Aku baru pulang dari kampus, tadi aku sempat mampir ke sesuatu tempat untuk mengambil foto yang sudah dibingkai. Sekarang aku masuk ke rumah membawa bingkai besar sekali tertutup karton coklat cukup kuat dan aku membuka benda besar tersebut. Itu adalah foto pernikahanku dengan Drey. Ya saat itu aku sedang memegang bunga, menggandeng tangan Drey dan terseyum lebar ke arah kamera.
Aku menggantung di dinding ruang tamu dan memandang foto itu cukup lama.
Lalu aku naik tangga, meletakkan tasku dan melepaskan coat panjang. Aku juga sempat menganti baju. Setelah itu aku menuruni tangga dan melihat kembali foto pernikahan. Bibirku terseyum miring melihat foto itu tampak sempurna.
Untuk apa Drey menikahiku? Kalau berakhir seperti ini?
Malang sekali.
Bunyi mobil masuk ke garasi membuat aku berlari ke kamar, aku sudah tau—Drey pulang lebih awal. Jadi, aku bisa menanyakan perihal surat cinta dari An
Aku menyenderkan kepala di bahu Drey, aku mengigit bibir bawah. Drey tampak menangkup wajahnya dengan kedua tangan, bahkan wajahnya terlihat memerah. Sejujurnya hatiku sangat sesak, untuk bernapas saja sulit.“Maafkan aku, maaf ....” lirih Drey.“Tak apa, Drey,” ucapku begitu lembut. “Aku baik-baik saja.”Biarkan aku dianggap wanita sering berbohong, membohongiku perasaanku sendiri. Cukup aku yang tahu perasaanku sekarang, aku tidak mau ada orang lain yang mengetahui betapa nestapa menghadapi masalahku. Aku akan menyimpan rapat-rapat.Drey mengecup puncuk kepalaku. “Seharusnya aku yang menguatkanmu, Ryn, tapi aku menyakitimu,” kata Drey. “Betapa brengseknya diriku!” maki Drey pada dirinya.“Aku telah memaafkanmu,” dustaku.Cukup, Ryn! Sudah cukup! Berhentilah seolah-olah baik-baik saja. Berhentilah seolah tidak terjadi apa-apa! Nyatanya aku masih belum bisa maafkan
Aku tidak mampu menahan tangis. Harapanku tidak terkabul, karena Drey beringsut duduk di sampingku sambil memandangiku. Aku bisa melihat sorot matanya tersirat kekhawatiran yang luar biasa.“Katakan kepadaku. Mengapa kamu menangis, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Drey dengan sangat lembut. Dia membelai pipiku, menghapus air mataku yang sudah mengalir turun membasahi kedua pipiku. “Katakan kepadaku, aku mohon, Ryn.”Bukannya menjawab, aku malah menangis pilu. Bahuku naik turun diiringi tangis yang sudah pecah. Seakan tidak mampu menahan beban yang aku tanggung.Drey membawa tubuhku yang bergetar hebat ke dalam dekapan, direngkuh tubuhku dengan erat. Aku menangis dalam dekapannya. Bukannya mengurangi rasa sakit yang aku rasakan, melainkan pelukan itu menambah kesedihan yanga aku rasakan.“Ayo ceritakan, apa yang terjadi denganmu?” tanya Drey mengusap puncuk kepalaku.Aku tidak
Auryn masih merasakan sakit kepala yang tidak bisa diajak kompromi. Pusing sekali. Bahkan tidak hanya pusing, tapi kepalanya berdenyut.“Kepala masih pusing?” tanya Drey. Tidak tega melihat Auryn.Auryn mengangguk.“Makan, yah!” Drey menyodorkan satu suap sendok berisi bubur sum-sum ke mulut Auryn. “Ayo buka mulutnya.” Drey memberi isyarat agar Auryn mau membuka mulut, namun Auryn merapatkan bibirnya.Dia menggeleng kepala, tidak mau menerima suapan dari Drey. “Aku tidak mau makan!” dengus Auryn dengan sangat manjanya.Drey mengerutkan kening. “Kenapa?”“Ya, kan aku belum cuci muka sama gosok gigi, Drey,” jawab Auryn dengan manja. “Masa bangun dari tidur langsung makan saja. Jorok tau! Aku nggak punya kebiasaan makan habis bangun tidur terus nggak gosok gigi dulu.”Drey tersenyum mendengar penjelasan dari Auryn yang cukup panjang, dia suka mendeng
“Drey, please! Turunkan aku!”Permohonan Auryn sama sekali tidak ditanggap olehnya. Bahkan mereka sudah di depan pintu kamar mandi dan hendak masuk ke dalam. Usai tiba di dalam kamar mandi, Drey mendudukkan Auryn di atas tempat WC duduk.“Jangan bergerak. Tetap duduk, oke,” perintah Drey.Auryn menurut saja. Entah kemana Drey akan melangkah, dia tetap menunggu di sana. Ternyata Drey mengambil pasta gigi dan sikat gigi untuknya.Auryn cemberut di tempat. Kesal karena Drey akan membantunya menggosok gigi. Hei! Sekarang dia bukan anak kecil lagi. “Aku akan menggosok gigiku sendiri, Drey,” ucap Auryn.“Tidak,” tolak Drey. “Biarkan aku saja yang menggosok gigimu.”Mendengar itu Auryn menjadi bertambah cemberut.Drey sudah mengoleskan pasta gigi ke sikat gigi Auryn. Dia terkekeh melihat ekspresi Auryn dengan bibir kesal dan wajah yang cemberut. “Kenapa? Apa kamu tidak mau
“Mana mungkin aku meninggalkan kamu sendirian di rumah saat sedang sakit,“ jawab Drey. “Sekarang kamu tidur aja, ya.”Auryn mengangguk.Drey tersenyum, dia mengacak-acak rambutnya lalu berdiri. Saat dia akan pergi dari sana, tangan Auryn menahannya. Drey langsung bertanya, “Apa kamu menginginkan sesuatu?”Auryn tidak menjawab, dia tersenyum tidak jelas. “Drey ....” panggil Auryn.“Kenapa, hm?” tanyanya bingung.“Aku mencintaimu.”Dheg!Drey mematung di tempat. Tiba-tiba Auryn menyatakan pernyataan cinta. Sungguh menggetarkan hati Drey. Dia bahkan tidak bisa berkata-kata, untuk membalas pun tidak sanggup. Ya Tuhan! Rasanya suara Drey tercekat dalam tenggorokan setiap kata yang akan dilesatkan.Mata Drey menerjap, dia menyapu rambutnya ke belakang.Drey mampu menggoda Auryn dengan berbagai rayuan dan gombolan romanis. Namun tidak pern
Drey mematung sejak pertama kali pintu apartement terbuka, dia disuguhan pemandangan bentuk buah dada Anna tanpa bra dibalik kaos putih polos yang menerawang. Kerongkongannya kering dan otot tubuhnya berdenyut cepat.Oh, shit!Drey mengutuk. Bagaimana bisa seorang wanita membuka pintu untuk menyambut tamu tidak memakai bra dibaliknya. Seharusnya lebih berhati-hati meskipun di apartementnya sendiri.Entah kenapa begitu mengusik pandangan Drey. Celana pendek berbahan katun itu hanya menutupi tidak lebih dari dua puluh senti bagian punggungnya, dan kedua buah dada menggoda begitu jelas.“Masuk, Drey.”Nadanya berbeda dibandingkan kepanikan di panggilan telepon sebelumnya. Dia menggeser tubuhnya agar Drey bisa melewatinya.Drey masuk. Berusaha mengitari pandangannya ke dalam apartment tersebut saat berjalan melewati Anna. Dua gundukan itu tidak mengunci matanya dan menegangkan syarafnya.“Duduk dulu, Drey.” A
[Auryn POV]“Mau mampir?” tawarku.“Tidak usah, Ryn,” tolak Jessica. “Kita mau langsung pulang aja.”“Lagian udah malem,” sahut ViolaAku pun mengangguk. “Hati-hati, ya! Di jalan,” kataku. “Jangan ngebut.”Mereka berdua mengacungkan jempol kepadaku dan mobil milik Jessica pergi dari sana. Aku dengan langkah riang masuk ke rumah besar. Drey belum pulang? Mobil miliknya tidak terlihat di garansi.“Apa Drey lembur, ya?” gumaku saat sudah sampai di rumah. Aku pulang diantarkan oleh Viola dan Jessica, tadi kita habis nongkrong di cafe sambil mengerjakan tugas.Padahal jam sudah pukul 7 malam. Aku menunggu Drey pulang sambil membersihkan badan karena badanku lengket oleh keringat membuat tak nyaman.20 menit berlalu, tiba-tiba pi
“Ada yang ingin aku bicarakan kepadamu.”Aku berpaling ke arahnya, meletakkan novel yang sedang aku baca. “Bicara apa?” tanyaku. Tumben sekali dia mengatakan akan berbicara denganku. Biasanya Drey langsung mengatakan.Drey menatapku dengan tatapan yang tidak terdefinisikan.“Mari kita cerai.”Dheg!Aku syok. Tubuhku membatu di tempat. Aku berhenti bernapas. Jantungku berdegup keras. Mataku tidak berkedip sama sekali. Mulutku tanpa sadar sudah menganga lebar membentuk lubang tanpa dasar.Bumi seakan berhenti berputar, tiga kata itu terngiang di otakku. Aku masih menatap Drey. Kata-kata yang selama ini tidak aku harapkan harus terdengar malam ini membuat luka hatiku sempurna.“Aku ingin kita bercerai,” ulang Drey memperjelas.Aku menelan ludah susah payah dan mata menerjap beberapa kali. Rahangku mulai mengeras, aku ingin menun