Hermin membantu mengenalkan aku dengan lingkungan pekerjaanku yang baru.
"Mungkin di majikanmu yang dulu kamu hanya bertugas memasak, tapi di sini semua pekerjaan kamu sendiri yang menyelesaikannya," ujat Hermin.
"Iya aku faham, Hermin," jawabku.
"Fahim, kalau kamu butuh bantuanku jangan sungkan-sungkan bilang saja!" pesan Fattah yang tiba-tiba muncul.
"Oh iya, Pak Fattah, terima kasih!" jawabku ragu.
Aku dan Hermin saling berpandangan, aku yakin apa yang dipikirkan Hermin sama dengan apa yang sedang kupikirkan. Hermin lupa memperkenalkan aku sebagai orang Fahim. Fattah satu-satunya orang yang tahu kalau aku adalah Fahim.
"Pak Fattah, mau kopi biar dibuatkan Rosa?" tanya Hermin.
Dia sengaja memanggil aku dengan nama Rosa sekalian ingin mengklarifikasi kepada Fattah.
"Siapa Rosa?" tanya Fattah bingung.
"Oh iya dia Rosa," kata Hermin.
"Bukannya Fahim?" tanya Fattah bingung.
"Bukan, saya yang
"Rosa, bukalah cadarmu, sekali saja agar aku dan Faruq sahabatku tidak penasaran!" pinta Muzammil memohon. "Penasaran kenapa, Pangeran Muda?" sahutku. "Kita merasa kamu adalah Fahim," jawab Muzammil. "Fahim? Siapa dia, Pangeran Muda?" tanyaku berpura-pura. Aku ingin mendengar dari Faruq dan Muzammil apa arti diriku bagi mereka berdua. "Fahim adalah wanita istimewa yang sedang mengisi hatiku, tapi sayang dia adalah kekasih sahabatku. Aku dan Faruq begitu tergila-gila padanya," ungkap Muzammil. Betapa terkejutnya aku mendengar pengakuan Muzammil. Padahal selama ini aku belum begitu dekat apalagi mengenalnya. Aku bertemu dengan Muzammil bisa dihitung dengan jari, baru beberapa kali saja. Bagaimana semudah itu dia jatuh hati. Apalagi aku hanyalah orang biasa, hanya TKW yang teraniaya. "Boleh kulihat wajahmu sekejap saja!" pintanya lagi mendesak. "Tapi ...," bantahku gugup. Muzammil tidak menghiraukan aku, dia beranj
Sudah seminggu aku tinggal sendirian di apartemen. Tapi hari ini pangeran muda menyuruhku memasak istimewa karena ada tamu. Fattah membawa belanjaan banyak sekali. Di Inagara tidak banyak wanita berkeliaran di luar. Sehingga belanja pun harus Fattah yang melakukannya. "Rosa, kamu kesulitan apa tidak masak sendirian?" tanya Muzammil yang tiba-tiba muncul di belakang Rosa. "Atau kupanggilkan pembantuku dari rumah?" lanjutnya bertanya. "Tidak, Pangeran Muda, ini sudah selesai kokl" jawabku. "Iyakah?" Muzammil tidak percaya. "Ini, tinggal menata ke meja makan saja, Pangeran," kataku. "Wow hebat sekali, Rosa, kamu juga pinter menghias piring," kata Muzammil kagum. "Biasa saja, ini sih tugas saya sehari-hari, Pangeran Muda," ujarku sombong. Ting ... Tong ...! Bel rumah berbunyi. "Tolong kamu buka pintunya, Rosa! Aku mau bersiap dulu!" perintah Muzammil kemudian menuju kamarnya. "Baik, Pangeran Muda," jawabku.
Aku mulai menyajikan sop buntut di mangkok ala Indonesia. Cara menyajikannya pun tidak berubah seperti biasanya bahkan aroma masakannya sontak membuat Iqbal mengingatku. "Umi," desah lirih Iqbal sambil matanya tajam menatapku. Sontak tangannya meraih tanganku, dan bekas luka di punggung tanganku terlihat jelas oleh Iqbal. Segara dia mengenaliku karena luka cambuk Tuan Hussein di tanganku belum sembuh benar. Mataku segera memberi kode agar Iqbal tenang. Agar Faruq dan Marwa tidak menaruh curiga. Kiranya Iqbal mengerti apa maksudku. "Iqbal, dia Mbak Rosa, abi tadi juga salah orang, buka saja cadarnya kalau kamu tidak percaya!" usul Faruq. Bergegas Marwa menyahut cadar itu dengan kasar dan menariknya hingga terlepas dan cadar itu jatuh di kaki Muzammil. Muzammil terperanjat melihat perangai Marwa yang kasar. Dia bergegas memungut cadarku yang jatuh di kakinya. "Marwa, apa yang kamu lakukan?" hardik Faruq. "Aku yang tidak per
Aku dalam dilema, seandainya aku ikut ke rumah Muzammil takut kalau dua pembantunya bisa mengenaliku. Tapi untuk tinggal sendirian di apartemen aku juga takut, apalagi dalam waktu begitu lama. Tapi kadang aku bertanya pada diriku sendiri, apa benar hanya karena itu? Terkadang aku merasa nyaman hanya berada di dekat Muzammil. Datang rasa kangen apabila sebentar saja tidak bertemu dengannya. Semoga ini bukan cinta, karena tidak pantas rasanya bila aku memiliki perasaan itu. Siapa aku? Bukan saja karena statusku yang hanya seorang babu tapi juga karena hidupku yang sudah hancur dan terjerumus ke lembah nista. Semoga mimpiku ditolong pangeran berkuda putih yang ternyata adalah Muzammil bukanlah sekedar mimpi belaka. Agar aku tidak terbawa perasaan dan nantinya akan kecewa dan tersakiti. "Rosa, kenapa kamu melamun di dapur?" tanya Muzammil yang muncul di belakangku. "Tidak apa-apa, Pangeran Muda," jawabku. "Istirahatlah!" perintah Muzam
Aku masih terdiam tak percaya, seolah semua bagai mimpi. Muzammil telah mengetahui segalanya, bukan saja luka di paha yang sedang kututupi, tapi luka di hatiku pun dia mengetahuinya juga. "Apalagi yang sedang kamu renungkan, hah? Udah tidur saja, aku menundanya pulang ke rumahku. Aku akan merawat kamu dulu," ujar Muzammil. "Tidak perlu, Pangeran, aku sudah tidak apa-apa. Nanti keluarga Pangeran menunggu, kasihan mereka datang dari Kerajaan Tukasha yang sangat jauh. "Ya sudah, gimana kalau sementara aku panggilkan Hermin ke sini, biar dia menemani kamu?" tawar Muzammil. "Bolehkah, Pangeran Muda? Apa bener pangeran akan memanggil Hermin untukku?" tanyaku seolah tak percaya. "Aku kan yang menawarkan? Tentu saja sudah kupikirkan sebelumnya. Santai saja, Hermin baik kok aku sudah mengenalnya lama sekali. Dia setiap Sabtu dan Minggu kerja paruh waktu di sini," Muzammil mengungkapkan. "Iya dia sangat baik, Pangeran, dia membantuku melewati se
Aku menguping pembicaraan di telepon antara Faruq dengan Muzammil. "Sekarang aku di rumahmu, Zammil," ujar Faruq. (...) "Pembantu barumu mempersilahkan aku masuk, dia sedang membuatkan aku kopi," kata Faruq. "Kayaknya bukan Rosa, dimana Rosa?" (...) "O jadi dia bersamamu di situ? Tidak apa-apa kok, aku cuma kangen sop buntut sama susu kurmanya. Semua itu mengingatkan aku kepada Fahim, Zammil." ujar Faruq sedih. Tak lama kemudian Hermin datang dengan membawa nampan berupa secangkir kopi dan makanan kecil. "Silakan diminum kopinya, Tuan!" kata Hermin mempersilahkan. "Iya, terima kasih." jawab Faruq. "Zammil, aku bisa melacak keberadaan Fahim sekarang." ujar Faruq. "Aku mendapat kabar dari pihak bank kalau Fahim habis menarik tunai di Gardu ATM di wilayah Barhee city," ungkap Faruq. Aku baru tahu ternyata posisiku bisa terlacak dari aktifitas ATM. Untung sekarang aku sudah berada di rumah Muza
Muzammil teringat saat itu aku sudah menceritakan kisah hidupku, tapi kali ini matanya melihat lagi bukti kekejaman keluarga Faruq dengan melihat bekas luka di tanganku. "Pasti ini rasanya sakit sekali, Fahim? Mereka selalu mencambukmu ya, di seluruh tubuhmu pasti penuh bekas luka?" tanya Muzammil menebak. "Itu tidak seberapa Pangeran, eh Kak Zammil, asal aku dan Iqbal tidak dipisahkan. Kami saling membutuhkan, aku sangat menyayanginya, Kak Zammil. Perpisahan adalah sesuatu yang paling aku takutkan," kataku sambil air mata menggenang di mataku. "Iya aku paham, Fahim, tapi hubunganmu sangat rumit apalagi setelah Faruq menikah," ujar Muzammil. "Kalau kamu bertahan disitu demi Iqbal maka kamu yang akan selalu tersakiti," lanjutnya. "Iqbal sekarang tenang, setelah tahu saya berada disini, Kak Zammil," ujarku kepada Muzammil. "Jadi dia sudah tahu kalau kamu ada disini?" tanya Muzammil meyakinkan. "Iya." Aku kangen Iqbal, Kak Zammil
Aku terkejut saat Muzammil mengungkapkan perasaannya kepadaku gara-gara mimpi itu. Dan anehnya aku dan Muzammil bermimpi sama, melarikan diri dengan menunggang kuda putih. "Kak Zammil tidak sedang bermimpi kan berkata ini?" tanyaku tak percaya. "Maaf, anggap saja hanya sekedar mimpi, Fahim! Anggap saja aku lagi mengigau juga boleh," kelakar Muzammil mengalihkan pembicaraan. "Aku sudah menduga, Kak Zammil pasti lagi bergurau," ujarku kecewa. Aku berharap apa yang baru saja kudengar itu adalah nyata, bahwa Kak Muzammil sedang jatuh cinta padaku. "Fahim, kembalilah tidur!" perintah Muzammil. "Haruskah aku beritahu Kak Zammil kalau aku juga pernah bermimpi yang sama? Apakah dia percaya? Takutnya dia berpikir aku hanya mengada-ada," batinku. "Kak Zammil, aku mau telepon Iqbal minta izin menikah denganmu, boleh ya?" pintaku kepada Muzammil. "Tentu saja boleh, gimana kalau besuk kita temui dia di sekolahnya?" tawar Muzammil.