Mula-mula, seluruh ruangan berteriak panik. Setelah pelaku tumbang (alasan terbesarnya karena bobot pendingin ruangan), sorak sorai menyelimuti IGD. Ada dua wanita tua yang ikut bertepuk tangan meriah padahal sudah dipasangi penghalimun.
Saat Ferdian mendekati Nala, beberapa satpam dengan cekatan meringkus pelaku.“Kau tidak apa-apa?” bisiknya. Ia memperhatikan setiap jengkal tubuh istrinya dengan hati-hati, khawatir setetes darah tiba-tiba mengalir. “Aku bisa membuatnya hidup dalam kesakitan selamanya kalau terjadi hal yang tidak-tidak padamu.”Nala mengangguk, mengisyaratkan kalau keadaannya cukup stabil. Meskipun degup jantungnya tak beraturan karena ini pertama kalinya ia menggunakan senjata api, ekspresinya masih bisa ia kontrol. Wajahnya juga kemerah-merahan melihat Ferdian begitu dekat dengannya.Sambil menarik Nala menepi, Ferdian membersihkan sisa bubuk residu yang menempel di pakaian istrinya itu. Sebuah hal yang sia-sia, namun secara imBayu meraih tangan gurunya. Tanpa sengaja, ia meremasnya agak kuat sampai menarik perhatian pemilik jemari.“Kau takut?”Bu Dewi memelankan langkah kakinya. Mereka melewati lorong sekolah yang sepi menuju gedung kepala sekolah.“Apa bu guru pernah dengan penuh kesadaran berjalan mendekati tartarus?”Senyum tipis menghiasi wajah wanita itu. Ia menggigit bibir.“Ibu tidak pernah berniat mati untuk pergi ke tartarus.”“Semua aparat keamanan akan mati di dalam tartarus.” Bayu bersikeras. “Tempat penuh api yang menakutkan, dengan monster yang sanggup menguliti setiap manusia dengan rasa sakit dan penderitaan. Tanahnya bisa membakar setiap jengkal jaringan di dalam tubuh sampai menghitam sebelum menjadi abu. Dan akan terus begitu dalam keabadian.”Bu Dewi menghentikan langkahnya. Bola matanya menyelami kedua mata Bayu yang gemetaran. Wanita itu mencium rasa takut dari tubuh kecil itu.“Kenapa kami harus mati di dalam
Nala berdiam diri agak lama di ruangannya. Seluruh pekerjaannya sudah selesai dikerjakan. Tak ada pemeriksaan yang belum atau sedang dalam pengerjaan. Kalau dalam sepuluh menit tak ada pasien baru yang masuk dan diharuskan menginap, Nala bisa pulang.Tidak. Seharusnya sudah sepuluh menit yang lalu ia bisa meninggalkan rumah sakit. Bahkan, Anya sudah tak diketahui keberadaannya sesaat setelah istirahat makan siang dimulai. May dan Daniar juga sudah tengah bersiap-siap pergi, dan Syahrul juga sudah datang dan sedang bermain game di ruang ganti.Nala, masih mengenakan pakaian ruangan, masih meratapi layar komputer. Perasaannya kalut.“Kau tidak pulang?” May muncul dari pintu pemeriksaan menenteng tas. Daniar mengekor di belakangnya.“Aku.. ya. Setelah ini.” Nala menekan perutnya, berpura-pura menahan sakit. “Aku agak sembelit.”Kedua rekannya mengangguk seolah mengerti, dan berlalu. Kedua bola mata Nala mengikuti bayangan mereka menghilang d
“Apa yang terjadi padanya?” Blue kelabakan. Ia lantas memeluk Bayu yang tengah terbaring lemas sambil sayup-sayup mengerjapkan mata. Bibirnya tampak pucat, dan sesekali menyedot ingus. Bu Dewi berdiri di samping ranjang bocah itu sambil membenarkan posisi infus.“Karena ketahuan merusak harpa, Bayu dipanggil kepala sekolah, Pak. Saat Bu Anggi berteriak, saya sudah mendapati anak bapak tergeletak tak berdaya di atas karpet.”Blue menghela nafas. Ia jengkel dengan kelakuan kakaknya yang dengan sengaja menyeret bocah berusia sepuluh tahun pada misi berbahaya sendirian.“Kau tidak apa-apa, kan, jagoan?” suara Blue membelai telinga Bayu yang lemah. Bocah itu menatap pamannya lekat-lekat.“Aku tidak apa-apa, sih..” gumamnya. “Tapi, jangan beritahu pria itu, oke?”“Terlambat. Aku sudah menghubunginya.”Mata Bayu membulat. “Tapi, kan, Ayah.. maksudku, ya.. itu.. kan sedang sibuk bekerja.”Blue merapikan selimut dan menata bantal Bayu. Bocah itu menurut. Ia tak terlalu kesal atas keputusan sep
Nala tak banyak bersuara. Kini ia berada di dalam mobil bersama pria dengan wajah asing namun familiar. Aroma kayu hangat mengusik hidung wanita itu, membuat jantungnya berdebar. Tak ada satu kata pun yang mampu ia utarakan. Entah bagaimana menjelaskan perasaannya yang campur aduk.“Kau tidak apa-apa?”“Eh?” Nala tersentak. “Ya. Aku.. baik..”Senyum pria di sampingnya mengembang. Meskipun sedang fokus menyetir, sudut matanya berkedut, tampak memperhatikan tindak tanduk istrinya yang gugup.“Kau lucu.”“Aku?”“Seperti saat pertama kali bertemu saja. Aku tahu kau menyukaiku di pertemuan pertama kita.”Mendengar dirinya dipermalukan, Nala tersulut.“Jadi, yang pertama menyukai itu aku ya? Kau tidak merasakan apapun saat mata kita berpandangan? Oh, pantas saja rasanya selama ini rasa cintaku yang lebih besar daripada milikmu.”Pria itu cekikikan. Mobilnya ia atur agar bisa auto pilot, sedangkan tangannya si
Semilir angin membangunkan tidur Bayu. Bau daging panggang menyambutnya. Ia bertanya-tanya sedang berada di mana, dan merunut kejadian yang terjadi belakangan di otaknya. Setelah beberapa saat, Bayu sadar kalau ia sedang berada di sofa ruang tamu, masih lengkap dengan seragam yang belum diganti.“Paman..” erangnya. Bocah itu berjalan limbung ke dapur, dan duduk di kursi makan.Blue yang sedang memasak, teralihkan. Senyumnya mengembang.“Halo, jagoan. Nyenyak tidurnya?”“Sudah berapa lama aku tidur?”Blue terdiam, mencoba mengakurasi waktu yang ia butuhkan untuk membawa Bayu pulang ke rumah.“Empat jam lebih sedikit. Atau lebih banyak, aku tak tahu. Tidak apa-apa, sekarang sudah aman.”“Uhh..”“Lihat! Pamanmu yang keren dan rupawan ini sedang memanggang daging sapi. Kau pasti suka. Tapi aku kurang baik dalam membuat pelengkap. Kita pakai saos kemasan saja, oke? Ada keripik kentang yang masih utuh. Nanti kuambilka
Jantung Nala berdegup kencang. Perasaannya campur aduk dalam ketidakpastian. Ia menapaki setiap jengkal apartemen Sky dengan hati-hati dan gemetar. Tangannya menyentuh dinding, jaga-jaga kalau tubuhnya tak mampu membendung hasrat yang menggebu-gebu.Matanya melihat-lihat sekumpulan pot kecil berisi kaktus mini. Sebuah penyiram air berbentuk gajah yang mungil, berada di dekatnya.“Kau.. kau berkebun?” tanya Nala, sementara Sky sedang menyeduh seteko kopi.“Kau tidak bisa menyebut seseorang yang memelihara kaktus sebagai tukang kebun, sayang.”Bibir Nala berkedut. Ia masih tak terbiasa mendengarkan suaminya berbicara centil kepadanya. Bahkan, apa yang mereka alami hari ini rasanya bagaikan mimpi yang bisa sewaktu-waktu dibuyarkan oleh satu sentakan brengsek seseorang yang dengan kasar membangunkannya dari tidur siang.Namun, tentu saja Nala berdoa dengan sungguh-sungguh agar semua yang ia alami memang benar-benar nyata. Semoga yang sedang t
Nala adalah orang pertama yang menggeliat begitu menangkap bayangan seseorang mematung memperhatikan dirinya telanjang bulat di bawah selimut bersama Sky. Matanya menyipit, mencoba mengolah informasi di tengah kegelapan. Samar-samar cahaya lampu ruang tengah, menyeruak memasuki kamar.Bayangan itu berjalan menjauh. Bayangan seorang wanita berambut panjang dan memakai stileto.Nala memekik, membangunkan Sky yang masih terlelap.“Ada apa?” tanya pria itu, menenangkan Nala. “Kau ketakutan.”“Orang..” Nala terbata-bata. “Aku lihat ada perempuan..”Sky mengerjapkan matanya sekali, dan tersenyum tipis. “Tak usah kau hiraukan.” Ia ambruk lagi, masuk ke dalam selimut yang hangat. “Bukan siapa-siapa.”Sky menjerit kecil tatkala pahanya dicubit. Nala membelalakkan matanya jengkel sebelum menarik selimut, membuat tubuh Sky terpampang jelas. Wajah wanita itu memerah.Dililitkannya selimut itu mengitari tubuh, dan berjalan hati-hati ke luar kamar. Suara televisi menyambutnya yang masih berusaha ker
Anya menggerakkan kakinya sambil menunggu menu utama dihidangkan. Semangkuk makanan pembuka, ia pandangi lekat-lekat. Hari ini ia lapar, namun tidak berselera sama sekali. Selalu seperti itu saat sedang baru menemukan kesenangan baru.“Ada apa, sayang?” tanya seorang wanita paruh baya bertubuh tinggi dan langsing yang duduk di seberang Anya. Rambutnya diatur rapi dan ditata. Wajahnya tegas dengan sorot mata yang tajam memikat. Senyumnya samar, menyiratkan kekuasaan dan kepuasan terpendam.“Ma, aku menyukai seseorang.” Anya menjawab malu-malu. Hartono yang mendengar pernyataan anak gadis semata wayangnya itu tak terlalu menggubris. Sudah beberapa kali ia mendengar anaknya menyukai pria berbeda dalam beberapa minggu terakhir. Pria itu sendiri terkejut saat George bisa dengan mudah berhubungan lebih dari dua bulan lamanya dengan Anya.“Oh? Apakah dia pria kaya?” sebaliknya, ibu dari gadis itu menampakkan rasa tertariknya yang mendalam. Saat itu, men