Sudah satu setengah tahun mereka menikah namun tak pernah sekali pun Shelina menolak sentuhannya. Sebaliknya, Shelina paling senang saat Abizhar mencumbunya, membawanya ke puncak kenikmatan, tetapi sejak kecelakaan itu terjadi, Abizhar harus menelan kekecewaannya setelah ditolak berkali-kali.
Bah! Sejak kapan ia ditolak Shelina di ranjang? Rasanya ego yang dimiliki Abizhar terkikis hari demi hari. Ranjang mereka yang selama ini selalu hangat dengan keringat mereka yang tak pernah absen membasahinya, kini terasa dingin.
Shelina tidak hanya kaku saat disentuh. Sikapnya juga membuat Abizhar bingung. Shelina memang masih melayaninya dengan menyediakan sarapan dan makan malam untuknya. Istrinya juga setiap pagi menyiapkan pakaian kerja Abizhar. Meski tubuhnya bergerak untuk melakukan kewajibannya (selain di atas ranjang), Abizhar dapat menemukan tatapan hampa di mata istrinya.
Abizhar menelepon dokter yang menangani Shelina. Kata dokter, perubahan sikap setelah terjadi cidera di kepalanya adalah hal yang wajar. Tugas Abizhar hanya memastikan Shelina rajin minum obat dan tidak menekan Shelina hingga menimbulkan stres bagi Shelina.
Kebutuhan badani yang menggebu-gebu dalam tubuh Abizhar harus ditahannya. Apalagi harus Abizhar akui, dengan Shelina yang menatap polos ke arahnya, gairahnya semakin tak terbendung. Istrinya semakin menarik tanpa keangkuhan yang sengaja ditunjukkan pada suaminya.
"Kau sudah merasa baikan?" tegur Abizhar. Tentu saja basa-basi, tujuannya hanya untuk memastikan apakah Shelina sudah bisa diajak bercinta atau belum. Dilihatnya istrinya menggeleng. Saat itu Shelina sedang berkutat dengan laptop-nya di ruang makan. "Jangan dipaksa terus energimu. Kau kan harus mengutamakan kesehatan."
Cih, lagaknya sudah seperti suami yang paling baik saja, pikir Abizhar. Tapi harus berbuat apa lagi aku ini? Rasanya hidupku sepi sekali. Yuni sudah tidak ada. Anak yang kunanti meninggal. Aku terjebak di rumah mewah ini dengan istri yang sikapnya dingin seperti ini.
Pada saat biasa Shelina akan menyipitkan matanya, meragukan kebaikan yang dilakukan suaminya terhadapnya, namun kali itu tidak. Ia tersenyum. Senyumannya pun terlihat masam. "Sebentar lagi. Aku harus review proses pekerjaan di dua proyek."
"Apakah harus kau yang mengerjakan itu?" tanya Abizhar mendengus kesal. "Apakah aku harus beritahu ayahmu untuk mencari orang lain saja?"
Shelina tertawa melihat kekhawatiran yang ditutupi suaminya. "Ini risikoku saat Papa menawarkanku kerja di perusahaan propertinya. Aku anak tunggal, dan dia berharap besar terhadapku."
"Berharap bagaimana? Aku memang tidak punya orangtua kandung, tapi setidaknya orangtua angkatku tidak memaksaku seperti ayahmu," jawab Abizhar. "Aku penasaran. Apakah dari kecil kau selalu dipaksa untuk begini? Maksudku, dituntut untuk sempurna."
"Bukan untuk sempurna, tapi untuk bertahan di kaki sendiri," kata Shelina penuh pembelaan. "Dulu aku mengeluh karena ayahku selalu sibuk bekerja, meninggalkanku di rumah seorang diri, bahkan sering pula aku dititipkan ke paman dan bibiku. Papa tidak mau menikah lagi sejak Mama meninggal. Baginya perempuan hanya menyusahkan saja." Shelina diam sejenak. "Sekarang aku mengerti mengapa sikapnya demikian. Papaku tulang punggung keluarganya, tulang punggung untukku juga. Dia satu-satunya yang diandalkan keluarga untuk menghasilkan uang. Aku juga tak punya pilihan selain bekerja keras, sebab suami yang seharusnya menjamin kesejahteraanku, tidak ada."
"Apa maksudmu!" bentak Abizhar berang. "Kalau kau mau, kau bisa mundur dari jabatanmu sekarang, dan aku memastikan kau tidak kekurangan apa-apa. Selama ini aku juga selalu memberi nafkah padamu. Nafkah yang tidak sedikit. Berapa? Lima puluh juta? Oh tidak, untuk anak tunggal Pak Edward, aku mengeluarkan seratus juta per bulan! Apakah itu tidak cukup?!"
"Ya tapi kau kan juga memberi uang buat simpananmu," kilah Shelina. "Maukah kau jujur berapa banyak yang kau beri padanya? Tidak, kan? Menjamin kesejahteraanku bukan hanya dinilai dari berapa banyak yang kau kasih, tapi juga memastikan rasa aman dan nyaman bagiku. Bagaimana kau bisa memberikan semua itu jika setiap hari kerjaanmu hanya membahas tanah dan perceraian?!"
"Jangan keluar dari topik pembicaraan. Yang terang aku tidak suka kau meniadakan apa yang kuberi," jawab Abizhar marah. Dia menatap Shelina lekat-lekat, sampai akhirnya suaranya melemah, "Uang yang kuberikan pada Yuni tidak ada apa-apanya dibandingkan pengorbanannya untukku. Sebenarnya, yang seharusnya diangkat oleh keluargaku adalah dia, bukan aku. Tapi Yuni bilang, dia percaya dengan fasilitas yang diberi keluargaku, aku bisa jadi orang yang sukses."
"Lalu dia jadi apa dengan uang yang kamu kasih selama ini? Dia tidak kuliah, kan? Dia juga tidak bekerja. Padahal uang yang kau kasih pastilah banyak," gerutu Shelina jengkel. Sampai kapan Abizhar terus membela wanita menyebalkan itu?
"Aku yang memintanya untuk tidak bekerja," tandas Abizhar. "Aku tidak mau dia capek bekerja. Sebenarnya, aku tidak suka melihat perempuan bekerja."
"Kenapa? Kau pikir kita masih hidup di jaman batu?"
"Ya, sebutlah aku kolot, tapi bagiku melihat perempuan bekerja membuatku merasa tidak nyaman. Merasa posisiku terancam," jawab Abizhar datar. "Sama sepertimu. Aku tidak suka melihat kau bekerja. Terlebih saat kau sakit begini."
"Hanya karena itu? Bukan karena kau peduli padaku?" Sengaja Shelina menggodanya. Dia tersenyum sinis saat melihat suaminya melotot.
Shelina masuk ke kamarnya, telentang di sebelah Abizhar yang tampak terlelap. Shelina memejamkan kedua matanya bersiap untuk tidur kemudian disadarinya tubuhnya dipeluk dari samping oleh Abizhar.Satu tangan Abizhar meremas dadanya. Shelina mengulum senyum, menikmati sentuhan pria itu, sampai kemudian dia mendengar Abizhar bergumam di sebelahnya, "Aku sangat mencintaimu, Shelina, sampai rasanya tak mungkin lagi kau bisa berdusta padaku. Aku kini mengenalmu dengan jelas."Shelina membuka matanya, menatap Abizhar yang tengah memandangnya. "Maksudmu?""Aku tahu kau pura-pura lupa ingatan. Aku tidak menyalahkanmu, justru aku senang itu artinya aku tak usah berjuang lagi untuk meyakinkanmu, kan?"Sorotan dalam mata Abizhar tidak menunjukkan kesinisan atau cemoohan. Shelina dapat melihat kesenduan di mata suaminya, yang tak urung membuat dada Shelina berdesir hangat.Bukannya gugup karena kebohongannya diketahui suaminya, Shelina malah tersenyum pahit. "Aku melakukannya agar kau tak usah la
Pak Edward merasa berat saat tahu Shelina tidak memiliki memori tentang kejadian setelah pernikahan Shelina dan Abizhar. Dia tentu khawatir dengan kondisi otak Shelina, tapi ada hal lain juga yang merisaukannya. Sebulan terakhir, jabatan Shelina sebagai direktur di perusahaan propertinya dialihkan kepada wakil direktur yang ada. Dengan keadaan Shelina dalam keadaan sakit, dia tidak bisa lagi memaksa anaknya untuk kembali kerja di perusahaan. Diangkatnya wakil direktur itu untuk menggantikan Shelina. Selama itu juga dia memerhatikan Abizhar yang apik mengurus tetek-bengek Shelina yang dirawat di rumah sakit. Abizhar tak pernah meninggalkan Shelina sekali pun. Pak Edward menyadari, pria yang tak ada gunanya macam Abizhar itu telah berubah. Keinginan Pak Edward untuk memisahkan Shelina dari Abizhar semakin pudar. Lima hari setelah sadar, Shelina diperbolehkan untuk pulang dan mengonsumsi obat-obatnya di rumah. Pada waktu tertentu dia harus kontrol ke rumah sakit untuk mengecek keadaan
Abizhar meminta maaf pada Roland karena dia tidak bisa mendatangi proses pemakaman Yuni. Dia harus berada di dekat Shelina selama Shelina di rumah sakit. Roland mengangguk mengerti. Dia juga berkelakar sedikit, "Kali ini, kau bisa yakin Yuni takkan bangkit lagi."Mendengar itu Abizhar tersenyum masam. Mereka berpelukan untuk saling menguatkan. Dua orang yang selalu cekcok itu berada di titik terendah mereka. Sekali lagi Abizhar minta maaf pada Roland dan mengucapkan turut dukanya.Abizhar melirik sekilas pada mobil jenazah. Maafkan aku, Yuni, pikirnya. Entah betapa kali aku harus mengucapkan ini. Aku selalu mendoakanmu agar kau sampai di sisi-Nya.Diperhatikannya sekitar. Tak ada kehadiran Bu Lila di sana. Abizhar pun ragu ibunya itu akan melihat Yuni untuk terakhir kali. Lebih tepatnya, ibunya tidak akan memunculkan dirinya ke publik, sebab Abizhar tahu kali ini Pak Edward tidak akan main-main untuk memberi perhitungan pada Bu Lila.Berbeda dengan Abizhar yang pasrah-pasrah saja di r
Pak Edward yang baru tiba di Jakarta dari urusan pekerjaannya di luar kota, langsung ke rumah sakit ketika dia ditelepon Abizhar. Dari suara Abizhar yang gemetar menjelaskan apa yang terjadi, Pak Edward tahu ada hal yang sangat buruk menimpa anaknya.Selama ini dia tahu Abizhar tidak pernah peduli pada Shelina. Saat dulu Abizhar memberitahunya Shelina mengalami kecelakaan, Abizhar tidak terdengar sekhawatir sekarang. Pak Edward meminta sopirnya mengantarkannya secepat mungkin.Di rumah sakit, Abizhar tidak merasa tenang. Jika sesuatu terjadi pada Shelina, dia akan ikut melukai dirinya sendiri. Bu Lila sama sekali tidak bersalah saat melihat Shelina pingsan. Dia malah tertawa terbahak-bahak seperti orang gila. "Ya katakan saja pada Edward bahwa anaknya yang jahanam ini baru saja celaka karena Mama, Abizhar!"Abizhar tidak menggubris ocehan ibunya. Dia berteriak minta tolong pada petugas medis, sementara Roland membentak Bu Lila dengan nada penuh peringatan. "Anda memang bukan manusia.
Shelina cuti seharian. Dia menelepon Leo untuk membantu wakil direkturnya dan beberapa Kepala Divisi untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Untuk dokumen yang hanya bisa Shelina tandatangani, ditaruh saja di meja kerjanya, dan bila hal itu mendesak Leo-lah yang membawa dokumen itu ke rumah.Rumah lama Shelina dan Abizhar.Semalaman Abizhar menata barang-barang Shelina di dalam koper, sementara Shelina tidur di atas tempat tidur. Pada dini hari setelah Abizhar selesai mengemas, dia tak melewati batas dengan tidur satu ranjang dengan Shelina. Saat Shelina bangun pada pagi harinya, dia melihat Abizhar tidur di sofa dekat ranjangnya.Semoga kita selalu damai seperti ini, pinta Shelina dalam hati. Dia dan Abizhar kembali ke hidup mereka semula. Di rumah yang telah menyaksikan berbagai kenangan bagi mereka. Kali ini, Abizhar tidak mau menghancurkan rumah tangganya dengan tidak memperhatikan Shelina. Sama dengan Abizhar, Shelina pun mencoba untuk mendengar Abizhar dan tidak meninggikan suarany
Abizhar tampak tak senang saat dia melihat Shelina berjalan dengan pria yang tidak dikenalnya. Selama ini yang suka membuntuti Shelina adalah Roland, dan kini pria muda dan ganteng dekat-dekat dengan Shelina, membuat Abizhar menahan kekesalannya.Dia sudah lama menunggu di kedai kopi yang ada di lantai dasar gedung kantor Shelina. Dia menunggu sampai Shelina bekerja. Seharian itu, Abizhar tidak ke kantor dan menghabiskan waktunya dengan laptop-nya untuk membuat CV dan mencari pekerjaan di situs pencari kerja."Sayang!" teriak Abizhar mengangkat satu tangannya.Muka Shelina memerah saat Abizhar memanggil-manggilnya. Orang-orang di lobi berhenti untuk memandang Abizhar, kemudian mereka melanjutkan langkah mereka dengan senyum di wajah mereka.Shelina mengingatkan Leo untuk datang lebih pagi besok, karena ada dokumen tender yang perlu disubmit sebelum jam delapan. Seharusnya sih Leo yang mengingat sendiri, tapi karena dia masih baru, Shelina-lah yang ikut melakukannya.Shelina menghampir