Share

BAB 6

"Aku harus melakukan sesuatu." ucap Evan bangkit dari tempat tidur dan memakai pakaian yang tadi telah di lepasnya. Evan pun menyambar kunci mobil yang ada di atas meja nakas. "Semoga perkiraanku benar, kalo Dilara sedang hamil tak akan aku lepaskan barang secuil pun." ucap Evan yang sudah duduk di belakang kemudinya.

Jam sudah menunjukkan di angka 23.30 WIB, Evan pun bergegas mencari apotek 24 jam untuk membelikan tes peck pada sang istri.

"Mbak, ada tes peck?" tanyanya kepada salah satu penjaga apotek tersebut.

"Iya, ada, Pak. Bapak mau cari yang bagaimana?" tanya penjaga apotek sesopan mungkin.

"Yang paling bagus, Mbak." jelas Evan memilih tes peck yang seakurat mungkin untuk memastikan jika istrinya benar-benar sedang hamil.

"Ini, Pak." sang pegawai apotek menyodorkan tes peck dan Evan menyodorkan uang sebagai alat transaksi.

***

Sesampainya di rumah Evan sudah mendapati sang istri tertidur pulas. Dia menyunggingkan ujung bibirnya. "Aku masih on, kenapa kamu malah tertidur?" Evan pun merangkak naik ke atas tempat tidur.

Dilara yang merasa ada pergerakan pun mulai terbangun dari alam sadarnya. "Mas, aku capek." lirih Dilara ingin sekali Evan mengerti keadaannya, tapi Evan tidak mau tau kondisi sang istri.

Pasrah!

Evan pun mulai mencumbu Dilara yang sedang merasakan lemas dan lemah di badannya. Kali ini Dilara tidak berontak, dia sudah pasrah dengan kelakuan sang suami.

Evan memang orang yang egois dan keras kepala. Sifat yang sudah melekat pada dirinya sejak dulu, tentang manisnya pengantin baru itu adalah sebagai kamuflase saja.

Dia ingin Dilara tertarik dengannya dan membangun image yang berbeda. Ternyata Dilara pun bukan Dilara yang dulu, dia menjadi perempuan yang dingin bukan perempuan penakut seperti sembilan tahun yang lalu.

"Kamu memang selalu menggoda, Dil." ucap Evan setelah penyatuan mereka, dan berlalu begitu saja. Tanpa kalimat terimakasih atau kalimat manis yang keluar dari mulutnya.

"Dasar!" umpat Dilara lirih dan segera berlari ke kamar mandi yang sama dengan Evan.

Hoek!

Lagi-lagi Dilara muntah, Evan pun segera keluar kamar mandi. Enggan melihat Dilara yang sedang memuntahkan isi perutnya.

"Ini tes pecknya. Coba kamu tes dulu." ucap Evan memberikan tes peck dan kemudian berlalu menuju tempat tidurnya.

"Hemb." gumam Dilara menerima tes peck dari Evan dan membukanya. Dilara membaca cara penggunaan kemudian dia menuruti step by step yang sudah tertera di bungkusnya.

Lima menit sudah Dilara menunggu hasil tes peck tersebut dan dua garis sudah tertera di alat tes peck tersebut. Antara terharu dan gundah gulana, Dilara mengamati hasil tersebut.

"Bagaimana?" tanya Evan seantusias mungkin.

"Ini. Ada dua garis." jawab Dilara yang sudah menitikkan air mata. "Ya Allah, haruskah aku bahagia atau haruskah aku bersedi?" ucapnya dalam hati.

Evan yang mendapatkan hasil tes itu pun bersorak dalam hati. "Akhirnya kamu sudah berada di bawah kuasaku, Dil." ucapnya membatin.

"Kembalilah tidur, Dil." ucapnya kemudian menyingkap selimut dan membaringkan tubuhnya.

Dilara pun terpaksa harus menuruti suaminya yang tidur satu ranjang. Beruntung Evan tidak menggunakan parfum yang sering di gunakan, tapi aromanya masih samar-samar tercium oleh indera penciumannya.

***

"Mas, aku di rumah saja aku masih lemas." ucapnya lesu enggan pergi dari tempat tidurnya. Evan yang mendengar pun membalikkan badan, mengerutkan alis heran dengan istrinya yang biasa rajin sekarang menjadi malas. Bahkan untuk mandi pun Dilara tidak mau. Jika melihat air dan aroma sabun Dilara muntah.

"Temani aku sebentar saja." paksa Evan tidak mau sang istri hanya di rumah saja. "Hari ini aku ada meeting setelah itu kita pulang." putusnya lagi dan membuat Dilara sebal.

Dilara tidak bisa berdandan rapi seperti dulu. Bahkan dia hanya memakai daster saja, tidak mau memakai baju rapi dan wangi. Berdandan pun tidak dilakukannya.

"Aku malah menyukaimu yang seperti ini, Dil." gumam Evan dalam hati. "Aku tidak sanggup jika harus bersaing lagi untuk mendapatkanmu." pungkasnya dalam hati. "Cepat beres-beres, aku menunggumu di meja makan." seloroh Evan begitu saja dan berlalu meninggalkan Dilara.

Sedangkan di dalam kamar mandi Dilara merasa takut untuk menyentuh air dan aroma sabun yang menguar dari dalam botol. Buru-buru Dilara menuntaskan ritual mandinya, yang biasa 15 menit sekarang terpangkas menjadi 5 menit.

Dilara hari ini hanya mengenakan long dress berwarna hitam polos dan hijab daily berwarna mustard. Dan sepatu flat shoes berwarna cream. Tanpa polesan di wajah sedikit pun, terlihat natural dan pucat.

Evan yang melihat tampilan sang istri tersenyum tipis. Disela-sela sarapan mereka Evan memecah kesunyian. " Nanti kamu tunggu di kamar hotel saja. Aku sudah memesankan." Evan pun lanjut memakan toastnya diakhiri secangkir kopi.

Sedangkan Dilara hanya memakan buah-buahan dan susu dingin. "Iya, Mas. Tapi aku masih bisa kan melanjutkan pekerjaanku, Mas?" ijin Dilara kepada Evan tentang aktifitasnya jika di tinggal Evan sedang meeting.

"Tidak masalah. Asal jangan keluar dari kamar hotel." peringatnya lagi, Evan memperlakukan Dilara seperti anak kecil yang tidak boleh lari dari pengawasannya.

"Mas! Aku bukan anak kecil." sentak Dilara tidak terima dengan perlakuan suaminya.

"Sudah aku beri kebebasan untuk bekerja." pungkasnya kemudian berlalu dan disusul Dilara dari belakang.

Dilara hanya bisa pasrah. "Mana ponselmu?" pinta Evan menjulurkan tangan ketika Dilara sudah duduk di sampingnya.

"Buat apa, Mas?" elak Dilara tidak mau memberikan ponselnya.

"Kamu sedang hamil Dilara, aku hanya ingin kamu fokus pada kehamilanmu dan kerjaanmu." ucap Evan setenang mungkin.

"Mas, kamu kenapa aneh begini?" tanya Dilara mulai bergetar suaranya. Ya, Dilara sesensitif itu tidak hanya indra penciumannya tetapi juga perasaannya.

"Sudah mana, aku tidak ingin memaksa, Dilara?" ucap Evan penuh penekanan dan menatap manik mata Dilara itu.

Dilara dengan berat hati memberikan ponselnya kepada Evan, tidak ingin mempengeruh perasaannya. "Ini." ucapnya mengulurkan tangan kanan yang memegang ponsel.

Evan pun menerima dengan senang hati. "Kamu manis sekali, Dilara." ejeknya kemudian mencium pipi kanan Dilara. Dilara pun melengos enggan menanggapi suaminya yang over protektif tersebut.

Sesampainya di hotel yang menjadi pertemuan yang sudah di tentukan, ternyata kolega Evan adalah Gustav dan Ridho. Mereka telah memesan sebuah ruangan khusus di hotel tersebut untuk di jadikan tempat meeting.

Evan pun menghampiri mereka dan memegang pinggang Dilara secara posesif.

"Kenapa Dilara terlihat pucat?" tanya Ridho, yang dulu pernah menyukai Dilara secara diam-diam, dan Dilara juga menyukai secara diam-diam.

Karna perbedaan kasta yang berbeda Dilara mengubur cinta itu, dan memilih fokus pada pendidikannya. Pun dengan Ridho tak kalah fokusnya untuk berbakti kepada kedua orang tuanya.

Kini Ridho sudah mendapat gantinya yakni Amara. Menjalani pendidikan di tempat yang sama dan intesitas mereka bertemu benih-benih cinta pun bermekaran diantara mereka.

"Dilara sedang hamil." ucap Evan santai, tapi mampu membuat dua bujang di hadapannya terbelalak tidak percaya.

"Hamil?" kata mereka berbarengan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status