Share

Sah

 

Tiba-tiba gawai yang sedari tadi disaku celana Hamzah bergetar, hati Hamzah yang sedang berbunga-bunga, tiba-tiba harus luntur ketika ia membaca pesan dari seseorang.

“Bang, nanti malam jalan yuk, udah lama kita gak jumpa.”

Hamzah membaca sekilas pesan dari Miska, gadis yang sudah dua tahun ini dekat dengannya.

Sikap ramah hamzah membuat gadis berkulit hitam manis itu berharap lebih, walau Hamzah tidak terang-terangan menyatakan cinta padanya. Tetapi Miska sudah terlanjur menyukai Hamzah.

Pria tegap dan berhidung bangir itu mengabaikan pesan dari Miska, menyambar handuk lalu masuk ke kamar mandi.

***

 

Hari minggu pun tiba, waktu yang begitu mendebarkan bagi gadis bernama Amira.

Setelah mempersilahkan masuk para tamu yang datang, Bu Salma memberi tahu Amira yang sedang menyiapkan camilan dan minuman di dapur.

Yang hadir Ustaz Harun sekeluarga, tentunya Hamzah juga ikut, dan dua orang adik dari almarhumah uminya Hamzah.

Mereka berkumpul di ruang tamu sederhana rumah Pak Hasan, dengan duduk lesehan di tikar anyaman pandan.

Setelah sedikit berbasa- basi, Ustaz Harun menyampaikan tujuannya dan disambut oleh Pak Hasan, ayahnya Amira.

Bu Salma mempersilakan tamunya untuk menikmati camilan dan teh yang baru saja disajikan.

Umi Rubiah menyesap sedikit teh, lalu meminta Amira ikut duduk bersama mereka, ingin bertanya langsung kepada Amira.

“Amira, tentunya kamu sudah tau maksud kedatangan kami hari ini. Bersediakah menerima Hamzah untuk menjadi suamimu, Nak?” tanya Umi Rubiah lembut sesaat setelah Amira duduk di samping mamanya yang berhadapan dengan Umi Rubiah.

Sementara Amira sudah sangat grogi, wajahnya yang dibalut pasmina silver itu sudah menghangat dan bersemu.

Mendengar pertanyaan ibu sambungnya itu, hati Hamzah seakan melompat-lompat dari tempatnya. 

Amira yang ditanya, Hamzah yang gelisah luar biasa menunggu jawaban yang akan diberikan oleh sang gadis.

Amira hanya mampu mengangguk pelan sambil terus menunduk. Sadar dirinya sedang menjadi pusat perhatian, membuatnya semakin salah tingkah dengan terus meremas jari-jarinya sendiri.

Sementara Hamzah bersorak gembira di dalam hatinya, tapi tetap berusaha terlihat biasa saja.

Mahar serta tanggal pernikahan pun ditetapkan, dan langsung disetujui oleh keluarga Amira.

Sebulan lagi, bukanlah waktu yang lama, sementara Amira akan tetap beraktivitas seperti biasanya walau sudah menikah nanti, hanya statusnya saja yang akan berubah, menjadi istri dari Hamzah. Begitu kata Ustaz Harun.

***

 

“Apppa... Kamu sudah dilamar dan akan menikah, sama siapa? kok gak bilang-bilang?” pertanyaan beruntun lolos begitu saja dari mulut Maya, ketika Amira memberi tahu bahwa ia akan menikah satu bulan lagi.

“Iya, sama siapa sih, Mira?” tanya Wati yang juga ikut penasaran.

"Yang pasti, saya akan menikah, ya sama calon suami saya lah... " Gurau Amira. 

"Ya maksudnya orang mana gitu, Neng... " Jawab Maya dan Wati serempak setengah berteriak. 

Amira memperhatikan Maya, sahabatnya yang selama ini mengidolakan anak sulung pimpinan pesantren tersebut.

“Aku minta maaf ya, aku juga awalnya gak tau udah dilamar, Ustaz Harun datang ke rumahku, dan memintaku sama Ayah aku.”

“Apa, jadi yang akan menikah denganmu nanti Ustaz Hamzah?” tanya Maya benar-benar berteriak.

Amira mengangguk sambil memperhatikan ekspresi keduasa habatnya.

Maya langsung merengut, tapi hanya sebentar saja, lalu ia berusaha kembali biasa saja.

Tiba-tiba Wati memeluk Amira.

“Selamat ya say, semoga lancar sampai pelaminan ya.”Wati mengucapkan selamat dengan tulus, sebagai sahabat ia ikut terharu.

Melihat kedua sahabatnya berpelukan, Maya juga ikutan, walau hatinya sedikit tidak rela, tetapi ia berusaha ikhlas untuk sahabatnya sendiri.

Amira masih tinggal di pesantren, beraktivitas seperti biasa, walau kabar pertunangannya dengan Hamzah sudah menyebar, baik dikalangan pesantren maupun warga sekitar.

Namun Amira sudah sering pulang pergi ke rumahnya,karena ada beberapa hal tentang kelengkapan berkas pernikahan harus diurus langsung oleh calon mempelainya, seperti tes kehamilan, vaksin calon pengantin, pembekalan calon pengantin, dan lain-lain.

 

***

Hari yang mendebarkan bagi Amira sudah di depan mata, hatinya makin bimbang.

Sudahkah ini keputusan yang benar, akankah tumbuh benih cinta di antara keduanya, bisakah menjadi istri yang baik untuknya.

Berbagai pertanyaan timbul dihati seorang gadis yang sebentar lagi akan menjadi istri dari seorang Hamzah.

Terkadang muncul niat ingin menolak saja, tapi ini sudah terlanjur jauh, ada rasa tidak enak sama Ustaz Harun jika ia berubah pikiran.

Acara ijab kabul dilaksanakan di kantor Urusan agama, yang letaknya tidak jauh dari rumah orang tua Amira.

Memang tidak dibuat mewah, karena hanya ijab kabul dulu, resepsi nanti baru digelar besar-besaran di pesantren.

Hamzah menggunakan koko putih dengan celana kain hitam, lengkap dengan peci hitamnya.

Amira mengenakan gamis serba putih dipadu dengan pasmina putih juga, hanya memakai riasan tipis.

“Saya terima nikahnya Amira Azzahra binti Harun,dengan mahar tiga puluh gram emas dibayar tunai!”

Sah?

Sah!

Sah!

“Alhamdulillah.” Ucap hampir semua orang yang hadir.

Dalam sekali tarik nafas Hamzah melafalkan kalimat sakti itu, yang membuat gadis yang dulunya bukan siapa-siapa baginya, kini menjadi tanggung jawabnya dunia dan akhirat.

Ya, anak gadis menjadi tanggung jawab ayahnya sampai ia menikah. Setelah menikah segala sesuatu mutlak menjadi tanggung jawab suaminya, baik urusan dunia maupun urusan ukhrawi.

Hal itu pula yang membuat Pak Hasan meneteskan air mata, gadis kecilnya sudah sah menjadi istri orang, tanggung jawabnya pun mulai berpindah tangan kepada Hamzah. 

Sementara Amira sendiri merasa biasa saja, tidak ada air mata bahagia ataupun sedih, masih seperti tidak terjadi apa-apa.

Ketika ia diminta maju ke depan untuk tanda tangan buku nikah, ada hal yang aneh rasanya ketika membayangkan ia sudah jadi seorang istri. 

Setelah tanda tangan semua berkas, Amira di persilakan untuk menyalami suaminya, Amira dan Hamzah sontak terkejut, jantung keduanya langsung berdisko ria.

“Ayo silakan salaman kedua mempelai, sudah sah tidak usah malu-malu, bahkan lebih dari bersalaman pun tidak masalah, asalkan tidak di sini.” Goda Pak Penghulu sukses membuat tertawa seisi ruangan, hingga membuat Amira dan Hamzah semakin salah tingkah.

Akhirnya dengan dituntun oleh penghulu, dan Amira dituntun oleh mamanya, bersalaman dengan malu-malu, secepatnya kembali keduanya menarik tangan masing-masing.

Setelah proses ijab kabul selesai, rombongan keluarga Hamzah dan juga keluarga Amira di arahkan untuk ke rumah, karena akan ada acara makan siang di rumah.

Makan siang berjalan meriah bagi kedua keluarga, tapi terasa canggung bagi sepasang insan yang bergelar pengantin. Nasi yang dimakan seakan tidak ada rasa, air yang diminum seakan hambar terasa. Ah, air putih ya memang hambar lah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status