Hari itu jadi hari yang ramai di rumah kami, tiga anak mantan bupati, ditambah mantan bupati itu sendiri berkumpul di rumah. Anak mantan bupati yang paling besar bernama Candra, katanya sudah lulus S-2, tapi belum ada kerjaan. Yang nomor dua bernama Putra, yang ini HP tak pernah lepas dari tangannya, sambil bicara pun dia sambil main game online. "Susah cari kerjaan jaman sekarang," jawab Chandra saat aku bertanya dia kerja apa, saat itu kami lagi kumpul sambil cerita-cerita."Ada kerjaan jika kau mau," kata Bang Parlin."Oh, ya, pekerjaan apa, Om?""Itu ada lima pedet, mengurusnya lah," kata Bang Parlin lagi."Aku sarjana lo, Om, S-2 lagi," kata Chandra."Berarti kau kalah sama anak baru tamat SMP," kata Bang Parlin."Kok kalah pula?""Itu si Salsa sudah mulai, dia punya tiga sapi sekarang, sapi Limosin, dalam dua tahun, akan jadi sapi limousin besar, harganya bisa ratusan juta," kata Bang Parlin lagi."Hahaha, ini jaman sudah canggih, Om, aku S-2, Om, urus sapi itu untuk yang gsk s
Perjalanan ke rumah Firman akhirnya sampai juga. Begitu kami sampai sudah disambut Firman di pintu gerbang. Langsung disuguhi minuman nira dan ikan nila panggang. Kami makan dengan lahap.Tempat Firman makin maju saja, lokasi ini dulu dia beli murah. Karena tanahnya yang tidak subur dan berbukit-bukit. Hingga susah untuk ditanami apa pun. Akan tetapi di tangan Firman berubah jadi indah. Sungai kecil itu jadi penambah daya tarik, dia bahkan membuat air terjun buatan di tempat itu."Gak pernah banjir di sini kah?" tanya Bang Parlin."Pernah, tiap tahun," jawab Firman."Wah, kalau banjir bagaimana?""Aku sudah antisipasi, sudah hapal kapan musim hujan, jika musim hujan, ikan akan kami panen semua, baru pergi mengungsi," kata Firman."Wah, gak repot itu,""Tidak juga, Bang, kami anggap liburan, kami sudah punya rumah di kota, tempat mengungsi jika musim hujan."Kami lalu lanjutkan acara mancing. Sebenarnya mancing ini bukan hobby bang Parlin. Menurut Bang Parlin, memancing itu pekerjaan o
Tugirin belum pergi juga, entah kenapa aku sulit mengontrol emosi, jadi benci pria itu. Dia selalu datang jika ada masalahnya. Rata-rata teman Bang Parlin memang seperti itu, datang hanya jika butuh. Syukur juga sekarang Bang Parlin sudah mulai sadar jika dimanfaatkan orang."Kenapa harus walinya Bang Parlin?" tanyaku penasaran."Kan penghulu di desa sekarang anak angkat Bang Parlin," jawab Tugirin."Ya, sama penghulu sana minta wali hakim," kataku lagi.Tugirin bukannya pulang, dia malah bergabung' dengan kami. Padahal kami sudah mau pulang. Gadis yang ikut bersamanya sepertinya menurut saja sama Tugirin. Saat Tugirin pergi mancing, aku menginterogasi hadis tersebut."Ranti, kok mau nikah sama dia?" tanyaku kemudian."Begini, aku lelah hidup sendiri, orang tua tidak punya lagi," kata Ranti."Kenapa harus dia, dari sekian banyak laki-laki di muka bumi ini?" tanyaku lagi."Begini, Bu, suatu malam aku salat dan berdoa pada Tuhan supaya didatangkan jodohku, pagi harinya, Bapak itu yang d
"Masa lalu itu gak usah dikenang- kenang," kata Bang Parlin."Aku selalu mengenang masa lalu, Bang, itu sebagai cambukan untukku supaya bisa menghargai hidup, supaya bisa menghargai orang yang mau hidup denganku, dulu aku sangat susah, tak ada perempuan yang mau, saat kecil aku selalu di-bully, semenjak bekerja dengan Abang hidupku berubah, aku tak bisa lupakan itu semua, saat aku misalnya mau malas kerja, terbayang kesulitan hidup yang lalu, saat istri buat hati kesal, terbayang kalau aku dulu yang tak laku-laku," kata Firman, dia tak tertawa lagi."Iyalah, kau gitu Firman, tapi aku beda, masa lalu bukan membuat semangat hidup, tapi membuat kami sering bertengkar, sembilan puluh sembilan persen pertengkaran kami karena masa lalu," kata Bang Parlin."Lo, kok bisa gitu, Bang, aku sudah lihat masa Abang dulu, gak pernah punya pacar, pacarannya sama sapi, apa yang membuat bertengkar?" kata Firman.Bang Parlin menatapku, dia seperti minyak izin cerita tentang Rara. "Abang gak pernah neko
Akan tetapi aku justru penasaran dengan rahasia Bang Parlin itu, yang menurut Tugirin hanya diketahui sesama toke sawit. Akan tetapi Butet ada benarnya. Tak semuanya harus diketahui, kadang diketahui pun membuat hati sakit.Tugirin pergi juga akhirnya, usahanya sia-sia untuk menyuapku. Untung juga ada Butet. "Tet, mamak mau cerita," kataku pada Butet. Mungkin anak gadisku ini sudah bisa jadi tempat curhat. Seperti Bang Parlin bilang, Butet lebih dewasa' dari usianya."Cerita apa, Mak?" tanya Butet."Ayahmu banyak rahasia, aku tahu bagimu ayahmu itu pahlawan, tapi makin ke sini, mamak makin sering sakit' hati," kataku lagi."Contohnya, Mak?""Aku gak tau apa kamu paham ini, Tet, tapi mamak merasa ayahmu dari dulu tak pernah mencintai mamak," kataku lagi."Mak, mamak, bukan mau bela ayah, Mak, tapi percaya saja samaku, ayah sayang mamak sayang Butet, sayang Bang Ucok," kata Butet."Cinta, Tet, bukan sayang, tapi cinta, ah, mungkin kami masih terlalu muda untuk paham," kataku lagi."Ak
Lagi-lagi aku merasa bersyukur Butet ada di sini bersamaku, hampir saja aku tergoda dengan tawaran Tugirin. Andaikan Butet tidak melarang, mungkin aku sudah dapatkan info dari orang lain yang tentunya bertambah atau berkurang. Aku mulai paham, mungkin saat Bang Parlin di cafe, datang anak kecil manggil ayah, bisa dibayangkan pandangan orang yang sesama toke, seperti orang selalu bilang. Toke sawit itu banyak yang bertingkah jika di luaran.Bang Parlin memberikan uang pada ibu tersebut. Tak bisa kubayangkan penderitaan ibu ini. Keadaannya lumpuh, hanya bisa berbaring. Cucunya yang baru sembilan tahun yang mengurusnya. Anak sudah meninggal, menantunya depresi."Kenapa biasa ibu anak-anak ini depresi, Bang?" tanyaku pada Bang Parlin."Sebenarnya bukan gila beneran, Dek," Bang Parlin berbisik."Jadi, bagaimana?""Sebenarnya yang bertingkah, ibu ini selalu bilang gila, karena tingkahnya memang gila," kata Bang Parlin."Oh, gitu,""Iya, Dek, beliau bilang menantunya gila untuk menjaga nama
Selamat kami di kafe itu, Mbak Helen tidak berani' lagi mendekat, padahal aku sudah minta maaf. Mungkin dia takut karena sempat kubentak tadi. Aku kah yang terlalu sensitif, atau keadaan memang membuat aku mudah marah.Aku coba runut kembali kejadian hari ini, dua kali aku salah sangka, dua kali aku mintak maaf. Akan tetapi jiwa wanita tak pernah salahku muncul. Ini semua salah Bang Parlin."Bang, coba kemarin-kemarin Abang jujur, kan aku gak curiga," kataku setelah kami selesai makan."Ini tentang apa, Dek?" tanya Bang Parlin."Tentang Abang punya anak angkat perempuan, tentang ada gadis cadel," kataku."Iya, Dek, iya, Abang minta maaf," kata Bang Parlin."Lo, tumben cepat kali minta maaf, Bang?" tanyaku kemudian."Waduh, jadi harus bagaimana, Dek,""Biasanya Abang jago ngeles," "Ya, Ampun," Saat kami sudah hendak pulang, ada mobil parkir di depan kafe tersebut. Aku kenal mobil itu, itu mobil Tugirin. "Eh, Bang Parlin, Tumben bawa poltob ini?" kata Tugirin."Razia, Bang Haji," jaw
Lucu juga melihat Bang Parlin, dia sampai menutup telinganya tak mau mendengar aku cerita. Padahal aku hanya bercanda. Hanya kesal karena selalu ada hal yang terjadi membuat Bang Parlin teringat Rara. Aku? tak ada hal yang terjadi, kontak hilang semua, entah mereka sudah nikah, berapa anak pun aku tidak tahu."Bang, bagaimana rasanya ketemu mantan setelah sama-sama nikah?" tanyaku pada Bang Parlin. Aku tahu dia belum tidur."Abang gak punya mantan, jadi gak tau bagaimana rasanya," kata Bang Parlin."Kadang pengen juga bertemu mantan sesekali," kataku.Bang Parlin langsung membuka matanya. Dia bahkan langsung duduk."Astaghfirullah, Dek, istighfar, hati-hati dengan keinginan, berapa kali dibilang," kata Bang Parlin.Kehamilan ini benar-benar lain dari pada yang lain, bawaannya justru mudah marah-marah. Seperti pagi itu Ucok bertanya...."Mak, kaus kaki di mana?" Aku langsung emosi, karena dari SD, dia sudah kudidik supaya barang pribadinya dia urus sendiri. Kini sudah hampir tujuh bel