"Ingat Amira, kamu sudah punya suami jangan terpesona," ledek Rasmi.
"Siapa yang terpesona, wong aku cuma bilang cakep kan memang kenyataan," semburku lalu terdiam. Walaupun aku sudah punya suami dan anak, bila bertemu sohib lama seperti inilah. Kembali sikapnya ke dulu lagi, manja, merajuk bahkan sering usil seperti saat berlari tadi. Rasmi menyuruhku duduk di sofa sementara dia ke belakang mengambil minum. Aku memperhatikan sekeliling ruangan dalam. Sudah banyak yang berubah, aneka barang antik dan pecah belah tersusun rapi di lemari kaca yang besar. Sahabatku masa SMA ini boleh dibilang orang berada. Rumahnya tambah besar dan tingkat, di depan tadi juga ada mobil dan motor di garasi. Walaupun Rasmi golongan orang kaya tapi dia tidak malu berteman denganku yang hidup sederhana. Terbayang saat sekolah dulu, kami kerap belajar bersama dan mengerjakan PR di rumahnya. Mamanya Rasmi juga baik dan lembut orangnya. Beliau suka menyediakan makanan bila aku datang. Terkadang membawakanku panganan bila akan pulang, alasannya titip untuk ibuku. Sering aku tidak enak hati selalu menerima kebaikan keluarga Rasmi. Pandanganku berhenti pada meja di depan. Di situlah kami dulu mengerjakan ulangan sekolah. Sampai suatu hari seorang lelaki yang dikenalkan Rasmi sebagai sepupunya, membantu kami belajar saat ada soal yang sulit. Masa itu kami masih culun, lugu dan juga akrab. Tidak ada perasaan yang istimewa, karena Rasmi sahabatku maka aku menghormati Mas Kevin sebagai sepupu Rasmi. Sekarang sudah tujuh tahun berlalu tak disangka Mas Kevin banyak berubah seperti tadi. Bahkan aku sampai tidak mengenalnya, hanya keusilannya saja yang tidak pudar. Suka menjitak dahi Rasmi. Aku pun tersenyum mengingat kembali masa lalu itu. "Ngapa senyum-senyum sendiri, kumat ya! Gawat, jangan-jangan kamu masih kena pesona Mas Kevin ini!" sindir Rasmi begitu datang dari dapur. "Hust, jangan keras-keras ntar dia dengar. Aku bisa malu lagi," tegurku menempel jari di bibir. Rasmi jadi cekikan lalu meletakkan minuman dan cemilan di atas meja. "Diminum, Amira!" tawarnya. "Makasih, rumah kok sepi, Ras. Di mana Tante dan Om?" tanyaku celingukan. "Orang tuaku lagi ke kampung menghadiri undangan kerabat. Jadi, cuma aku dan Mas Kevin di rumah," jawabnya sambil mengambil cemilan dan mengunyahnya. Aku tiru seperti yang Rasmi lakukan. "Oh iya, bagaimana kabar ibu dan bapak?" tanya Rasmi balik. "Alhamdulillah, mereka sehat Ras! Mainlah ke rumah, sekarang aku di rumah orang tuaku," jawabku. "Berapa lama? Biar aku bisa mampir setelah mengabarimu." "Mungkin selamanya, Ras! Soalnya aku nggak akan balik ke rumah suamiku lagi. Aku sudah diceraikan," ujarku menghela napas. "Uhuk, kena why?" tanya Rasmi tersedak karena kaget. Kembali aku menceritakan nasib rumah tanggaku pada Rasmi. Hingga kelakuan mertua dan juga perkara jatuh talak itu. "Begitulah, Ras! Aku ingin terlepas dari Mas Doni tapi dia berbelit-belit terus. Jadi, aku ingin membawa kasus ini ke pengadilan biar cepat selesai." "Ya Allah, aku nggak sangka Amira. Aku pikir kamu baik-baik aja, kamu yang sabar ya. Kalo ada yang perlu aku bantu katakan aja!" ucap Rasmi memberi dukungan. "Sebenarnya ini hari aku ingin membeli ponsel baru dan mencari pengacara, Ras! Menurutmu berapa bayar jasa pengacara itu?" tanyaku. "Soal pengacara kamu nggak usah pusing, Mas Kevin bisa membantumu menyelesaikan perkara ini," ungkap Rasmi tersenyum. "Mas Kevin?" tanyaku tak percaya. "Iya, sekarang dia sudah jadi pengacara handal. Tunggu, aku bilang dulu padanya ya. Sebentar!" kata Rasmi gegas naik ke lantai atas. Tidak lama aku melihat Rasmi turun dengan sepupunya. Aku menunduk karena masih malu dengan kejadian tadi. Sofa di sebelahku bergoyang dan Rasmi sudah duduk lalu menepuk bahuku. "Itu tanya aja sama Mas Kevin," ucap Rasmi melirik sepupunya yang duduk berseberangan. "Mas sudah dengar dari Rasmi tadi, benar kamu butuh pengacara?" tanya Mas Kevin langsung pada intinya. Aku mengangguk. "Benar, apa Mas bisa membantuku?" tanyaku sedikit gugup. Bagaimana aku tidak gugup, berbicara dengan lelaki yang dulu akrab tapi terpisah untuk waktu yang lama membuatku canggung. Seperti orang asing yang memulai kembali perkenalan. "Bisa, insya Allah! Kebetulan sekali Mas lagi nggak sibuk dengan kasus orang lain. Kita bahas di rumah kamu aja sekalian minta ijin bibi dan paman," jawab Mas Kevin yang terbiasa memanggil orang tuaku dengan sebutan itu. Setelah ditentukan waktunya, Mas Kevin pamit ingin membuat segala persiapan untuk membantuku. Sedangkan aku meminta Rasmi menemani ke toko ponsel. Dengan senang hati dia memboncengku dengan motornya. *** Tiba di rumah pukul dua siang, dengan menenteng paperbag yang dibeli Rasmi untuk anakku. Awalnya aku menolak tapi Rasmi bersikeras. "Ambil Amira, aku nggak bisa ngasih apa-apa selama ini. Titip salam untuk ibu dan bapak ya!" Rumah terlihat sepi begitu aku masuk ke dalam rumah setelah mengucap salam. Namun, tiada balasan. Membuka pintu kamar juga tidak ada ibu dan Nia, kemana mereka? "Bu!" panggilku mencari tiap sudut rumah tapi nihil. Baru saja akan balik ke depan, nampak ibu memasuki pekarangan sambil menggendong Nia. Aku menghembus napas lega, kemudian menyongsong dua wanita terkasihku. "Kamu sudah pulang, Nduk?" tanya ibu kaget melihatku sudah di teras. Aku mengangguk kemudian mengambil alih Nia dan membawanya masuk. Setelah kami duduk aku menyerahkan sebuah paperbag pada ibu. "Dari Rasmi, Bu!" "Oh, jadi kamu ke rumah Nak Rasmi tadi. Bilang terima kasih padanya ya!" sahut ibu senang. Matanya berbinar kala mengecek isinya. "Ibu masih ingat dengan Rasmi?" "Tentu masih, Nduk! Orang baik susah dilupakan," jawab ibu senyum. "Nia sudah makan, Bu? Dari mana tadi keluar?" tanyaku. "Nia udah makan, oh itu tadi ada penggeberekan di rumah ujung sana." "Ada apa memangnya, Bu?" "Katanya ketangkap basah berbuat mesum, parahnya menantu dengan mertuanya," jawab ibu bergidik. "Innalillah!""Amira, sudah siap?" tanya ibu begitu nongol di balik pintu. "Sudah, Bu!" jawabku lalu mengambil tas kecil berisi surat-surat penting. Keluar kamar sudah ramai keluarga berkumpul termasuk uwak. Hari ini adalah hari pernikahan keduaku dengan Mas Kevin. Sebuah mobil pajero sport sudah bertengger manis depan rumah siap menjemputku sekeluarga. Di belakang mobil juga terparkir bus besar yang akan membawa rombongan ibu-ibu perwiridan. Setelah mengunci pintu, kami menuju mobil. Bus juga telah penuh orang-orang, sehingga suasana menjadi ramai riuh. Semua orang senang dengan pernikahanku kali ini. "Gusti Allah, cantik sekali kamu Amira!" puji Budhe Rasmi melihatku yang akan naik mobil. Aku hanya mengenakan kebaya putih untuk ijab qabul. Mas Kevin bilang tidak usah repot membawa baju karena di Vila sudah tersedia baju pengantinnya. "Alhamdulillah, Budhe!" jawabku tersenyum manis. "Ayo berangkat, Amira!" teriak mereka dari belakang dengan semangat. Aku mengacungkan jempol lalu naik ke mo
Usai acara lamaran dan menyantuni anak yatim, beberapa tetangga masih betah mengumpul di rumahku. Mas Kevin dan keluarga sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Ibu dan uwak kembali sibuk di dapur membereskan sisa masakan. Sebagian akan dibawa pulang uwak untuk anak-anaknya. "Amira, duduk sini bentar!" panggil Budhe Rasmi yang sedang mengobrol dengan ibu-ibu di teras rumah. Aku yang saat itu baru keluar kamar mengganti kebaya dengan daster pun mendekat. "Ada apa, Budhe?" "Mereka ini masih penasaran sama calon suami kamu." "Penasaran apa, ibu-ibu?" tanyaku tersenyum lalu duduk di samping Budhe Rasmi. "Benar dia pengacara?" Seorang ibu mulai bertanya. "Lah, sampeyan ini gimana sih, Jeng? Itu di undangan jelas ditulis kok," sembur Budhe Rasmi sambil membuka lembaran kertas lalu ditunjukkan pada ibu tadi. "Sampeyan kok sewot sih, Jeng Rasmi. Saya kan tanya sama Amira langsung," ucapnya manyun. Aku hanya menggeleng melihat mereka bersitegang. Walaupun Budhe Rasmi membelaku terk
Sesuai rencana dua minggu sebelum hari H pernikahan, Mas Kevin dan seluruh keluarga akan datang melamar secara resmi. Itu berarti esok hari, jadi hari ini aku buka warung hingga sore saja. "Budhe besok ke rumah, ya? Bantu-bantu ibu masak." Tetanggaku yang bertubuh gendut menoleh ke arahku. Dahinya berkerut seperti menunjukkan penasaran. Bahkan, tangan yang akan meraih sayuran terhenti."Ada acara apa, Amira?""Mas Kevin dan keluarga mau datang melamar," jawabku tersenyum. "Cieee, yang lagi bahagia akhirnya lepas dari status janda!" sindir Bu Ratna tetap seperti kebiasaannya. Kali ini aku tidak marah dan malas menanggapinya, hanya tidak ingin merusak momen bahagia. "Kenapa Jeng Ratna seperti nggak senang? Apa karena calon suami Amira orang kaya? Nggak seperti yang Jeng Ratna harapkan gitu," sungut Budhe Rasmi agak kesal. "Iya, alhamdulillah Bu Ratna. Biar nggak ada lagi yang julid ngomongin statusku," sambungku menohok. Bu Ratna terdiam lalu memilih belanjaannya. Budhe Rasmi hanya
"Insya Allah, Bu! Sekarang boleh kan Kevin manggil ibu dan bapak?" tanyanya menatap kami satu persatu. Mendengar itu bapak dan ibu kaget, tak kecuali aku. Tidak menyangka Mas Kevin mau merubah panggilan pada orang tuaku sebelum kami menikah. "Boleh Cah bagus, bibi eh ibu senang sekali. Kesannya lebih akrab, ya kan Pak!" sahut ibu menyenggol bapak yang masih bengong. "Eh iya, boleh boleh boleh!" seru bapak menirukan tokoh kartun di televisi itu. Sontak kami tertawa melihat reaksi bapak yang lucu. Mas Kevin menatapku lalu aku acungkan jempol. Dia tersenyum kikuk juga, mungkin merasa orang tuaku tidak akan suka tapi malah membuat mereka senang. "Sudah azan Maghrib, mari kita sholat dulu!" ujar bapak bangkit dan bersiap-siap. "Mau jamaah di rumah apa Mesjid, Pak?" tanya ibu. "Laki-laki sholat wajib di Mesjid, Bu! Sampeyan di rumah aja sama Amira. Sekalian bapak mau ngenali calon mantu kita ini sama warga," jawab bapak bangga. "Yuk, Nak Kevin!" ajak bapak setelah sarungan dan mema
"Jeng Rasmi jangan asal nuduh ya! Mana buktinya kalo suamiku itu suami orang?" tantang Bu Ratna berkacak pinggang. Sepertinya bau-bau keributan akan segera terbit ini. "Sudah-sudah, jangan ribut di sini!" pekik ibu melerai. Budhe Rasmi terdiam dan Bu Ratna mendengkus. Aku bergeming melihat mereka ribut dan acuh sambil merapikan dagangan yang berserak sisa belanja ibu-ibu. "Saya minta kalo Jeng Ratna nggak belanja jangan buat onar. Dari kemarin sampeyan selalu memfitnah Amira. Apa salah anakku pada sampeyan?" tegas ibu bertanya dengan berani. Ya, semakin didiamkan Bu Ratna semakin melunjak. Entah apa maksudnya selalu memojokku. Kalo memang ada dendam lama kenapa aku yang selalu jadi sasaran. "Siapa yang memfitnah, itu kenyataan!" sahutnya masih ngeyel. "Kalo kenyataan, tunjukkan buktinya Bu! Kalo nggak terbukti, ibu bisa saya laporkan atas tuduhan pencemaran nama baik." Kali ini aku yang angkat bicara. Wajah Bu Ratna berubah pias, dia pasti takut karena memang tidak ada bukti. "
"Ayah? Ibu nggak lihat, sayang! Mana ayah?" tanyaku pura-pura celingukan. Sengaja aku seperti itu agar Nia merasa salah lihat. "Tadi di citu!" tunjuknya cemberut. Aku menatap Mas Kevin agar mau membujuk Nia lagi. Lelaki itu menyuruhku sabar dan tersenyum. Untuk mengalihkan perhatian anakku, setelah turun dari komedi putar Mas Kevin mengajak kami membeli es krim. Nia kembali ceria dan bersorak. Dia memang demen sekali es krim, bila di rumah ada kang es lewat pasti sibuk manggil dan lari mengejar. "Makannya pelan-pelan, mulutnya penuh es gini," ucapku cekikan sembari mengambil tisu dan mengelap mulut Nia. "Tadi benar ada Doni, Nduk? Ibu dengar Nia manggil ayahnya," tanya ibu lirih. "Iya, Bu! Tapi nggak lama menghilang seperti nggak mau ketemu Nia. Lagian Mas Doni nggak sendiri, ada anak kecil dan perempuan bersamanya," jawabku terbayang kembali. "Siapa perempuan itu?" "Amira nggak tau, Bu! Bukan si Winda yang kemarin. Mungkin pacarnya yang baru," ujarku mengedikkan bahu. Apa kab