Share

BAB 2

"Diammu, aku anggap sebagai persetujuan Dilara." ucap Evan. "Aku sudah menunggu seperti ini sejak kamu masuk ke dalam kehidupanku lagi, Dilara." lanjutnya lagi dengan suara tercekat.

Dilara diam sejenak menanggapi permintaan Evan, setengah hati mengiyakan, setengah hati ingin menolak. Tapi jika menolak pun itu hal mustahil bagi Dilara, mana mungkin bisa?

Dilara pun pasrah. "Silahkan, lakukan apa yang kamu inginkan, Mas." Dilara pun akhirnya memberikan ijin pada Evan.

Dilara tidak bisa mengelak dari permintaan Evan. Mereka sama-sama sudah dewasa usia juga sama, latar pendidikan, dan pengaruh pergaulan mereka membahas hal-hal seperti seks bukanlah hal tabu bagi mereka yang pernah hidup di negara 'bebas'.

Meskipun mereka pernah hidup di negara bebas seperti itu, tapi pendidikan moral mereka tetap berpegang teguh sesuai ajaran yang telah mereka terima sejak kecil.

***

"Kamu bisa jalan, Dil?" ucapnya khawatir pada kondisi Dilara pagi ini yang berjalan terlihat aneh.

"Bisa, Mas. Aku bukan gadis kecil." seloroh Dilara begitu saja. "Ya, walaupun agak terasa aneh." Dilara menjelaskan dengan suara lirih lalu melanjutkan berjalan menuju kamar mandi.

Evan tersenyum 'menang'. "Akhirnya aku mendapatkan Dilara juga!" sorak dalam hatinya. "Dilara, kamu seperti oase bagiku." gumamnya lagi, lalu beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.

"Mas!" teriak Dilara terkejut melihat sang suami sudah menyusulnya.

"Kenapa kaget seperti itu, Dil?" tanya Evan heran melihat ekspresi suaminya. "Aku mau 'membantumu' mandi, Dil." ucap Evan yang sudah melepaskan baju dan ikut Dilara masuk ke dalam bathup.

Dilara enggan berdebat karna permainan Evan yang semalam dia merasakan lelah disekujur tubuhnya. "Mas, aku lelah, jangan mulai." peringat Dilara ketika tangan Evan sudah bergerilya kemana-mana.

"Kamu bagai candu, Dilara." ucapnya mencoba merayu sang istri.

"Kenapa kamu menikahiku, Mas?" Dilara mencoba mengalihkan perhatian Evan dengan mempertanyakan niat Evan menikahinya.

"Karna kamu takdirku, Dil." ucap Evan pendek. "Seandainya kamu tahu, Dil. Aku tertarik padamu sudah dari awal pertama kali aku melihatmu. Wajah ayumu tidak bisa aku lupakan." gumam Evan dalam hati.

Dilara yang mendengar jawaban Evan hanya diam dan menganggukkan kepala. Dilara alihkan pandangannya keluar jendela.

Seusai ritual mandi 'bareng', mereka pun mencari sarapan di restoran hotel. Tanpa mereka tahu Gustav sang sahabat Evan sudah duduk di salah satu meja.

Gustav yang melihat mereka sedang mencari tempat duduk pun melambaikan tangan. "Di sini." ucapnya dengan suara pelan tapi mimik bicara masih bisa terlihat jelas oleh Evan. "Pengantin baru, jam segini baru cari sarapan." godanya kepada Dilara dan Evan setelah mereka duduk dan memesan makanan.

Evan tertawa mendengar godaan Gustav, tapi Dilara tersenyum malu-malu kucing. Ada semburat merah di pipinya. Gustav yang melihat reaksi Dilara pun segera dia alihkan pandangannya. Tidak mau melihat Dilara terlalu lama, itu akan menyakiti hatinya.

"Amara bagaimana kabarnya?" tanya Gustav setelah dia bisa mengendalikan diri dengan perasaannya.

"Tadi malam kalian tidak bertemu?" Evan yang menjawabnya, bukan Dilara.

"Tidak." jawabnya, memang tadi malam Gustav tidak mengikuti acara sampai selesai. "Aku di sini hanya beberapa hari lagi. Apa kalian tidak mau ikut denganku ke Aussie untuk berbulan madu di sana?" tawar Gustav kepada pasangan pengantin baru itu.

Dilara hanya diam menikmati makanan yang sudah terhidang, mendengar keputusan apa yang akan Evan berikan.

"Kamu mau bulan madu kemana, Sayang?" ucapnya masih lembut.

Gustav yang mendengar suara lembut dan panggilan 'sayang' yang disematkan oleh Evan merasakan ketidak nyamanan di indera pendengarannya.

"Terserah." jawab Dilara cuek masih menikmati makanan yang tersaji.

Gustav yang mendengar jawaban Dilara lantas tersenyum tipis. "Ya, mereka memang menikah karna terpaksa." hibur Gustav dalam hati, seperti belum rela sang pujaan hati jatuh ke tangan Evan. Tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Jarak antara Indonesia dan Aussie tidak lah dekat.

Saat Dilara sedang dalam kondisi berduka Gustav tidak bisa terbang ke Indonesia lebih tepatnya tempat tinggal Dilara. Gustav di sana sedang disibukkan dengan berbagai kegiatan perusahaan yang di pimpinnya.

Kondisi seperti itu membuat Evan lebih maju darinya, dan sang pujaan hati jatuh kedalam pelukan Evan.

"Aku ke kamar mandi dulu." ucap Evan dan mereka yang di tinggalkan pun hanya menganggukkan kepala saja.

"Apa kamu bahagia, Dil?" tanya Gustav setelah kepergian Evan.

"Apa aku harus tidak bahagia?" ucap Dilara balik bertanya dan menatap mata Gustav yang kurang bersemangat.

"Dia sangat mencintaimu, Dil." helaan napas keluar dari mulut Gustav, yang harus mengakui kalo Evan sudah lebih baik dari ini. "Apa kamu nanti akan lanjut bekerja?" tanyanya lagi ingin tahu gambaran pernikahan Dilara dan Evan kedepannya.

"Iya, aku harus bekerja Gus. Aku tidak bisa berpangku tangan. Kamu bisa lihat sendiri kondisi keluargaku." ucap Dilara pelan lalu menundukkan kepala enggan membahas yang menurutnya hal sensitif pada siapapun.

"Maaf." katanya yang melihat Dilara menundukkan kepala. "Aku tidak bermaksud mengusik ketenanganmu, Dil." sesal Gustav atas pertanyaan yang dia ajukan pada Dilara.

"Kalian seru sekali ngobrolnya." seloroh Evan ketika melihat mereka mengobrol, dan saat Evan berjalan mendekati meja, mereka diam seribu bahasa.

"Biasa reuni. Kamu dulu juga pernah ke Belanda kan, Van?" Gustav mengalihkan pembicaraan yang kini terfokuskan hanya pada Evan.

"Dulu setelah lulus kuliah. Aku satu pesawat dengan Dilara." ucapnya menatap sang istri yang kembali menundukkan kepala. "Setelah itu aku langsung ke Korea." kenang Evan terkekeh tentang masa lalunya.

"Oh, iya, apa kalian pernah menjalin hubungan?" tanya Evan penasaran saat melihat keakraban Dilara dan Gustav.

"Kenapa memangnya?" Gustav balik bertanya kepada Evan. "Jika aku pernah menjalin hubungan dengan Dilara apa kalian akan bercerai?" tanya Gustav menantang pertanyaan Evan.

Evan yang ditanya hanya mengedikkan bahu cuek, tetapi Dilara langsung membelalakkan matanya tidak habis pikir dengan apa yang di ucapkan Gustav.

"Kenapa kamu, Dil?" tegur Evan yang melihat Dilara sedikit aneh. "Kaget? Biasa saja kali." Evan mengibaskan tangannya di depan wajah Dilara.

Sebenarnya dalam hatinya sudah ketar-ketir akan hal ini.

Semenjak kepergian Gustav ke Aussie dan Dilara ke Belanda, Evan bisa menarik nafas lega. Tapi di pertengahan semester dia melihat unggahan story i*******m Gustav yang sedang berada di Kanal Amsterdam bersama Dilara.

Saat itu pula Evan harus mendapatkan Dilara, hingga akhirnya Amara dijadikan umpan untuk menarik Dilara di perusahaannya.

"Aku tau kita dari awal bersaing untuk mendapatkan Dilara, Gus." gumam Evan dalam hati. "Tapi untuk kali ini aku tidak akan melepaskannya, Gus." batin Evan geram, jika dia tidak akan melepaskan Dilara barang sedikit pun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status