Bukan rintihan karena menikmati sentuhan Abizhar. Rintisan itu cenderung lebih ke arah ringisan, yang terdengar seakan Shelina kesakitan. Ringisan tersebut tak pernah Abizhar dengar sebelumnya.
Tubuh Abizhar didorong keras ke belakang. Shelina berteriak sambil memegangi kepalanya.
“Ada apa?” tanya Abizhar khawatir. Ia berusaha mendekati Shelina namun istrinya menjauhi dirinya. “Apakah sakit kepalamu kambuh lagi?”
“Jangan sentuh aku! Pergi!”
Shelina tak sadarkan diri. Pada alam bawah sadarnya, ia dibawa ke kenangan buruk yang selama ini berusaha disingkirkan dari ingatannya.
“Kau cantik banget sih, Shelina,” kata Oom Surya sambil mengelus pipinya yang mulus. “Sini, Oom cium dulu…”
Lalu Oom Surya melakukan sesuatu yang takkan pernah bisa Shelina lupakan untuk seumur hidupnya. Shelina tak berhenti menangis dengan koyakan di bagian bawah tubuhnya. Rasanya sakit sekali karena Oom Surya tidak memasukkannya dengan kasar dan terburu-buru.
“Jangan beritahu siapa-siapa ya. Kau tidak mau dong rumah tangga Oom dan tantemu berantakan.” Oom Surya meremas payudaranya dengan gemas. “Duh, sebentar lagi sarjana. Masih muda.. Berapa usiamu? Masih dua puluh satu? Masih segar-segarnya.. He.. he.. he…”
Mimpi buruk itu. Shelina berusaha kabur dari alam bawah sadar yang menakutkannya. Didengarnya suara yang memanggil-manggil namanya. Shelina membuka matanya, menyadari sedari tadi Abizhar berusaha membangunkannya.
“Apakah kau sakit, Shelina? Kau dengar aku, kan?”
Shelina menggeleng sekuat mungkin. Tidak, tidak mungkin… Apakah ini pertanda Oom Surya akan kembali ke hidupku, pikir Shelina dipenuhi rasa takut di hatinya. Dia sudah lama tinggal di Amerika. Dia sudah berjanji untuk tidak menggangguku lagi. Tapi bagaimana jika…
Tidak, tidak. Aku harus kuat.
“Abi.” Shelina menatap suaminya dengan kekalutan yang sengaja ditunjukkannya. Tak apalah aku terlihat lemah di depannya, pikir Shelina. “Apakah kau bisa berjanji untuk tetap bersamaku? Sampai waktunya tepat?”
“Tepat bagaimana?” Dahi Abizhar mengernyit.
“Kau… Kau ingin tanah itu, kan?” Shelina mengangguk-angguk sendiri. “Oke. Aku akan panggilkan lawyer-ku untuk mengurus penghibahan itu. Asalkan kau tetap bersamaku, oke? Asalkan kau..”
“Kau tidak berpikir waras, Shelina,” kata Abizhar tegas. “Aku memang mau tanah itu, tapi tidak seperti ini. Melihatmu mengemis begini membuat hatiku iba.” Abizhar berdecak-decak. “Ayuk makan, lalu minum obatmu.”
“Abi, aku serius. Aku tidak mau kau meninggalkanku.”
Abizhar memandangnya sejenak, memastikan apakah Shelina tulus memintanya begitu. Perlahan, Abizhar mengangguk. “Aku tidak meninggalkanmu.” Setidaknya sampai waktu yang tepat menurutmu, kan?
Entah mengapa, Abizhar melihat ada yang aneh dalam mata istrinya. Selama ini dia selalu terlihat kuat dan menyebalkan, pikir Abizhar. Apakah ada yang ia sembunyikan dariku?
Ketika Abizhar tadi berusaha membangunkan Shelina, ia mendengar istrinya meracau nama paman Shelina, Oom Surya. Tentu Abizhar kenal dengan paman Shelina. Setiap akhir tahun keluarganya dengan keluarga Shelina berkumpul di restoran untuk sekadar silaturahmi. Meski pernikahan mereka didasari kontrak bisnis, tapi tetaplah di depan banyak orang mereka memperlihatkan hubungan suami-istri yang seharusnya.
Oom Surya tidak pernah menunjukkan gelagat tidak baik, pikir Abizhar lagi. Tapi siapa yang tahu isi hati dan pikiran manusia? Wanita yang kelihatannya cantik dan terhormat seperti Shelina saja mampu membunuh Yuni.
Abizhar curiga, ada yang tidak beres antara Shelina dan pamannya.
**
Pada masa pemulihan Shelina tidak diizinkan oleh suaminya untuk kembali bekerja. Abizhar melarangnya bukan karena dia peduli, melainkan dia tidak mau menambah masalah baru jika keadaan Shelina semakin parah. Dia bisa dimaki-maki ayah mertuanya sebab dia tidak becus menjaga istrinya. Abizhar tahu, hubungan bapak dan anak itu memang kurang akur, tapi ayah Shelina punya sisi yang sama dengan Shelina: sama-sama ingin membuat Abizhar sengsara.
Abizhar juga sudah enggan membahas masalah Yuni. Dia ingin memastikan Shelina sehat dulu baru akan didesaknya istrinya mengaku. Sebaliknya, justru Shelina yang meminta Abizhar untuk mencari tahu perihal kecelakaannya.
Hal itu mengherankan Abizhar. Apa yang direncanakan perempuan ini, pikir Abizhar. Apakah ini hanya taktiknya saja? Dia berpura-pura seolah tidak tahu apa-apa padahal dia sendirilah dalang dari kematian Yuni?
"Aku tidak bohong, aku memang tidak ingat apapun," kata Shelina sambil bersiap-siap. Rencananya hari ini ia berziarah ke makam anaknya. "Sekali pun aku yang membunuh perempuan itu, aku perlu tahu."
"CCTV di tol juga tidak menunjukkan kau menabraknya sebenarnya, Shelin," kata Abizhar memberitahunya. "Kalian hanya ngebut-ngebutan di jalan tol, tapi mengingat sikapmu yang kasar, aku yakin kamu yang memicu masalah ini."
Shelina menghela napas panjang. "Aku juga yakin begitu. Masalahnya, sampai aku bisa mengingatnya, atau ada bukti yang menjelaskan secara nyata aku yang mencelakainya, aku tidak bisa melakukan apa-apa."
"Memangnya, kalau benar kamu yang membunuhnya, kau akan melakukan apa?" tanya Abizhar penasaran.
Yang ditanya mengangkat bahu. "Menyerahkan diri pada polisi bukanlah pilihan yang mungkin. Aku masih punya tanggung jawab di perusahaan. Memberi kompensasi? Aku ingat kau pernah bilang dia sebatang kara, tak punya ahli waris," sahut Shelina bingung. Ia menatap Abizhar sejenak. "Abi."
"Hm."
Ada yang ingin dikatakan Shelina padanya, tapi Shelina memilih untuk bungkam. Ia menggeleng.
Shelina masuk ke kamarnya, telentang di sebelah Abizhar yang tampak terlelap. Shelina memejamkan kedua matanya bersiap untuk tidur kemudian disadarinya tubuhnya dipeluk dari samping oleh Abizhar.Satu tangan Abizhar meremas dadanya. Shelina mengulum senyum, menikmati sentuhan pria itu, sampai kemudian dia mendengar Abizhar bergumam di sebelahnya, "Aku sangat mencintaimu, Shelina, sampai rasanya tak mungkin lagi kau bisa berdusta padaku. Aku kini mengenalmu dengan jelas."Shelina membuka matanya, menatap Abizhar yang tengah memandangnya. "Maksudmu?""Aku tahu kau pura-pura lupa ingatan. Aku tidak menyalahkanmu, justru aku senang itu artinya aku tak usah berjuang lagi untuk meyakinkanmu, kan?"Sorotan dalam mata Abizhar tidak menunjukkan kesinisan atau cemoohan. Shelina dapat melihat kesenduan di mata suaminya, yang tak urung membuat dada Shelina berdesir hangat.Bukannya gugup karena kebohongannya diketahui suaminya, Shelina malah tersenyum pahit. "Aku melakukannya agar kau tak usah la
Pak Edward merasa berat saat tahu Shelina tidak memiliki memori tentang kejadian setelah pernikahan Shelina dan Abizhar. Dia tentu khawatir dengan kondisi otak Shelina, tapi ada hal lain juga yang merisaukannya. Sebulan terakhir, jabatan Shelina sebagai direktur di perusahaan propertinya dialihkan kepada wakil direktur yang ada. Dengan keadaan Shelina dalam keadaan sakit, dia tidak bisa lagi memaksa anaknya untuk kembali kerja di perusahaan. Diangkatnya wakil direktur itu untuk menggantikan Shelina. Selama itu juga dia memerhatikan Abizhar yang apik mengurus tetek-bengek Shelina yang dirawat di rumah sakit. Abizhar tak pernah meninggalkan Shelina sekali pun. Pak Edward menyadari, pria yang tak ada gunanya macam Abizhar itu telah berubah. Keinginan Pak Edward untuk memisahkan Shelina dari Abizhar semakin pudar. Lima hari setelah sadar, Shelina diperbolehkan untuk pulang dan mengonsumsi obat-obatnya di rumah. Pada waktu tertentu dia harus kontrol ke rumah sakit untuk mengecek keadaan
Abizhar meminta maaf pada Roland karena dia tidak bisa mendatangi proses pemakaman Yuni. Dia harus berada di dekat Shelina selama Shelina di rumah sakit. Roland mengangguk mengerti. Dia juga berkelakar sedikit, "Kali ini, kau bisa yakin Yuni takkan bangkit lagi."Mendengar itu Abizhar tersenyum masam. Mereka berpelukan untuk saling menguatkan. Dua orang yang selalu cekcok itu berada di titik terendah mereka. Sekali lagi Abizhar minta maaf pada Roland dan mengucapkan turut dukanya.Abizhar melirik sekilas pada mobil jenazah. Maafkan aku, Yuni, pikirnya. Entah betapa kali aku harus mengucapkan ini. Aku selalu mendoakanmu agar kau sampai di sisi-Nya.Diperhatikannya sekitar. Tak ada kehadiran Bu Lila di sana. Abizhar pun ragu ibunya itu akan melihat Yuni untuk terakhir kali. Lebih tepatnya, ibunya tidak akan memunculkan dirinya ke publik, sebab Abizhar tahu kali ini Pak Edward tidak akan main-main untuk memberi perhitungan pada Bu Lila.Berbeda dengan Abizhar yang pasrah-pasrah saja di r
Pak Edward yang baru tiba di Jakarta dari urusan pekerjaannya di luar kota, langsung ke rumah sakit ketika dia ditelepon Abizhar. Dari suara Abizhar yang gemetar menjelaskan apa yang terjadi, Pak Edward tahu ada hal yang sangat buruk menimpa anaknya.Selama ini dia tahu Abizhar tidak pernah peduli pada Shelina. Saat dulu Abizhar memberitahunya Shelina mengalami kecelakaan, Abizhar tidak terdengar sekhawatir sekarang. Pak Edward meminta sopirnya mengantarkannya secepat mungkin.Di rumah sakit, Abizhar tidak merasa tenang. Jika sesuatu terjadi pada Shelina, dia akan ikut melukai dirinya sendiri. Bu Lila sama sekali tidak bersalah saat melihat Shelina pingsan. Dia malah tertawa terbahak-bahak seperti orang gila. "Ya katakan saja pada Edward bahwa anaknya yang jahanam ini baru saja celaka karena Mama, Abizhar!"Abizhar tidak menggubris ocehan ibunya. Dia berteriak minta tolong pada petugas medis, sementara Roland membentak Bu Lila dengan nada penuh peringatan. "Anda memang bukan manusia.
Shelina cuti seharian. Dia menelepon Leo untuk membantu wakil direkturnya dan beberapa Kepala Divisi untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Untuk dokumen yang hanya bisa Shelina tandatangani, ditaruh saja di meja kerjanya, dan bila hal itu mendesak Leo-lah yang membawa dokumen itu ke rumah.Rumah lama Shelina dan Abizhar.Semalaman Abizhar menata barang-barang Shelina di dalam koper, sementara Shelina tidur di atas tempat tidur. Pada dini hari setelah Abizhar selesai mengemas, dia tak melewati batas dengan tidur satu ranjang dengan Shelina. Saat Shelina bangun pada pagi harinya, dia melihat Abizhar tidur di sofa dekat ranjangnya.Semoga kita selalu damai seperti ini, pinta Shelina dalam hati. Dia dan Abizhar kembali ke hidup mereka semula. Di rumah yang telah menyaksikan berbagai kenangan bagi mereka. Kali ini, Abizhar tidak mau menghancurkan rumah tangganya dengan tidak memperhatikan Shelina. Sama dengan Abizhar, Shelina pun mencoba untuk mendengar Abizhar dan tidak meninggikan suarany
Abizhar tampak tak senang saat dia melihat Shelina berjalan dengan pria yang tidak dikenalnya. Selama ini yang suka membuntuti Shelina adalah Roland, dan kini pria muda dan ganteng dekat-dekat dengan Shelina, membuat Abizhar menahan kekesalannya.Dia sudah lama menunggu di kedai kopi yang ada di lantai dasar gedung kantor Shelina. Dia menunggu sampai Shelina bekerja. Seharian itu, Abizhar tidak ke kantor dan menghabiskan waktunya dengan laptop-nya untuk membuat CV dan mencari pekerjaan di situs pencari kerja."Sayang!" teriak Abizhar mengangkat satu tangannya.Muka Shelina memerah saat Abizhar memanggil-manggilnya. Orang-orang di lobi berhenti untuk memandang Abizhar, kemudian mereka melanjutkan langkah mereka dengan senyum di wajah mereka.Shelina mengingatkan Leo untuk datang lebih pagi besok, karena ada dokumen tender yang perlu disubmit sebelum jam delapan. Seharusnya sih Leo yang mengingat sendiri, tapi karena dia masih baru, Shelina-lah yang ikut melakukannya.Shelina menghampir