Share

BAB 6

last update Last Updated: 2023-02-09 17:33:16

"Aku harus melakukan sesuatu." ucap Evan bangkit dari tempat tidur dan memakai pakaian yang tadi telah di lepasnya. Evan pun menyambar kunci mobil yang ada di atas meja nakas. "Semoga perkiraanku benar, kalo Dilara sedang hamil tak akan aku lepaskan barang secuil pun." ucap Evan yang sudah duduk di belakang kemudinya.

Jam sudah menunjukkan di angka 23.30 WIB, Evan pun bergegas mencari apotek 24 jam untuk membelikan tes peck pada sang istri.

"Mbak, ada tes peck?" tanyanya kepada salah satu penjaga apotek tersebut.

"Iya, ada, Pak. Bapak mau cari yang bagaimana?" tanya penjaga apotek sesopan mungkin.

"Yang paling bagus, Mbak." jelas Evan memilih tes peck yang seakurat mungkin untuk memastikan jika istrinya benar-benar sedang hamil.

"Ini, Pak." sang pegawai apotek menyodorkan tes peck dan Evan menyodorkan uang sebagai alat transaksi.

***

Sesampainya di rumah Evan sudah mendapati sang istri tertidur pulas. Dia menyunggingkan ujung bibirnya. "Aku masih on, kenapa kamu malah tertidur?" Evan pun merangkak naik ke atas tempat tidur.

Dilara yang merasa ada pergerakan pun mulai terbangun dari alam sadarnya. "Mas, aku capek." lirih Dilara ingin sekali Evan mengerti keadaannya, tapi Evan tidak mau tau kondisi sang istri.

Pasrah!

Evan pun mulai mencumbu Dilara yang sedang merasakan lemas dan lemah di badannya. Kali ini Dilara tidak berontak, dia sudah pasrah dengan kelakuan sang suami.

Evan memang orang yang egois dan keras kepala. Sifat yang sudah melekat pada dirinya sejak dulu, tentang manisnya pengantin baru itu adalah sebagai kamuflase saja.

Dia ingin Dilara tertarik dengannya dan membangun image yang berbeda. Ternyata Dilara pun bukan Dilara yang dulu, dia menjadi perempuan yang dingin bukan perempuan penakut seperti sembilan tahun yang lalu.

"Kamu memang selalu menggoda, Dil." ucap Evan setelah penyatuan mereka, dan berlalu begitu saja. Tanpa kalimat terimakasih atau kalimat manis yang keluar dari mulutnya.

"Dasar!" umpat Dilara lirih dan segera berlari ke kamar mandi yang sama dengan Evan.

Hoek!

Lagi-lagi Dilara muntah, Evan pun segera keluar kamar mandi. Enggan melihat Dilara yang sedang memuntahkan isi perutnya.

"Ini tes pecknya. Coba kamu tes dulu." ucap Evan memberikan tes peck dan kemudian berlalu menuju tempat tidurnya.

"Hemb." gumam Dilara menerima tes peck dari Evan dan membukanya. Dilara membaca cara penggunaan kemudian dia menuruti step by step yang sudah tertera di bungkusnya.

Lima menit sudah Dilara menunggu hasil tes peck tersebut dan dua garis sudah tertera di alat tes peck tersebut. Antara terharu dan gundah gulana, Dilara mengamati hasil tersebut.

"Bagaimana?" tanya Evan seantusias mungkin.

"Ini. Ada dua garis." jawab Dilara yang sudah menitikkan air mata. "Ya Allah, haruskah aku bahagia atau haruskah aku bersedi?" ucapnya dalam hati.

Evan yang mendapatkan hasil tes itu pun bersorak dalam hati. "Akhirnya kamu sudah berada di bawah kuasaku, Dil." ucapnya membatin.

"Kembalilah tidur, Dil." ucapnya kemudian menyingkap selimut dan membaringkan tubuhnya.

Dilara pun terpaksa harus menuruti suaminya yang tidur satu ranjang. Beruntung Evan tidak menggunakan parfum yang sering di gunakan, tapi aromanya masih samar-samar tercium oleh indera penciumannya.

***

"Mas, aku di rumah saja aku masih lemas." ucapnya lesu enggan pergi dari tempat tidurnya. Evan yang mendengar pun membalikkan badan, mengerutkan alis heran dengan istrinya yang biasa rajin sekarang menjadi malas. Bahkan untuk mandi pun Dilara tidak mau. Jika melihat air dan aroma sabun Dilara muntah.

"Temani aku sebentar saja." paksa Evan tidak mau sang istri hanya di rumah saja. "Hari ini aku ada meeting setelah itu kita pulang." putusnya lagi dan membuat Dilara sebal.

Dilara tidak bisa berdandan rapi seperti dulu. Bahkan dia hanya memakai daster saja, tidak mau memakai baju rapi dan wangi. Berdandan pun tidak dilakukannya.

"Aku malah menyukaimu yang seperti ini, Dil." gumam Evan dalam hati. "Aku tidak sanggup jika harus bersaing lagi untuk mendapatkanmu." pungkasnya dalam hati. "Cepat beres-beres, aku menunggumu di meja makan." seloroh Evan begitu saja dan berlalu meninggalkan Dilara.

Sedangkan di dalam kamar mandi Dilara merasa takut untuk menyentuh air dan aroma sabun yang menguar dari dalam botol. Buru-buru Dilara menuntaskan ritual mandinya, yang biasa 15 menit sekarang terpangkas menjadi 5 menit.

Dilara hari ini hanya mengenakan long dress berwarna hitam polos dan hijab daily berwarna mustard. Dan sepatu flat shoes berwarna cream. Tanpa polesan di wajah sedikit pun, terlihat natural dan pucat.

Evan yang melihat tampilan sang istri tersenyum tipis. Disela-sela sarapan mereka Evan memecah kesunyian. " Nanti kamu tunggu di kamar hotel saja. Aku sudah memesankan." Evan pun lanjut memakan toastnya diakhiri secangkir kopi.

Sedangkan Dilara hanya memakan buah-buahan dan susu dingin. "Iya, Mas. Tapi aku masih bisa kan melanjutkan pekerjaanku, Mas?" ijin Dilara kepada Evan tentang aktifitasnya jika di tinggal Evan sedang meeting.

"Tidak masalah. Asal jangan keluar dari kamar hotel." peringatnya lagi, Evan memperlakukan Dilara seperti anak kecil yang tidak boleh lari dari pengawasannya.

"Mas! Aku bukan anak kecil." sentak Dilara tidak terima dengan perlakuan suaminya.

"Sudah aku beri kebebasan untuk bekerja." pungkasnya kemudian berlalu dan disusul Dilara dari belakang.

Dilara hanya bisa pasrah. "Mana ponselmu?" pinta Evan menjulurkan tangan ketika Dilara sudah duduk di sampingnya.

"Buat apa, Mas?" elak Dilara tidak mau memberikan ponselnya.

"Kamu sedang hamil Dilara, aku hanya ingin kamu fokus pada kehamilanmu dan kerjaanmu." ucap Evan setenang mungkin.

"Mas, kamu kenapa aneh begini?" tanya Dilara mulai bergetar suaranya. Ya, Dilara sesensitif itu tidak hanya indra penciumannya tetapi juga perasaannya.

"Sudah mana, aku tidak ingin memaksa, Dilara?" ucap Evan penuh penekanan dan menatap manik mata Dilara itu.

Dilara dengan berat hati memberikan ponselnya kepada Evan, tidak ingin mempengeruh perasaannya. "Ini." ucapnya mengulurkan tangan kanan yang memegang ponsel.

Evan pun menerima dengan senang hati. "Kamu manis sekali, Dilara." ejeknya kemudian mencium pipi kanan Dilara. Dilara pun melengos enggan menanggapi suaminya yang over protektif tersebut.

Sesampainya di hotel yang menjadi pertemuan yang sudah di tentukan, ternyata kolega Evan adalah Gustav dan Ridho. Mereka telah memesan sebuah ruangan khusus di hotel tersebut untuk di jadikan tempat meeting.

Evan pun menghampiri mereka dan memegang pinggang Dilara secara posesif.

"Kenapa Dilara terlihat pucat?" tanya Ridho, yang dulu pernah menyukai Dilara secara diam-diam, dan Dilara juga menyukai secara diam-diam.

Karna perbedaan kasta yang berbeda Dilara mengubur cinta itu, dan memilih fokus pada pendidikannya. Pun dengan Ridho tak kalah fokusnya untuk berbakti kepada kedua orang tuanya.

Kini Ridho sudah mendapat gantinya yakni Amara. Menjalani pendidikan di tempat yang sama dan intesitas mereka bertemu benih-benih cinta pun bermekaran diantara mereka.

"Dilara sedang hamil." ucap Evan santai, tapi mampu membuat dua bujang di hadapannya terbelalak tidak percaya.

"Hamil?" kata mereka berbarengan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 17

    "Mas, aku mau minta izin pergi ketemu dengan Amara," pesan sudah terkirim.Dilara menunggu dengan hati berdebar. Menantikan suaminya segera membalas pesannya. "Ya!" saat membaca pesan balasan dari Evan, Dilara dengan senang hati mempersiapkan dirinya dan Julia untuk segera pergi menemui Amara. ***Saat melihat Dilara memasuki ruangan restoran dengan kesusahan, Amara bangkit dari duduknya membantu Dilara membawakan tas diapers baby. "Tidak usah repot-repot, Ra," tolak Dilara halus. "Bantu saja gak masalah kok," balas Amara menandakan dirinya tidak keberatan membantu Dilara."Gimana acara bulan madunya?" tanya Dilara antusias. Amara menyunggingkan senyum sebelum menjawab. "Luar biasa, Dil," pekiknya bersemu merah. "Baguslah, kalau begitu, Ra. Aku ikut senang," sahut Dilara. "Ngomong-ngomong, kamu gak kerja lagi, Ra?" tanya Dilara penasaran. "Kerja, Dil. Ini masih cuti, Dil," jawab Amara me

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 16

    "Ternyata kamu sangat menyukai permainan kasar seperti ini, Istriku," ejek Evan dengan seringaian di wajahnya. "Nanti bisa kita ulang lagi dengan yang lebih kasar dan menuntut," lagi ucapan Evan sangat merendahkannya. Dilara melengoskan wajahnya, enggan menatap wajah suaminya dan segera bangkit dari tidurnya. Dengan gerakan cepat, Dilara menyambar selimut, benda yang menutupi tubuh mereka selama bergemul tadi. Mereka? Bukankah hanya Evan saja yang bisa merasakan turn on sedangkan Dilara tertekan dibawah kungkungannya?Dengan gerakan cepat pula, tangan Evan menyambar selimut yang menutupi tubuh Dilara. Dilara terhuyung, dengan gerakan cepat, Evan menangkap tubuh itu sebelum jatuh ke lantai. "Kenapa buru-buru, Sayang? Bukankah tadi aku bilang mau mengulanginya lagi? Atau kamu mau permainan kita lanjutkan di sana?" lirik Evan pada pintu kamar mandi. Dilara menelan salivanya dengan susah payah. Dengan gerakan kaku dia gerakkan kepala meng

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 15

    Evan yang menyadari ponsel Dilara tertinggal di rumah menjadi kalut. Bahkan meetingnya berjalan alot. Pikirannya bercabang. "Bagaimana, Pak Evan?" tanya Pak Rahardi saat pengajuan proposal yang sudah mereka bahas tadi. Evan mengerjapkan matanya, lamunannya buyar. "Oh, maaf, Pak," jawabnya canggung. "Bagaimana kalo saya pelajari dulu, Pak?" lanjutnya kikuk. Rahardi berdecak kecil, sudah capek-capek asistennya menerangkan tapi yang diterangkan malah melamun ."Baiklah, saya tunggu persetujuan anda nanti sore," balas Rahardian."Terima kasih, Pak," ucap Evan menyunggingkan senyum tipis. Sehari ini Evan uring-uringan sendiri, bahkan tadi sudah berniat membatalkan meetingnya tapi tidak bisa ia batalkan begitu saja. Selepas kepergian Rahardi, Evan mengendurkan dasinya dan membuka dua kancing kemejanya. Pikirannya melalang buana. Entah seberapa besar efek ponsel tersebut sehingga membuat dia kalang kabut.

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 14

    "Aku tidak bisa bertindak gegabah, aku harus memikirkan nasib Dilara nantinya bagaimana. Aku lebih menyayangkan Dilara daripada Evan." Gustav masih bergelut dengan pikirannya sendiri di luar ballroom hotel tersebut. Sekembalinya Gustav dari luar, Gustav memindai ruangan yang banyak dihiasi lampu dan bunga-bunga sebagai dekorasi itu dengan seksama. Tapi objek yang dia cari tak ada lagi di ballroom. Gustav menghampiri Amara dan Ridho yang berada di atas kursi pelaminan. "Kamu tahu di mana mereka?" tanya Gustav dengan raut wajah gusar. "Mereka sudah pulang dari tadi," jawab Amara dan Ridho serempak. Mendengar jawaban itu pun, riak wajah Gustav menjadi pucat pasi. Ia jalan menuruni anak tangga panggung mempelai, dan mencari kursi kosong, ia hempaskan bokongnya di kursi kosong tersebut. Gustav menarik napas dalam dan mengeluarkannya secara teratur. Dadanya menjadi tidak tenang, berdebar tak karuan, gelisah membayangkan Dilara sekembalinya

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 13

    "Tenang saja! Aman!" Amara seolah-olah mengikuti permintaan Evan, padahal ia tidak bisa melihat sahabatnya terpuruk seperti itu. ***Gustav berdiri di depan jendela, ia pandangi kota Melbourne. Ponsel yang tadi ia gunakan untuk berkomunikasi, ia genggam kuat-kuat. "Dilara," gumamnya tersenyum simpul.Pikiran Gustav mengangan-angan tentang awal mula dia bertemu dengan Dilara. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Gustav dari awal menyukai Dilara. Bahkan Evan pun.Perjumpaan pertama kali yang tidak disengaja saat di dekat ruang rektorat kampus kala itu. "Maaf, saya mau ke ruangan administrasi. Letaknya dimana ya, Mas?" Dilara yang saat itu kebingungan, mencari ruangan untuk mengurus beasiswanya. Gustav tak mengedipkan mata sedetik pun melihat gadis dihadapannya, gadis lugu dan polos membuat hatinya berdesir pada pandangan pertaman. "Mas? Bisa tunjukkan saya dimana letak ruangan administrasi?" ulang Dilara yang melih

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 12

    "Dil, bangunlah!" ucap Evan menatap ruangan yang tertutup pintu kaca tersebut. Seolah hatinya terketuk, Evan memandangi pintu itu dengan pandangan nanar. Seminggu sudah Dilara terbaring di atas brankar rumah sakit tersebut. Entah mendengar suara Evan yang berada di luar atau mungkin alam bawah sadarnya, Dilara meneteskan air mata. Tangannya memberikan respon dengan gerakan lambat. Evan yang mengamati pergerakan jari-jari Dilara yang bergerak melambat tersebut, memanggil dokter. "Dokter! Dokter!" teriak Evan ke segala penjuru, "Dokter!" kali ini rombongan dokter dan perawat datang masuk ke dalam ruangan Dilara, memeriksa sudah ada kemajuan atau belum.Dilara sudah membaik dan sadar dari tidur panjangnya. Jatuhnya Dilara waktu itu mengakibatkan pendarahan. Beruntung Gustav segera menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit, sehingga janin yang ada di rahimnya selamat. ***Setelah bangun dari tidurnya, Dilara amati ruangan yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status