"Tawaran apa? Dari siapa?" selidik Dika.Untuk beberapa saat aku hanya bisa melongo mendengar pertanyaan Rafa dan Dika. Kenapa mereka membahas tentang Bu Laili saat tengah menikmati makanan saat ini?Saat ini aku benar-benar tak bisa memikirkan penawaran itu. Aku khawatir belum mampu untuk memiliki banyak karyawan. Karyawan yang segelintir saja diurus oleh Rafa. Meski aku pemilik usaha sebenarnya, orang-orang tahunya kalau usaha yang kami kembangkan adalah milik Rafa."Oh, itu, Zizi ada tawaran mendirikan pabrik. Ada investor yang menawarkan perluasan usaha kami," jawab Rafa santai. Kulihat senyum miring samar di wajahnya, seolah meledek Dika yang ketinggalan berita.Kulihat Dika mengangkat sebelah alisnya. Raut wajah tak suka mulai tercetak jelas di wajahnya. Padahal itu bukan hal yang sangat penting untuk diketahui. Dan juga tak ada kaitan dengannya."Kenapa ngga ngasih tau aku?" tanya Dika. Ada nada kecewa dalam pertanyaannya. Dan membuatku sedikit merasa bersalah, entah karena apa
"Delisha masih mau ketemu Papa?" tanyaku pada akhirnya.Gadis kecil itu menganggukkan kepalanya sementara kedua mata bulatnya menatapku lekat penuh harap.Tak ingin membuatnya bersedih, aku pun tersenyum, meski terpaksa. Sementara isi kepalaku dengan cepat berusaha mencari jawaban agar gadis kecilku tak kecewa. Aku tak ingin membuat Delisha marah kepada papanya meski pria itu secara terang-terangan membuat hati putrinya patah. Selain itu, Delisha ternyata masih mempertanyakan keberadaan papanya."Akhir pekan, mau liburan?" tanyaku mengalihkan pertanyaan."Sama papa?" tanyanya dengan mata berbinar."Emm ... Itu ... Nanti mama tanyakan dulu ya," jawabku beralasan.Setelah Delisha sedikit tenang, aku mengajaknya ke kamar mandi untuk bebersih. Setelah beberapa menit, wangi khas bayi menguar dari tubuh kecil putriku yang mulai banyak rasa ingin tahunya. Kami lantas berjalan bergandengan menuju dapur di mana ternyata Rafa sudah menyiapkan sarapan untuk kami.Pria itu sudah menyajikan makana
"Sebenarnya....""Sebenarnya kenapa, Zi?"Aku membenci diriku saat ini yang tak ubahnya seperti seorang pengecut. Aku benar-benar gugup dan merasa seperti seseorang yang telah melakukan suatu keburukan. Ku paksa otakku berpikir lebih keras, mencari kata-kata yang lebih pas agar tak membuat Rafa tersinggung."Berjanjilah dulu kalau kamu tak akan marah kepadaku," pintaku.Raffa tersenyum dan mengangguk. Dan entah mengapa senyum itu membuatku merasa semakin bersalah karena seolah memanfaatkan kebaikannya."Mengenai pertanyaanmu waktu itu ... Maaf," ucapku ambigu. Meski begitu aku tahu kalau Rafa paham apa maksudku.Raut wajah Rafa yang tadinya penuh senyuman lantas berubah. Entah bagaimana mendeskripsikannya, yang jelas semakin membuatku merasa bersalah."Apa karena Dika?" tanyanya. Aku menggeleng."Bukan. Kepada Dika pun sama, aku tak bisa membalas perasaan kalian berdua," ucapku jujur.Terdengar jelas embusan napas Rafa yang berat usai aku menyelesaikan kalimatku. Kulihat ia tampak mem
“Yang, tolong siapin baju, ya? Mas sebentar lagi mau ada acara dengan teman-teman, Mas,” ucap suamiku pagi itu.Belum sempat aku mengeluarkan suara, suamiku kembali berkata, “Kamu di rumah aja. Soalnya acaranya sampai malam. Kasihan Delisha kalau ikut. Takut capek.”Pria itu kemudian menghilang di balik pintu kamar mandi. Suara gemercik air, terdengar dari balik pintu ruangan yang tak terlalu besar di samping kamar itu. Rutinitas pagi hari yang sibuk, membuatku tak terlalu ambil pusing dengan sikap Mas Raka, suamiku. Aku melanjutkan kegiatan memasak untuk sarapan pria itu dan juga putri kecilku yang masih tertidur di dalam kamar.Orang-orang mengenalku sebagai Zhyvanna Amira, mantan desainer muda di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor pakaian jadi ini memiliki seorang suami bernama Raka Prayoga. Banyak orang yang mengatakan bahwa aku beruntung karena memiliki seorang suami yang baik dan penyayang. Apalagi pekerjaannya adalah seorang manajer keuangan di salah satu perusah
“Sampai kapan pun aku tak akan menceraikanmu. Aku tak ingin anakku menjadi anak broken home yang tak memiliki keluarga utuh!” tegas Mas Raka.“Tak ingin menjadikan anakmu menjadi anak broken home katamu?! Lucu sekali! Apa kamu ngga pernah mikir, Mas? Kamu sendiri yang lebih dulu membuat anak kita sebagai calon anak broken home!!” ucapku meninggi.Perkataannya sungguh sangat lucu. Apa dia tak menyadari kesalahannya?Mas Raka kemudian berlalu ke luar kamar kami. Ditutupnya pintu kamar dengan sedikit kasar. Jam sudah menunjukkan pukul empat subuh. Langit gelap perlahan mulai terang. Pertengkaran singkat di pagi itu menjadi awal dari keretakan rumah tanggaku dimulai. Kedua kakiku terasa lemas. Masih tak menyangka, suamiku yang sebelumnya lembut dan hangat kepadaku, kini berubah menjadi seorang pemarah. Kenapa dia berubah? Apa yang salah?Aku terduduk sembari menangis. Mendengar seruan azan yang menggema dari masjid yang tak jauh dari rumah.Aku menguatkan kedua kakiku untuk melangkah ke
“Tega kamu, Mas!” gumam ku di sela tangis yang mulai pecah. Mas Raka memilih untuk pergi. Meninggalkanku yang masih menahan bendungan air yang dalam hitungan detik akan membuat aliran sungai deras melewati kedua pipiku. Aku bangkit dan berjalan menuju kran air di dapur. Ku basuh wajahku agar penglihatan ku yang sedikit buram menjadi lebih cerah.Selera makan kini telah sirna. Aku merapikan sisa masakan di atas meja dan memasukkannya ke arah kulkas. Berjaga-jaga takut suamiku akan merasa lapar saat malam hari seperti biasanya.Ah, di saat seperti ini aku masih memikirkan dia?Kukira hanya ada di televisi atau novel-novel online yang sering aku baca. Ternyata kehidupanku kini tak jauh berbeda dengan apa yang dikisahkan orang lain dalam cerita. Apakah aku terlalu terbawa suasana dan mendalami karakter? Tidak! Ini nyata! Aku bergegas menuju kamar. Berharap suamiku akan kembali ke kamar kami seperti malam-malam sebelumnya. Kubuka pintu kamarku perlahan. Takut ia terganggu dengan suara p
“Te-terima kasih,” ucap Mas Raka.Aku menghampiri suamiku yang kini tengah terduduk di ruang tengah membawakan dua cangkir teh yang masih mengepulkan asap panasnya. Lalu aku letakkan dua cangkir teh itu di atas meja kecil di hadapannya.Bisa kulihat raut wajahnya yang gugup. Berulang kali ia membetulkan posisi duduknya yang sepertinya tak nyaman. Padahal biasanya kami menghabiskan waktu berdua bersenda gurau di sana sebelumnya.“Katakan apa yang akan kamu katakan,” ucapku berusaha setenang mungkin.“Semua itu gak seperti yang kamu pikirkan, Zhy.”“Lalu?”“Semalam aku memang berada di sana. Tapi itu tak seperti yang kamu pikirkan.” Ucap suamiku.Aku menyesap tehku yang mulai menghangat. Aku membiarkan dia panik. Aku hanya akan mendengarkan penjelasan darinya. Tak berniat untuk mengonfrontasinya terlebih dahulu. Aku masih belum mendapatkan bukti yang kuat untuk menekannya. “Kamu yang membuat aku sangat marah semalam. Bukankah kamu yang seharusnya meminta maaf padaku terlebih dahulu?”H
"Sudah selesai?" tanya Mas Raka saat aku baru kembali dari toilet.Pria itu menyambutku, memintaku duduk di sampingnya. Sementara di sisi lain, Shakila duduk berhadapan dengan kami..Wanita yang memiliki tubuh proporsional itu benar-benar sangat memukau. Gestur tubuh dan tutur kata nya membuat orang lain kagum dengan wanita yang bernama Shakila itu.“Emm, ngomong-ngomong, kamu tinggal di mana, Ki?”Aku melihat wanita itu tersentak. Pertanyaan ku seolah membuyarkan lamunannya. Ada yang salah kah?Aku berusaha berpikiran positif. Sedari tadi aku melihat wanita itu memang tampak fokus dengan makanannya. Mungkin saja itu yang menyebabkan ia terkejut.“E-eh, gimana Zi?” ulang wanita itu.“Kamu tinggal di mana?” aku mengulang pertanyaan ku lagi.“Aku tinggal di Jalan Cempaka. Gak terlalu jauh dari sini. Dan memang aku biasa makan di sini. Walau gak sering, sih. Kalau sering, ya rugi aku,” jawabnya diiringi tawa canggung.Dilihat dari wajahnya, perempuan itu tampak polos. Dia lebih suka diam