Share

Bab 4. Kabur

Author: Nafish Grey
last update Last Updated: 2025-08-14 14:55:10

“Vril, share loc alamat kost-an lo yang baru, cepetan,” ucap Lote terburu-buru. Langkahnya cepat menuju pangkalan ojek, melewati pintu samping pemukiman warga yang berbatasan langsung dengan kompleks tempat tinggalnya.

“Lo kabur, Lote?” tanya Avril dari seberang sambungan, terdengar kaget.

“Iya, cepetan ih sebelum ketahuan,” sahut Lote, menurunkan suara sambil terus berjalan cepat.

“Oke, bentar,” jawab Avril lagi. Ia langsung memutus telepon dan mengirim titik lokasi kost barunya pada Lote.

Pelariannya kali ini sudah direncanakan dengan matang. Sang ibu sedang dinas ke luar kota, sementara ayahnya sudah beberapa hari tak pulang. Kepada guru homeschooling-nya, Lote beralasan sedang sakit hingga sesi belajar dibatalkan. Hanya tinggal dia dan pembantu rumah tangga.

Dalam perjalanan, Lote sempat meminta ojek yang mengantarnya untuk berhenti sejenak di ATM. Setelah itu, ia melanjutkan pelariannya menuju kost-an Avril.

“Gue kira nggak bakal ketemu lo lagi,” ujar Avril sambil membuka gerbang kost-annya. Senyumnya campur antara lega dan kaget. “Kata Bu Adna, lo nggak lanjut sekolah, tapi nggak ada yang bilang lo pindah ke mana.”

“Ceritanya panjang, Vril.” Lote menghela napas, suaranya lelah. “Gue boleh nginep di sini nggak? Sementara aja, soalnya nggak tahu harus ke mana lagi.”

Avril menatap Lote beberapa detik sebelum mengangguk. “Sure, di sini aja dulu. Belum ada yang tahu juga gue pindah ke sini. Tempatnya asyik kok, campur, cewek cowok. Bu kost juga katanya jarang nongol.” Ia meraih tangan Lote dan menggandengnya masuk, menaiki tangga menuju lantai tiga.

Lote mengikuti dengan langkah pelan, sesekali menatap sekeliling. Bangunan itu ternyata lebih bagus dari bayangannya. Empat lantai, bersih, dindingnya dicat warna krem muda, tempat parkirnya juga luas.

“Ini tempat baru?” tanya Lote pelan.

“Iya, gue baru pindah dua minggu lalu. Nyari tempat yang nggak banyak orang tau dan cukup jauh dari permukiman warga. Lo tau sendiri kalo deket kampung, warga-warganya suka julid kalo keberisikan dikit aja.”

Lote hanya mengangguk. Dalam diam, ia berpikir betapa tempat ini terasa seperti napas baru. Ruang ideal untuk kabur, untuk tenang, jauh dari pertengkaran orang tuanya.

“Sumpah Vril, lo nggak tau gue pengen banget kost kek gini.”

Avril tersenyum miris. “Ya udah, anggap aja ini tempat lo sekarang. Selama lo butuh, gue selalu ada buat lo.”

Lote menatap sahabatnya. Untuk pertama kalinya setelah beberapa minggu berlalu, dadanya terasa sedikit lebih ringan.

*

Menjelang malam, Lote mulai menelan ludah membayangkan aroma cabai dan kencur dari seblak yang dipesan Avril. Perutnya sudah keroncongan sejak sore dan kini bayangan makanan pedas berkuah itu makin membuat perutnya berkeriuk.

“Level lima, kayaknya bakalan nendang banget di lidah,” monolog Lote.

Avril baru saja turun ke bawah untuk mengambil pesanan dari layanan antar makanan. Sementara itu, Lote tetap rebahan di atas kasur.

Tiba-tiba, suara deru knalpot motor yang keras dan bising, terdengar dari arah depan kost. Bunyinya tidak seperti motor biasa, mirip motor sport yang sedang dipacu rendah. Lote sontak bangkit, penasaran muncul mengalahkan rasa laparnya, membuat gadis itu menengok ke luar jendela.

Dari sana, ia bisa melihat halaman depan kost-an yang remang, diterangi lampu sorot kecil. Tiga motor sport berderet di pinggir jalan, bodinya berkilau mencolok di bawah cahaya.

Di antara mereka, salah satu pengendara masih mengenakan helm full-face hitam pekat. Sosok itu tampak sedang berbicara santai dengan Avril. Jaraknya terlalu jauh untuk bisa terdengar jelas, tapi dari cara Avril tertawa dan menepuk lengan pria itu membuat Lote bisa menebak kalau  mereka cukup akrab.

Mata Lote sempat menatap pria berhelm itu lebih lama. Ada sesuatu yang membuatnya tak bisa langsung berpaling, entah posturnya yang tegap, atau aura misterius yang terpancar meski rupa sang pria tersembunyi.

Beberapa menit kemudian, Avril kembali masuk dan menaiki tangga sambil membawa plastik seblak yang masih mengepul panas.

“Lo ngintip ya?” goda Avril sambil mendorong pintu kamar yang sedikit terbuka.

Lote mengedik pelan tak acuh. “Nggak sengaja. Tadi berisik banget suaranya. Kirain anak-anak The Black Panther.”

Avril terkekeh, meletakkan plastik seblak di atas meja lalu membawa mangkok. “Bukan, mereka bukan dari geng sekolah kita. Justru salah satu alasan gue pindah ke kost-an ini ya karena mereka.”

Lote mengerutkan kening, tertarik. “Maksud lo?”

Avril duduk santai di pinggir ranjang sambil mulai membuka bungkus seblaknya. “Mereka itu anak-anak Silver Bullets, geng motor dari SMA Mahardika Raya. Lo pasti pernah denger, sekolah elite yang isinya anak-anak sultan semua. Mobil mewah, motor gede, gaya hidupnya edan.”

Lote mengangguk pelan, matanya mulai berbinar penasaran.

“Dan percaya nggak,” lanjut Avril sambil menyuapkan satu sendok seblak ke mulutnya. “Mereka tuh cakep-cakep, parah. Kalau lo mau, besok gue kenalin.”

Lote mengangkat alis. “Serius lo?”

“Lah, kapan gue bohong ke lo?” Avril terkekeh sambil menyodorkan sendok ke arah Lote. “Nih, coba dulu seblaknya. Pedesnya mantep.”

Keringat membanjiri pelipis Lote seiring suapan demi suapan seblak pedas ke mulutnya.

“Gila sih seblaknya, pedes tapi nagih,” ucap Lote dengan sesekali mendesis kepedesan.

“Level lima gila sih itu, gak tahan gue pake pedes sebanyak itu. Awas sakit perut loh!” peringat Avril.

“Pedesnya seblak ini belom sepedes mulut emak gue kalo ngomong.”

Avril tertawa. “Valid itu, emak lo dulu bilang ke gue sama Bagas, biar ga deket-deket lo lagi.”

“Ck!” Lote mendecak sembari menggelengkan kepala. “Ya kayak gitulah dia, ke anak orang aja berani marahin, gimana ke gue.”

“Sabar ya, Lote.”

Lote menatap Avril, tersenyum, merasa terharu punya teman sepertinya yang tetap menerima walau ia datang tiba-tiba tanpa banyak bertanya.

“Thanks, Vril. Serius deh, lo tuh satu-satunya orang yang nggak bikin gue ngerasa sendirian.”

Avril menoleh sambil tersenyum. “Ya iyalah, walo lo tukang ilang, tapi lo tetep temen gue. Lagian, gue juga nggak punya banyak temen yang bisa diajak makan seblak malem-malem gini.”

Mereka tertawa kecil bersama, tapi tawa Avril mendadak berubah menjadi ekspresi menahan sakit. Ia memegangi perut dan bok0ngnya.

“Eh aduh, Lote! Kok perut gue ga enak ya? Padahal tadi cuma pesan level tiga doang,” keluhnya sambil meringis.

“Eh lo kenapa?” tanya Lote setengah cemas, tapi belum sempat membantu, perutnya sendiri juga mulai protes. Rasa mulas datang menyerang tiba-tiba.

“Vril gue juga … aduh ini sakit beneran.” Ringis Lote, wajahnya mulai pucat.

Avril cepat-cepat berdiri. “Gue duluan ya, tapi kalau lo udah nggak kuat, kamar mandi luar ada di ujung lorong, deket tangga, sebelah dispenser.”

“Oke, noted,” jawab Lote, masih memegangi perut.

Tak lama kemudian, giliran Lote yang benar-benar tak tahan. Ia berlari secepat kilat ke kamar mandi luar lantai tiga. Tapi sial, pintunya terkunci.

“Ya ampun, seriusan ini?!” Lote mengetuk panik. “Halo? Masih lama nggak?”

Tak ada jawaban, napasnya makin ngos-ngosan. Dengan sisa tenaga, ia memutuskan lari turun ke lantai dua dengan asumsi akan ada kamar mandi luar di setiap lantai di kost-an tersebut.

Ia nyaris mendorong pintu kamar mandi di sana, saat tiba-tiba seseorang lebih dulu membukanya dari dalam.

Seorang pemuda keluar, hanya memakai handuk yang melilit di pinggang. Rambutnya masih basah, dada dan perutnya terbuka jelas. Otot-otot perutnya kotak-kotak seperti roti sobek, sixpack sempurna yang membuat Lote terpaku.

Pemuda itu juga tampak kaget melihat gadis yang hampir menerobos kamar mandi dan membeku di tempat.

“Eh lo?” tanyanya heran.

Lote tidak menjawab, matanya terkunci di tubuh pemuda itu. Dunia sempat berhenti sejenak, tapi hanya sebentar karena detik berikutnya, terdengar suara kentut. Keras, panjang, dan tak terelakkan.

Duuuuut!

Lote langsung membeku, matanya membelalak, bibirnya terbuka tapi tak ada suara yang keluar. Wajahnya seketika merah padam. Pemuda itu tersentak pelan, lalu spontan mengibaskan tangannya di depan wajah.

“Whoa!” serunya spontan, nyaris tertawa, tapi berusaha menahannya demi kesopanan. Ia lalu bergeser memberi Lote jalan.

Tak butuh waktu lama, Lote buru-buru masuk ke kamar mandi, menutup pintu dengan suara keras. Di dalam, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, ingin menghilang dari muka bumi.

Dari balik pintu, terdengar suara pemuda itu, setengah geli. “Semangat ya.”

Entah kenapa, justru ucapan itu membuat Lote semakin ingin mengubur diri di lubang kloset.

"Fu©k! Habislah image-ku," keluhnya dengan wajah merona merah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 6. Melewati Batas

    Bab 6Daren mulai mendekat, perlahan, memberi ruang bagi Lote untuk mundur, tapi gadis itu bergeming bahkan mulai menutup mata. Yang terjadi, biarlah terjadi.Bibir keduanya bertemu, mulanya Darren lembut, menjelajah hati-hati. Lalu ... tiba-tiba dia menahan belakang kepala Lote, mengungkung gadis itu dengan ciuman yang mulai panas. Lote merasa panas dingin, saliva keduanya berbaur menjadi manisnya madu.Tangan Daren mulai naik, menyusuri sisi tubuh Lote di balik crop top tipis yang dipakainya. Sentuhannya hangat, membuat tubuh Lote merinding. Dia belum pernah disentuh pria secara romantis.Lote menggeliat pelan, tubuhnya bereaksi sebelum pikirannya. Napas gadis itu tercekat, terdistraksi sepenuhnya oleh sentuhan Daren yang terlalu berani.“Emm … Darren …,” desis Lote gugup, melepaskan ciu-man mereka.“Kenapa, hm?”“Di sini terlalu terbuka.”“Pindah ke kamar gue mau ya?” Ajak Darren setelah mendengkuskan tawa pelan.Seakan terbius oleh tatapan pemuda tampan itu, tanpa sadar Lote mengg

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 5. Cium

    Butuh waktu setengah jam sampai Lote menuntaskan hajat hidupnya. Ia perlahan membuka pintu, mengintip keluar."Untung udah pergi." Lote mengelus dada lega. Ia buru-buru kembali ke kamar kost Avril."Loh!" Lote tak mendapati Avril berada dalam kamar. "Kemana tuh an@k?" Gadis itu beranjak ke balkon mencari Avril.Ia mendengar suara tawa Avril dan orang lain."Nah itu dia, baru juga diomongin udah nongol." Avril melambaikan tangan melihat kehadiran Lote. "Gue bilang mau kenalin lo sama an@k Silver Bullets 'kan?"Lote mengangguk pelan, tersenyum ramah pada beberapa pemuda yang menyapanya. Sampai matanya menangkap sosok yang dia kenali. OMG! Pemuda yang mendengar suara kentutnya."Ini Darren, pemimpin The Silver Bullets," ujar Avril, menepuk lengan si pria.Lote berharap ubin di bawah kakinya retak dan menelannya hidup-hidup saking malunya."Semangat ya," ucap Darren sambil terkekeh melihat betapa merahnya wajah Lote.Oh fu©k! Lote tak tahu harus menanggapi apa. Sialnya lagi, senyum pria i

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 4. Kabur

    “Vril, share loc alamat kost-an lo yang baru, cepetan,” ucap Lote terburu-buru. Langkahnya cepat menuju pangkalan ojek, melewati pintu samping pemukiman warga yang berbatasan langsung dengan kompleks tempat tinggalnya.“Lo kabur, Lote?” tanya Avril dari seberang sambungan, terdengar kaget.“Iya, cepetan ih sebelum ketahuan,” sahut Lote, menurunkan suara sambil terus berjalan cepat.“Oke, bentar,” jawab Avril lagi. Ia langsung memutus telepon dan mengirim titik lokasi kost barunya pada Lote.Pelariannya kali ini sudah direncanakan dengan matang. Sang ibu sedang dinas ke luar kota, sementara ayahnya sudah beberapa hari tak pulang. Kepada guru homeschooling-nya, Lote beralasan sedang sakit hingga sesi belajar dibatalkan. Hanya tinggal dia dan pembantu rumah tangga.Dalam perjalanan, Lote sempat meminta ojek yang mengantarnya untuk berhenti sejenak di ATM. Setelah itu, ia melanjutkan pelariannya menuju kost-an Avril.“Gue kira nggak bakal ketemu lo lagi,” ujar Avril sambil membuka gerbang

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 3. Teguran Keras

    Langkah Widya menggema di sepanjang lorong rumah sakit. Udara dipenuhi bau alkohol medis dan antiseptik, menusuk hidung, membuat dadanya semakin sesak. Detak jantungnya berpacu tak karuan. Rambut perm wanita itu berantakan, napasnya tersengal, sementara matanya menatap lurus ke depan, ke arah pintu IGD yang masih jauh.Di sekelilingnya, deretan kursi tunggu penuh dengan wajah-wajah cemas dan lelah. Teriakan singkat perawat terdengar dari balik tirai-tirai putih, suara roda brankar berderak melintasi lantai keramik. Monitor-monitor memancarkan bunyi bip monoton, menghantui benak Widya dengan pikiran negatif.Widya menabrak seorang pria, hanya sempat berbisik maaf tanpa menoleh, lalu terus berlari, tangannya menggenggam ponsel erat-erat seolah hidupnya bergantung pada benda itu.Pintu IGD terbuka otomatis, wanita paruh baya itu bergegas masuk. Buru-buru ia menghampiri konter perawat di sisi kiri sudut. "Sus, saya orang tua gadis yang kecelakaan dini hari.""Oh, di sebelah, Bu." Perawat

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 2. Terjerumus

    Semakin malam diskotek semakin ramai. Lampu strobo berkedip-kedip, menyoroti lautan manusia yang menari mengikuti irama rancak. Alunan EDM keras menggetarkan lantai, berbaur dengan gerakan puluhan pengunjung yang terlalu bersemangat.Lote masih di tengah kerumunan, tubuhnya terus menari mengikuti alunan musik. Tangan gadis itu terangkat tinggi, kepala bergoyang ke kiri dan kanan, rambutnya mulai berantakan, tetapi justru itulah yang membuatnya terlihat lepas dan hidup.Ia tak peduli meskipun keringat mengalir di pelipis, membuat make-upnya terlihat cakey. Musik memenuhi kepala Lote, setiap entakan bass seolah menyatu dengan detak jantungnya.Sesekali Lote kembali ke meja tempat teman-temannya berkumpul, menenggak gelas berisi minuman keras berwarna kuning . Cairan itu meluncur ke tenggorokannya dan membakar pelan. Matanya menyipit, lalu ia kembali ke lantai dansa menggoyangkan pinggul, lebih berani, lebih panas.“Wohoooo!” beberapa pengunjung berseru ribut mengikuti teriakan sang DJ.

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 1. Rumah Tanpa Kehangatan

    "Kamu nyuruh aku di rumah aja, Mas? Ga adil banget!" Seorang wanita modis dengan pakaian kantoran membanting berkas di meja kerjanya."Tapi Lote butuh kamu, Widya! Lote masih kecil, kamu mamanya!" Pria berkacamata dengan rambut hampir habis di bagian depan itu membentak istrinya."Kamu ga bisa ngungkung aku kek begini, Mas! Ini hidup aku! Dulu kamu janji tetap ngizinin aku kerja mesti udah lahirin, kenapa sekarang berubah?" Widya mengusap rambut gelombang perm-nya tak percaya, hampir menumpahkan gelas kopi kekinian di atas meja."Ya sekarang 'kan kondisinya beda. Aku bisa cukupin hidup kita, Wid! Kamu ga perlu kerja!""Cukup kamu bilang! Sekolah Widya ke depan gimana? Aku pengen ngasih yang terbaik buat anak kita Mas. Bukan yang pas-pasan.""Ya kan bisa hemat dulu, bisa nabung!" Brian mengetuk meja tak sabaran."Nabung Mas bilang, memangnya gaji Mas berapa? Mas tahu berapa kebutuhan rumah kita? Les Lote berapa? SPP berapa? Ga 'kan? Mas cuma kasih 4 juta, cukup ga cukup harus cukup-cuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status