Cahaya pagi menyelinap masuk melalui tirai jendela kamar. Udara masih terasa dingin, meski sinar matahari mulai menyusup ke dalam ruangan bergaya klasik modern itu. Mala mengerjapkan matanya perlahan. Ia bangkit, tubuhnya masih dibalut gaun tidur satin berwarna merah.
Ia melihat sebuah patung yang dibalut dengan gaun yang sangat anggun. Dengan warna dusty rose memancarkan kesan elegan, bahan yang terbuat dari satin halus mengikuti lekuk tubuhnya. Bagian lehernya dihiasi manik yang tak terlalu mencolok. Mala menekan bel untuk memanggil Mbak Nila. Ia masih tidak percaya semua akan diatur sedemikian rupa hingga baju yang akan ia kenakan dalam pertemuan keluarga Kara. Apakah ia akan sepenting itu? Apa ia akan terlihat oleh keluarga Kara? Mbak Nila mengetuk pintu. “Nona?” panggilnya sopan. “Mbak, ini gaun untuk saya?” Tanya Mala. “Betul Nona, semalam saat Nona sudah tidur gaun itu datang dan disimpan di kamar,” jelas Mbak Nila. “Gimana saya mengenakannya?” Mala kebingungan, ia tahu itu gaun mahal yang tak sembarangan asal pakai. “Pak Bane yang akan handle semuanya, Nona cukup bersiap. Sebentar lagi Pak Bane sampai.” Tak lama, Bane pun datang dengan dua orang di belakangnya. Ia mengetuk pintu kamar Mala. Saat pintu terbuka Mala sedikit terkejut dengan kehadiran orang-orang ini. “Selamat pagi, Nona. Saya bawakan dua orang untuk membantu Anda bersiap,” jelas Bane. Mala disulap menjadi sangat cantik dan anggun. Gaun yang ia kenakan begitu pas dan cocok di tubuhnya. Pinggangnya yang ramping dihiasi sabuk tipis mutiara kecil yang mengikat rapi. Panjang bajunya menyentuh lantai, menyapu lembut saat ia melangkah. Riasan di wajahnya menambah kesan cantik, blush yang menempel di pipinya membuat senyumannya begitu merona. Bane kembali mengetuk pintu kamar Mala dan membukanya. Ia membawa sebuah tablet dan map tipis berisi catatan singkat. Wajahnya seperti biasa, tenang, rapi dan tak banyak basa-basi. “Nona, sebelum sampai di acara nanti ada yang perlu Anda perhatikan. Pertemuan keluarga Tuan Kara selalu melibatkan dua hal utama, citra dan kepentingan bisnis. Jadi mohon disimak ya,” jelas Bane. Mala mengangguk pelan. “Pertama, Nona akan duduk bersebelahan dengan Tuan Kara. Jangan berbicara kecuali ditanya. Jika ditanya, jawab seperlunya, gunakan kalimat formal, dan jangan mengutarakan pendapat pribadi tentang keputusan bisnis mereka.” Bane membuka tablet dan menunjukkan bagan sederhana. “Kedua, nanti akan ada sesi sambutan singkat dari kalian berdua. Naskahnya sudah saya siapkan, hanya dua menit. Tugas Nona hanya membaca bagian yang saya tandai. Jangan improvisasi.” Mala menyimak dan sesekali menelan ludah. “Ini bukan hanya pertemuan keluarga. Ini arena bisnis keluarga dalam balutan makan malam formal. Jadi tolong jaga sikap, senyum seperlunya dan jangan pernah terlihat gelisah.” Bane menatap Mala sejenak, “Saya tahu ini tidak mudah tapi Anda tidak sendirian. Saya akan berada di sekitarmu untuk memberi isyarat jika dibutuhkan,” Di depan rumah, sebuah mobil sedan hitam mengilat sudah terparkir. Pintu belakang terbuka begitu ia mendekat. Di dalam, Kara duduk tanpa menoleh. Matanya fokus menatap layar ponsel. Mobil melaju membawa mereka ke dunia Kara, di mana segalanya terukur, penuh sandiwara, dan tak memberi tempat untuk keluasan hati. “Ingat, Mala. Malam ini kita pasangan sempurna. Tapi setelah itu kembali ke peran kita masing-masing.” Mala berdiri di pojok ruangan, membiarkan gaunnya tampak kontras dengan kilauan berlian para sosialita yang hadir. Acara itu seharusnya menjadi selebrasi bisnis keluarga Kara, sebuah malam penting. Namun, tak ada satu pun yang membuat Mala merasa penting. Hanya Bane, pria muda yang bertugas mengawalinya sejak tadi, menjaga jarak, tapi tetap sigap. “Jangan terlalu menghela napas, nanti dikira frustasi karena gaun sewaannya kekecilan,” gumam Bane, pandangannya masih tertuju ke depan. Membuat Mala nyaris tertawa. “Kembali ke rules yang sudah saya katakan tadi pagi, jaga sikap.ini hanya akan berlangsung sebentar saja,” Bane menyemangati Mala. Saat pengumuman sambutan dimulai, Mala menoleh ke arah podium. Kara sudah berdiri di sana. Tatapannya menyapu hadirin dengan senyuman tipis yang penuh citra. Ia melambaikan tangan ke Mala, isyarat untuk naik ke panggung. Mala berjalan perlahan, jarak beberapa meter itu terasa seperti ribuan langkah ke arah api. Begitu berdiri di samping Kara. Pria itu sedikit mencondongkan tubuhnya dan berbisik. “ Bermainlah, karena malam ini, kita pemeran utama di sandiwara terbesar yang pernah kubuat.” Mala menelan ludah. Mikrofon menyala, Kara membuka dengan pidato penuh wibawa dan selipan candaan. Sontak membuat para hadirin tertawa. Lalu ia mengulurkan tangan, menggandeng Mala. Gerakan manis yang begitu sempurna untuk bidikan kamera. Kini giliran Mala yang memberi sambutan. “Selamat malam dan salam hangat untuk seluruh keluarga besar yang hadir. Perkenankan saya, Mala, menyampaikan rasa terima kasih atas kehangatan dan penerimaan yang telah diberikan kepada saya, Merupakan suatu kehormatan bisa berdiri di sini sebagai bagian dari keluarga ini. Semoga malam ini menjadi awal yang baik, dan semoga kehadiran saya dapat memberi kontribusi yang positif untuk keluarga ini. Terima kasih.” Mala sedikit membungkukkan badannya tanda hormat. Saat sambutan usai, tepuk tangan riuh pun meledak. Namun, tak lama setelah mereka turun dari podium, seseorang mendekati Bane. Bisikan singkat. Matanya membulat sempurna, ia bergegas untuk mengamankan semuanya. Rasanya campur aduk meski ia tahu hal ini pasti akan terjadi. “Media suh mencium kabar pernikahan Tuan Muda dengan Nona Mala. Dan mereka, mencari Nona. Kita harus keluar dari sini sekarang!” ucap Bane tegas. Terlambat. Begitu Mala mencapai lorong luar gedung, lampu-lampu kilat sudah menyala. Mikrofon didorong ke arahnya. “Bu Mala, benarkah Anda istri sah Pak Shankara?” “Kapan tepatnya pernikahan ini terjadi? Mengapa tidak diumumkan?” “Apakah pernikahan ini berkaitan dengan skandal yang viral akhir-akhir ini?” ““Bagaimana perasaan istri sah pemilik perusahaan ternama yang muncul setelah badai?” Mala mundur tergagap. Sorotan kamera menusuk matanya. Dengan cepat Bane menerobos kerumunan, ia meraih tangan Mala membawanya keluar dari kerumunan. Sesampainya di dalam mobil, Mala duduk membeku. Nafasnya berat, jemarinya gemetar. Tatapannya kosong. “Aku bahkan tidak tahu apa yang harus ku jawab,” ucap Mala pelan. “Nona tidak harus menjadi tameng dari citra yang Tuan pertahankan sendiri.” Mala memandang keluar jendela. Lampu-lampu kota mulai kabur oleh embun matanya. Di layar ponselnya, notifikasi berita mulai bermunculan. Judul-judul sensasional. [CEO Muda Shankara Radeva Dikabarkan Sudah Menikah Diam-Diam] [Siapakah Sosok Wanita Misterius Bernama Mala?] [Benarkah Ini Strategi Membersihkan Nama? ] Mala merasa seperti pion dalam permainan yang tak pernah ia pahami sejak awal. Dan Kara? Masih tak ada kabar, tak ada penjelasan, tidak ada pembelaan. “Ini istrimu?” Nada meremehkan.Karina dalam balutan blazer putih, tampak elegan dan percaya diri. Setelah melihat Mala dari kejauhan, ia mendekat ke arah Kara dengan senyum yang dibuat tulus. “Dia datang juga, ya. Padahal aku pikir bakal ngumpet setelah berita yang berhembus kemarin.”Kara hanya menatap ke arah lain, menyesap minumannya perlahan. Tak menjawab.“Kamu nggak takut citramu rusak, Ra? Istrimu dibicarakan banyak orang, katanya genit lah, suka cari sorotan lah, atau kamu memang suka begini biar dramanya makin kuat di mata publik?” suara Karina terdengar menurun tapi tajam.Kara menoleh singkat, tak berekspresi. “Aku kira kamu di sini buat kerja, bukan untuk jadi akun gosip dadakan.”Karina tertawa kecil. “Santai, aku cuman peduli. Kalau bukan aku yang jaga image mu siapa lagi? Mala, dia masih terlalu polos buat main di dunia kayak gini. Bisa-bisanya kamu ikut terseret kalau dia nggak paham cara bermain.”Kara tak membalas, ia hanya memutar gelas di tangannya, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Diam
Di dalam mobil, Kara duduk sendiri. Lagu klasik pelan mengalun. Tangan Kara membuka galeri ponsel, ia melihat tangkapan layar itu sekali lagi. Captionnya begitu sinis, tapi yang paling mengganggunya adalah fakta bahwa Mala terlihat sendirian. Padahl ia tahu, Mala tak salah apa-apa.“Kau pikir bisa main cantik, Karina? Baiklah. Aku bisa lebih dari itu,” batin Kara.Tapi belum sekarang, karena Kara memilih menjadi lelaki yang diam. Untuk sementara.Dua hari menuju eventHari itu rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Mala duduk di sofa ruang tengah, membolak-balik brosur digital event fashion art yang akan digelar dua hari lagi. Sebenarnya itu bukan acara besar, tapi cukup eksklusif. Undangannya hanya terbatas pada influencer terpilih dan brand partner termasuk, entah kenapa dia.Mala menatap layarnya agak lama“Kenapa undangan ini bisa sampai ke gue? Apa karena gue istri Kara? Atau ada nama Karina di belakang layar lagi?”Mala menghela napas. Tepat saat Bane datang membawa nampan beri
Langit mulai berubah warna saat mobil hitam memasuki halaman rumah. Sepanjang perjalanan pulang, kara hanya diam menatap ke luar jendela. Mala duduk di sampingnya, tangan di pangkuan, sesekali mencuri pandang ke arah Kara tapu urung membuka percakapan. Sesampainya di rumah, Kara langsung masuk ke kamar tanpa berkata sepatah kata pun. Mala menurunkan tas dan menghela napas. Mencoba menetralisir gejolak yang tadi masih tersisa di dada. Ia melangkah pelan ke dapur, dan seperti biasa Bane sudah berdiri di sana. Memotong buah dengan ekspresi seolah tahu segalanya.“Udah pulang?” Tanya Bane.Mala mengangguk, mengambil segelas air. “Iya.. capek juga ternyata senyum di depan kamera.”Bane menyeringai. “Senyum yang dipaksakan emang paling makan energi.”Mala tersenyum miring.Bane menatap Mala lebih serius. “Tadi Karina dateng, ya?”“Kok tahu?”“Dari auranya,” jawab bane setengah bercanda.“kalau rumah ini tiba-tiba berasa dingin padahal AC mati, biasanya dia lewat.”Mala tertawa kecil.“Tapi
Bane mendapat kabar bahwa paket besar berisi perlengkapan photoshoot untuk promosi produk terbaru sudah sampai di rumah. Di dalamnya, ada undangan photoshoot khusus untuk pasangan Kara dan Mala. Dengan jadwal yang sudah di tentukan oleh Karina.Mala yang melihat namanya tercetak di undangan itu, sempat terpaku. Di pojok bawah kertas undangan, ada catatan kecil bertuliskan tangan.“Tolong hadir ya. Dunia luar perlu lihat versi kalian yang paling indah. -K”Kayaknya yang ini bakal jadi panggung duel tak langsung,” gumamnya.Mala menyipitkan matanya. Ia tahu, permainan ini belum selesai.Sesi photoshoot pertama - Studio dalam ruanganRuangan studio dipenuhi pencahayaan putih yang menyilaukan. Background berganti sesuai konsep. Dari hitam minimalis hingga abu pucat bertekstur marmer. Beberapa kru sibuk menyempurnakan pencahayaan, sementara fotografer tengah mengatur sudut bidikannya.Kara duduk di kursi makeup, diam tanpa banyak komentar. Setelan jasnya rapi seperti biasa, tapi wajahnya
Mala menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menopang tubuh Kara agar lebih nyaman, lalu perlahan membaringkannya di sampingnya. Ia tak tahu harus mulai dari mana, tapi tubuh Kara terasa sangat panas. Panik mulai menyelinap. “Pak Bane…“ Mala sempat ingin memanggil, tapi ia urungkan. Kara sendiri yang bilang tak ingin diganggu. Lagipula, dia sudah di sini. Ia berjalan cepat ke kamar mandi, membasahi handuk kecil. Lalu kembali dan menempelkannya di dahi Kara. Lelaki itu hanya mengerang pelan, matanya tetap terpejam. Setelah memastikan Kara sedikit lebih tenang, Mala meraih ponsel dari nakas. Ia mencari informasi tentang pertolongan pertama saat demam tinggi. Ia juga mengetik pesan singkat ke Bane. “Pak Bane, Kara ada di kamar saya. Dia demam tinggi, tolong siapkan sup untuk makan Kara, termometer dan obat demam, tapi jangan masuk ke kamar dulu. Biar saya yang urus.” Tak lama kemudian, Mbak Nila mengetuk pintu. Menyerahkan teh panas dan sekotak obat dalam nampan. “Terima kasih, Mba
Rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu gantung di ruang utama dibiarkan redup, hanya terdengar detak pelan dari jam dinding. Mala baru saja selesai membersihkan riasan wajahnya. Berdiri di depan cermin kamar, memandangi bayangannya sendiri. Ia mengingat lagi percakapan di mobil, gestur hangat Kara dan tatapan Karina. Semua bercampur dalam pikirannya, seperti hujan yang tak kunjung reda.“Andai senyumnya bukan bagian dari skenario, mungkin aku bisa percaya sedikit,” gumamnya pelan.Sementara itu, di ruang kerja. Kara duduk sendiri, jasnya sudah terlepas dengan dasi yang longgar. Ia membuka ponselnya, melihat foto-foto gala dinner yang sudah mulai tersebar di media sosial. Salah satunya, gambar saat ia tersenyum pada Mala. Sementara Karina berada di sisi lain, tersingkir dari frame. Bibirnya terangkat sedikit mengulas senyum. Suara ketukan halus terdengar di pintu, “Masuk aja,” gumam Kara.Bane melongokkan kepala, lalu masuk dengan senyum tipis. “Pers malam ini aman, kayaknya l