Share

Bab 3. Teguran Keras

Author: Nafish Grey
last update Last Updated: 2025-08-14 14:54:14

Langkah Widya menggema di sepanjang lorong rumah sakit. Udara dipenuhi bau alkohol medis dan antiseptik, menusuk hidung, membuat dadanya semakin sesak. Detak jantungnya berpacu tak karuan. Rambut perm wanita itu berantakan, napasnya tersengal, sementara matanya menatap lurus ke depan, ke arah pintu IGD yang masih jauh.

Di sekelilingnya, deretan kursi tunggu penuh dengan wajah-wajah cemas dan lelah. Teriakan singkat perawat terdengar dari balik tirai-tirai putih, suara roda brankar berderak melintasi lantai keramik. Monitor-monitor memancarkan bunyi bip monoton, menghantui benak Widya dengan pikiran negatif.

Widya menabrak seorang pria, hanya sempat berbisik maaf tanpa menoleh, lalu terus berlari, tangannya menggenggam ponsel erat-erat seolah hidupnya bergantung pada benda itu.

Pintu IGD terbuka otomatis, wanita paruh baya itu bergegas masuk. Buru-buru ia menghampiri konter perawat di sisi kiri sudut. "Sus, saya orang tua gadis yang kecelakaan dini hari."

"Oh, di sebelah, Bu." Perawat mengantarnya ke brankar di ujung yang tertutup tirai. "Kakinya luka-luka. Kita perlu rontgen untuk memastikan tak ada tulang yang patah."

Widya melihat Lote sedang tertidur, wajah dan kaki putrinya sudah diperban, matanya lalu beralih pada dua orang di samping brankar putrinya. Bagas dan Avril juga mengalami luka ringan.

"Ok Sus, dibawa rontgen saja."

Suster mengangguk mengerti. "Sebentar ya, Bu." Berjalan pergi memanggil petugas medis lain yang bertugas.

Widya berkacak pinggang menatap kedua teman Lote. "Apa yang terjadi? Kenapa anak tante bisa sampai begini?"

Avril menyenggol Bagas. "Gas, lo aja yang ngomong."

Bagas berdeham canggung, mulai menjelaskan apa yang terjadi, berusaha menutupi bahwa Lote sempat mabuk, tapi Widya tidak bodoh. Melihat an@k-anak muda yang matanya tak terlalu fokus membuatnya beransumsi.

Ia mendekati Lote, mengendus pakaian anaknya dan mencium bau alk0hol kuat. "Lote mabuk ya, kalian bikin anak tante mabuk?"

"Itu ...." Bagas menelan ludah gugup.

"Sekarang kalian pergi! Jangan sampai tante liat wajah kalian lagi. Jangan pernah sekali-kali mendekati anak tante!” hardiknya marah, tak bisa menjaga nada suara lagi sampai salah satu suster yang lewat memperingati Widya.

"Ya, Tante. Maaf. Kami permisi dulu." Avril buru-buru menggandeng Bagas pergi.

"Pantas saja Lote stres, nyokapnya saja modelan begitu. Kek maung," keluh Bagas sewaktu mereka sampai di luar rumah sakit.

"Ya 'kan emang kita yang salah juga sih. Kalau Lote kenapa-kenapa bisa berabe."

Bagas mengangguk pelan. "Tetap aja, kalau punya nyokap begitu juga gue bakal mabok tiap hari, kabur dah dari rumah."

"Hus! Udah. Gas yok, pulang aja. Moga aja Lote ga diceramahin abis-abisan." Avril mendorong Bagas menuju motornya.

***

Dua belas jam kemudian Lote terbangun dengan rasa sakit mendera kakinya. Ia sudah di ruang perawatan dan ibunya menatapnya dengan mata melotot.

"Kamu ya, kalau ga ngerepotin orang tua ga bisa. Selalu bikin mama pusing, selalu buat masalah."

Baru saja terbangun sudah diomelin, Lote merasa kepalanya hendak pecah.

"Mulai hari kamu mama hukum!"

"Ma, kepala gue sakit."

Widya menoyor kepala Lote. "Makanya jangan mabok, masih kecil sudah berani mabok!"

"Lote juga ga akan begini kalau Mama perhatiin Lote." Lote membuang wajah, berusaha menahan rasa sakitnya.

"Mama sudah cukup berjuang buat kamu, buat keluarga kita! Kamu mau nuntut mama kek gimana lagi! Mama capek Lote! Capek hadapi papa kamu, capek hadapin kamu! Bisa ga, kamu ngertiin posisi mama. Mama bertahan di rumah ini karena kamu!"

"Cerai aja!" teriak Lote marah. "Ga usah pakai alasan bertahan demi anak. Nyatanya mama dan papa ga pernah peduli sama mental Lote. Setiap hari saling menyalahkan, bertengkar setiap ketemu. Lote juga capek Ma! Lote capek! Lote cuma pengen keluarga yang tenang!"

"Benerin dulu sikap kamu! Sudah capek dibesarin ga tahu balas budi sama orang tua! Sifat kamu persis kek papamu! Mama nyesal punya kalian!"

Lote menggigit bibirnya sampai berdarah.

Brian masuk ke dalam kamar Lote mendengar suara ribut-ribut. "Keterlaluan kamu Widya. Anak masih sakit udah dimarahin!" Pria itu menunjuk wajah istrinya marah.

"Kalau gitu kenapa ga kamu aja yang urus. Dini hari di telepon rumah sakit anak lagi di IGD bukannya bangun nganterin istri malah lanjut tidur. Jangan sok paling peduli sama Lote, nyatanya kamu ga pernah bantuin urus anak! Tahunya marah, tahunya nuntut anak harus baik! Lihat ini! Ini gen kamu! Produk kamu! Lote begini persis kayak sifat kamu!"

"Aku butuh istirahat, 'kan kamu bisa nyetir. Buat apa dua orang pergi ke rumah sakit! Buktinya Lote juga baik-baik saja."

Widya melempar bantal ke wajah suaminya. "Baik kamu bilang! Anakmu mabuk makanya kecelakaan!"

"Apa?! Kamu mabuk, Lote?" Brian menoleh ke arah Lote yang sudah menutup kedua telinganya kuat-kuat.

Lote hanya menangis, tak menjawab.

"Jangan begitu lagi ya. Nanti sudah bisa cari uang baru boleh minum-minum."

Bukannya menegur, suaminya malah mendukung perbuatan tak baik sang anak, membuat Widya semakin meradang. "Gila kamu Mas! Lote rusak gara-gara kamu!"

"Enak aja, itu gara-gara kamu yang kerja terus. Anak itu harusnya dididik ibunya, bukan tugas ayah."

"Mendidik Lote itu bukan tugas ibu saja, jangan cuma mau enaknya aja Mas!"

Keduanya mulai bertengkar dengan urat. Saling berteriak dan menuding.

"CUKUP PA, MA! CUKUP!" Lote menangis keras. "Jangan bertengkar lagi! Iya, Lote yang salah, Lote bukan anak baik! Lote salah! Kalian puas sekarang! Puas!" Lote menjambak rambutnya sendiri frustrasi.

"Sudah Lote! Jangan!" Widya berusaha menahan lengan Lote. "Mas, tolong."

Brian menghela napas berat, turun tangan menghentikan Lote. Butuh beberapa saat sampai akhirnya Lote tenang karena kelelahan.

"Mas, mulai sekarang kita ga boleh biarin Lote keluar lagi. Lebih baik dia homeschooling saja biar ga kena pengaruh buruk."

Brian mengusap wajahnya. "Terserah kamu saja, atur aja an@kmu itu." Ia berjalan pergi, tak peduli dengan kegelisahan sang istri.

Sejak hari itu, Lote dilarang keluar rumah, tidak juga pergi ke sekolah meskipun skorsingnya sudah usai. Widya mengatur agar guru bisa datang mengajar putrinya.

"Ma, please. Lote mau keluar. Lote ga tahan begini."

"Nanti, kalau kamu kuliah."

"Ma, Lote janji bakal nurut," mohon Lote dengan segala cara yang bisa terpikir benaknya.

"Sekali mama bilang engga ya engga! Nurut apa kata mama, semua demi kebaikan kamu!"

Sayangnya, Widya tetap pada keputusannya. Dia semakin ketat menjaga Lote. Bukannya kedamaian yang gadis itu rasakan, tidak! Dia tak membaik, mental Lote semakin memburuk karena kini harus bersama kedua orang tuanya sepanjang waktu. Tak ada ruang untuk bernapas, pertengkaran yang tiada akhir.

Pemberontakan Lote kian menjadi. Sampai pada akhirnya, diam-diam ia kembali melompati jendela kamarnya, menyelinap pergi tanpa sepengetahuan pembantu rumah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 50. Please, Dit!

    "Dito! Please!" Lote menghambur memeluk kaki Dito yang hendak melangkah keluar kamar. "Charlotte, udah. Jangan begini!" Dito berusaha melepaskan pegangan Lote. Walaupun masih marah, Dito berusaha tak berbuat kasar. "Engga! Gue ga mau pisah! Gue ... gue ...." Napas Lote tiba-tiba tercekat, dadanya terasa ditekan sesuatu yang berat. "Charlotte! Kenapa?" Dito menyadari wajah Lote berubah pucat. "Charlotte!" Tubuh Lote terasa lemas, ia mencengkeram da-danya, bernapas susah payah. Pandangan Lote mulai buram, bercak-bercak kegelapan muncul di sudut mata. "Charlotte! Charlotte!" panggil Dito panik. "Dhysa! Dhysa!" Dhysa buru-buru masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas?" "Tolong panggil mantri ke mari!" Dhysa terkejut meli

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 49. Keknya Kita Harus ....

    Lote mencoba berontak, tubuhnya tersentak ke kiri dan kanan, tapi cengkeraman Ucup terlalu kuat.“Lepasin! Ucup, lepasin gue!” jerit Lote, matanya bergerak liar mencari celah untuk kabur. Namun pintu depan terasa jauh, dan tubuh Ucup seperti batu besar di atasnya.Ucup tertawa kasar, giginya yang kuning menyeringai jijik. “Dari dulu aku pengen ngerasain kamu, Bidadari. Kamu itu seksi banget. Aku bosen onani terus, sekarang giliran kamu puasin aku ya.”Lote menjerit histeris. Kepalanya menggeleng, menolak, sementara Ucup mencoba membuka kancing bajunya dengan tangan gemetar karena nafsu. Kancing pertama terlepas. Lote langsung menekuk kakinya dan menendang Ucup sekuat tenaga.“Arrgh!” Ucup mengaduh keras, tubuhnya goyah. Lote segera bangkit, tapi baru sempat separuh duduk, tangan pemuda itu kembali mendorongnya kasar.“Tolong! Tolong!”Geram, pemuda itu kini menindih Lote semakin keras, mengeluarkan p

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 48. Jujur Deh

    "Ya?" Dito membersihkan tangannya dengan air keran, mengusap ke celananya sebelum menghampiri Dhysa. "Kenapa Dhysa?" Dhysa menekan rasa gugupnya, gadis itu menelan ludah beberapa kali sebelum berbicara, "Tadi pas Dhysa dari pasar dan mau pulang, Dhysa dicegat.""Hah?! Dicegat siapa?" tanya Dito khawatir."Ucup si preman kampung, Mas." Kedua tangan Dhysa bertaut cemas, bukan karena aktingnya saja, tapi dia memang tak pernah mencelakai orang sebelumnya. Ini yang pertama, jadi hati nurani Dhysa merasa bersalah, muncul dalam wujud gugup."Ucup? Dia enggak ngapa-ngapain kamu 'kan, Dhysa?""Ga, untungnya ga sih Mas, tapi ...." Tenggorokannya terasa tercekat."Tapi apa?" Dito sudah tegang, apalagi ekspresi Dhysa yang tampak tegang membuatnya langsung nethink."Ucup ngasih surat ke aku, minta anterin ke Mbak Lote.""Apa?!" "Iya, Mas. Keknya mereka ada sesuatu," uca

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 47. Tipu Muslihat

    Pagi-pagi Dito sudah pergi ke peternakan, dan bilang ke Lote kalau dia akan ikut Tono mengirimkan telur ke kota. Lote mengangguk dan melepas kepergian suaminya itu dengan satu wadah pisang goreng yang masih panas. Pokoknya dia benar-benar akan menjadi istri yang baik.Lote bersenandung kecil sambil merapikan pakaian Princessa yang mau disetrika. Dalam otaknya dia sudah menyusun rencana akan memasak apa untuk suaminya nanti.Ia menatap Princessa yang sudah wangi dan tidur lagi karena kekenyangan ASI, dan saat tak sengaja melirik jam dinding, Lote mulai bertanya-tanya. Kemana Dhysa? Sudah jam sembilan dan gadis itu belum muncul di sana.Lote sempat tersenyum kecil. “Akhirnya sadar juga,” pikirnya, mengira Dhysa tak akan datang lagi.Sayangnya, harapan itu hanya bertahan beberapa detik. Dari kejauhan, gadis itu terlihat berlari seperti dikejar utang.“Mbak, Mas Dito mana?” tanyanya dengan napas ngos-ngosan.Lote mendelik t

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 46. Kerja Sama

    "Gue dah masak, lo ga perlu masak lagi pagi ini." Lote membawa piring berisi ayam goreng lengkuas andalannya ke meja makan. "Gue butuh lengkuas lagi buat besok, lo ke pasar ya." Lote merogoh saku bajunya, mengeluarkan beberapa lembar uang yang diletakkan di meja."Tapi Mbak, Inces ....""Princes biar gue aja yang jaga. Sebenarnya kami udah ga butuh lo, tapi karena Mas Dito kasian, jadi ...." Lote sengaja menggantung ucapannya, matanya menatap Dhysa mencemooh. "Dhysa, lo masih muda, masih banyak cowok ganteng di luar sana.""Maksud Mbak?" Kemarahan Dhysa semakin mendidih."Maksud gue, lo lebih baik mundur. Mas Dito cuma cinta sama gue. Dan gue masih istrinya Mas Dito. Lo jangan berlagak jadi istrinya. Bangun pagi, bawa sayur, gue tau mau lo apa." Bagi Lote, hama harus segera dipotong, tak boleh diberi kesempatan. Apalagi sampai menguasai tanah subur dan membuat padi yang seharusnya berbulir menjadi kering.

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 45. Mulai Terbakar

    "Gue bisa ngerjain semua pekerjaan rumah. Gue bakal belajar masak lebih giat, jagain Princessa, beberes, semua. Lo yang ke pasar, gue ga keluar lagi kecuali sama lo atau nenek. Gue ga mau khilaf lagi. Gimana?" tanya Lote harap-harap cemas.Dito menggeleng kuat. "Ga bisa Charlotte. Aku sudah bilang sama Tono, mau nyoba dulu sama Dhysa.""Dito! Lo bilang lo masih cinta sama gue, napa lo begitu? Lo ga percaya sama gue?""Iya, aku belum bisa percaya sama Charlotte."Deg!Lote merasa dihantam godam di ulu hatinya. Benar! Kepercayaan yang sudah rusak, tak akan semudah itu dipulihkan. Harusnya dia tak menuntut Dito. Ini kesalahannya."Inces juga sudah nyaman sama Dhysa. Dhysa juga bertanggung jawab orangnya."Seperti tamparan keras bagi Lote. Dia memang menjadi ibu yang buruk, yang lebih mementingkan ego dan melupakan perannya. Lote menunduk malu. "Dit! Kasih gue kesempatan, gue bakal jadi ibu yang lebih bertanggung jawab buat Princes dan istri yang baik bagi lo."Dito berdiri, mengusap kepa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status