik. Tatapannya menelusuri wajah Indira dengan penuh perhatian, seolah mencoba membaca isi hatinya tanpa perlu bertanya lagi.Indira menunduk, merasakan debaran kuat di jantungnya. Namun satu sisi hatinya merasa bersalah, ia masih menjadi istri orang walaupun sedang dalam proses perceraian. Seharusnya tidak terlalu dekat dengan Aksara.“Seperti yang Kak Aksa lihat,” ucapnya lirih, mencoba tersenyum. “Aku baik.”Aksara mengangguk pelan. “Kamu sudah yakin dengan keputusanmu untuk berpisah dengan Farhan? Aku cuma takut kamu terburu-buru… mungkin karena masih emosi.”Indira terdiam. Matanya tak menatap Aksara, melainkan tertuju pada taman kecil di depan rumah. Sinar matahari sore menyusup di antara daun, menciptakan kilau keemasan di kelopak bunga. Seekor kupu-kupu kuning hinggap, lalu terbang pelan seolah menari di udara."Wanita mana yang masih akan terus bertahan, setelah ditinggalkan dalam
“Jadi… kalian berdua akan menikah?” tanya Indira dengan nada getir.Aksara dan Livia sontak saling berpandangan, sama-sama kebingungan.“Aku?” Aksara menunjuk dirinya sendiri dengan dahi berkerut, jelas tak paham maksudnya.Livia yang lebih cepat menangkap arah pikiran Indira langsung terkekeh pelan. “Oh, bukan, Indira!” katanya sambil menggeleng cepat. “Bukan aku dengan Aksara… tapi aku dengan Adrian!”“Adrian?” Indira berkedip, tampak malu sendiri. “Oh… aku kira kalian…” ia tak melanjutkan, tapi kalimatnya menggantung cukup jelas.Livia langsung menepuk lututnya sambil tertawa geli. “Astaga, Indira! Dari mana bisa kepikiran begitu? Mana mungkin aku dan Aksara!” katanya sambil melirik pria itu dengan ekspresi geli. “Kami cuma bersahabat sejak kuliah, iya kan, Aksa?”Aksara hanya tersenyum, menggeleng kecil. “Iya Indira, kedekatanku dan Livia lebih seperti sepasang sahabat, jika lebih dekat dari itu maka kami adalah saudara..."Indira ikut tersenyum malu, pipinya memanas, tapi ada kel
Sore itu, cahaya matahari yang hangat menembus sela-sela dedaunan, memantul di wajah Indira yang tengah memangkas daun-daun kering di pot milik Bu Fatma. Jemarinya lincah memotong satu per satu ranting, sampai suara mesin mobil yang berhenti di depan pagar rumah membuat gerakannya terhenti.Ia menoleh spontan. Sebuah mobil hitam mengilap terparkir di halaman. Dari balik kaca, ia mengenali sosok yang sangat familiar—Aksara.“Kak Aksa…” gumamnya lirih. Hatinya berdetak tak karuan. Gunting tanaman di tangannya terlepas begitu saja ke tanah. Ada senyum kecil yang tak sempat ia tahan, seolah tubuhnya lebih dulu bereaksi sebelum pikirannya sempat menimbang.Namun senyum itu perlahan memudar begitu pintu sisi penumpang terbuka. Livia keluar menyusul, menutup pintu mobil dengan senyum ramah yang menyilaukan.Indira terpaku. Ada jeda aneh di dadanya—antara malu, kaget, dan sesuatu yang seperti tertusuk pelan.Angin sore yang tadi terasa hangat kini seolah dingin dan kering.Dia menelan ludah,
Selepas kepergian Fani, Farhan meringkuk di sudut sel yang lembap. Punggungnya menempel pada dinding semen dingin yang mulai berjamur. Lampu di langit-langit berkedip lemah, menyorot wajahnya yang pucat dan mata cekungnya yang penuh kegelisahan. “Indira…” bisiknya parau, hampir tak terdengar. Napasnya berat, dada naik turun cepat seolah menahan sesak yang tak mau reda. “Seharusnya kamu datang menemuiku… kamu istriku, Indira… masih sah istriku.” Ia menatap kosong ke arah jeruji besi yang kini tampak seperti dinding tak berujung. Suara langkah petugas dari kejauhan terdengar samar, diselingi bunyi rantai pintu yang beradu, mengingatkannya bahwa kebebasan kini hanya sebatas mimpi. “Selama ini kamu yang selalu membelaku,” lanjutnya lirih, suaranya bergetar di antara isak tertahan. “Kamu rela membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan jualan baju secara online, kamu menjadi ibu rumah tangga yang seluruhnya melayaniku… Kamu pasti masih peduli padaku, kan?” Farhan menunduk, menatap
“Polisi menghubungiku… katanya kamu ada di sini, Farhan.”Kalimat pertama yang keluar dari bibir Mbak Fani terdengar tenang, tapi tajam seperti pisau yang menyayat perlahan tanpa ampun.Farhan menunduk, tenggorokannya terasa kering. Ia berusaha bicara, namun suaranya nyaris tak terdengar.“Maafkan aku, Mbak… aku selalu merepotkanmu.”Mbak Fani terkekeh pelan, tapi tawa itu getir dan pahit.“Merepotkan? Kamu bukan cuma merepotkan, Farhhan. Kamu menghancurkan segalanya!”Suaranya meninggi di akhir kalimat, membuat beberapa petugas menoleh sekilas. Namun ia tak peduli. Air matanya menumpuk di pelupuk mata, tapi ia menahannya dengan paksa.“Berbulan-bulan Indira mencarimu sampai kehilangan bayinya… berbulan-bulan Ibu menunggumu pulang, berharap kamu masih hidup, masih waras. Tapi kamu? Kamu malah hilang bersama perempuan lain, pakai uang orang, dan bikin nama keluarga hancur!”Napasnya tersengal, suaranya pecah di tengah kalimat. “Ibu jatuh sakit karena stres, Han. Dia nggak kuat lagi… da