Bab 2: Wanita Tanpa Malu
“Aku, Mas?” tantangku seraya menunjuk dada. Seandainya saja Mas Janu tahu bagaimana berdarahnya hatiku saat ini, tentulah Mas Janu mungkin akan bersikap berbeda.
“Mak-maksudku, Sar ... jangan bersikap begini, kasihan Desty dan putrinya. Tidak ada yang menemani mereka di rumah sakit,” elak Mas Janu dengan wajah setengah memelas. Batinku bergolak saat melihat raut itu, seakan-akan balita yang terbaring itu adalah Nandya dan wanita yang berpiyama satin di sana adalah aku.
“Pantas memangnya, Mas Janu di sini? Ngejagain wanita lain?” Aku menunjuk Desty dengan jari tengah, karena telunjuk terlalu berharga untuk wanita itu.
Mas Janu seakan tersinggung, buru-buru diturunkannya tanganku, kemudian pria itu mulai membujuk yang membuat isi perutku bergolak hebat. “Pantas, kok. Kami sudah saling kenal, bahkan Desty pernah jadi tunanganku dulu, Sar.”
“Mantan tunangan, Mas!” Aku menekan kalimatku dengan bola mata yang bergetar. Meski terus berusaha menahan amarah, tetap saja perilaku Mas Janu saat ini membuat manik coklat ini basah dengan mudah.
“Ya sudah, Mas ... pulang saja dulu.” Desty bersuara. Nada bicaranya manja dan menjijikkan. Wanita itu bangkit dari duduknya di sudut ranjang, lantas berjalan anggun menuju Mas Janu, seolah-olah pria ini adalah miliknya.
Begitu kulihat tangannya terulur, aku segera menyambar lengannya dan mencengkeramnya dengan erat. Seketika, Desty meringis sakit namun kuacuhkan karena segala emosi saat ini tercurahkan di sana.
“Mas, sakit ... tanganku sakit,” rengeknya dengan intonasi yang semakin menjijikkan. Desty meliuk, menahan nyeri di lengannya karena kekuatan yang terus kutambah.
“Sari ... kamu apa-apaan?” Mas Janu turun tangan. Cengkeramanku di lengan Desty dia buka secara paksa, mengabaikan jika ternyata hal itu semakin menorehkan luka pada istrinya.
“Mbak, kok kamu jahat sih?” protes Desty padaku tanpa rasa malu.
“Aku jahat? Kamu nggak punya kaca di rumah? Perlu aku yang belikan?”
“Aku Cuma ....”
“Kalau anakmu sakit, panggil mak bapak, kakak adikmu, bukan suamiku! Ingat ya, Desty ... dulu kamu sendiri yang menolak menikah dengan Mas Janu demi pria kaya itu, sekarang hidupmu sulit kamu datang lagi mengganggunya. Punya malu enggak, sih?” selorohku seraya menunjuk wajahnya.
Aku tidak mampu mehanan gejolak di dalam dada saat melihat bagaimana tidak tahu malunya wanita ini. Dengan terang-terangan mengataiku jahat dan memanfaatkan Mas Janu untuk kehidupannya sendiri.
“Mbak enggak lihat anakku lagi sakit?” Desty mengisyarat dengan matanya. “Mbak bisa bangunin dia.”
“Anakmu sakit, itu urusanmu, Desty. Masalahnya, kamu memperalat suamiku!”
“Sari ... udah, ya? Udah! Malu!” Mas Janu menahanku sebelum menggapai surai Desty yang kecoklatan. Wanita itu pasti sudah mewarnai rambutnya, dan semoga bukan dengan gaji Mas Janu.
“Kita pulang, Mas.”
“Kasihan Desty kalau sendiri, Sar!”
“Oh, kamu enggak mau pulang?” Aku membalas tatapan mata Mas Janu yang sayu. Pria itu telah berubah sepenuhnya, memperlakukanku sebagai wanita asing dan menjadikan Desty bak ratu di dalam hidupnya.
“Mas ... pulang dulu, ya? Kita bisa ketemu besok.” Desty lagi-lagi bicara dengan intonasi yang bikin mual.
“Enggak ada kata besok! Ingat ya, Desty ... aku bukan wanita yang bisa kamu rusak hidupnya. Mas Janu ini suamiku, dan sudah menjadi milikku. Jangan harap bisa mengganggu hidup kami lebih jauh dari ini,” ancamku pada Desty.
“Iya, Mbak ... iya. Kita lih ....”
“Kita pulang!” Aku menyeret paksa Mas Janu dengan seluruh kekuatan, masa bodoh dengan ocehan Desty. Mas Janu sempoyongan sepanjang jalan karena keseimbangannya yang tidak stabil berkat tarikan tangaku.
Tidak kuperdulikan tatapan dari orang-orang serta perawat yang masih berkeliaran di sepanjang koridor. Saat ini, aku hanya ingin membawa pria tidak sadar diri ini pulang, dan menyadarkannya tentang siapa yang harusnya menjadi tanggung jawabnya.
Sepanjang perjalanan, aku menyetir dengan pandangan yang nanar. Beberapakali celah mataku basah menahan sakit akibat perilaku Mas Janu dan Desty. Dua sosok orang yang ternyata belum mengakhiri ikatan mereka.
Begitu tiba di rumah, aku menggedor pintu dengan keras. Mbok Sunem yang menjaga Nandya menjawab dari dalam rumah.
“Ibu ... sudah pulang?” Mbok Sunem terlihat khawatir begitu membuka pintu.
“Sudah, Mbok. Sambil bawa bapak yang nyasar.” Aku tidak lagi menjelaskan terlalu panjang, selain menyeret lagi Mas Janu dengan seluruh kekuatan ke dalam rumah.
Ruang keluarga rumah kami berserakan dengan mainan-mainan Nandya, serta beberapa potong pakaiannya yang belum selesai dilipat Mbok Sunem. Mas Janu mengitari pandangannya, menatap benda-benda itu seolah-olah semuanya baru pertama kali dilihatnya.
Beranjak dari ruang keluarga, kami masuk kembali ke kamar, dan di ranjang Nandya sudah terlelap dalam posisi yang menggemaskan. Kuhempas tubuh Mas Janu yang tidak melakukan perlawanan hingga membentur sisi kasur. Pria itu mengusap wajahnya, terlihat begitu kebingungan.
“Jangan pura-pura kamu, Mas!” Aku menunjuknya lagi.
“Ini ... ini yang seharusnya kamu urus! Bukannya wanita penggoda itu!”
“Kamu lihat anak itu? Nandya, putrimu yang baru satu tahun. Kamu tinggalkan di rumah dan lebih memilih merawat anak pria lain!” pekikku lagi lebih tinggi.
Aku acuh jika ternyata tetangga kami yang rumahnya berdekatan mendengar pertikaian ini, rasa sakit yang disebabkan Mas Janu dan mantan tunangannya mengalahkan seluruh rasa peduliku. Sekarang, aku hanya menginginkan kepastian dari pria ini, tetap bersama atau berpisah.
“Jawab aku!” Suaraku melengking lagi.
Mas Janu terus saja diam. Perlahan-lahan dia melepas kaos kaki, kemudian meringsek naik menuju ranjang tempat di mana Mbok Sunem menidurkan Nandya. Hatiku tersayat-sayat melihat momen ini. Seketika, pikiranku membayangkan bagaimana hari-hari kami jika pria ini meninggalkanku dan Nandya sendiri, lalu datang pada Desty.
Mas Janu, meski beberapa kali kuteriaki tetap bergeming. Dia merebahkan dirinya di sisi Nandya, mengulurkan tangannya yang besar dan kokoh, menarik selimut kecil milik putri kami, merengkuh tubuh Nandya yang mungil lalu mulai memejamkan mata.
Tangisku pecah lagi saat melihat hal itu. Aku memang tidak sanggup jika Nandya harus tumbuh tanpa sosok Mas Janu, apalagi jika pria ini pergi pada wanita lain dan meninggalkan Nandya kecil seorang diri.
Kuputuskan untuk keluar dari kamar, membiarkan Mas Janu dan Nandya tidur dengan tenang. Aku membawa serta hati yang terluka serta tangis yang enggan berhenti menuju meja makan, tempat paling tepat untukku mengurai rasa seorang diri.
Aku duduk di salah satu kursi seraya mengusap kedua pipi yang kian menghangat. Tangis yang tidak kunjung usai ini, rupanya mengusik Mbok Sunem yang kamarnya bersebelahan dengan dapur.
Wanita paruh paya itu perlahan-lahan keluar, mendekati meja makan dengan raut wajah iba. “Bu ....”
“Tidak apa, Mbok ... lanjut tidurnya.” Aku menepuk tangan Mbok Sunem yang sudah mendarat di pundak. Wanita paruh baya yang selama ini menggantikan posisi ibu dan bapak, menemani dan merawatku setulus hatinya, entah apa jadinya saat ini jika Mbok Sunem tidak ada.
“Bu ... yang sabar,” bisiknya iba.
“Aku akan bersabar sebentar lagi, Mbok ... tapi jika Mas Janu tetap tidak berubah, maka semuanya akan berakhir sampai di sini. Aku tidak mau hidup dalam luka yang berkepanjangan. Ada Nandya yang harus kurawat hingga dewasa, dan Mbok Sunem juga.”
“Bu ... jangan berpikir begitu, pertahankan pernikahan ini sekuat hati, Bu ...,” nasihat Mbok Sunem.
“Entah, Mbok ... kita lihat saja nanti.” Aku mengangguk lagi pada Mbok Sunem agar wanita itu segera beranjak tidur. Tidak tega rasanya membiarkan wanita sepertinya ikut merasakan resah dari pernikahanku dan Mas Janu.
Biar aku saja yang menghadapinya seorang diri. Aku bukanlah wanita lemah yang akan membiarkan diriku dikhianati dan dibodohi oleh lelaki. Apalagi seorang Desty, yang bagiku hanya seujung jari.
Bab 3: Wanita Itu Muncul LagiPagi ini, seusai menyiapkan sarapan Mas Janu dan memastikan Nandya telah selesai mandi, aku dan suamiku yang ditakdirkan satu kantor mulai bersiap-siap bekerja. Meski terasa berat setiap kali mengingat perlakuan Mas Janu terhadapku dan Nandya, tetap saja tugas sebagai seorang istri kujalani sepenuh hati.Jika biasanya kami berbagi mobil yang sama dengan dijemput sopir Mas Janu, maka kali ini aku memilih berangkat seorang diri dengan mobil pribadi. Kuabaikan Mas Janu yang terus melirikku karena tidak kunjung bergabung dengannya, hingga akhirnya sopir Mas Janu memacu kuda besi itu keluar dari pekarangan rumah tanpa kehadiranku di dalamnya.Sedikit kuhela napas yang terus memberontak di dalam dada, kemudian menoleh ke arah Mbok Sunem yang berdaster biru terang dan Nandya kecil di dalam gendongannya. Dua sosok yang masa depannya bertumpu di pundakku. Bagaimana nasib mereka nanti? Haruskah aku tutup mata dengan perbuatan
Bab 4: Rasa Sakit untuk Wanita Tanpa Malu“Loh, kok marah-marah, Sari? Kita rekan kerja loh sekarang,” ujarnya dengan wajah polos bak bidadari.Aku sudah berdiri tepat di sebelah kursinya, mencengkeram benda itu sebagai ganti surai Desty. “Marah? Kamu sudah gila, Desty? Telingamu budek? Kamu tuli sampai enggak dengar peringatanku tadi malam?”“Denger, sih ... ya gimana, ya? Mas Janu yang minta aku bekerja di sini, bukan mauku loh. Maaf, aku juga terpaksa datang ke sini, Sari,” jelasnya dengan ekspresi yang semakin membuat mual.“Apa benar, Mas?” tanyaku pada Mas Janu. Pria itu menjadi pucat pasi, beberapakali dia mengerling agar tatapan kami tidak bertemu.“Kamu kelewatan, Mas! Kamu enggak nganggap aku dan Nandya lagi, hah?” seruku tinggi.“Sar ... tunggu dulu, jangan luapkan di sini. Kamu bisa jadi bahan gosip seisi kantor,” tahan Yulia. Wanita itu menc
Bab 5: Bukti Rekaman“Mas Janu, bolehkan kalau aku ikut?” Nada bicara Desty mendadak jadi centil bin menggelikan serta menjijikkan.Wanita itu bergerak dari duduknya, kemudian berjingkat-jingkat manja menuju Mas Janu. Tidak kusangka jika Desty akan bersikap seberani ini, memamerkan hal buruk di depan karyawan yang dibawahi Mas Janu, termasuk aku istrinya sendiri.Sontak saja aku menahan langkah wanita itu, lebih dulu merangkul lengan Mas Janu yang menyebabkan Desty berhenti. “Aku mau makan apa saja, Mas. Yulia juga, kan?” Aku melirik Yulia dengan sengaja.Wanita itu mengerjab berulang, mungkin kaget dengan drama mendadak yang aku mainkan.“Yuk, Mas? Yul ... barengan?” ajakku sekali lagi dengan sorot mata sedikit memaksa. Jangan sampai rencanaku untuk menghalangi Desty berantakan hanya karena Yulia membocorkan soal kami yang sudah lebih dulu pesan makanan pada Mas Janu.“Loh, bukannya
Bab 6: Pelajaran untuk Desty Setelah perang dingin semalam, pagi ini aku dan Mas Janu kembali pisah mobil saat berangkat bekerja. Tidak ada satu kata pun yang terlintas dari bibirnya ketika melihatku naik ke mobil sedan seorang diri dan tidak bergabung dengannya. Meski masih terasa sakitnya, aku tetap bertahan, menguatkan diri jika apa yang terjadi saat ini antara aku dan Mas Janu hanyalah duri-duri kecil di masa-masa pernikahan kami yang masih begitu muda. Belum lagi ujian yang harus kami lewati di masa depan nanti, dan semuanya pastilah begitu rumit. Kuteguk sendirian seluruh rasa yang menggenangi batin dari kursi putar, perasaan tidak menentu akan hubunganku dan Mas Janu kian merambat. Layar komputer yang berisi berbagai pekerjaan hanya mampu kutatap nanar, tidak ada selera untuk menyelesaikan tugas-tugas yang seakan tanpa henti ini. “Lihat?!” Aku mengusaikan kebimbangan itu, saat Yulia sudah berpindah ke kubikelku. Setengah berbis
Bab 7: Pilih Aku atau Dia? “Hentikan, Sari!” Mas Janu terus menahanku untuk berhenti membekap Desty. Tetapi tubuhku bagai tak mau mengerti. Desty yang kini mengap-mengap dengan rambut yang basah tidak sedikit pun menaruh empati di hatiku. “Hentikan, Mas bilang hentikan!” teriaknya lagi. Ditariknya dengan satu hentak tanganku yang sedari tadi menghajar Desty ke udara, dan wanita itu segera luruh ke lantai sembari menangis. Aku menatap wajah Mas Janu yang kian memerah dengan mata nanar. Perbuatanku yang barusan tentu membuatnya akan semakin membenci diriku. “Mas ... tolongin aku?!” rintih Desty dari bawah. Tangannya terayun-ayun memohon uluran dari suamiku. Aku meliriknya sesaat, riasan wanita itu menjadi berantakan, bahkan bulu matanya telah terjatuh ke pipi dengan maskara yang luntur. Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi selain meringis ketakutan dan menangis. Beranjak dari Desty, karyawan-karyawan lain ternya
Bab 8: Apa Maumu? Kukatakan keinginanku dengan tegas pada Yulia. Mbok Sunem yang ternyata juga mendengarnya menangis dari arah luar kamar. Wanita paruh baya itu tidak tahan melihat betapa hancurnya kondisiku dan pernikahan kami berdua. “Bu, jangan begini ... kasihan Nandya,” ujarnya dari arah luar. Wajah siapa pun pasti akan serupa dengan Mbok Sunem jika melihat putri kecil kami yang terlelap di kasur. Gadis mungil itu seakan terusik setelah mendengar keributan yang dilakukan oleh ibu dan tantenya. Dia menggeliat perlahan, lalu kembali terlelap di ranjang. “Jangan ambil keputusan gila, Sari. Kalau kamu tetap begini, kamu hanya akan menyesal!” Yulia masih mengingatkanku. Kutatap sekali lagi Nandya, dia butuh Mas Janu di dalam hidupnya. Jauh lebih besar dibanding aku membutuhkan Mas Janu. “Masih belum terlambat untuk memperbaiki semua ini. Pikirkan dengan matang sebelum bertindak. Belum ada kejelasan juga jika Desty dan Mas Janu
Bab 9: Balasan Istri yang Tersakiti “Kamu memang sudah gila. Kamu minta aku menjaga anak wanita itu dan kalian bisa pergi berdua ke rumah sakit? Kalau ke rumah sakit, kalau ke hotel bagaimana?” pekikku kemudian. Tidak bisa kubayangkan andai hal itu benar-benar terjadi. Hanya aku yang boleh bersama Mas Janu dan melihat sisi lain dari pria itu. Terlihat Mas Janu lelah menghadapi ocehanku barusan. Tapi, aku jelas tidak terima jika dia bersikap sememuakkan ini hanya untuk menyenangkan hati Desty. Harusnya hanya aku yang diperlakukan bak ratu, bukannya wanita lain yang pernah menoreh luka di dalam hatinya. “Mas, kenapa kamu ....” “Jangan membantah, Sari. Aku ini suamimu!” “Ya, dan kamu suami yang dhalim! Kamu menyakiti hatiku demi perempuan lain,” seruku. Aku tidak bersedia mundur melihat bagaimana tingkah laku Mas Janu saat ini. Dia sudah begitu berbeda sampai tidak bisa kubedakan lagi antara kenyataan dan mimpi belaka. Bagaimana
Bab 10: Kelakuan Desty Kami tiba di rumah sakit setelah setengah jam memulai perjalanan. Ternyata, rumah sakit yang ditunjuk oleh Mas Janu adalah rumah sakit yang sama dengan yang didatangi Desty saat anaknya dirawat. Tentu saja aku mencak-mencak. Padahal hanya luka kecil tapi dibawa ke rumah sakit sebesar ini. Padahal aku melakukan hal itu karena ulah Desty sendiri, tapi harus repot seperti ini. “Mas Janu, nanti temenin, ya?” lirih Desty dari arah belakang. Wanita itu memasang wajah risau setelah melihat IGD yang sepi dari dalam mobil. Entah apa lagi tujuannya bersikap demikian. Tapi jelas kutemukan jika Desty sedang mencoba mencuri perhatian Mas Januku yang berharga. “Iya, nanti ditemenin!” “Iya, nanti aku temenin, kok!” sahutku tepat setelah Mas Janu. Enak saja Desty ini, dia ingin berduaan dengan suamiku. Jika kubiarkan, entah apa hasutan yang akan dilakukannya pada Mas Janu. “Kamu di mobil saja!” M