Share

BAB 5

"Apa ada yang menelpon, Mas?" tanya Dilara yang keluar dari kamar mandi, kaget melihat Evan sedang memegang hpnya. Tapi Dilara harus bersikap santai, seolah-olah tidak ada apa-apa. Memang benar tidak ada apa-apa selain pesan penting dan dari Anonymous.

Tentang Anonymous apa mungkin Dilara mendapat pesan dari dia?

Evan pun menunjukkan layar ponsel yang dia pegang pada Dilara. "Ada pesan masuk." katanya dan dia berlalu begitu saja meninggalkan Dilara.

"Oh. Iya, Mas." ucap Dilara buru-buru membuka hpnya. Senyum tipis terbit begitu saja setelah membaca pesan tersebut.

Dari awal Dilara sudah nyaman dengan 'Anonymous', karna dia lah yang sering memberikan perhatian kecil kepada Dilara sewaktu masa kuliah di Jakarta. Hanya saja dia selalu menyamarkan diri.

Setiap Dilara menanyakan dia siapa dan keberadaannya dia selalu mengelak tidak ingin diketahui oleh siapa pun. Pernah dulu ketika Dilara mencoba mencari tahu siapa dia lewat mahasiswa IT tapi IP nya tidak terdeteksi, dan ketika Dilara memblokir nomor tersebut dia datang lagi dengan nomor yang hampir sama.

"Ayo, kita keluar aku sudah lapar." ajak Evan saat melihat Dilara masih memegang hpnya.

"Iya, Mas." jawab Dilara dan langsung berganti pakaian dan mengoleskan cream pada wajahnya.

***

Dalam perjalanan pun tidak ada yang berbicara. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

Tiba-tiba saja Dilara meminta Evan menepikan mobilnya. "Mas, tolong tepikan mobilnya. Perutku tidak enak." Dilara pun turun dari mobil setelah mobil Evan menepi di tepian jalan raya. "Hoek! Hoek!" Dilara memutahkan apa yang dia makan seharian ini.

Evan yang melihat Dilara muntah pun bertanya dari dalam mobil. "Kamu masuk angin?" tanyanya sedikit heran dengan istrinya yang tadi biasa-biasa saja sekarang tiba-tiba muntah.

"Gak tau, Mas." ucap Dilara lemas. Evan pun turun dari mobil setelah Dilara membersihkan sisa muntahan yang ada di bibirnya.

Saat Evan mendekat lagi-lagi Dilara muntah, kali ini tidak ada yang keluar dari muntahannya. Ya, mereka anak satu-satunya tidak punya sanak saudara yang dekat, dan mereka adalah orang yang sibuk belajar dan berkarir. Mana tau istilah morning sickness setelah berhubungan badan?

"Kamu kenapa? Kok aneh begitu?" Evan memicingkan mata saat melihat Dilara yang menjauh saat didekatinya.

"Mas, aroma parfummu gak enak." jawab Dilara memelas saat Evan memandanginya dengan tatapan kurang suka.

Evan yang mendengar jawaban Dilara pun mengendus-enduskan hidungnya di area baju dan pergelangan tangan bagian dalam. "Biasa saja. Ayo cepat, Dil, kalo semua sudah beres aku tunggu di dalam mobil." ucap Evan berlalu begitu saja.

Dilara yang masih lemas mau tidak mau berjalan mengikuti arah suaminya menuju mobil mereka. Ketika Dilara membuka pintu belakang Evan pun memicingkan mata melihat aksi istrinya tersebut.

"Pindah depan, Dil, aku bukan sopirmu." ucapnya tidak mau mendengar bantahan oleh sang istri.

"Mas, aku gak suka sama aroma-aroma wewangian ini." ucapnya nanar memandangi sang suami. Belum sempat pindah tempat pun Dilara kembali menutup pintu.

Evan berdecak sebal melihat Dilara yang terus-terusan muntah. "Apa aku tinggal saja dia di sini dulu?" gumam Evan lalu menstater mobilnya dan berlalu.

Dilara yang di tinggal pun mulai overthinking. "Kemana dia?" gumamnya lalu duduk bersandar pada kursi yang tersedia di pinggir jalan itu.

"Kapan ya aku terakhir menstruasi?" tanya Dilara dalam hati. "Apa aku ini hamil, dan ini adalah morning sickness? Kenapa semenyakitkan ini?" gumam Dilara lagi yang sudah menitikkan air mata sedih dan terharu.

Saat Dilara mendongakkan kepala tiba-tiba saja Evan datang dan melemparkan sebuah plastik di pangkuannya. Dilara pun membuka isi plastik tersebut ternyata isinya masker, minyak kayu putih, dan obat-obatan masuk angin lainnya.

Evan adalah laki-laki kaku mana tau dia tentang hal yang berhubungan tentang 'wanita'?

"Minum obat itu dan olesi tubuhmu dengan minyak setelah itu kita pulang." putusnya kemudian berlalu meninggalkan Dilara begitu saja.

"Iya." jawab Dilara malas.

Sesampainya di dalam mobil Dilara mencoba duduk di depan dan menggunakan masker. Tapi itu tidak berefek apa pun. Hidungnya saat ini terlalu sensitif.

"Mas, bisa berhenti lagi?" pintanya kepada sang suami.

"Kamu ada apa? Kenapa kamu aneh begitu?" tidak mengindahkan permintaan sang istri Evan malah menginjak gas supaya lebih cepat pulang ke rumah.

"Mas, kenapa kamu begini?" Dilara menahan tangis merasakan sakit perut dan perlakuan Evan yang berbanding terbalik dari beberapa minggu yang lalu.

"Kenapa? Apa kamu lupa kalo aku memang seperti ini dari dulu, Dil?" ucapnya dingin menghunus ulu hati Dilara.

Dilara pun diam enggan berdebat lebih lama lagi. Jika berdebat pun dia malah merasakan sakit menahan rasa mualnya. Dilara mencoba memejamkan mata dan menghirup minyak gosok yang dibelikan oleh Evan.

Sesampainya di rumah yang berdesain futuristik itu, Dilara langsung berlari ke dalam kamar mandi dekat dapur, ia muntahkan lagi yang ada di dalam perutnya. Badan Dilara sudah lemas dan terduduk di depan closet.

Hati Evan melihat Dilara yang terus muntah pun sedikit luruh. "Aku bantu." ucapnya, kemudian di gendong Dilara dalam dekapannya.

"Mas, aku ingin tidur sendiri." pinta Dilara setelah membersihkan dirinya dan berganti pakaian.

"Tidak bisa. Aku akan tetap tidur di sini." Evan kekeh pada pendiriannya. Dilara menelan salivanya, dia tidak nyaman tidur bersama Evan. "Apakah di sini ada tespek, Mas?" tanya Dilara mengobrak-abrik isi plastik yang tadi diberikan Evan.

"Memangnya kenapa cari-cari tespek?" tanyanya malas dan langsung menarik Dilara ke dalam pelukannya. Dilara pun meronta ingin dilepaskan dari pelukan Evan.

"Mas, kamu ganti baju.." belum usai Dilara berkata perutnya sudah mual lagi.

"Kenapa dia cari tespek? Apa dia hamil?" senyum Evan terbit begitu saja.

Evan pun bisa mengatur Dilara sesuka hatinya termasuk alat komunikasi. Ya, Evan akan menyita alat komunikasi Dilara. Evan cemburu dengan isi pesan di hp istrinya tersebut.

Jika hp Dilara bisa berada di tangannya, dia akan meminta bantuan pada tim IT untuk membuka sandi hp Dilara tersebut. Senyum smirk muncul di ujung bibirnya.

"Dil, besok aku ada rapat ke Bandung. Aku ingin kamu menemaniku." ucapnya kemudian berlalu ke kamar mandi.

"Iya, Mas." Dilara enggan menjawab pertanyaan Evan, hanya iya dan tidak. Jika pun yang keluar kalimat panjang bisa di pastikan Dilara yang memulai obrolan, atau mereka dalam lingkup ruang kerja yang mengharuskan Dilara 'cerewet'.

Malam ini suasana ibukota mendukung mereka untuk tidur terlelap, namun bagi Evan malam ini dia akan 'mengeksplore' sang istri.

Dilara pun terbangun melihat Evan yang sudah berada di atas tibuhnya. "Mas, aku masih lemas." ucap Dilara mengiba.

"Kamu hanya tidur saja." ucap Evan tanpa mau di tolak.

Sedangkan Dilara sudah merasakan mual di perutnya, ingin bangkit pun Dilara sudah tidak mampu. Evan sudah menindihnya memutahkan pun tidak mungkin di tempat tidur. Karna tidak bisa menahan akhirnya Dilara memberontak dan berlari ke kamar mandi.

"Ya Tuhan, kenapa aku seperti ini?" gumam Dilara saat membersihkan tubuhnya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status