Apa Aku Tak Menarik Lagi?
Bab 1: Suamiku Lupa Pulang
“Mbok, Bapak belum pulang?” tanyaku pada Mbok Sunem yang sudah dua tahunan ini menjadi pekerja di rumah.
Mbok Sunem menggeleng iba, dari tatapannya Mbok Sunem tidak tega memberitahu kenyataan pahit ini. “Lalu, Bapak kemana, Mbok?” lanjutku seraya mengusap rambut dengan handuk kering. Aku sengaja mandi agak telat malam ini, agar bisa bercanda ria dengan Mas Janu di malam jumat yang manis ini.
Tapi nyatanya, Mas Janu masih kumat. Pria itu pasti sedang sibuk mengurusi mantan tunangannya hingga lupa dengan rumahnya sendiri.
Aku mengeram, tidak terima dengan perlakuan Mas Janu dan wanita tanpa malu itu. Jelas-jelas, dialah yang menolak menikahi suamiku dulu, dan lebih memilih mantan suaminya kini. Lalu, di saat hidupnya terombang-ambing begini, dia mengusik kembali pria yang sudah dibuangnya jauh-jauh. Muak ... aku segera merogoh saku celana kulot demi mendapat gawai.
Tanpa memberi jeda meski sejenak untuk keduanya bersama, aku melayangkan sebuah panggilan ke nomor Mas Janu. Dering berulang namun pria itu tidak mengangkatnya.
Kuulangi lagi, terus begitu hingga gawaiku panas dan pria yang kunikahi dua tahun lalu belum menelepon balik. Kurasakan nyeri serta hati yang meradang, apalagi malam mulai menua dan Mas Janu belum tahu rimbanya.
Aku melancarkan panggilan yang lain, bukan suamiku melainkan wanita yang kukenal dan sepenuhnya dapat kupercaya- Yulia. Syukurnya, Yulia segera mengangkat teleponku yang kuberondong dengan sejuta pertanyaan penuh kecurigaan.
“Yul ... kamu tahu dimana Mas Janu, kan?”
“Weh ... weh, santai Mbak Bro. Paling lagi nemenin Si Desty di rumah sakit. Kan pagi tadi anaknya yang bocil itu dirawat,” jelasnya nyaring. Wanita itu pasti sedang sibuk menahan tawa setelah mendengar bagaimana paniknya aku saat ini.
“Gila!”
“Siapa, aku?”
“Bukan, Mas Janu dan wanita itu!”
“Terus, rencanamu sekarang apa? Nyamperin ke rumah sakit? Terus ngacak-ngacakin seisi kamar tempat anaknya dirawat?” Yulia menantangku dengan intonasinya yang setengah mengejek.
Wanita itu pasti sedang pamer dengan hubungannya yang harmonis-harmonis saja. Suaminya pria bucin dan takut pada istri, hingga Yulia tidak perlu khawatir dan mencurigai suaminya siang dan malam seperti yang kulakukan saat ini.
“Mungkin! Dirawat dimana? Aku mau jenguk! Sekalian bawa buah,” sahutku kesal.
Aku benar-benar tidak habis pikir dengan perilaku Mas Janu setelah pertemuannya kembali dengan Desty di sebuah reuni kampus. Bagaimana mungkin, dia lupa dengan kodratnya sebagai seorang suami, tugasnya sebagai ayah di rumah ini dan lebih memilih mantan tunangannya yang pernah melukainya itu?
“Rumah Sakit Anak Adelia. Kamar apa, ya? Lupa! Bilang aja mau jenguk putrinya Bu Desty yang namanya Karnelia. Hihi ....” Kudengar lagi Yulia kembali terkikik, pastilah dia sedang menertawai nasibku yang malang ini, menikahi dengan pria gagal move on seperti Mas Janu dan ditinggalkan sendirian di malam jumat begini.
“Kututup teleponnya!” seruku yang disertai dengan gerakan mematikan panggilan.
Aku tidak tertarik mendengar nada bicara Yulia yang semakin merendahkan meski nyatanya dari wanita itulah aku tahu segala hal tentang Desty. Yulia yang pernah menjadi tali sambung untuk Mas Janu dan Desty, kini menjadi penyambung untukku juga.
“Mbok ... tutup pintu rapat-rapat, ya? Aku keluar sebentar. Jagain Nandya baik-baik, Mbok!” pintaku pada Mbok Sunem. Wanita itu terlihat keberatan denganku yang segera mengambil jaket dan menggulung rambut tinggi-tinggi.
“Biarin saja, Buk ... sudah malem. Besok saja disamperinnya.”
“Nggak bisa, Mbok ... Mas Janu harus tahu kalau aku tidak suka dia begini. Yang harus diurusnya itu aku dan Nandya, bukannya mantan tunangannya dan anaknya!” sahutku tinggi.
Padahal, yang memberiku masalah adalah Mas Janu dan wanita itu, entah kenapa emosiku tetap saja meledak pada orang yang salah. Segera, aku menundukkan wajah, menghela sedalam mungkin napas yang tersendat dan berusaha menahan gejolak emosiku agar tidak lagi meluap di depan Mbok Sunem.
“Ya udah, Mbok. Tutup pintunya!” Aku memberi perintah terakhir kali, lalu meraih kunci mobil sedan dari cantolannya dan segera berlari ke garasi.
Kupacu dalam kecepatan tinggi menuju rumah sakit anak yang disebutkan Yulia. Aku kenal benar dengan perusahaan jasa ini, karena dekat dengan kantor tempatku bekerja dan pastinya merupakan rumah sakit swasta yang biaya pengobatannya selangit.
Jangan sampai, Mas Janu menjadi donatur untuk anaknya wanita itu. Aku tidak sudi sama sekali, membagi hasil keringant suamiku dengan wanita yang tidak seharusnya dinafkahi.
Beberapa kali aku memencak sebal, banyaknya rentetan lampu merah membuat jalanku terus tersendat. Belum lagi, teleponku tidak diangkat Mas Janu sama sekali.
“Astaga, kamu Mas!” keluhku seraya memutar setir memasuki gerbang rumah sakit anak yang kutuju daritadi.
Aku segera memarkir mobil, kemudian kembali berlari ke lantai dasar demi menemui resepsionisnya. Dua wanita berpakaian serba biru dengan wajah sedikit lelah menyambutku ramah.
“Karnelya putrinya Bu Desty. Kamarnya di ruangan berapa?”
“Tapi Bu, jam besuknya sisa beberapa menit lagi,” elak salah satu suster seraya menunjuk jam dinding di belakang keduanya.
Aku menghela napas, “Satu menit juga bisa. Cepat, beri tahu dimana!”
“I-iya, Bu ... kamar Anggrek lima, lantai lima,” ungkap suster itu setelah mengecek data pasien di komputer.
Aku segera berlari kembali menuju lift, memastikan waktu tidak terbuang sia-sia dengan meniti anak tangga hingga ke lantai lima. Kupastikan, Mas Janu masih ada di ruangan Desty dan putrinya dengan terus menelepon dan panggilanku tidak ada satupun yang diterima.
Kurasakan aliran darahku berkumpul di kepala, lalu mendidih berkat amarah yang menumpuk. Tega sekali Mas Janu padaku dan Nandya, mengabaikan kami dan memilih menemani wanita lain.
Pintu lift terbuka setelah denting menggema, aku segera melangkah keluar, tidak perduli dengan tatapan bingung dari para perawat serta pembesuk yang berbondong-bondong pulang. Fokusku saat ini hanyalah Mas Janu dan memberi peringatan keras pada Desty agar wanita itu tahu diri.
Tepat di ruangan yang disebutkan suster tadi, kudengar sayup-sayup suara dua insan yang salah satunya begitu familier. Sudah pasti, itu suaranya Mas Janu.
Aku segera membuka pintu dan mendorongnya selebar mungkin. Dua insan yang sedari tadi berbincang-bincang mendadak diam, keduanya menatapku yang berdiri di ambang pintu dengan amarah yang membara.
“Mas Janu!” seruku saat melihat pemuda itu berbaring di selembar karpet yang tergelar. Lengkap dengan selimut serta bantal.
“Mau ngapain kamu, Mas?!” Aku menutup rapat-rapat pintu, lalu masuk meski tanpa dipersilahkan. Sedangkan Desty- wanita yang menjadi perusak rumah tangga kami duduk di sisi ranjang hanya berlapiskan piyama satinnya yang mencetak tubuh.
“Loh, kamu kenapa ke sini?” Mas Janu bangkit, panik serta bingung karena kedapatan olehku. Sedangkan Desty, dari sudut mataku saja sempat terlihat jika dia mengurai sebuah senyum.
“Wanita gila! Tidak tahu diri kamu Desty!” serangku seketika, mengabaikan kenyataan jika kami sedang ada di rumah sakit.
“Kamu yang tidak tahu diri, Sari!” Tidak kusangka, Mas Janu yang balas menghardikku.
Bab 2: Wanita Tanpa Malu“Aku, Mas?” tantangku seraya menunjuk dada. Seandainya saja Mas Janu tahu bagaimana berdarahnya hatiku saat ini, tentulah Mas Janu mungkin akan bersikap berbeda.“Mak-maksudku, Sar ... jangan bersikap begini, kasihan Desty dan putrinya. Tidak ada yang menemani mereka di rumah sakit,” elak Mas Janu dengan wajah setengah memelas. Batinku bergolak saat melihat raut itu, seakan-akan balita yang terbaring itu adalah Nandya dan wanita yang berpiyama satin di sana adalah aku.“Pantas memangnya, Mas Janu di sini? Ngejagain wanita lain?” Aku menunjuk Desty dengan jari tengah, karena telunjuk terlalu berharga untuk wanita itu.Mas Janu seakan tersinggung, buru-buru diturunkannya tanganku, kemudian pria itu mulai membujuk yang membuat isi perutku bergolak hebat. “Pantas, kok. Kami sudah saling kenal, bahkan Desty pernah jadi tunanganku dulu, Sar.”“Mantan tunangan, Mas!” Aku menekan kalimatku dengan bola mata yang bergetar. Meski terus berusaha menahan amarah, tetap saja
Bab 3: Wanita Itu Muncul LagiPagi ini, seusai menyiapkan sarapan Mas Janu dan memastikan Nandya telah selesai mandi, aku dan suamiku yang ditakdirkan satu kantor mulai bersiap-siap bekerja. Meski terasa berat setiap kali mengingat perlakuan Mas Janu terhadapku dan Nandya, tetap saja tugas sebagai seorang istri kujalani sepenuh hati.Jika biasanya kami berbagi mobil yang sama dengan dijemput sopir Mas Janu, maka kali ini aku memilih berangkat seorang diri dengan mobil pribadi. Kuabaikan Mas Janu yang terus melirikku karena tidak kunjung bergabung dengannya, hingga akhirnya sopir Mas Janu memacu kuda besi itu keluar dari pekarangan rumah tanpa kehadiranku di dalamnya.Sedikit kuhela napas yang terus memberontak di dalam dada, kemudian menoleh ke arah Mbok Sunem yang berdaster biru terang dan Nandya kecil di dalam gendongannya. Dua sosok yang masa depannya bertumpu di pundakku. Bagaimana nasib mereka nanti? Haruskah aku tutup mata dengan perbuatan
Bab 4: Rasa Sakit untuk Wanita Tanpa Malu“Loh, kok marah-marah, Sari? Kita rekan kerja loh sekarang,” ujarnya dengan wajah polos bak bidadari.Aku sudah berdiri tepat di sebelah kursinya, mencengkeram benda itu sebagai ganti surai Desty. “Marah? Kamu sudah gila, Desty? Telingamu budek? Kamu tuli sampai enggak dengar peringatanku tadi malam?”“Denger, sih ... ya gimana, ya? Mas Janu yang minta aku bekerja di sini, bukan mauku loh. Maaf, aku juga terpaksa datang ke sini, Sari,” jelasnya dengan ekspresi yang semakin membuat mual.“Apa benar, Mas?” tanyaku pada Mas Janu. Pria itu menjadi pucat pasi, beberapakali dia mengerling agar tatapan kami tidak bertemu.“Kamu kelewatan, Mas! Kamu enggak nganggap aku dan Nandya lagi, hah?” seruku tinggi.“Sar ... tunggu dulu, jangan luapkan di sini. Kamu bisa jadi bahan gosip seisi kantor,” tahan Yulia. Wanita itu menc
Bab 5: Bukti Rekaman“Mas Janu, bolehkan kalau aku ikut?” Nada bicara Desty mendadak jadi centil bin menggelikan serta menjijikkan.Wanita itu bergerak dari duduknya, kemudian berjingkat-jingkat manja menuju Mas Janu. Tidak kusangka jika Desty akan bersikap seberani ini, memamerkan hal buruk di depan karyawan yang dibawahi Mas Janu, termasuk aku istrinya sendiri.Sontak saja aku menahan langkah wanita itu, lebih dulu merangkul lengan Mas Janu yang menyebabkan Desty berhenti. “Aku mau makan apa saja, Mas. Yulia juga, kan?” Aku melirik Yulia dengan sengaja.Wanita itu mengerjab berulang, mungkin kaget dengan drama mendadak yang aku mainkan.“Yuk, Mas? Yul ... barengan?” ajakku sekali lagi dengan sorot mata sedikit memaksa. Jangan sampai rencanaku untuk menghalangi Desty berantakan hanya karena Yulia membocorkan soal kami yang sudah lebih dulu pesan makanan pada Mas Janu.“Loh, bukannya
Bab 6: Pelajaran untuk Desty Setelah perang dingin semalam, pagi ini aku dan Mas Janu kembali pisah mobil saat berangkat bekerja. Tidak ada satu kata pun yang terlintas dari bibirnya ketika melihatku naik ke mobil sedan seorang diri dan tidak bergabung dengannya. Meski masih terasa sakitnya, aku tetap bertahan, menguatkan diri jika apa yang terjadi saat ini antara aku dan Mas Janu hanyalah duri-duri kecil di masa-masa pernikahan kami yang masih begitu muda. Belum lagi ujian yang harus kami lewati di masa depan nanti, dan semuanya pastilah begitu rumit. Kuteguk sendirian seluruh rasa yang menggenangi batin dari kursi putar, perasaan tidak menentu akan hubunganku dan Mas Janu kian merambat. Layar komputer yang berisi berbagai pekerjaan hanya mampu kutatap nanar, tidak ada selera untuk menyelesaikan tugas-tugas yang seakan tanpa henti ini. “Lihat?!” Aku mengusaikan kebimbangan itu, saat Yulia sudah berpindah ke kubikelku. Setengah berbis
Bab 7: Pilih Aku atau Dia? “Hentikan, Sari!” Mas Janu terus menahanku untuk berhenti membekap Desty. Tetapi tubuhku bagai tak mau mengerti. Desty yang kini mengap-mengap dengan rambut yang basah tidak sedikit pun menaruh empati di hatiku. “Hentikan, Mas bilang hentikan!” teriaknya lagi. Ditariknya dengan satu hentak tanganku yang sedari tadi menghajar Desty ke udara, dan wanita itu segera luruh ke lantai sembari menangis. Aku menatap wajah Mas Janu yang kian memerah dengan mata nanar. Perbuatanku yang barusan tentu membuatnya akan semakin membenci diriku. “Mas ... tolongin aku?!” rintih Desty dari bawah. Tangannya terayun-ayun memohon uluran dari suamiku. Aku meliriknya sesaat, riasan wanita itu menjadi berantakan, bahkan bulu matanya telah terjatuh ke pipi dengan maskara yang luntur. Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi selain meringis ketakutan dan menangis. Beranjak dari Desty, karyawan-karyawan lain ternya
Bab 8: Apa Maumu? Kukatakan keinginanku dengan tegas pada Yulia. Mbok Sunem yang ternyata juga mendengarnya menangis dari arah luar kamar. Wanita paruh baya itu tidak tahan melihat betapa hancurnya kondisiku dan pernikahan kami berdua. “Bu, jangan begini ... kasihan Nandya,” ujarnya dari arah luar. Wajah siapa pun pasti akan serupa dengan Mbok Sunem jika melihat putri kecil kami yang terlelap di kasur. Gadis mungil itu seakan terusik setelah mendengar keributan yang dilakukan oleh ibu dan tantenya. Dia menggeliat perlahan, lalu kembali terlelap di ranjang. “Jangan ambil keputusan gila, Sari. Kalau kamu tetap begini, kamu hanya akan menyesal!” Yulia masih mengingatkanku. Kutatap sekali lagi Nandya, dia butuh Mas Janu di dalam hidupnya. Jauh lebih besar dibanding aku membutuhkan Mas Janu. “Masih belum terlambat untuk memperbaiki semua ini. Pikirkan dengan matang sebelum bertindak. Belum ada kejelasan juga jika Desty dan Mas Janu
Bab 9: Balasan Istri yang Tersakiti “Kamu memang sudah gila. Kamu minta aku menjaga anak wanita itu dan kalian bisa pergi berdua ke rumah sakit? Kalau ke rumah sakit, kalau ke hotel bagaimana?” pekikku kemudian. Tidak bisa kubayangkan andai hal itu benar-benar terjadi. Hanya aku yang boleh bersama Mas Janu dan melihat sisi lain dari pria itu. Terlihat Mas Janu lelah menghadapi ocehanku barusan. Tapi, aku jelas tidak terima jika dia bersikap sememuakkan ini hanya untuk menyenangkan hati Desty. Harusnya hanya aku yang diperlakukan bak ratu, bukannya wanita lain yang pernah menoreh luka di dalam hatinya. “Mas, kenapa kamu ....” “Jangan membantah, Sari. Aku ini suamimu!” “Ya, dan kamu suami yang dhalim! Kamu menyakiti hatiku demi perempuan lain,” seruku. Aku tidak bersedia mundur melihat bagaimana tingkah laku Mas Janu saat ini. Dia sudah begitu berbeda sampai tidak bisa kubedakan lagi antara kenyataan dan mimpi belaka. Bagaimana