"Sakit Mas," rintih Cintya. BrakPintu ditutup kasar. Bara melepaskan cengkramannya. Tercetak jelas jari tangannya di pergelangan Cintya. Cintya mengusap tangannya yang terasa panas. "Jawab aku, siapa dia?" tanya Bara dengan gigi gemeretak."Dia temanku, Mas." Cintya menjawab dengan takut. Tak pernah suaminya bersikap sekasar ini. Cintya beringsut mundur. Dia masih memegang pergelangan tangannya. Sejurus kemudian, air matanya jatuh. Semakin lama semakin deras. Tangan Bara mengepal. Dadanya naik turun menahan emosi. Tak dihiraukan Cintya yang menangis sesenggukan. Dia begitu marah, ketika melihat istrinya dengan pria lain."Jadi ini alasanmu, pergi dari rumah sejak tadi pagi?" tanya Bara sinis. Bara menggeser kursi kayu yang ada di ruang tamu dengan kasar, lalu menjatuhkan bobotnya"Aku tak serendah itu Mas," balas Cintya."Lalu, apa artinya tadi?" sinis Bara. "Kamu salah paham." Cintya berdiri mencoba mendekati suaminya. Tak disangka, Bara justru mengacuhkannya. "Dengarkan aku
Bara tak melanjutkan ucapannya, saat Cintya menempelkan jari telunjuknya di bibir. Cintya berjalan ke arah cermin. Dia mencoba menyumbat darah dengan pasmina putihnya. Dia tak peduli, meskipun pasmina yang ia kenakan baru saja dibelinya kemarin. Lukanya lumayan dalam, sehingga darah masih saja terus menetes.Dilihatnya Bara berjalan ke arahnya. Bara memeluknya dari belakang. Cintya didudukan di ranjang, dan Bara mencoba menekan lukanya agak kuat. Benar saja, darahnya perlahan berhenti. Cintya tak menolak, tapi juga tak merespon. Perihnya luka tak lagi ia rasakan. Hatinya terlanjur sakit."Kita harus ke rumah sakit!" ujar Bara panik."Tak perlu." Bara tak menggubris penolakan Cintya. Dia segera mengenakan kemeja yang tersimpan di lemari kecil. Dirogohnya saku celana, mencari keberadaan kunci mobilnya.Cintya melepas pasmina dan pelapis hijabnya. Rambutnya indahnya dibiarkan tergerai. Dia sudah tak menangis. Matanya kosong menatap bayangan dirinya di cermin. "Ayo Cintya!" "Tak perl
Pak Udin menunggu jawaban dari Niko yang tampak gugup. Sementara itu, Niko bingung harus menjawab bagaimana. Tak mungkin dia katakan yang sejujurnya pada pak Udin. "Jangan-jangan Bapak berniat jahat pada bu Cintya?" Pak Udin mulai curiga dengan gelagat aneh tamunya. "Bapak salah sangka. Saya mengkhawatirkan Cintya. Tolong bantu saya, beri alamat Cintya. Saya janji, Cintya akan aman." Niko berbicara dari dalam lubuk hatinya.Dia benar-benar khawatir terhadap Cintya. Apalagi, tadi Cintya sempat diseret oleh suaminya di depan mata kepalanya sendiri. Dia benar-benar tidak rela, Cintya diperlakukan kasar, kendati itu oleh suaminya. "Tolong saya Pak. Saya temannya dari Jawa. Saya mau meluruskan masalah ini ke suaminya," jelas Niko. Pasti suami Cintya telah salah paham, sampai begitu marah. Dia tak ingin masalah ini sampai berlarut-larut. Pak Udin menghela nafas berat. Dia juga merasa terjadi kesalah pahaman di antara majikannya. Namun dia bingung, apa benar orang di hadapannya bisa dipe
"Habis kecelakaan, Mas?" tanya Aisya polos. Cintya menatap suaminya. Aisya pun melakukan hal yang sama. Dia begitu menantikan jawaban yang keluar dari mulut Bara. "Iya, dia habis kecelakaan. Mas boleh minta tolong Aisya?" Bara mencoba mengalihkan pembicaraan. "Tentu saja Mas. Mau minta tolong apa?" Aisya begitu antusias. "Kamu enggak apa-apa 'kan, kalau mau mau temani Cintya dulu? Kasihan dia," ucap Bara begitu hati-hati. Seketika mendung bergelayut di pelupuk mata Aisya. Sejurus kemudian, dia tersenyum. Namun senyumnya tak mampu menutupi kesedihan yang tampak tercetak jelas. "Tidurlah bersamanya! Bukankah syarat poligami itu harus adil? Sekarang giliran kamu bersamanya. Jangan libatkan aku dalam dosa, atas ketidak adilanmu membagi waktu," ujar Cintya."Tapi ...," sela Bara. "Ini sudah konsekuensinya, Mas.""Mas Bara sama mbak Cintya saja. Aku bisa tidur sendiri kok." Aisya angkat bicara. Bara berat untuk memilih. Di satu sisi, Cintya membutuhkannya. Bara masih ingin menebys k
"Bagaimana perasaanmu saat aku duduk bersama laki-laki lain, Mas?" tanya Cintya sambil tersenyum mengejek. Aisya menatap Cintya bingung. Apa maksudnya? Apa jangan-jangan Cintya selingkuh? "Ah, aku lupa. Kamu sekarang memang sudah tidak punya perasaan." Cintya masih terus melampiaskan kekesalannya sebelum Bara menjawab."Sekarang kalian pergilah. Kepalaku masih sakit dan aku mau istirahat," usir Cintya. "Ayo Aisya!" Dengan hati dongkol, Bara mengajak istri mudanya pergi. Dia terus berjalan menuruni anak tangga menuju kamar Aisya. Aisya hanya mengekor dari belakang tanpa berani bertanya. Padahal dia begitu penasaran, siapa laki-laki yang Cintya maksud. Hati Bara kembali panas, tatkala mengingat Cintya bersama lelaki lain. "Kamu sudah makan?" tanya Bara setelah mereka sampai kamar. Bara mencoba agar tidak melampiaskan amarahnya pada Aisya. Bagaimanapun juga, Aisya tak bersalah. "Belum Mas. Kamu belum makan juga?" "Aku masih kenyang," sahut Bara. Aisya mengerucutkan bibir kesal.
"Enggak bohong 'kan?" "Enggak Sayang. Kapan sih Mas bohong sama kamu?" bujuk Bara. "Em, pura-pura lupa.""Kamu kalau gemesin kayak gitu, Mas makan nih." "Coba aja kalau bisa." Aisya berlari kecil ke kamarnya. Bara lalu mengikutinya dari belakang. Tak lupa, dia mengunci semua pintu, lalu menyusul istri mudanya ke kamar. "Aisya sudah membuka jilbanya, dan membiarkan rambut panjangnya terurai. "Kamu sengaja menggodaku?" Bara memeluknya dari belakang. Ada desiran aneh di hati Aisya. Meskipun bukan pertama kali bersentuhan dengan Bara, tapi hatinya selalu berdesir saat Bara menyentuhnya. "A ... aku mau tidur." Cintya mendorong pelan Bara. Lalu dia beranjak ke kasur dengan sprei berwarna merah jambu. Ditariknya selimut hingga menutupi wajahnya. "Aku menginginkan hadirnya malaikat kecil di rumah ini. Ayo kita ikhtiar!" ajak Bara sambil membuka selimut yang menutupi wajah istrinya. Wajah Aisya merah merona menahan malu. Sejenak kemudian, dia mengangguk pelan seraya tersenyum. Dan unt
"Mau apa lagi kamu?" Bara masih mengingat jelas wajah pria di depannya. Emosinya seketika tersulut. "Saya hanya akan meluruskan kesalahpahaman di antara kita.""Tidak perlu. Sekarang anda pulanglah. Jangan ganggu Cintya lagi," ketus Bara. "Saya tidak akan pulang, sebelum masalah ini selesai.""Anda tamu di sini. Tidak berhak mengatur saya." Bagai sekam terpercik api, kini emosi Bara langsung tersulut. Cintya yang mendengar keributan di bawah, merasa penasaran. Dia segera melepas mukenanya, lalu turun ke bawah. Pintu depan masih tertutup. Cintya makin heran, kenapa suaminya marah-marah di luar. Dilihatnya kamar Aisya masih tertutup rapat. Cintya semakin penasaran. Dia bergegas menuju pintu depan. Klek"Mas."Terlambat. Cintya sudah membuka pintu. "Cintya.""Kak Niko kenapa bisa di sini?" tanya Cintya bingung. "Masuk Cintya!" perintah Bara. Cintya bengong. Dia bingung harus berbuat apa. "Aku bilang masuk!" sentak Bara. Cintya segera berlalu dan berlari ke kamarnya. Bahkan dia
"Cukup kak Niko," bentak Cintya. "Ck ... ck ..., ternyata kalian telah bermain di belakangku." Bara tersenyum mengejek."Cintya tak serendah itu," bela Niko. Niko tak rela jika Cintya dihina siapapun. Bara tersenyum tak percaya. Dia kembali menatap Cintya. "Apa kamu berniat balas dendam kepadaku Cintya?" sinis Bara. "Aku tak serendah itu. Balas dendam tidak diajarkan dalam agamaku," sanggah Cintya. Dia kembali geram. Padahal tadi malam suaminya baru saja meminta maaf, tapi sekarang kembali menorehkan luka. "Lalu drama apa lagi ini?" Bara terlihat frustasi. "Aku dan kak Niko hanya kebetulan bertemu di vila. Tak lebih dari itu," jelas Cintya. Bara kembali menyunggingkan senyum mengejek. Dia tak lantas percaya seratus person. Hatinya masih tertutupi api cemburu. "Kamu merasa yang paling tersakiti, ketika aku hanya duduk dengan orang lain. Lantas, apa aku tidak boleh cemburu, melihat suamiku bercumbu dengan wanita lain?"Cintya kehabisan kesabaran. Selama ini dia diam, agar Bara s