Bab 3: Wanita Itu Muncul Lagi
Pagi ini, seusai menyiapkan sarapan Mas Janu dan memastikan Nandya telah selesai mandi, aku dan suamiku yang ditakdirkan satu kantor mulai bersiap-siap bekerja. Meski terasa berat setiap kali mengingat perlakuan Mas Janu terhadapku dan Nandya, tetap saja tugas sebagai seorang istri kujalani sepenuh hati.
Jika biasanya kami berbagi mobil yang sama dengan dijemput sopir Mas Janu, maka kali ini aku memilih berangkat seorang diri dengan mobil pribadi. Kuabaikan Mas Janu yang terus melirikku karena tidak kunjung bergabung dengannya, hingga akhirnya sopir Mas Janu memacu kuda besi itu keluar dari pekarangan rumah tanpa kehadiranku di dalamnya.
Sedikit kuhela napas yang terus memberontak di dalam dada, kemudian menoleh ke arah Mbok Sunem yang berdaster biru terang dan Nandya kecil di dalam gendongannya. Dua sosok yang masa depannya bertumpu di pundakku. Bagaimana nasib mereka nanti? Haruskah aku tutup mata dengan perbuatan Mas Janu dan terus melanjutkan hidup ini? Tapi aku tidak sudi berbagi dengan wanita yang jelas-jelas pernah membuang Mas Janu saat aku menaruh hati sepenuhnya pada pria itu.
Harus kutemukan jalan keluarnya sebelum semuanya kian merambat. Aku tidak ingin Mbok Sunem dan Nandya menerima akibat dari keputusanku menikahi Mas Janu serta kehadiran orang ketiga di dalam rumah tangga kami berdua.
“Mbok, aku berangkat dulu. Hati-hati di rumah, Mbok. Titip Nandya, ya? Kalau ada apa-apa segera telepon aku, Mbok.” Begitulah pesan terakhirku sebelum memacu mobil sedan merah pekat keluar dari halaman, meninggalkan Mbok Sunem dan Nandya kecil di dalam rumah megah yang kubangun bersama Mas Janu.
--
Perusahaan Kosmetik yang menjadi tempatku dan Mas Janu bertemu dahulu, kini berkembang dengan baik setelah pergantian manajer. Suamiku yang dahulunya dikenal sebagai pria pekerja keras dengan sejuta kemampuan, telah memangku jabatan penting di bidang pemasaran. Sedangkan aku, masih di posisi yang sama, sebagai karyawan tetap sekaligus bawahan Mas Janu sendiri.
Tidak hanya aku, melainkan Yulia ... wanita setengah gila yang menjadi informan penting mengenai hubungan gelap Mas Janu dan Desty juga dibawahi pria itu. Kami menjadi semakin dekat setelah hubunganku dan Mas Janu naik takhta pelaminan, tentunya setelah aku bersusah payah mengusir rasa sakit akibat perlakuan Desty dahulu di hati Mas Janu.
Wanita itu ... Yulia, yang telah berhasil menaklukkan hati suaminya hingga pantas menyandang status bucin kini duduk santai di kursi putar di balik kubikelnya. Komputernya belum menyala, saking pemalasnya dia. Bahkan, di mejanya bukannya setumpuk laporan yang harus kami selesaikan minggu ini, melainkan sekotak buah-buahan segar untuk menunjang dietnya.
“Jadi ...,” gumam Yulia tanpa menoleh padaku. Wanita itu selalu mempertahankan sikap elegan dan sosialitanya yang sudah mendarah daging, wajar saja temannya itu Desty. Kata orang, jiwa yang serupa akan mudah untuk bersatu.
“Iya, aku ke rumah sakit.”
“What the hell ... gila memang! Terus, kamu jambak dia?” Yulia meninggalkan garpu dan kotak buahnya, wanita itu memutar kursi dengan bantuan tumit heels, lalu bergeser menuju kubikelku.
“Enggak, keduluan ditahan Mas Janu,” ungkapku kesal. Jika saja semalam Mas Janu tidak ikut campur, mungkin saja rambut Desty sudah rontok hingga ke akar.
“Sudah sinting kali suamimu, Sar! Memang ya, laki-laki itu, pas susahnya aja ke kita, begitu sukses lupa daratan. Yang begonya, Mas Janu malah masih nyempil ke keteknya si Desty. Padahal dia udah punya kamu sama Nandya,” omel Yulia dengan ekspresinya yang sibuk menjelek-jelekkan Desty.
“Kamu serius ngatain Desty? Bukannya kalian temen?” Aku menyindirnya dengan satu kalimat pamungkas. Yulia mengulum bibir, bola matanya berputar, “Dulu ... sebelum dia jadi belagu karena menikah sama juragan emas!”
“Gini aja, Sar ... kamu peringatin Desty lagi. Jangan sampai dia berani deketin Mas Janu apalagi berharap dinikahin. Ih, amit-amit.”
“Iya, aku udah punya ide buat balasin Desty kalau dia masih berani ganggu Mas Janu. Awas saja, aku enggak akan tinggal diam.” Aku memencak seraya mengepalkan tangan di meja.
Mendengar nama wanita itu disebut saja sudah membuatku muak, apalagi jika mengingat bagaimana ekspresinya semalam saat menggoda Mas Januku. Sudah seperti putus urat malunya.
Sejujurnya, di dalam hati kecil ini, aku sangat gusar. Jika memang Desty yang menggoda Mas Janu, masih bisa diperbaiki setelah hati Mas Janu terbuka. Tapi, bagaimana kalau ternyata aku yang tak menarik lagi di mata Mas Janu?
“Yul ... Sar !”
Kami serentak menoleh saat mendengar nama kami disebut. Tepat di sisi kubikelku dan Yulia, Mas Dodit yang merupakan Kepala HRD di perusahaan kami yang masih dalam tahap berkembang datang. Wajahnya semringah senang, seolah-olah bonus kami baru saja dicairkan Manajer Keuangan.
“Kenapa, Mas?” sahut Yulia lebih dulu.
“Aku punya kabar bagus buat kalian!” Mas Dodit berseru kembali, mengundang perhatian penuh dari beberapa karyawan lain di kubikel bersebelahan.
Mereka yang baru bersiap-siap untuk bekerja serentak bangkit, meninggalkan komputernya dan mendekati Mas Dodit. Karyawan yang dibawahi oleh manajer produksi itu ikut kepo dengan berita yang dibawa oleh pria berjabatan tinggi ini.
“Kenapa, Mas? Kabar apa? Kok cuma bagian pemasaran aja yang dapat info?”
“Ya karena karyawan barunya masuk ke sini, loh!” Mas Dodit semakin bersemangat.
“Karyawan baru? Memangnya ada rekrutmen?” sahutku lagi.
“Itu loh, suamimu yang saranin buat nambah karyawan di sini, dan asli orangnya cantik banget! Suamimu memang pinter cari karyawan buat bagian pemasaran!” Mas Dodit berbinar-binar saat menjelaskannya.
Aku dan Yulia bertukar pandang sesaat, perasaanku berubah gundah begitu mendengar penuturan Mas Dodit. Ya ... aku tahu perusahaan ini belum terlalu besar, dan rekrutmen juga hampir tidak pernah dilakukan kecuali secara tertutup, rata-rata pun titipan dari atasan. Tapi, Mas Janu membawa karyawan baru? Apa dia ....
“Namanya Desty, katanya temenmu dan Yulia,” ungkap Mas Dodit yang membuatku membelalak. “Lagi di ruangannya Pak Janu, nerima arahan langsung,” tambah Mas Dodit.
Aku segera menghentakkan kaki, membuat karyawan yang menyimak serta Mas Dodit sendiri kaget dengan sikapku, lalu mengayunkan langkah menuju ruang Mas Janu. Kudengar Yulia memanggil, wanita itu menyusul dari arah belakang. Aku tidak peduli, yang pasti saat ini aku ingin melihat mereka dengan mata kepala sendiri.
Begitu tiba di depan pintu ruangan bertuliskan Manajer Pemasaran, aku menghela napas berulang agar bisa berpikir jernih saat berhadapan dengan keduanya nanti. Tentu saja, supaya tidak ringan tangan jika harus berperang melawan wanita yang urat malunya sudah hilang.
Aku menekan knop pintu, lalu mendorongnya selebar mungkin. Benar saja ... kudapati Mas Janu tengah duduk di singgasananya yang megah, dan di depannya sosok wanita berambut kecoklatan dengan pakaian super ketat membelakangi kami.
“Sari? Yulia?” Mas Janu bergantian memanggil namaku dan Yulia yang ikut masuk.
Lalu, wanita bernama Desty itu memutar kursinya, menyambutku dengan senyum paling memuakkan di dunia. “Hai ... ketemu lagi, Sar?”
“Wanita gila!” umpatku dalam hitungan detik. Aku segera menyambar ke arahnya karena gunung amarahku telah runtuh. Wanita ini, memang tidak akan berhenti menghancurkan hidupku sebelum aku yang menghancurkannya lebih dulu.
Bab 4: Rasa Sakit untuk Wanita Tanpa Malu“Loh, kok marah-marah, Sari? Kita rekan kerja loh sekarang,” ujarnya dengan wajah polos bak bidadari.Aku sudah berdiri tepat di sebelah kursinya, mencengkeram benda itu sebagai ganti surai Desty. “Marah? Kamu sudah gila, Desty? Telingamu budek? Kamu tuli sampai enggak dengar peringatanku tadi malam?”“Denger, sih ... ya gimana, ya? Mas Janu yang minta aku bekerja di sini, bukan mauku loh. Maaf, aku juga terpaksa datang ke sini, Sari,” jelasnya dengan ekspresi yang semakin membuat mual.“Apa benar, Mas?” tanyaku pada Mas Janu. Pria itu menjadi pucat pasi, beberapakali dia mengerling agar tatapan kami tidak bertemu.“Kamu kelewatan, Mas! Kamu enggak nganggap aku dan Nandya lagi, hah?” seruku tinggi.“Sar ... tunggu dulu, jangan luapkan di sini. Kamu bisa jadi bahan gosip seisi kantor,” tahan Yulia. Wanita itu menc
Bab 5: Bukti Rekaman“Mas Janu, bolehkan kalau aku ikut?” Nada bicara Desty mendadak jadi centil bin menggelikan serta menjijikkan.Wanita itu bergerak dari duduknya, kemudian berjingkat-jingkat manja menuju Mas Janu. Tidak kusangka jika Desty akan bersikap seberani ini, memamerkan hal buruk di depan karyawan yang dibawahi Mas Janu, termasuk aku istrinya sendiri.Sontak saja aku menahan langkah wanita itu, lebih dulu merangkul lengan Mas Janu yang menyebabkan Desty berhenti. “Aku mau makan apa saja, Mas. Yulia juga, kan?” Aku melirik Yulia dengan sengaja.Wanita itu mengerjab berulang, mungkin kaget dengan drama mendadak yang aku mainkan.“Yuk, Mas? Yul ... barengan?” ajakku sekali lagi dengan sorot mata sedikit memaksa. Jangan sampai rencanaku untuk menghalangi Desty berantakan hanya karena Yulia membocorkan soal kami yang sudah lebih dulu pesan makanan pada Mas Janu.“Loh, bukannya
Bab 6: Pelajaran untuk Desty Setelah perang dingin semalam, pagi ini aku dan Mas Janu kembali pisah mobil saat berangkat bekerja. Tidak ada satu kata pun yang terlintas dari bibirnya ketika melihatku naik ke mobil sedan seorang diri dan tidak bergabung dengannya. Meski masih terasa sakitnya, aku tetap bertahan, menguatkan diri jika apa yang terjadi saat ini antara aku dan Mas Janu hanyalah duri-duri kecil di masa-masa pernikahan kami yang masih begitu muda. Belum lagi ujian yang harus kami lewati di masa depan nanti, dan semuanya pastilah begitu rumit. Kuteguk sendirian seluruh rasa yang menggenangi batin dari kursi putar, perasaan tidak menentu akan hubunganku dan Mas Janu kian merambat. Layar komputer yang berisi berbagai pekerjaan hanya mampu kutatap nanar, tidak ada selera untuk menyelesaikan tugas-tugas yang seakan tanpa henti ini. “Lihat?!” Aku mengusaikan kebimbangan itu, saat Yulia sudah berpindah ke kubikelku. Setengah berbis
Bab 7: Pilih Aku atau Dia? “Hentikan, Sari!” Mas Janu terus menahanku untuk berhenti membekap Desty. Tetapi tubuhku bagai tak mau mengerti. Desty yang kini mengap-mengap dengan rambut yang basah tidak sedikit pun menaruh empati di hatiku. “Hentikan, Mas bilang hentikan!” teriaknya lagi. Ditariknya dengan satu hentak tanganku yang sedari tadi menghajar Desty ke udara, dan wanita itu segera luruh ke lantai sembari menangis. Aku menatap wajah Mas Janu yang kian memerah dengan mata nanar. Perbuatanku yang barusan tentu membuatnya akan semakin membenci diriku. “Mas ... tolongin aku?!” rintih Desty dari bawah. Tangannya terayun-ayun memohon uluran dari suamiku. Aku meliriknya sesaat, riasan wanita itu menjadi berantakan, bahkan bulu matanya telah terjatuh ke pipi dengan maskara yang luntur. Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi selain meringis ketakutan dan menangis. Beranjak dari Desty, karyawan-karyawan lain ternya
Bab 8: Apa Maumu? Kukatakan keinginanku dengan tegas pada Yulia. Mbok Sunem yang ternyata juga mendengarnya menangis dari arah luar kamar. Wanita paruh baya itu tidak tahan melihat betapa hancurnya kondisiku dan pernikahan kami berdua. “Bu, jangan begini ... kasihan Nandya,” ujarnya dari arah luar. Wajah siapa pun pasti akan serupa dengan Mbok Sunem jika melihat putri kecil kami yang terlelap di kasur. Gadis mungil itu seakan terusik setelah mendengar keributan yang dilakukan oleh ibu dan tantenya. Dia menggeliat perlahan, lalu kembali terlelap di ranjang. “Jangan ambil keputusan gila, Sari. Kalau kamu tetap begini, kamu hanya akan menyesal!” Yulia masih mengingatkanku. Kutatap sekali lagi Nandya, dia butuh Mas Janu di dalam hidupnya. Jauh lebih besar dibanding aku membutuhkan Mas Janu. “Masih belum terlambat untuk memperbaiki semua ini. Pikirkan dengan matang sebelum bertindak. Belum ada kejelasan juga jika Desty dan Mas Janu
Bab 9: Balasan Istri yang Tersakiti “Kamu memang sudah gila. Kamu minta aku menjaga anak wanita itu dan kalian bisa pergi berdua ke rumah sakit? Kalau ke rumah sakit, kalau ke hotel bagaimana?” pekikku kemudian. Tidak bisa kubayangkan andai hal itu benar-benar terjadi. Hanya aku yang boleh bersama Mas Janu dan melihat sisi lain dari pria itu. Terlihat Mas Janu lelah menghadapi ocehanku barusan. Tapi, aku jelas tidak terima jika dia bersikap sememuakkan ini hanya untuk menyenangkan hati Desty. Harusnya hanya aku yang diperlakukan bak ratu, bukannya wanita lain yang pernah menoreh luka di dalam hatinya. “Mas, kenapa kamu ....” “Jangan membantah, Sari. Aku ini suamimu!” “Ya, dan kamu suami yang dhalim! Kamu menyakiti hatiku demi perempuan lain,” seruku. Aku tidak bersedia mundur melihat bagaimana tingkah laku Mas Janu saat ini. Dia sudah begitu berbeda sampai tidak bisa kubedakan lagi antara kenyataan dan mimpi belaka. Bagaimana
Bab 10: Kelakuan Desty Kami tiba di rumah sakit setelah setengah jam memulai perjalanan. Ternyata, rumah sakit yang ditunjuk oleh Mas Janu adalah rumah sakit yang sama dengan yang didatangi Desty saat anaknya dirawat. Tentu saja aku mencak-mencak. Padahal hanya luka kecil tapi dibawa ke rumah sakit sebesar ini. Padahal aku melakukan hal itu karena ulah Desty sendiri, tapi harus repot seperti ini. “Mas Janu, nanti temenin, ya?” lirih Desty dari arah belakang. Wanita itu memasang wajah risau setelah melihat IGD yang sepi dari dalam mobil. Entah apa lagi tujuannya bersikap demikian. Tapi jelas kutemukan jika Desty sedang mencoba mencuri perhatian Mas Januku yang berharga. “Iya, nanti ditemenin!” “Iya, nanti aku temenin, kok!” sahutku tepat setelah Mas Janu. Enak saja Desty ini, dia ingin berduaan dengan suamiku. Jika kubiarkan, entah apa hasutan yang akan dilakukannya pada Mas Janu. “Kamu di mobil saja!” M
Bab 11: Hadiahkah Ini? Aku menatap dokter itu dengan sorot mata bingung. Telingaku mendengarnya dengan sangat jelas, tapi rasanya tetap seperti mimpi. Bagaimana bisa dokter itu memvonisku mengandung? Benarkah ini? Sejak kapan ada bayi mungil di dalam perutku yang sangat rata? “Saya sarankan Anda mengunjungi dokter obgyn. Mungkin, masih kehamilan awal, makanya Anda belum menyadarinya.” Dokter tersebut berterus terang. “Saya juga tidak tahu apa yang terjadi di dalam pernikahan Anda, tapi saya sarankan ada baiknya Anda membahas hal ini dengan suami Anda. Dalam beberapa kasus, kehamilan bisa menjadi pemikat kuat antara pasangan.” Aku terhenyak. Rasanya masih tidak bisa dipercaya. Bagaimana bisa aku mengandung kembali setelah sekian lama kosong? Bahkan, hubungan terakhirku dengan Mas Janu itu bulan lalu. Apa saat itu? Aku mengusap dada. Denyut jantung jadi lebih cepat dibanding sebelumnya. Bukankah harusnya aku bahagia karena akan