Kekuatan Faruq tak sebanding dengan aku yang kebetulan masih sakit tangan maupun kakiku. Aku terdorong ke belakang hingga sempoyongan. Aku tidak mengira Faruq yang datang sepagi ini.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyaku ketakutan.
Tanpa menggubrisku Faruq menutup dan mengunci kembali pintunya. Dia berjalan mendekatiku.
"Jangan mendekat!" bentakku.
Faruq terus mendekatiku tanpa menghiraukan teriakanku. Kini aku terpojok, tubuhku terhimpit antara dinding dan tubuh Faruq. Aku takut, kebringasannya terbayang lagi di mataku.
"Aku sudah menduga itu adalah kau, Fahim. Kamu tidak akan pernah bisa mengelabuhiku!" ujarnya geram.
"Siapa yang ingin mengelabuhimu, Tuan Muda? Aku terjerat masalah berat, yang tidak kulakukan. Kamu yakin kan bahwa aku bukan pelakunya? Itu makanya aku harus menyamar" kataku.
"Iya aku tahu, tapi itu hukuman yang pantas kamu terima karena untuk kedua kalinya kamu lari dari pernikahanku. Kamu sudah bikin aku malu!" uj
Entah kenapa aku suka sekali bila Muzammil memanggil namaku Zhee. Satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama itu. Dan bila Muzammil yang memanggil suara manja dan lembut begitu menyentuh hatiku. "Zhee, nanti kalau sampai rumah aku telepon lagi ya, ini mau masuk pesawat," ujar Muzammil. "Iya Kak Zammil, hati-hati ya!" pesanku. "Kamu juga ya, jaga dirimu! Assalamualaikum ...!" "Waalaikum salam." Kemudian aku menutup teleponnya, hatiku hancur bila ingat kejadian barusan. Kenapa aku begitu lemah hingga tidak mampu menolong diriku sendiri. Padahal melawan Ikhsan atau yang lain aku masih ada kekuatan. Apa karena kaki dan tanganku yang belum sembuh betul. Aku beranjak dari sofa dan menuju kamar mandi. Kuguyur bajuku yang tercabik-cabik dan tubuhku yang penuh luka di bawah air shower. Aku menggosoknya sambil menangis sejadi-jadinya, menyesali perbuatannya yang tidak bisa dihentikan. Cinta penuh nafsu dan obsesi yang justru membuatku
Aku kembali tidak sadar, tekanan di kepala dan dada membuatku sulit bernafas. "Zhee, bangun kenapa kamu harus mengalami semua ini?" ujar Muzammil sambil menenggelamkan tubuhku dalam dekapannya. Aku masih bisa mendengarnya, meskipun samar-samar. Muzammil menciumi rambutku dengan penuh sayang. Karena apa yang sedang aku alami, aku malu untuk membuka mataku menatap Muzammil suamiku. "Bangunlah Zhee, aku tidak akan membiarkan dirimu sendiri lagi. Aku akan membawamu kemanapun aku pergi," janji Muzammil pada dirinya sendiri. Perlahan aku membuka mataku, Muzammil sedang menggenggam tanganku, air mata menggenang di matanya. Aku sudah kembali ke kamarku dan terbaring diatas kasur. "Kamu sudah sadar?" tanya Muzammil lega. "Maafkan aku, Kak Zaammil, seharusnya ini tidak terjadi," kataku pelan. "Hust!" sahutnya sambil menutup bibirku dengan telunjuknya. Kemudian kembali Muzammil mendekapku semakin kuat dan erat. Seakan mengga
Dret ... Dret ... Dret ...! "Papa?" panggil Muzammil memekik. Aku terperanjat, segera aku menjauh agar tidak terjangkau kamera karena mereka memanggil video. "Assalamualaikum, Pa?" sapa Muzammil. "Waalaikum salam," jawab papanya. "Kok ditunggu tidak menelepon sih, mana istrimu?" desak Sultan Mahmud, papanya. "Sabar Pa, kita masih ke dokter, nih pak dokternya nanti aku telepon, Pa!" jawab Muzammil gugup, asal ceplos sambil mengarahkan kamera ke wajah dokter. "Ke dokter? Jangan bilang dia sedang hamil?" tanya papanya menohok. Apa hamil?" kata Muzammil terkejut. Aku melihat wajah Muzammil yang memerah sambil memandangku. Bagaimana mungkin hamil baru kemarin menikah lagian dia tidak berani menyentuhku. Tapi bagaimana kalau aku bener hamil anaknya Faruq, bukankah dia menodaiku kemarin. Tidak! Jangan Ya Allah! Jangan beri hamba kemalangan seberat ini? "Tidak, Pa! Dia hanya kurang enak badan, tenang saja nanti aku ajak
"Ma, bagaimanapun Zhee adalah istriku. Diterima ataupun tidak dia tetap istriku, Ma. Kami berdua menikah secara agama maupun negara," ujar Muzammil menjelaskan. "Aku tidak peduli, jangan bawa dia pulang ke sini, Zammil!" pesan mamanya. "Apa maksudnya, Ma? Dia istriku berhak mendapat perlakuan yang layak, Ma," bantah Muzammil. "Kalau kamu mau mamamu lekas pergi dari dunia ini, silakan!" sahutnya. "Mama?" pekik Muzammil. "Mama menunggu kepulanganmu secepatnya, tanpa alasan!" ujarnya kemudian menutup teleponnya. Aku mendengarkan semua pembicaraan ibu dan anak itu. Aku merasa bersalah telah menciptakan masalah diantara mereka hanya gara-gara Muzammil menikahiku. "Zhee, maafkan aku ...," kata Muzammil terputus. "Tidak perlu minta maaf, Kak Zammil! Bukankah kita hanya menikah bohongan, Kak Zammil hanya ingin menolongku belaka," ujarku pelan menahan sedih. "Tidak begitu, Zhee, tidak ada yang salah dengan pernikahan kit
Aku malu mendengar kelakar mereka. Bisa-bisanya Muzammil berbicara seperti itu, padahal jangankan menyentuhku tidur saja kita terpisah. Kasihan Muzammil menutupi banyak hal hanya demi aku. "Sudah kalian berdua istirahatlah, besuk operasi kita mulai pukul 09.00!" pesan dr. Fuad. "Oke, kita cepat istirahat kok dan jangan khawatir sementara aku tidak menyentuh istriku kok," ujarnya sambil mata dan senyumnya menggoda aku. Aku yang tahu maksud kelakar Muzammil segera menunduk menahan malu. Dokter Fuad meninggalkan kamar kita sambil menutup pintu kamarku. Kini di kamar ini tinggal aku sendiri bersama Muzammil. Otomatis karena statusku suami istri Fuad menyediakan satu kamar untuk kita. "Aku tidur bawah saja, Zhee, tidurlah dulu aku masih mainan ponsel," kata Muzammil. "Jangan Kak, tidur di atas di sebelahku nggak papa kok," sahutku. Apapun alasannya dia adalah suamiku, aku harus berbakti kepadanya. Dia berhak atas tubuhku meskipun aku
Sakit rasanya pertama kalinya masuk ruang operasi dimana suasananya sangat mencekam. Aku harus terbaring sendiri tanpa seorang pun menjadi penyemangatku. Aku merasa begitu sepinya hatiku, hidup bagai sebatang kara. Tidak ada tangan yang siap menggenggamku, agar aku kuat dan tidak jatuh. Hanya Muzammil yang selama ini siap melakukannya untukku. Kenapa aku masih ragu dan menyia-nyiakannya? Karena pengaruh dari obat bius, antara sadar dan bermimpi. Anehnya Pangeran Muda Tukasha, Muzammil selalu datang di mimpiku sebagai penunggang kuda putih. Dia datang sebagai penolong aku dan Iqbal. Bukan Faruq yang datang melainkan Muzammil, itu sebagai pertanda dari Allah bahwa Muzammillah jodoh yang dikirim Allah untuk mengangkat diriku dari lembah nista. Tapi kenapa hatiku masih terpaut pada Faruq yang bernafsu iblis. Antara takut, jijik, muak, benci dan rindu. Karena berbagai pertimbangan dokter Fuad harus membius total diriku. Paska operasi pun aku ditempatkan di ruang isolasi.
Ternyata Muzammil sudah menceritakan tentang keadaanku yang sebenarnya. Bahkan Dokter Fuad juga tahu kalau Muzammil sedang menikah di Tukasha. Sekarang Dokter Fuad mengajak aku pulang ke rumahnya. Walau penuh keraguan aku menurut karena Muzammil yang memintanya. "Masuklah, Zhee!" ajak Fuad begitu sampai di apartemennya. "Baik, Dokter," jawabku. Aku berjalan masuk mengikuti langkah kaki Dokter Fuad. "Ini kamarmu, Zhee, dan sebelahnya kamarku. Bila kamu membutuhkan sesuatu bisa memanggilku," pesan Dokter Fuad. Aku jadi ragu, kamarku berdekatan dengan Fuad, sedang di rumah ini cuma kami berdua. Bagaimana kalau dia khilaf? Rasa trauma karena perbuatan Faruq masih menghantuiku. "Zhee, aku di sini sampai hari Kamis depan.," ujar Dokter Fuad. "Maksud Dokter?" tanyaku meyakinkan. "Hari Kamis depan aku kembali ke Singapura, Zhee," ujarnya. Aku terdiam, kalau Dokter Fuad kembali ke Singapura apa aku harus menempati
Kini Muzammil terperanjat dengan apa yang aku lakukan. Dia terdorong ke belakang beberapa langkah. Aku terperanjat dan menyesal dengan apa yang aku lakukan. Aku mencintainya juga merindukannya, tapi kenapa justru ini yang aku lakukan setelah bertemu. Aku menyesalinya, tapi semua sudah terlanjur pasti Muzammil sangat kecewa denganku. Bagaimana cara aku memperbaikinya? "Maafkan aku, Kak Zammil!" kataku pelan. "Tidak apa-apa, Zhee. Aku terlalu tergesa-gesa ya? Aku rindu sekali padamu. Aku tidak menyangka Fuad bisa membuat lukisanku menjadi nyata. Kalau orang membuat manusia menjadi lukisan itu adalah hal yang biasa, tapi ini sebaliknya. Fuad bisa membuat lukisan menjadi nyata," kata Muzammil. "Tapi apakah ini tidak haram, Kak Zammil? Aku takut ini adalah perbuatan dosa besar, " kataku ragu. "Hanya antara kita sama Allah yang tahu, Zhee. Tujuan kita hanya ingin menyelamatkan diri dari niat jahat orang dzolim, Zhee!" kata Muzammil menghiburku.