"Jangan pernah bawa-bawa atau sebut nama wanita jalang itu di depanku lagi!" semprot Laksana Gandara dengan wajah mengeras seraya menunjuk muka Robert dengan jari telunjuknya. "Mengerti?!" Robert langsung memasang wajah menyesal penuh kepura-puraan. "Ah, maafkan saya, Tuan Laksana ... saya tidak tahu jika hal itu merupakan bahasan yang sensitif bagi Anda ... " Kemudian, matanya menyipit. "Tapi ... sepertinya Tuan Laksana memang benar-benar telah mengusirnya dan tak mau mendengar kabar darinya lagi." "Bagus lah kalau begitu. Jangan sampai wanita itu menganggu kebahagiaan yang sedang kalian rasakan." Lanjut Robert sembari mengulas senyum yang terkesan dipaksakan. Mendengar ucapan Robert, Laksana Gandara sudah akan mengeluarkan sumpah serapah lagi, tapi sebelum hal itu terjadi, sang istri sudah buru-buru menahanya lebih dulu. Alhasil, Laksana Gandara pun mengurungkan niatnya. "Tenangkan diri, Papa ... jangan tersulut emosi. Jangan terpengaruh dengan omonganya. Tidak ada gunany
"Pasti Presdir ... saya juga akan melaporkan mereka bertiga ke polisi! Tentu saja hal itu merugikan saya, menimbulkan gossip, membuat nama saya jadi tercemar dan mungkin ... akan merembet ke mana-mana!" Jawab Jauhar dengan wajah memerah. Kemudian, ia tampak mengatur napas lebih dulu untuk meredakan amarahnya. "Tapi ... saya tidak akan membiarkan hal itu sampai terjadi, Presdir. Saya pasti bisa mengatasi masalah itu. Lagi pula, sudah lama sekali saya ingin memberi pelajaran kepada laki-laki itu. Percayakan kepada saya Presdir ... jika ... Pak Bastian akan tunduk pada Presdir pada akhirnya!" Wajah Jauhar tampak tegas. Aditama manggut-manggut mendengarnya. "Saya yakin ... jika mereka akan langsung takut jika Anda sudah turun tangan." Balas Aditama seraya menghempaskan punggung ke sandaran sofa yang dibalas anggukan kepala oleh Jauhar. Tiba-tiba rahang Jauhar terkatup rapat, seakan tengah berpikir. Dia kemudian berkata. "Tapi ... jika boleh saya tahu ... apakah Anda belum memberitahu
"Untuk apa kau berpenampilan seperti ini?!" tanya Bastian dengan nada sarkas. Giginya bergemeretak. Ekspresi wajahnya menunjukan ketidaksukaan. Kemudian, ia tersenyum sinis. "Cih ... sungguh tak pantas dirimu mengenakan jas seperti ini!" Mendengar komentar sang Paman, Aditama tidak mempedulikanya. Ia balik menatap Bastian dengan memasang ekspresi wajah datar. "Untuk apa lagi?" Jawab Aditama. Dia kemudian menambahkan. "Ya untuk bekerja lah." Kening Bastian berkerut. "Kau ... sudah bekerja kembali?" Bastian malah balik bertanya. Aditama mengangguk mendengar hal itu. Kemudian, Bastian menatap ke sekitar sambil tersenyum kecut sebelum kemudian kembali menatap Aditama. Dia kemudian berkata. "Tidak akan ada perusahaan mana pun yang mau memperkerjakan seorang mantan kuli bangunan dan berpendidikan rendah sepertimu!" Ia berpikir demikian karena melihat setelan jas yang dikenakan Aditama ... dengan penampilanya seperti itu ... menandakan kalau dia bekerja di suatu perusahaan. Walaupun
Pukul delapan malam, Aditama dan Vania tiba di rumah Kakek Hermanto.Melihat kedatangan keduanya, Hermanto dan Stephanie langsung menyambutnya dengan hangat.Setelah ngobrol basa-basi sebentar, kemudian Aditama dan Vania digiring ke meja makan untuk diajak makan malam bersama.Sembari menyantap makanan masing-masing, pun obrolan santai masih terdengar yang sesekali diselingi canda dan tawa, akhirnya Vania menyinggung maksud sang kakek mengundang dirinya dan sang suami untuk datang ke rumah ini. Selama sesaat, rahang Vania mengeras. Dia kemudian berkata. "Kakek ... memintaku dan Tama ke rumah karena hendak menyuruh kami untuk mencabut laporan Tama terhadap Paman, Bibi dan Mario, bukan?" ujar Vania dengan hati-hati, langsung menebak demikian. Hermanto agak sedikit terkejut mendapatkan pertanyaan itu. Seketika menghentikan kegiatan menyuapkan nasi ke dalam mulut. Begitu pula dengan Stephanie. Keduanya lalu saling pandang satu sama lain, seakan tengah menyamakan frekuensi atas pertanya
"Apa yang sedang Ayah pikirkan?" Suara Stephanie membuat Hermanto yang sedang duduk melamun di kursi depan rumah seketika menoleh ke arah sumber suara. Tampak Stephanie yang tengah berdiri di ambang pintu sebelum kemudian berjalan ke arah kursi satunya dengan membawa secangkir teh hangat untuknya. Diletakan secangkir teh hangat tersebut di atas meja, lalu ia mejatuhkan diri di kursi satunya. Selagi Stephanie menatap lekat sang Ayah—menunggu.Hermanto memalingkan muka ke depan lagi sambil menghela napas berat. Dia kemudian berkata. "Rumah jadi terasa sepi ya, Step karena sudah tidak ada Vania dan ... Aditama lagi," suara Hermanto melemah di ujung kalimat. Mendengar itu, terbit senyum tipis di bibir Stephanie. "Sudah saatnya mereka mencari makna hidup sendiri, Yah. Sudah saatnya mereka berpisah dengan kita karena sebentar lagi mereka akan membentuk sebuah keluarga baru." Hermanto kembali menatap Stephanie dengan memasang wajah murung. "Tapi kalau dipikir-pikir lagi ... ini sal
Bastian, Susan dan Mario benar-benar kecewa berat dengan Kakek Hermanto yang kini telah berubah.Jika dulu, setiap mereka mempunyai masalah dengan Aditama, pasti ia akan selalu berpihak pada mereka, tidak peduli mereka benar atau salah sekali pun. Tapi sekarang ... sudah tidak lagi! Mereka bertiga sengaja tidak memenuhi panggilan dari kepolisian karena Bastian sedang menunggu orang-orang suruhanya yang ia tugaskan untuk mencari bukti-bukti hubungan gelap antara Jauhar dengan Vania. Mereka sepenuhnya sadar dan tahu jika hal itu membuat para polisi nantinya akan mendatangi dan menjemput mereka secara paksa. Jika hal itu terjadi, maka, mereka akan malu. Oleh karena itu, Bastian menginginkan orang-orang suruhanya harus sudah menemukan bukti-bukti sebelum polisi menjemput secara paksa. Pada saat Bastian, Susan dan Mario fokus pada hal tersebut, mereka lupa sesuatu jika mereka telah membawa-bawa nama salah satu orang berpengaruh di kota Ferandia. Siapa lagi kalau bukan Jauhar—w
Sehari sebelumnya ... Aditama melihat dua orang tengah terduduk dengan keadaan tubuh terikat pada kursi selagi ia berjalan mendekat di sebuah gedung tak terpakai. Di kanan kirinya, dua laki-laki terlihat seperti sedang mengintrogasi dua orang itu. Mereka adalah tukang pukul Aditama. Menyadari kedatangan Tuan Mudanya, dua tukang pukul buru-buru menguasai diri untuk menyambutnya. Tiba di hadapan mereka, dua tukang pukul itu langsung menundukan badan masing-masing. Lalu, keduanya menegapkan tubuhnya lagi dan berkata. "Maafkan kami, Tuan. Kami belum berhasil membuat mereka berdua untuk buka mulut." Kata salah satu tukang pukul, menatap Aditama dengan perasaan bersalah bercampur takut seraya menunjuk-nunjuk dua orang yang dimaksud yang dibalas anggukan kepala oleh tukang pukul satunya. Aditama mengangkat tangan sambil mengangguk pelan, menandakan jika ia tidak mempermasalahkan hal itu.Seketika dua tukang pukul itu pun merasa lega. Pandangan Aditama lalu terfokus pada dua orang yang
Hermanto menjadi penasaran setelah melihat Bastian tampak begitu terkejut setelah mengecek sesuatu di tab milik Jauhar.Ia ingin bertanya mengapa putranya bersikap demikian, tapi akhirnya ia mengurungkan niat, memutuskan menunggu saja. Selagi Bastian terdiam shock, Jauhar angkat suara. "Dua orang itu ... adalah suruhan Anda, bukan, Pak Bastian? Yang Anda perintahkan untuk mengikuti saya dan Nona Vania?" Pertanyaan itu membuat Bastian tersadar. Sedangkan Hermanto mengerjap. Di saat ini, pria tua itu langsung teringat dengan perkataan Bastian tadi sewaktu di mobil yang mengatakan jika dia sedang mencari bukti. Kala memikirkan hal itu, Hermanto seketika memasang ekspresi wajah tak berdaya. Tentu saja mudah bagi Jauhar meringkus orang-orang suruhan Bastian tersebut.Di sisi lain, ia geram dengan apa yang dilakukan Bastian terhadap Jauhar dan Vania. Jauhar lanjut berkata. "Apa yang ingin Anda cari, Pak Bastian? Anda ingin mencari bukti-bukti jika saya dan Nona Vania memiliki hubungan