Share

Suamiku Seorang Diktator
Suamiku Seorang Diktator
Author: Dewi Anggorowati

BAB 1

"Saya terima nikah dan kawinnya Dilara Abraham binti Abraham Wahyudi dengan perhiasan emas seberat 88 gram dan uang sebesar 150 juta di bayar tunai." suara lantang Evan yang sedang berjabat tangan dengan Bapak, menjawab ikrar ijab kabul yang di saksikan oleh para saksi dan tamu.

"Sah?" tanya penghulu pada saksi kedua belah pihak. Dari pihak mempelai laki-laki dan pihak perempuan.

"Sah" jawab saksi-saksi tersebut.

Semua orang yang hadir pun bersuka cita mendengar kata "SAH" tersebut.

Termasuk Bapak, Beliau memperlihatkan senyuman damai di wajahnya. Beliau begitu bahagia bisa melihat anak gadis satu-satunya menikah di usia yang hampir memasuki 30 tahun.

Demi Bapak orang tua satu-satunya yang aku miliki, aku belajar ikhlas untuk menerima pinangan dari Evan.

Mulai hari ini statusku sudah berganti yang dulunya seorang wanita lajang, sekarang sudah berganti menjadi Nyonya. Yang dulunya orang sering memandang sebelah mata, kini mereka hormat. Ya, ini semua karna Evan. Harta dan kedudukan memang menyilaukan mata.

Miris bukan?

***

Acara resepsi berlangsung di sebuah hotel mewah di kota Jakarta yang telah di reservasi oleh keluarga Evan. Segala rangkaian acara telah berlangsung dan selesai malam ini. Lelah pun mulai melanda tubuhku, aku berpamitan kepada keluarga besar Evan dan keluargaku, untuk segera masuk ke dalam kamar hotel melepas lelah.

Sesampainya di kamar, aku rebahkan tubuhku di atas kasur empuk, aku pandangi langit-langit kamar yang sudah di hias begitu mewahnya. "Evan benar-benar membawa perubahan nyata pada kehidupanku. Apakah dia sudah bisa bersikap lebih baik lagi? Atau bahkan lebih buruk?" pikirku menerawang mengenang masa lalu.

Saat aku sedang bergemelut dengan pikiranku, tiba-tiba terdengar suara engsel pintu kamar hotel terbuka. Aku menolehkan kepala memandangi sosok lelaki yang telah menjadi suamiku.

Evan berjalan menghampiriku yang sudah berada di atas tempat tidur. "Kamu selalu cantik Dilara. Dari dulu sampai sekarang, kamu selalu mempesona." bisik Evan setelah merebahkan tubuhnya di samping kanan ku. Aku terperanjat mendengarkan suara sensual yang keluar dari mulut Evan.

Aku pun menoleh memandangi wajahnya, aku mengerutkan alis. "Apa maksudmu mempesona dari dulu, Mas?" dulu sewaktu kuliah, aku hanya memanggil namanya dengan sebutan Evan dan 'Bapak' sebagai atasanku di tempat kerja karna dia adalah direktur utama, sekarang dia sudah menjadi suamiku dan aku pun harus menyesuaikan panggilan menjadi 'Mas'.

Evan terkekeh. "Manis juga kamu panggil aku dengan sebutan kata 'Mas', Dilara." bukan menanggapi pertanyaanku, tapi Evan malah menanggapi panggilanku kepadanya. Aku yang mendengar itu pun melengos, aku alihkan pandanganku ke langit-langit kamar lagi.

Hening.

Aku enggan membahas sesuatu jika tidak Evan yang memulai. Aku memang seorang pendiam, tapi terkadang aku juga bisa menjadi orang yang cerewet jika aku berada di tempat dan teman yang menurutku 'nyaman'.

Evan pun mulai memecah kesunyian. "Sayang." panggilnya kepadaku, aku pun masih memandangi langit kamar enggan menatap wajahnya. "Sayang, apa kah kamu tidak ingin memberikan aku hak?" tanyanya, lalu hembusan napas keluar dari mulutnya.

Aku pandangi Evan, lalu aku bangun dari posisi tidurku. Aku dudukkan tubuhku. "Aku akan bersih-bersih dulu, Mas. Sebaiknya kamu juga harus membersihkan tubuhmu, Mas." ujarku, lalu aku pun mulai berjalan ke toilet, aku harus membersihkan wajahku dan berganti baju.

Aku adalah wanita yang hampir berusia 30 tahun, aku paham apa yang Evan katakan dan inginkan. Aku adalah orang yang open minded, dulu sewaktu aku di Luar Negeri aku sering menjumpai hal-hal semacam itu.

"Mau aku bantu?" tanyanya ketika melihat gaun yang aku pakai begitu 'ribet' untuk di lepas.

"Boleh!" jawabku memberikan ijin pada Evan untuk membantuku melepas gaun dan perintilan yang bersemayam di hijabku.

Evan pun memintaku untuk duduk di atas tatakan wastafel. Ia pun mulai beraksi tangannya begitu lincah melepas satu persatu jarum pentul dan mahkota yang berada di kepalaku.

"Kamu mau lepas hijabmu apa gaunmu dulu, Dilara?" tanyanya ketika semua perintilan sudah terlepas kini tinggal hijab dan gaun yang masih aku kenakan.

Aku pun turun dari wastafel membalikkan tubuh membelakangi Evan. "Tolong, turunkan resletingnya. Sisanya biar aku yang lepas." Evan pun manut dengan apa yang aku perintahkan. "Kamu bisa keluar dulu, Mas. Nanti kita gantian." seloroh Dilara begitu saja.

"Iya." jawab Evan enteng mulai meninggalkan toilet, memberikan ruang dan waktu untuk Dilara merilekskan diri.

Dilara mulai menghapus make upnya, ia basuh wajahnya dengan sabun, kemudian Dilara berendam di dalam bathup yang sudah terisi air dan wewangian aromatherapy.

***

Satu jam sudah Dilara berada di dalam kamar mandi. "Apa dia lupa dengan janjinya malam ini?" gerutu Evan dan mulai memutar engsel pintu kamar mandi. "Ternyata tidak di kunci." lega itulah yang dirasakan Evan.

Dilara lupa mengunci kamar mandi saat Evan keluar dari sana dan dia harus membereskan semua yang ada di badannya. Sungguh merepotkan.

"Dilara?" tanyanya begitu halus pada Dilara, ia tepukkan tangan kanannya ke pipi Dilara. "Bangun Dilara." ucapnya lagi membangunkan Dilara.

Dilara memang begitu kelelahan sebelum cuti untuk pernikahannya dia wara-wiri ke proyek yang sedang massa pembangunan dan harus menjemput keluarganya ke Jakarta untuk prosesi pernikahannya.

Mata yang terpejam itu, mulai membuka kelopak matanya. "Mas, apa yang kamu lakukan?" pekiknya setelah mata bulat itu terbuka memandangi Evan yang sudah duduk di pinggir bathup menggunakan bath robes.

"Apa kamu lupa, Dilara?" Evan mengingatkan Dilara ritual malam pasangan pengantin baru. Dilara yang di pandang Evan secara intens menunduk malu. Mereka dalam posisi yang awkward.

"Kamu segera bersihkan tubuhmu di bawah shower, Dilara. Aku sudah membersihkan tubuhku." ucapnya begitu saja berlalu meninggalkan Dilara.

Dilara menarik napas dan menghembuskan secara perlahan. Dilara pun bangkit dari bathup dan mengguyur tubuhnya di bawah shower sesuai dengan instruksi Evan. Setelah itu Dilara keluar menggunakan bath robes sama seperti Evan, dan bath towel terlilit di rambutnya.

Evan pun menghampiri Dilara untu duduk di depan cermin tolet yang ada di dalam kamar hotel. Tanpa banyak bantahan Dilara menuruti Evan. Evan mulai melepas bath towel dan mengeringkan rambut Dilara dengan hair dryer.

Terpesona itu lah yang sedang Evan rasakan. Primadona kampus yang lugu sekarang sudah berada di bawah kuasanya. Evan tersenyum smirk, yang bisa di lihat oleh Dilara. "Ada apa, Mas?" tanyanya memecah keheningan.

"Aku ingin hakku sekarang, Dilara." pintanya lagi. Sebelum Dilara menjawab Evan sudah menggendong tubuh Dilara, lalu dia rebahkan tubuh itu di atas kasur empuk. "Bagaimana, Dilara? Bukankah kamu sudah paham dengan rules pengantin baru?" ucapnya yang mampu membuat wajah Dilara merah padam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status