"Diammu, aku anggap sebagai persetujuan Dilara." ucap Evan. "Aku sudah menunggu seperti ini sejak kamu masuk ke dalam kehidupanku lagi, Dilara." lanjutnya lagi dengan suara tercekat.
Dilara diam sejenak menanggapi permintaan Evan, setengah hati mengiyakan, setengah hati ingin menolak. Tapi jika menolak pun itu hal mustahil bagi Dilara, mana mungkin bisa?Dilara pun pasrah. "Silahkan, lakukan apa yang kamu inginkan, Mas." Dilara pun akhirnya memberikan ijin pada Evan.Dilara tidak bisa mengelak dari permintaan Evan. Mereka sama-sama sudah dewasa usia juga sama, latar pendidikan, dan pengaruh pergaulan mereka membahas hal-hal seperti seks bukanlah hal tabu bagi mereka yang pernah hidup di negara 'bebas'.Meskipun mereka pernah hidup di negara bebas seperti itu, tapi pendidikan moral mereka tetap berpegang teguh sesuai ajaran yang telah mereka terima sejak kecil.***"Kamu bisa jalan, Dil?" ucapnya khawatir pada kondisi Dilara pagi ini yang berjalan terlihat aneh."Bisa, Mas. Aku bukan gadis kecil." seloroh Dilara begitu saja. "Ya, walaupun agak terasa aneh." Dilara menjelaskan dengan suara lirih lalu melanjutkan berjalan menuju kamar mandi.Evan tersenyum 'menang'. "Akhirnya aku mendapatkan Dilara juga!" sorak dalam hatinya. "Dilara, kamu seperti oase bagiku." gumamnya lagi, lalu beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi."Mas!" teriak Dilara terkejut melihat sang suami sudah menyusulnya."Kenapa kaget seperti itu, Dil?" tanya Evan heran melihat ekspresi suaminya. "Aku mau 'membantumu' mandi, Dil." ucap Evan yang sudah melepaskan baju dan ikut Dilara masuk ke dalam bathup.Dilara enggan berdebat karna permainan Evan yang semalam dia merasakan lelah disekujur tubuhnya. "Mas, aku lelah, jangan mulai." peringat Dilara ketika tangan Evan sudah bergerilya kemana-mana."Kamu bagai candu, Dilara." ucapnya mencoba merayu sang istri."Kenapa kamu menikahiku, Mas?" Dilara mencoba mengalihkan perhatian Evan dengan mempertanyakan niat Evan menikahinya."Karna kamu takdirku, Dil." ucap Evan pendek. "Seandainya kamu tahu, Dil. Aku tertarik padamu sudah dari awal pertama kali aku melihatmu. Wajah ayumu tidak bisa aku lupakan." gumam Evan dalam hati.Dilara yang mendengar jawaban Evan hanya diam dan menganggukkan kepala. Dilara alihkan pandangannya keluar jendela.Seusai ritual mandi 'bareng', mereka pun mencari sarapan di restoran hotel. Tanpa mereka tahu Gustav sang sahabat Evan sudah duduk di salah satu meja.Gustav yang melihat mereka sedang mencari tempat duduk pun melambaikan tangan. "Di sini." ucapnya dengan suara pelan tapi mimik bicara masih bisa terlihat jelas oleh Evan. "Pengantin baru, jam segini baru cari sarapan." godanya kepada Dilara dan Evan setelah mereka duduk dan memesan makanan.Evan tertawa mendengar godaan Gustav, tapi Dilara tersenyum malu-malu kucing. Ada semburat merah di pipinya. Gustav yang melihat reaksi Dilara pun segera dia alihkan pandangannya. Tidak mau melihat Dilara terlalu lama, itu akan menyakiti hatinya."Amara bagaimana kabarnya?" tanya Gustav setelah dia bisa mengendalikan diri dengan perasaannya."Tadi malam kalian tidak bertemu?" Evan yang menjawabnya, bukan Dilara."Tidak." jawabnya, memang tadi malam Gustav tidak mengikuti acara sampai selesai. "Aku di sini hanya beberapa hari lagi. Apa kalian tidak mau ikut denganku ke Aussie untuk berbulan madu di sana?" tawar Gustav kepada pasangan pengantin baru itu.Dilara hanya diam menikmati makanan yang sudah terhidang, mendengar keputusan apa yang akan Evan berikan."Kamu mau bulan madu kemana, Sayang?" ucapnya masih lembut.Gustav yang mendengar suara lembut dan panggilan 'sayang' yang disematkan oleh Evan merasakan ketidak nyamanan di indera pendengarannya."Terserah." jawab Dilara cuek masih menikmati makanan yang tersaji.Gustav yang mendengar jawaban Dilara lantas tersenyum tipis. "Ya, mereka memang menikah karna terpaksa." hibur Gustav dalam hati, seperti belum rela sang pujaan hati jatuh ke tangan Evan. Tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Jarak antara Indonesia dan Aussie tidak lah dekat.Saat Dilara sedang dalam kondisi berduka Gustav tidak bisa terbang ke Indonesia lebih tepatnya tempat tinggal Dilara. Gustav di sana sedang disibukkan dengan berbagai kegiatan perusahaan yang di pimpinnya.Kondisi seperti itu membuat Evan lebih maju darinya, dan sang pujaan hati jatuh kedalam pelukan Evan."Aku ke kamar mandi dulu." ucap Evan dan mereka yang di tinggalkan pun hanya menganggukkan kepala saja."Apa kamu bahagia, Dil?" tanya Gustav setelah kepergian Evan."Apa aku harus tidak bahagia?" ucap Dilara balik bertanya dan menatap mata Gustav yang kurang bersemangat."Dia sangat mencintaimu, Dil." helaan napas keluar dari mulut Gustav, yang harus mengakui kalo Evan sudah lebih baik dari ini. "Apa kamu nanti akan lanjut bekerja?" tanyanya lagi ingin tahu gambaran pernikahan Dilara dan Evan kedepannya."Iya, aku harus bekerja Gus. Aku tidak bisa berpangku tangan. Kamu bisa lihat sendiri kondisi keluargaku." ucap Dilara pelan lalu menundukkan kepala enggan membahas yang menurutnya hal sensitif pada siapapun."Maaf." katanya yang melihat Dilara menundukkan kepala. "Aku tidak bermaksud mengusik ketenanganmu, Dil." sesal Gustav atas pertanyaan yang dia ajukan pada Dilara."Kalian seru sekali ngobrolnya." seloroh Evan ketika melihat mereka mengobrol, dan saat Evan berjalan mendekati meja, mereka diam seribu bahasa."Biasa reuni. Kamu dulu juga pernah ke Belanda kan, Van?" Gustav mengalihkan pembicaraan yang kini terfokuskan hanya pada Evan."Dulu setelah lulus kuliah. Aku satu pesawat dengan Dilara." ucapnya menatap sang istri yang kembali menundukkan kepala. "Setelah itu aku langsung ke Korea." kenang Evan terkekeh tentang masa lalunya."Oh, iya, apa kalian pernah menjalin hubungan?" tanya Evan penasaran saat melihat keakraban Dilara dan Gustav."Kenapa memangnya?" Gustav balik bertanya kepada Evan. "Jika aku pernah menjalin hubungan dengan Dilara apa kalian akan bercerai?" tanya Gustav menantang pertanyaan Evan.Evan yang ditanya hanya mengedikkan bahu cuek, tetapi Dilara langsung membelalakkan matanya tidak habis pikir dengan apa yang di ucapkan Gustav."Kenapa kamu, Dil?" tegur Evan yang melihat Dilara sedikit aneh. "Kaget? Biasa saja kali." Evan mengibaskan tangannya di depan wajah Dilara.Sebenarnya dalam hatinya sudah ketar-ketir akan hal ini.Semenjak kepergian Gustav ke Aussie dan Dilara ke Belanda, Evan bisa menarik nafas lega. Tapi di pertengahan semester dia melihat unggahan story i*******m Gustav yang sedang berada di Kanal Amsterdam bersama Dilara.Saat itu pula Evan harus mendapatkan Dilara, hingga akhirnya Amara dijadikan umpan untuk menarik Dilara di perusahaannya."Aku tau kita dari awal bersaing untuk mendapatkan Dilara, Gus." gumam Evan dalam hati. "Tapi untuk kali ini aku tidak akan melepaskannya, Gus." batin Evan geram, jika dia tidak akan melepaskan Dilara barang sedikit pun."Mas, aku mau minta izin pergi ketemu dengan Amara," pesan sudah terkirim.Dilara menunggu dengan hati berdebar. Menantikan suaminya segera membalas pesannya. "Ya!" saat membaca pesan balasan dari Evan, Dilara dengan senang hati mempersiapkan dirinya dan Julia untuk segera pergi menemui Amara. ***Saat melihat Dilara memasuki ruangan restoran dengan kesusahan, Amara bangkit dari duduknya membantu Dilara membawakan tas diapers baby. "Tidak usah repot-repot, Ra," tolak Dilara halus. "Bantu saja gak masalah kok," balas Amara menandakan dirinya tidak keberatan membantu Dilara."Gimana acara bulan madunya?" tanya Dilara antusias. Amara menyunggingkan senyum sebelum menjawab. "Luar biasa, Dil," pekiknya bersemu merah. "Baguslah, kalau begitu, Ra. Aku ikut senang," sahut Dilara. "Ngomong-ngomong, kamu gak kerja lagi, Ra?" tanya Dilara penasaran. "Kerja, Dil. Ini masih cuti, Dil," jawab Amara me
"Ternyata kamu sangat menyukai permainan kasar seperti ini, Istriku," ejek Evan dengan seringaian di wajahnya. "Nanti bisa kita ulang lagi dengan yang lebih kasar dan menuntut," lagi ucapan Evan sangat merendahkannya. Dilara melengoskan wajahnya, enggan menatap wajah suaminya dan segera bangkit dari tidurnya. Dengan gerakan cepat, Dilara menyambar selimut, benda yang menutupi tubuh mereka selama bergemul tadi. Mereka? Bukankah hanya Evan saja yang bisa merasakan turn on sedangkan Dilara tertekan dibawah kungkungannya?Dengan gerakan cepat pula, tangan Evan menyambar selimut yang menutupi tubuh Dilara. Dilara terhuyung, dengan gerakan cepat, Evan menangkap tubuh itu sebelum jatuh ke lantai. "Kenapa buru-buru, Sayang? Bukankah tadi aku bilang mau mengulanginya lagi? Atau kamu mau permainan kita lanjutkan di sana?" lirik Evan pada pintu kamar mandi. Dilara menelan salivanya dengan susah payah. Dengan gerakan kaku dia gerakkan kepala meng
Evan yang menyadari ponsel Dilara tertinggal di rumah menjadi kalut. Bahkan meetingnya berjalan alot. Pikirannya bercabang. "Bagaimana, Pak Evan?" tanya Pak Rahardi saat pengajuan proposal yang sudah mereka bahas tadi. Evan mengerjapkan matanya, lamunannya buyar. "Oh, maaf, Pak," jawabnya canggung. "Bagaimana kalo saya pelajari dulu, Pak?" lanjutnya kikuk. Rahardi berdecak kecil, sudah capek-capek asistennya menerangkan tapi yang diterangkan malah melamun ."Baiklah, saya tunggu persetujuan anda nanti sore," balas Rahardian."Terima kasih, Pak," ucap Evan menyunggingkan senyum tipis. Sehari ini Evan uring-uringan sendiri, bahkan tadi sudah berniat membatalkan meetingnya tapi tidak bisa ia batalkan begitu saja. Selepas kepergian Rahardi, Evan mengendurkan dasinya dan membuka dua kancing kemejanya. Pikirannya melalang buana. Entah seberapa besar efek ponsel tersebut sehingga membuat dia kalang kabut.
"Aku tidak bisa bertindak gegabah, aku harus memikirkan nasib Dilara nantinya bagaimana. Aku lebih menyayangkan Dilara daripada Evan." Gustav masih bergelut dengan pikirannya sendiri di luar ballroom hotel tersebut. Sekembalinya Gustav dari luar, Gustav memindai ruangan yang banyak dihiasi lampu dan bunga-bunga sebagai dekorasi itu dengan seksama. Tapi objek yang dia cari tak ada lagi di ballroom. Gustav menghampiri Amara dan Ridho yang berada di atas kursi pelaminan. "Kamu tahu di mana mereka?" tanya Gustav dengan raut wajah gusar. "Mereka sudah pulang dari tadi," jawab Amara dan Ridho serempak. Mendengar jawaban itu pun, riak wajah Gustav menjadi pucat pasi. Ia jalan menuruni anak tangga panggung mempelai, dan mencari kursi kosong, ia hempaskan bokongnya di kursi kosong tersebut. Gustav menarik napas dalam dan mengeluarkannya secara teratur. Dadanya menjadi tidak tenang, berdebar tak karuan, gelisah membayangkan Dilara sekembalinya
"Tenang saja! Aman!" Amara seolah-olah mengikuti permintaan Evan, padahal ia tidak bisa melihat sahabatnya terpuruk seperti itu. ***Gustav berdiri di depan jendela, ia pandangi kota Melbourne. Ponsel yang tadi ia gunakan untuk berkomunikasi, ia genggam kuat-kuat. "Dilara," gumamnya tersenyum simpul.Pikiran Gustav mengangan-angan tentang awal mula dia bertemu dengan Dilara. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Gustav dari awal menyukai Dilara. Bahkan Evan pun.Perjumpaan pertama kali yang tidak disengaja saat di dekat ruang rektorat kampus kala itu. "Maaf, saya mau ke ruangan administrasi. Letaknya dimana ya, Mas?" Dilara yang saat itu kebingungan, mencari ruangan untuk mengurus beasiswanya. Gustav tak mengedipkan mata sedetik pun melihat gadis dihadapannya, gadis lugu dan polos membuat hatinya berdesir pada pandangan pertaman. "Mas? Bisa tunjukkan saya dimana letak ruangan administrasi?" ulang Dilara yang melih
"Dil, bangunlah!" ucap Evan menatap ruangan yang tertutup pintu kaca tersebut. Seolah hatinya terketuk, Evan memandangi pintu itu dengan pandangan nanar. Seminggu sudah Dilara terbaring di atas brankar rumah sakit tersebut. Entah mendengar suara Evan yang berada di luar atau mungkin alam bawah sadarnya, Dilara meneteskan air mata. Tangannya memberikan respon dengan gerakan lambat. Evan yang mengamati pergerakan jari-jari Dilara yang bergerak melambat tersebut, memanggil dokter. "Dokter! Dokter!" teriak Evan ke segala penjuru, "Dokter!" kali ini rombongan dokter dan perawat datang masuk ke dalam ruangan Dilara, memeriksa sudah ada kemajuan atau belum.Dilara sudah membaik dan sadar dari tidur panjangnya. Jatuhnya Dilara waktu itu mengakibatkan pendarahan. Beruntung Gustav segera menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit, sehingga janin yang ada di rahimnya selamat. ***Setelah bangun dari tidurnya, Dilara amati ruangan yang