Share

Belum Ada Jawaban

"Pokoknya ada deh, Dek! Yang penting bukan menjadi pencuri atau pembunuh. Dan, dengan pekerjaan yang kumiliki saat ini, kupastikan bulan depan kita pasti akan bisa membeli mobil!"

Bukannya menjawab pertanyaanku tadi, Mas Saleh malah makin membuatku penasaran dengan pekerjaan sampingannya itu.

"Beli mobil, Mas? Mobil mainan buat Kevin?" tanyaku yang memang lah masih sangat bingung.

"Kok mobil untuk Kevin sih, Dek? Itu kan mobil mainan ... hahaha kamu itu kok lucu sih. Ya mobil beneran dong, Dek. Seperti milik Mas Mamat itu loh." Mas Saleh coba menjelaskan.

Mulutku kembali melongo, meski sebenarnya dalam otakku ini muncul banyak sekali pertanyaan. Mas Mamat adalah satu-satunya kakak kandung, saat ini dia telah menjadi seorang kontraktor dan tinggal di pulau seberang.

"Kamu sedang nggak habis minum-minuman kan, Mas?" tanyaku lagi.

"Ampun deh, ya nggak dong, Dek. Kamu ini kok ya ada-ada aja sih? Kamu pikir suamimu ini sedang mabuk? Aku ini lagi dalam keadaan sadar banget loh!"

Mas Saleh saat ini malah langsung mencubit pipiku, dengan gemasnya. Tapi dengan cepat kupindahkan tangannya itu, karena kali ini aku sedang tidak bercanda.

"Sekarang sebaiknya kamu jujur deh Mas sama aku! Aku akan apa pekerjaan sampinganmu itu? Hingga dalam waktu satu minggu saja kamu punya banyak uang, dan pake mau beli mobil segala!" ucapku dengan wajah serius.

Sesungguhnya aku sejak kemarin sudah ingin menanyakan hal ini pada Mas Saleh, tetapi karena belum ada kesempatan akhirnya hal itu selalu urung kulakukan. Karena setiap pulang lembur, suamiku pasti langsung tidur. Begitu pun denganku yang Sudah mengantuk. Dan, ketika pagi hari dia pun langsung pergi setelah memberiku uang.

"Gini, Dek. Yang pasti pekerjaan ini bukanlah hal yang buruk, dan kamu rasanya tak perlu tahu apa pekerjaanku ini. Satu saja yang harus kamu tahu, aku melakukan semua ini hanya demi kamu dan Kevin. Itu saja, Dek. Kamu cukup doain saja, semoga kerjaanku ini lancar."

Mas Saleh terus-terusan saja mengelak ketika aku bertanya, padahal sebelum-sebelumnya dia itu selalu jujur dalam segala hal padaku.

"Jangan pernah khawatir, aku ini pasti selalu mendoakan setiap langkahmu, Mas. Hanya saja saat ini aku ingin tahu apa jenis pekerjaanmu? Tinggal ngomong aja apa susahnya sih?" ucapku mulai kesal.

"Ya ampun, Dek---"

Ketika Mas Saleh sepertinya mau menjawab pertanyaanku. Tiba-tiba saja terdengar suara Kevin menangis dari arah kamar.

"Eh itu suara Kevin loh, Dek!"

Kami pun tentu saja langsung masuk ke kamar, karena biasanya jika menangis Kevin pasti minta dibuatkan susu. Aku pun langsung membuatkan putraku itu sebotol susu.

"Cup-cup-cup ini susunya, Sayang. Nggak boleh nangis lagi ya," ucapku sambil memberikan sebotol susu itu dan mencium kening Kevin.

Seperti biasanya sambil susu, putraku itu pasti selalu minta dikelonin. Jika tak begitu, pasti dia tak akan bisa kembali tidur.

"Mas kamu jangan tidur dulu ya. Masih ada yang ingin ku bicarakan sama kamu," ucapku pada Mas Saleh yang saat ini sedang berbaring di belakangku.

Namun ternyata perkataanku itu, tak mendapatkan sahutan.

"Mas ... jangan tidur dulu loh!" ucapku lagi tapi dengan suara yang lebih lirih, agar si Kevin pun lekas tertidur.

Namun lagi-lagi Mas Saleh tak menyahut, sengaja kusikut suamiku itu. Namun nyatanya tetap tak ada sahutan. Mungkin saat ini suamiku itu sudah benar-benar tidur.

"Kamu tidur beneran, Mas?!"

Kembali coba kuajak bicara suamiku itu, sambil terus kusikut. Tapi nyatanya dia tetap tak bersuara. Ya sudahlah, aku tak mungkin juga akan membangunkan dia. Karena sudah bisa dipastikan dia pasti sangat capek setelah bekerja dari pagi.

Berarti malam ini aku kembali tak dapat jawaban, atas semua rasa penasaranku sejak seminggu ini. Karena lagi-lagi Mas Saleh tidur lebih dulu.

Apa mungkin aku ini yang kebangetan ya? Hingga terus mempertanyakan hal itu pada Mas Saleh? Sedangkan dia sudah selalu bekerja keras demi menghidupi kami.

Sebagai seorang istri kita memang harus mendukung setiap langkah suaminya. Namun ketika hal itu dirasa ada yang janggal, maka sudah menjadi tugas seorang istri untuk mengingatkan.

Ketika Kevin telah tidur, aku pun langsung pelan-pelan bangun, karena mata ini benar-benar yak bisa untuk terpejam. Terus dan terus saja memikirkan, apa pekerjaan baru suamiku itu?

Kupandangi wajah Mas Saleh ketika dia tengah terlelap seperti ini. Wajah yang teduh dan sangat sabar, masih saja sama dengan ketika malam pertama kami menikah dulu. Hanya saja memang saat ini dia lebih sedikit tertutup padaku.

Flash back On

"Mega, maukah kamu menjadi istriku? Insyaallah aku janji akan selalu membahagiakan kamu!"

Menatap wajah Mas Saleh yang sedang tidur itu, membuatku teringat ketika tiga tahun yang lalu dia melamarku.

"Tentu, Mas. Bismillah!" jawabku dengan amat bahagia, karena memang hal ini lah yang telah kutunggu, sejak tiga bulan berpacaran.

"Alhamdulillah, ya Allah. Terima kasih ya, Dek Mega. Aku janji dengan sekuat tenaga akan selalu menjagamu, dan membuatmu tak akan menyesal karena telah menerima pinanganku."

Sebuah cincin kecil disematkan Mas Saleh pada hari manisku. Sungguh, meski ini amat sederhana tapi rasanya ssngat berkesan sekali.

"Amiiin ... insyaallah tak akan ada rasa penyesalan itu salam hatiku, Mas. Dalam keadaan apa pun, aku akan tetap selalu ada di sampingku," jawabku sambil tersenyum.

"Terima kasih sekali lagi ya, Dek. Pasti aku nanti akan selalu setia dan tak pernah mengecewakanmu," ucap Mas Saleh dengan sungguh-sungguh.

"Tapi kamu harus janji padaku ya, kami akan selalu jujur padaku, Mas. Apa pun itu alasanya, aku tak suka dengan pembohong. Jadi, sepahit apa pun keadaanya nanti, wajib kita saling berterus-terang. Bisa?" tanyaku lagi memastikan.

"Tentu, Dek. Aku janji tak akan menyembunyikan apa pun darimu."

Flash back Off

Tiba-tiba ponsel yang ada di atas nakas pun bergetar, tanda jika ada sebuah pesan masuk. Aku pun dengan hati-hati turun dan segera mengambil benda pipih milikku itu.

'Semoga saja ini adalah pesanan tambahan yang akan masuk lagi. Lumayan bisa dikirim sekalian besok,' pikirku senang.

Layar ponsel yang sudah retak pojok atasnya itu, segera saja kubuka. Namun ada rasa sedikit kecewa, karena itu bukan chat orderan dari pelanggan. Namun dari Mbak Desi, istri dari Mas Mamat.

[Mega, kapan kamu bayar utang kamu? Ini udah mau empat bulan loh! Bukanya kemarin pas pinjam katanya hanya dua bulan saja? Bisa dipercaya nggak sih?! Dasar adik ipar kurang ajar!]

Ya Allah ... rasanya mata ini sakit membaca pesan dari kakak iparku itu. Tetapi bagaimana lagi, toh aku memang punya hutang padanya.

[Kenapa cuma dibaca aja? Ada niat bayar nggak? Jangan pikir itu uang nenek moyangnya ya! Ayo cepat bayar, saat ini si Saleh kan sudah kerja! Jangan cuma mau enaknya saja!]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status