"Kenapa memangnya?" tantang Gustav begitu saja. Dilara yang mendengar pun mendongakkan kepala menatap Gustav. Di mata Gustav terlihat jelas ada luka yang menganga. "Jangan cemburu, itu hanya cerita masa lalu." sengaja Gustav memprofokasi Evan yang sedang cemburu.
"Sebaiknya kita pergi saja." ucap Dilara enggan jika harus mengorek masa lalu mereka. Di korek pun tidak akan ada perubahan apa pun. "Kita juga harus check out kan?" Dilara mengingatkan Evan agar segera kembali ke kamar untuk berkemas pakaian dan pulang mengantarkan sang ayah."Kami duluan." Evan berpamitan dan merangkul Dilara secara posesif. Mereka pun berjalan menjauh dari tempat yang mereka duduki tadi.Gustav yang melihat itu melengos ada rasa tidak nyaman menghampiri dadanya, Gustav kalah langkah dari Evan. Seandainya dia bisa lebih dulu, hanya sesal yang kini bisa di lakukannya.***Saat mereka sedang berkemas, hp Dilara berbunyi menandakan ada pesan masuk. Melalui pop-up Dilara tau siapa si pengirim pesan.Anonymous ["Selamat berbahagia"]Dilara ["Kenapa kamu tidak menunjukkan dirimu?"]Anonymous ["Jika aku menunjukkan pun apa kamu akan berlari menghampiriku?"]Dilara ["Lupakan."]Dilara pun meletakkan hpnya kembali di atas kasur, Evan yang melihat wajah Dilara tertekuk mulai penasaran apa yang sedang dialami oleh istrinya itu."Kamu kenapa?" tanya Evan kali ini nada yang keluar dari bibirnya tidak seperti sebelum-sebelumnya."Kenapa?" Dilara mengulang pertanyaan Evan, dan Evan menganggukkan kepala. "Tidak apa-apa." jawab Dilara enggan jujur."Baiklah jika kamu tidak mau jujur aku akan mencari sendiri penyebab kamu seperti ini, Dil." gumam Evan dalam hati.Evan, Gustav dan Dilara mereka adalah mahasiswa satu angkatan di sebuah Universitas Negeri di ibukota. Dilara adalah gadis desa, polos, dan lugu. Berpakaian sangat 'kuno' tapi mampu menggetarkan hati siapapun yang melihatnya tak terkecuali Evan. Selama kuliah Evan bersikap kasar kepada Dilara, dan Gustav selalu menolong Dilara.Dan ketika Dilara mendapatkan beasiswa ke Belanda, Gustav pindah ke Aussie dan berkuliah di sana, Evan ke Korea kehidupan Dilara tidak terusik sama sekali. Karna fokus Dilara kala itu adalah belajar dan belajar."Kamu kenapa melamun seperti itu?" tanya Evan yang heran dengan sikap istrinya dari tadi hingga sekarang."Gak, apa-apa." ucapnya tersenyum tipis. Lalu mereka check out untuk pergi ke bandara mengantarkan sang bapak orang tua satu-satunya yang kini dimiliki oleh Dilara.Sang ibu meninggal sebelum pernikahannya, saat itu pula ketidak hadiran Dilara di kantor membuat Evan kelimpungan. Evan pun menyusul Dilara ke desa. Dan tanpa diduga Evan datang untuk melamarnya, demi orang tua satu-satunya Dilara menerima lamaran Evan."Bapak, Dilara antar sampai rumah ya?" pinta Dilara kepada sang ayah yang sudah berada di bandara meminta ijin untuk mengantarkan ayahnya pulang."Kamu di sini saja, Bapak bisa pulang sendiri. Kalian berbahagialah." ucap sang Bapak yang langsung membuat Dilara menangis. Dilara peluk tubuh ringkih itu dalam tangisan."Bapak, Dilara hanya ingin mengantar bapak? Kapan Dilara bisa berbakti, Pak?" tanya Dilara dalam tangisan.Evan yang melihat itu pun memberi keputusan jika mereka akan mengantar mertuanya pulang ke desa.Evan memilih untuk duduk sendiri dan mengijinkan Dilara bermanja dengan Bapaknya."Untuk kali aku akan mengalah, Dilara." gumam Evan dalam hati.***Sesampainya di desa Dilara disambut begitu meriah oleh tetangga yang dulu sering menggunjingnya.Dilara yang disanjung oleh tetangga-tetangganya tidaklah merasa tinggi. Dia tetaplah Dilara dengan segala kerendahan hati."Masuk dulu, Nak." Bapak Abraham mempersilahkan menantunya untuk masuk kedalam rumah setelah pintu di buka oleh Dilara."Iya, Pak. Terimakasih." ucap Evan sungkan dengan mertuanya yang sangat bersahaja."Kamu tidur dulu saja, Mas." ucap Dilara sewaktu membersihkan kamarnya dari debu. Lalu meninggalkan kamarnya yang telah ditiduri oleh Evan.Evan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur Dilara yang lumayan empuk itu. Sebagian uang beasiswa Dilara, ia sisihkan untuk menabung dan jika sudah cukup dia transfer ke orang tuanya. Menurut Dilara itu lah caranya berbakti kepada kedua orang tuanya."Kenapa kamu sekarang begitu berbeda, Dil?" gumam Evan lagi mengingat-ingat masa lalunya dan sekarang.Jika dulu dia 'kejam', maka sekarang Dilara yang lebih dingin. Dilara yang sekarang jarang tersenyum, tersenyum pun itu karna sebuah formalitas atau sebuah senyuman tipis saja.Hati wanita itu seperti beku. "Senyum?" gumamnya mengingat-ingat senyum Dilara. "Bahkan dia lebih dingin." ucapnya miris lagi.Dilara masuk ke dalam kamar membawakan teh hangat untuk Evan, saat meletakkan teh tersebut hp Dilara berbunyi pesan masuk lagi.Anonymous ["Maafkan aku"]Dilara ["Untuk?"]Anonymous ["Kelancanganku, mungkin?"]Dilara yang membaca pesan itu menerbitkan sebuah senyuman di wajah. Evan yang menyadari tingkah istrinya hanya mampu berspekulasi."Mungkin dia sedang dengan Amara." hibur Evan dalam hati. Mati-matian Evan memendam rasa penasaran. Tapi enggan untuk bertanya hanya mampu berspekulasi.Bukankah sebuah rumah tangga harus ada komunikasi? Apa lagi mereka menikah tidak berpacaran setelah lamaran langsung mengurus pernikahan, sangat singkat bukan?Evan yang tidak tahu latar belakang sang istri, dan Dilara sibuk dengan dunianya yang bisa membuat dia nyaman."Apakah ada makanan?" ucap Evan untuk mengalihkan perhatian Dilara dari hpnya."Oh iya, aku pesankan dulu." ucap Dilara manatap Evan dengan senyum tipis.Dilara mengetuk pintu kamar sang ayah tapi dari dalam tidak ada jawaban, Dilara pun berteriak dilanda panik. "Bapak, buka pintunya!" teriak Dilara dari luar.Evan yang mendengar suara Dilara pun bangkit dari tidurnya berlari menghampiri sang istri. "Kenapa?" tanyanya yang memutar engsel ternyata pintu terkunci dari dalam."Bapak, Mas, Bapak ada di dalam kamar aku takut kenapa-napa." ucap Dilara parau.Evan pun mendobrak kamar, pintu pun terbuka apa yang dikhawatirkan Dilara ternyata benar. Sang ayah sudah tertidur pulas. Dilara luruh begitu saja."Pak, Bapak ingin pulang apa karna begitu rindu dengan Mak?" tanya Dilara yang tidak ada siapapun yang menjawab. Evan merangkul sang istri dan tetangga datang berkerumun untuk melihat apa yang terjadi.Malam yang penuh kejutan bagi Dilara, hari kemarin adalah hari pernikahannya dan sekarang dia kehilangan orang tua satu-satunya.Air mata tak henti-hentinya keluar dari mata anak semata wayang dan sebatang kara itu.Setelah prosesi pemakaman sang ayah, Dilara termenung. "Apakah aku sudah menjadi anak berbakti? Kenapa Mak dan Bapak tega meninggalkan aku?" ucap Dilara yang mampu di dengar oleh Evan."Dil, bagaimana kalo besok kita kembali ke kota saja?""Mas, aku mau minta izin pergi ketemu dengan Amara," pesan sudah terkirim.Dilara menunggu dengan hati berdebar. Menantikan suaminya segera membalas pesannya. "Ya!" saat membaca pesan balasan dari Evan, Dilara dengan senang hati mempersiapkan dirinya dan Julia untuk segera pergi menemui Amara. ***Saat melihat Dilara memasuki ruangan restoran dengan kesusahan, Amara bangkit dari duduknya membantu Dilara membawakan tas diapers baby. "Tidak usah repot-repot, Ra," tolak Dilara halus. "Bantu saja gak masalah kok," balas Amara menandakan dirinya tidak keberatan membantu Dilara."Gimana acara bulan madunya?" tanya Dilara antusias. Amara menyunggingkan senyum sebelum menjawab. "Luar biasa, Dil," pekiknya bersemu merah. "Baguslah, kalau begitu, Ra. Aku ikut senang," sahut Dilara. "Ngomong-ngomong, kamu gak kerja lagi, Ra?" tanya Dilara penasaran. "Kerja, Dil. Ini masih cuti, Dil," jawab Amara me
"Ternyata kamu sangat menyukai permainan kasar seperti ini, Istriku," ejek Evan dengan seringaian di wajahnya. "Nanti bisa kita ulang lagi dengan yang lebih kasar dan menuntut," lagi ucapan Evan sangat merendahkannya. Dilara melengoskan wajahnya, enggan menatap wajah suaminya dan segera bangkit dari tidurnya. Dengan gerakan cepat, Dilara menyambar selimut, benda yang menutupi tubuh mereka selama bergemul tadi. Mereka? Bukankah hanya Evan saja yang bisa merasakan turn on sedangkan Dilara tertekan dibawah kungkungannya?Dengan gerakan cepat pula, tangan Evan menyambar selimut yang menutupi tubuh Dilara. Dilara terhuyung, dengan gerakan cepat, Evan menangkap tubuh itu sebelum jatuh ke lantai. "Kenapa buru-buru, Sayang? Bukankah tadi aku bilang mau mengulanginya lagi? Atau kamu mau permainan kita lanjutkan di sana?" lirik Evan pada pintu kamar mandi. Dilara menelan salivanya dengan susah payah. Dengan gerakan kaku dia gerakkan kepala meng
Evan yang menyadari ponsel Dilara tertinggal di rumah menjadi kalut. Bahkan meetingnya berjalan alot. Pikirannya bercabang. "Bagaimana, Pak Evan?" tanya Pak Rahardi saat pengajuan proposal yang sudah mereka bahas tadi. Evan mengerjapkan matanya, lamunannya buyar. "Oh, maaf, Pak," jawabnya canggung. "Bagaimana kalo saya pelajari dulu, Pak?" lanjutnya kikuk. Rahardi berdecak kecil, sudah capek-capek asistennya menerangkan tapi yang diterangkan malah melamun ."Baiklah, saya tunggu persetujuan anda nanti sore," balas Rahardian."Terima kasih, Pak," ucap Evan menyunggingkan senyum tipis. Sehari ini Evan uring-uringan sendiri, bahkan tadi sudah berniat membatalkan meetingnya tapi tidak bisa ia batalkan begitu saja. Selepas kepergian Rahardi, Evan mengendurkan dasinya dan membuka dua kancing kemejanya. Pikirannya melalang buana. Entah seberapa besar efek ponsel tersebut sehingga membuat dia kalang kabut.
"Aku tidak bisa bertindak gegabah, aku harus memikirkan nasib Dilara nantinya bagaimana. Aku lebih menyayangkan Dilara daripada Evan." Gustav masih bergelut dengan pikirannya sendiri di luar ballroom hotel tersebut. Sekembalinya Gustav dari luar, Gustav memindai ruangan yang banyak dihiasi lampu dan bunga-bunga sebagai dekorasi itu dengan seksama. Tapi objek yang dia cari tak ada lagi di ballroom. Gustav menghampiri Amara dan Ridho yang berada di atas kursi pelaminan. "Kamu tahu di mana mereka?" tanya Gustav dengan raut wajah gusar. "Mereka sudah pulang dari tadi," jawab Amara dan Ridho serempak. Mendengar jawaban itu pun, riak wajah Gustav menjadi pucat pasi. Ia jalan menuruni anak tangga panggung mempelai, dan mencari kursi kosong, ia hempaskan bokongnya di kursi kosong tersebut. Gustav menarik napas dalam dan mengeluarkannya secara teratur. Dadanya menjadi tidak tenang, berdebar tak karuan, gelisah membayangkan Dilara sekembalinya
"Tenang saja! Aman!" Amara seolah-olah mengikuti permintaan Evan, padahal ia tidak bisa melihat sahabatnya terpuruk seperti itu. ***Gustav berdiri di depan jendela, ia pandangi kota Melbourne. Ponsel yang tadi ia gunakan untuk berkomunikasi, ia genggam kuat-kuat. "Dilara," gumamnya tersenyum simpul.Pikiran Gustav mengangan-angan tentang awal mula dia bertemu dengan Dilara. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Gustav dari awal menyukai Dilara. Bahkan Evan pun.Perjumpaan pertama kali yang tidak disengaja saat di dekat ruang rektorat kampus kala itu. "Maaf, saya mau ke ruangan administrasi. Letaknya dimana ya, Mas?" Dilara yang saat itu kebingungan, mencari ruangan untuk mengurus beasiswanya. Gustav tak mengedipkan mata sedetik pun melihat gadis dihadapannya, gadis lugu dan polos membuat hatinya berdesir pada pandangan pertaman. "Mas? Bisa tunjukkan saya dimana letak ruangan administrasi?" ulang Dilara yang melih
"Dil, bangunlah!" ucap Evan menatap ruangan yang tertutup pintu kaca tersebut. Seolah hatinya terketuk, Evan memandangi pintu itu dengan pandangan nanar. Seminggu sudah Dilara terbaring di atas brankar rumah sakit tersebut. Entah mendengar suara Evan yang berada di luar atau mungkin alam bawah sadarnya, Dilara meneteskan air mata. Tangannya memberikan respon dengan gerakan lambat. Evan yang mengamati pergerakan jari-jari Dilara yang bergerak melambat tersebut, memanggil dokter. "Dokter! Dokter!" teriak Evan ke segala penjuru, "Dokter!" kali ini rombongan dokter dan perawat datang masuk ke dalam ruangan Dilara, memeriksa sudah ada kemajuan atau belum.Dilara sudah membaik dan sadar dari tidur panjangnya. Jatuhnya Dilara waktu itu mengakibatkan pendarahan. Beruntung Gustav segera menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit, sehingga janin yang ada di rahimnya selamat. ***Setelah bangun dari tidurnya, Dilara amati ruangan yang