Helen tak terima di katakan dirinya penculik. Dia sontak melihat Farel seolah-olah minta penjelasan dari Farel. Namun, belum lagi Helen menjelaskan Arina menjerit."Mas ... Caca Mas!" jerit Arina membuat semua orang yang sedang menghakimi Helen diam dan beralih melihat Caca."Caca, kamu kenapa Nak," tanya Farel panik."Sudah ayo kita bawa ke rumah sakit,"pinta Pak RT.Arina langsung berlari masuk ke dalam mobil dan membawa Caca yang masih kejang-kejang karena demamnya yang tinggi.Farel langsung membawa mobilnya dengan lumayan kencang agar cepat sampai di rumah sakit terdekat. Perasaan bersalah pun menyelimuti hati Farel karena keegoisannya yang menyebabkan Caca sakit."Sabar ya Sayang, kamu harus kuat ya Sayang," ucap Arina sambil memeluk tubuh mungil Caca."Ini semua karena Papa. Coba kalau Papa tidak membawa kami ke rumah Tante Helen pasti Caca tidak sakit," ucap Arumi dengan kesalnya. Arumi adalah anak yang paling cerewet di antara anak-anak Arina lainnya.Arina melirik Farel, per
"Benar Pak, dia yang mengurung anak Saya. Silahkan jika ingin di proses," ucap Farel lemas. Sebenarnya dia tidak tega mengatakan seperti itu. Namun, untuk menjaga hubungannya dengan istri dan anaknya dia harus tega.[Sayang, maafkan Aku. Kamu sebentar saja Mama akan urus kamu setelah ini] pesan Farel pada notif hijau.Helen belum sempat membaca apa yang telah di kirim oleh Farel. Wajahnya penuh emosi dan amarah. "Awas kamu Mas!" hardik Helen dalam hati.Setelah kepergian Helen, Farel segera menghubungi Mamanya agar segera membantu menyelesaikan masalahnya. Sudah pasti sang Mama dengan sangat senang hati membantu Helen. Bahkan dia tidak menanyakan apalagi melihat bagaimana keadaan Caca. Setelah selesai urusan Helen Farel harus kembali ke rumah sakit. Dia tidak lagi mau dikatakan seorang Papa yang jahat oleh anak-anaknya. Farel membawakan makan siang buat Arina dan ke tiga anaknya, tetapi sampai di sana, Farel di suguhi pemandangan yang selama ini tidak dia lihat.Dengan sangat asyiknya
Setelah kepulangan Caca dari rumah sakit, suasana rumah menjadi sangat jauh berbeda. Tidak ada lagi gurauan di dalam rumah mereka semua larut dalam pikiran masing-masing. Arina sama sekali tidak ingin berbicara dengan Farel. Begitu juga dengan anak-anaknya. Sedangkan Farel, Bingung harus berbuat apa. Farel hanya bisa berbicara dengan Caca dan bermain dengan Caca. Sedangkan anak yang lainnya mereka merasa takut dengan Farel. Walaupun Farel sudah berulang kali meminta maaf. Namun, tetap saja tidak mempengaruhi perasaan mereka. Malam itu Arina sengaja menidurkan anak-anak dengan cepat, rasa sesak di dadanya rasanya sudah tidak bisa di bendung lagi. ingin sekali dia meluapkannya saat ini juga kepada Farel. "Apa maksud kamu berbuat seperti ini??" tanya Arina dengan sangat cetus."Aku gak ada maksud apa-apa Sayang," jawab Farel dengan lembut. "Kalau kamu tidak ada niat yang buruk kenapa kamu bawa anak-anak kabur hah? Inilah hasil dari perbuatan kamu! Apa kamu suka melihat Caca seperti
Hari ini Arina merasa cukup lelah karena surat gugatannya di tolak oleh pengadilan. Dia kesal dan geram melihat tingkah Farel yang menggagalkan semua usahanya. Dia tidak mungkin pulang dengan pemikiran yang cukup kalut, akhirnya Arina memilih duduk di sebuah kafe untuk menghilangkan rasa penat di hatinya. Arina menghubungi orang yang mengurus surat perceraiannya. Namun, beliau mengatakan bahwa bukti yang dia miliki tidaklah kuat. Farel lebih cerdik dalam hal ini, membuat Arina semangkin frustasi mendengarnya.Tidak jauh dari tempat di mana Arina duduk ternyata Rangga juga berada di sana. Rangga tanpa sengaja mendengarkan apa yang di bicarakan oleh Arina, dengan senyum yang mengembang Rangga segera menemui Arina."Hai, boleh saya duduk di sini!" pinta Rangga.Arina yang sudah beberapa kali bertemu dengannya, dia segera membalas senyuman Rangga walau dengan terpaksa."Hai, silahkan," jawab Arina."Maaf tadi saya tidak sengaja mendengarkan percakapan kamu. Kalau boleh saya akan membantu
"Assalamu'alaikum Ma." Arina langsung masuk tanpa ada jawaban dari dalam rumah mertuanya. "Arina, kamu ngapain malam-malam datang ke sini?" tanya sinis Resti yang memang selama Arina menjadi menantunya dia tidak menyukainya."Ma, Mas Farel ada di sini? Aku coba hubungi dia gak bisa," jawab Arina dengan nada lembut. "Hei, kenapa kamu tanya Farel sama Mama ya jelaslah Mama gak tahu dan kalau pun tahu gak akan Mama kasih tahu Kamu," hardik Resti."Mama tak baik begitu." Papa Farel menyenggol lengan Resti. Namun, Resti mengabaikan teguran dari suaminya."Ma, Aku mohon tolong kasih tahu di mana Mas Farel, apa Mama gak kasihan dengan mereka? Terutama Caca Ma, dia sedang sakit dari tadi hanya mencari Mas Farel," ucap Arina sambil menggendong Caca sedangkan anak-anak lainnya masih berdiri di depan pintu. Lalu dia Dia duduk karena merasa tubuhnya sudah penat karena dari pagi Caca sudah demam, sehingga membuat dia rewel dan terus memanggil nama papanya. Arina pun harus menggendongnya terus aga
Sampai di rumah Hellen Farel buru-buru masuk. Dia merasa bersalah kepada Hellen. Suasana rumah sangat hening entah kemana semua anak-anak Hellen. Farel segera mencari keberadaan Hellen. “Cinta maafkan Aku, Aku tidak akan mengulanginya lagi,” ucap Farel sambil memeluk erat tubuh Hellen dari belakang yang sedang ada di depan meja riasnya. “Sudahlah Mas, Aku muak dengan hidup kita seperti ini. Sekarang Mas pilih Aku atau Dia?” tanya Helen dengan nada sedihnya.“Cinta, jelas Aku pilih kamu. Oke, malam ini Aku akan menemani kamu, Aku janji.” Farel semangkin mengeratkan pelukannya. "Bagaimana dengan kaki Kamu Cin?" tanya Farel sangat cemas."masih sakit Mas, ini masih Aku perban," jawab bohong Helen. Helen sengaja berbohong agar Farel lebih lama bersama dirinya.Farel merasa sangat bersalah atas perbuatan yang dilakukan oleh Arina. Dengan sedikit terpaksa Farel akhirnya memutuskan untuk menemani Helen. Walaupun, bingung harus berbuat apa. Farel juga masih memikirkan rumah tangganya. Dia ti
Dengan perasaan sedih, kecewa dan tidak tahu lagi bagaimana suasana hatinya saat ini. Arina tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Selama ini Farel adalah sosok suami idaman yang selalu menjadi kebanggaan olehnya. Arina sama sekali tidak berpikir sedikit pun jika rumah tangganya harus berakhir seperti ini. Buliran bening yang selama ini jarang sekali muncul kini tanpa diperintah dia mengalir dengan begitu derasnya.*****Sampai di rumah Arina membersihkan dirinya dia membersihkan sisa-sisa buliran bening yang masih saja mengalir. Arina berdiri di depan kaca dan memandangi dirinya sendiri. Sulit bagi Arina untuk menjawab apa kekurangannya sehingga Farel bisa jatuh ke pelukan iparnya. "Kenapa kamu tega Mas? Apa salahku? Apa kurangnya Aku Mas? Apakah Aku tidak cantik lagi? Tega Kamu Mas!" Arina berkata pada dirinya sendiri sambil menangis kembali.Pukul sudah menunjukkan jam 23.00 WIB Arina belum juga menjemput anak-anaknya. Sehingga membuat Elin menjadi resah memikirkan Arina yang dia
Arina memantapkan hatinya, untuk segera mengakhiri hubungan rumah tangganya. Semua dokumen sudah diajukan olehnya. Dia tidak lagi memikirkan Farel, walaupun dia harus memikirkan bagaimana cara untuk berbicara kepada anak-anaknya.****Farel bingung harus berbuat apa, pikirannya sedang kacau sehingga masuk kerja pun dia bingung harus berbuat apa. Semua kertas di depannya hanya dia pandangi sama sekali tidak dia sentuh. Padahal hari ini ada meeting penting di perusahaannya.Hellen yang baru datang langsung masuk ke ruangan Farel. Dia membawa bekal sarapan buat Farel. Dia tahu bahwa Farel tadi pagi pasti tidak sarapan karena suasana rumah tangga Farel sedang di ujung tanduk."Mas, ni Aku bawain sarapan buat Kamu." Hellen meletakkan bekal di atas meja Farel. Namun, sedikit pun tidak direspon oleh Farel."Mas!" panggil Hellen karena Farel seolah-olah tidak melihat dirinya."Eh, Kamu kapan datang?" tanya Farel heran."Kamu kenapa si Mas? Perasaan tadi pagi Kamu baik-baik saja. Apa kamu saki