Masuk“Vril, share loc alamat kost-an lo yang baru, cepetan,” ucap Lote terburu-buru. Langkahnya cepat menuju pangkalan ojek, melewati pintu samping pemukiman warga yang berbatasan langsung dengan kompleks tempat tinggalnya.
“Lo kabur, Lote?” tanya Avril dari seberang sambungan, terdengar kaget. “Iya, cepetan ih sebelum ketahuan,” sahut Lote, menurunkan suara sambil terus berjalan cepat. “Oke, bentar,” jawab Avril lagi. Ia langsung memutus telepon dan mengirim titik lokasi kost barunya pada Lote. Pelariannya kali ini sudah direncanakan dengan matang. Sang ibu sedang dinas ke luar kota, sementara ayahnya sudah beberapa hari tak pulang. Kepada guru homeschooling-nya, Lote beralasan sedang sakit hingga sesi belajar dibatalkan. Hanya tinggal dia dan pembantu rumah tangga. Dalam perjalanan, Lote sempat meminta ojek yang mengantarnya untuk berhenti sejenak di ATM. Setelah itu, ia melanjutkan pelariannya menuju kost-an Avril. “Gue kira nggak bakal ketemu lo lagi,” ujar Avril sambil membuka gerbang kost-annya. Senyumnya campur antara lega dan kaget. “Kata Bu Adna, lo nggak lanjut sekolah, tapi nggak ada yang bilang lo pindah ke mana.” “Ceritanya panjang, Vril.” Lote menghela napas, suaranya lelah. “Gue boleh nginep di sini nggak? Sementara aja, soalnya nggak tahu harus ke mana lagi.” Avril menatap Lote beberapa detik sebelum mengangguk. “Sure, di sini aja dulu. Belum ada yang tahu juga gue pindah ke sini. Tempatnya asyik kok, campur, cewek cowok. Bu kost juga katanya jarang nongol.” Ia meraih tangan Lote dan menggandengnya masuk, menaiki tangga menuju lantai tiga. Lote mengikuti dengan langkah pelan, sesekali menatap sekeliling. Bangunan itu ternyata lebih bagus dari bayangannya. Empat lantai, bersih, dindingnya dicat warna krem muda, tempat parkirnya juga luas. “Ini tempat baru?” tanya Lote pelan. “Iya, gue baru pindah dua minggu lalu. Nyari tempat yang nggak banyak orang tau dan cukup jauh dari permukiman warga. Lo tau sendiri kalo deket kampung, warga-warganya suka julid kalo keberisikan dikit aja.” Lote hanya mengangguk. Dalam diam, ia berpikir betapa tempat ini terasa seperti napas baru. Ruang ideal untuk kabur, untuk tenang, jauh dari pertengkaran orang tuanya. “Sumpah Vril, lo nggak tau gue pengen banget kost kek gini.” Avril tersenyum miris. “Ya udah, anggap aja ini tempat lo sekarang. Selama lo butuh, gue selalu ada buat lo.” Lote menatap sahabatnya. Untuk pertama kalinya setelah beberapa minggu berlalu, dadanya terasa sedikit lebih ringan. * Menjelang malam, Lote mulai menelan ludah membayangkan aroma cabai dan kencur dari seblak yang dipesan Avril. Perutnya sudah keroncongan sejak sore dan kini bayangan makanan pedas berkuah itu makin membuat perutnya berkeriuk. “Level lima, kayaknya bakalan nendang banget di lidah,” monolog Lote. Avril baru saja turun ke bawah untuk mengambil pesanan dari layanan antar makanan. Sementara itu, Lote tetap rebahan di atas kasur. Tiba-tiba, suara deru knalpot motor yang keras dan bising, terdengar dari arah depan kost. Bunyinya tidak seperti motor biasa, mirip motor sport yang sedang dipacu rendah. Lote sontak bangkit, penasaran muncul mengalahkan rasa laparnya, membuat gadis itu menengok ke luar jendela. Dari sana, ia bisa melihat halaman depan kost-an yang remang, diterangi lampu sorot kecil. Tiga motor sport berderet di pinggir jalan, bodinya berkilau mencolok di bawah cahaya. Di antara mereka, salah satu pengendara masih mengenakan helm full-face hitam pekat. Sosok itu tampak sedang berbicara santai dengan Avril. Jaraknya terlalu jauh untuk bisa terdengar jelas, tapi dari cara Avril tertawa dan menepuk lengan pria itu membuat Lote bisa menebak kalau mereka cukup akrab. Mata Lote sempat menatap pria berhelm itu lebih lama. Ada sesuatu yang membuatnya tak bisa langsung berpaling, entah posturnya yang tegap, atau aura misterius yang terpancar meski rupa sang pria tersembunyi. Beberapa menit kemudian, Avril kembali masuk dan menaiki tangga sambil membawa plastik seblak yang masih mengepul panas. “Lo ngintip ya?” goda Avril sambil mendorong pintu kamar yang sedikit terbuka. Lote mengedik pelan tak acuh. “Nggak sengaja. Tadi berisik banget suaranya. Kirain anak-anak The Black Panther.” Avril terkekeh, meletakkan plastik seblak di atas meja lalu membawa mangkok. “Bukan, mereka bukan dari geng sekolah kita. Justru salah satu alasan gue pindah ke kost-an ini ya karena mereka.” Lote mengerutkan kening, tertarik. “Maksud lo?” Avril duduk santai di pinggir ranjang sambil mulai membuka bungkus seblaknya. “Mereka itu anak-anak Silver Bullets, geng motor dari SMA Mahardika Raya. Lo pasti pernah denger, sekolah elite yang isinya anak-anak sultan semua. Mobil mewah, motor gede, gaya hidupnya edan.” Lote mengangguk pelan, matanya mulai berbinar penasaran. “Dan percaya nggak,” lanjut Avril sambil menyuapkan satu sendok seblak ke mulutnya. “Mereka tuh cakep-cakep, parah. Kalau lo mau, besok gue kenalin.” Lote mengangkat alis. “Serius lo?” “Lah, kapan gue bohong ke lo?” Avril terkekeh sambil menyodorkan sendok ke arah Lote. “Nih, coba dulu seblaknya. Pedesnya mantep.” Keringat membanjiri pelipis Lote seiring suapan demi suapan seblak pedas ke mulutnya. “Gila sih seblaknya, pedes tapi nagih,” ucap Lote dengan sesekali mendesis kepedesan. “Level lima gila sih itu, gak tahan gue pake pedes sebanyak itu. Awas sakit perut loh!” peringat Avril. “Pedesnya seblak ini belom sepedes mulut emak gue kalo ngomong.” Avril tertawa. “Valid itu, emak lo dulu bilang ke gue sama Bagas, biar ga deket-deket lo lagi.” “Ck!” Lote mendecak sembari menggelengkan kepala. “Ya kayak gitulah dia, ke anak orang aja berani marahin, gimana ke gue.” “Sabar ya, Lote.” Lote menatap Avril, tersenyum, merasa terharu punya teman sepertinya yang tetap menerima walau ia datang tiba-tiba tanpa banyak bertanya. “Thanks, Vril. Serius deh, lo tuh satu-satunya orang yang nggak bikin gue ngerasa sendirian.” Avril menoleh sambil tersenyum. “Ya iyalah, walo lo tukang ilang, tapi lo tetep temen gue. Lagian, gue juga nggak punya banyak temen yang bisa diajak makan seblak malem-malem gini.” Mereka tertawa kecil bersama, tapi tawa Avril mendadak berubah menjadi ekspresi menahan sakit. Ia memegangi perut dan bok0ngnya. “Eh aduh, Lote! Kok perut gue ga enak ya? Padahal tadi cuma pesan level tiga doang,” keluhnya sambil meringis. “Eh lo kenapa?” tanya Lote setengah cemas, tapi belum sempat membantu, perutnya sendiri juga mulai protes. Rasa mulas datang menyerang tiba-tiba. “Vril gue juga … aduh ini sakit beneran.” Ringis Lote, wajahnya mulai pucat. Avril cepat-cepat berdiri. “Gue duluan ya, tapi kalau lo udah nggak kuat, kamar mandi luar ada di ujung lorong, deket tangga, sebelah dispenser.” “Oke, noted,” jawab Lote, masih memegangi perut. Tak lama kemudian, giliran Lote yang benar-benar tak tahan. Ia berlari secepat kilat ke kamar mandi luar lantai tiga. Tapi sial, pintunya terkunci. “Ya ampun, seriusan ini?!” Lote mengetuk panik. “Halo? Masih lama nggak?” Tak ada jawaban, napasnya makin ngos-ngosan. Dengan sisa tenaga, ia memutuskan lari turun ke lantai dua dengan asumsi akan ada kamar mandi luar di setiap lantai di kost-an tersebut. Ia nyaris mendorong pintu kamar mandi di sana, saat tiba-tiba seseorang lebih dulu membukanya dari dalam. Seorang pemuda keluar, hanya memakai handuk yang melilit di pinggang. Rambutnya masih basah, dada dan perutnya terbuka jelas. Otot-otot perutnya kotak-kotak seperti roti sobek, sixpack sempurna yang membuat Lote terpaku. Pemuda itu juga tampak kaget melihat gadis yang hampir menerobos kamar mandi dan membeku di tempat. “Eh lo?” tanyanya heran. Lote tidak menjawab, matanya terkunci di tubuh pemuda itu. Dunia sempat berhenti sejenak, tapi hanya sebentar karena detik berikutnya, terdengar suara kentut. Keras, panjang, dan tak terelakkan. Duuuuut! Lote langsung membeku, matanya membelalak, bibirnya terbuka tapi tak ada suara yang keluar. Wajahnya seketika merah padam. Pemuda itu tersentak pelan, lalu spontan mengibaskan tangannya di depan wajah. “Whoa!” serunya spontan, nyaris tertawa, tapi berusaha menahannya demi kesopanan. Ia lalu bergeser memberi Lote jalan. Tak butuh waktu lama, Lote buru-buru masuk ke kamar mandi, menutup pintu dengan suara keras. Di dalam, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, ingin menghilang dari muka bumi. Dari balik pintu, terdengar suara pemuda itu, setengah geli. “Semangat ya.” Entah kenapa, justru ucapan itu membuat Lote semakin ingin mengubur diri di lubang kloset. "Fu©k! Habislah image-ku," keluhnya dengan wajah merona merah."Dito! Please!" Lote menghambur memeluk kaki Dito yang hendak melangkah keluar kamar. "Charlotte, udah. Jangan begini!" Dito berusaha melepaskan pegangan Lote. Walaupun masih marah, Dito berusaha tak berbuat kasar. "Engga! Gue ga mau pisah! Gue ... gue ...." Napas Lote tiba-tiba tercekat, dadanya terasa ditekan sesuatu yang berat. "Charlotte! Kenapa?" Dito menyadari wajah Lote berubah pucat. "Charlotte!" Tubuh Lote terasa lemas, ia mencengkeram da-danya, bernapas susah payah. Pandangan Lote mulai buram, bercak-bercak kegelapan muncul di sudut mata. "Charlotte! Charlotte!" panggil Dito panik. "Dhysa! Dhysa!" Dhysa buru-buru masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas?" "Tolong panggil mantri ke mari!" Dhysa terkejut meli
Lote mencoba berontak, tubuhnya tersentak ke kiri dan kanan, tapi cengkeraman Ucup terlalu kuat.“Lepasin! Ucup, lepasin gue!” jerit Lote, matanya bergerak liar mencari celah untuk kabur. Namun pintu depan terasa jauh, dan tubuh Ucup seperti batu besar di atasnya.Ucup tertawa kasar, giginya yang kuning menyeringai jijik. “Dari dulu aku pengen ngerasain kamu, Bidadari. Kamu itu seksi banget. Aku bosen onani terus, sekarang giliran kamu puasin aku ya.”Lote menjerit histeris. Kepalanya menggeleng, menolak, sementara Ucup mencoba membuka kancing bajunya dengan tangan gemetar karena nafsu. Kancing pertama terlepas. Lote langsung menekuk kakinya dan menendang Ucup sekuat tenaga.“Arrgh!” Ucup mengaduh keras, tubuhnya goyah. Lote segera bangkit, tapi baru sempat separuh duduk, tangan pemuda itu kembali mendorongnya kasar.“Tolong! Tolong!”Geram, pemuda itu kini menindih Lote semakin keras, mengeluarkan p
"Ya?" Dito membersihkan tangannya dengan air keran, mengusap ke celananya sebelum menghampiri Dhysa. "Kenapa Dhysa?" Dhysa menekan rasa gugupnya, gadis itu menelan ludah beberapa kali sebelum berbicara, "Tadi pas Dhysa dari pasar dan mau pulang, Dhysa dicegat.""Hah?! Dicegat siapa?" tanya Dito khawatir."Ucup si preman kampung, Mas." Kedua tangan Dhysa bertaut cemas, bukan karena aktingnya saja, tapi dia memang tak pernah mencelakai orang sebelumnya. Ini yang pertama, jadi hati nurani Dhysa merasa bersalah, muncul dalam wujud gugup."Ucup? Dia enggak ngapa-ngapain kamu 'kan, Dhysa?""Ga, untungnya ga sih Mas, tapi ...." Tenggorokannya terasa tercekat."Tapi apa?" Dito sudah tegang, apalagi ekspresi Dhysa yang tampak tegang membuatnya langsung nethink."Ucup ngasih surat ke aku, minta anterin ke Mbak Lote.""Apa?!" "Iya, Mas. Keknya mereka ada sesuatu," uca
Pagi-pagi Dito sudah pergi ke peternakan, dan bilang ke Lote kalau dia akan ikut Tono mengirimkan telur ke kota. Lote mengangguk dan melepas kepergian suaminya itu dengan satu wadah pisang goreng yang masih panas. Pokoknya dia benar-benar akan menjadi istri yang baik.Lote bersenandung kecil sambil merapikan pakaian Princessa yang mau disetrika. Dalam otaknya dia sudah menyusun rencana akan memasak apa untuk suaminya nanti.Ia menatap Princessa yang sudah wangi dan tidur lagi karena kekenyangan ASI, dan saat tak sengaja melirik jam dinding, Lote mulai bertanya-tanya. Kemana Dhysa? Sudah jam sembilan dan gadis itu belum muncul di sana.Lote sempat tersenyum kecil. “Akhirnya sadar juga,” pikirnya, mengira Dhysa tak akan datang lagi.Sayangnya, harapan itu hanya bertahan beberapa detik. Dari kejauhan, gadis itu terlihat berlari seperti dikejar utang.“Mbak, Mas Dito mana?” tanyanya dengan napas ngos-ngosan.Lote mendelik t
"Gue dah masak, lo ga perlu masak lagi pagi ini." Lote membawa piring berisi ayam goreng lengkuas andalannya ke meja makan. "Gue butuh lengkuas lagi buat besok, lo ke pasar ya." Lote merogoh saku bajunya, mengeluarkan beberapa lembar uang yang diletakkan di meja."Tapi Mbak, Inces ....""Princes biar gue aja yang jaga. Sebenarnya kami udah ga butuh lo, tapi karena Mas Dito kasian, jadi ...." Lote sengaja menggantung ucapannya, matanya menatap Dhysa mencemooh. "Dhysa, lo masih muda, masih banyak cowok ganteng di luar sana.""Maksud Mbak?" Kemarahan Dhysa semakin mendidih."Maksud gue, lo lebih baik mundur. Mas Dito cuma cinta sama gue. Dan gue masih istrinya Mas Dito. Lo jangan berlagak jadi istrinya. Bangun pagi, bawa sayur, gue tau mau lo apa." Bagi Lote, hama harus segera dipotong, tak boleh diberi kesempatan. Apalagi sampai menguasai tanah subur dan membuat padi yang seharusnya berbulir menjadi kering.
"Gue bisa ngerjain semua pekerjaan rumah. Gue bakal belajar masak lebih giat, jagain Princessa, beberes, semua. Lo yang ke pasar, gue ga keluar lagi kecuali sama lo atau nenek. Gue ga mau khilaf lagi. Gimana?" tanya Lote harap-harap cemas.Dito menggeleng kuat. "Ga bisa Charlotte. Aku sudah bilang sama Tono, mau nyoba dulu sama Dhysa.""Dito! Lo bilang lo masih cinta sama gue, napa lo begitu? Lo ga percaya sama gue?""Iya, aku belum bisa percaya sama Charlotte."Deg!Lote merasa dihantam godam di ulu hatinya. Benar! Kepercayaan yang sudah rusak, tak akan semudah itu dipulihkan. Harusnya dia tak menuntut Dito. Ini kesalahannya."Inces juga sudah nyaman sama Dhysa. Dhysa juga bertanggung jawab orangnya."Seperti tamparan keras bagi Lote. Dia memang menjadi ibu yang buruk, yang lebih mementingkan ego dan melupakan perannya. Lote menunduk malu. "Dit! Kasih gue kesempatan, gue bakal jadi ibu yang lebih bertanggung jawab buat Princes dan istri yang baik bagi lo."Dito berdiri, mengusap kepa







