Langkah Widya menggema di sepanjang lorong rumah sakit. Udara dipenuhi bau alkohol medis dan antiseptik, menusuk hidung, membuat dadanya semakin sesak. Detak jantungnya berpacu tak karuan. Rambut perm wanita itu berantakan, napasnya tersengal, sementara matanya menatap lurus ke depan, ke arah pintu IGD yang masih jauh.
Di sekelilingnya, deretan kursi tunggu penuh dengan wajah-wajah cemas dan lelah. Teriakan singkat perawat terdengar dari balik tirai-tirai putih, suara roda brankar berderak melintasi lantai keramik. Monitor-monitor memancarkan bunyi bip monoton, menghantui benak Widya dengan pikiran negatif. Widya menabrak seorang pria, hanya sempat berbisik maaf tanpa menoleh, lalu terus berlari, tangannya menggenggam ponsel erat-erat seolah hidupnya bergantung pada benda itu. Pintu IGD terbuka otomatis, wanita paruh baya itu bergegas masuk. Buru-buru ia menghampiri konter perawat di sisi kiri sudut. "Sus, saya orang tua gadis yang kecelakaan dini hari." "Oh, di sebelah, Bu." Perawat mengantarnya ke brankar di ujung yang tertutup tirai. "Kakinya luka-luka. Kita perlu rontgen untuk memastikan tak ada tulang yang patah." Widya melihat Lote sedang tertidur, wajah dan kaki putrinya sudah diperban, matanya lalu beralih pada dua orang di samping brankar putrinya. Bagas dan Avril juga mengalami luka ringan. "Ok Sus, dibawa rontgen saja." Suster mengangguk mengerti. "Sebentar ya, Bu." Berjalan pergi memanggil petugas medis lain yang bertugas. Widya berkacak pinggang menatap kedua teman Lote. "Apa yang terjadi? Kenapa anak tante bisa sampai begini?" Avril menyenggol Bagas. "Gas, lo aja yang ngomong." Bagas berdeham canggung, mulai menjelaskan apa yang terjadi, berusaha menutupi bahwa Lote sempat mabuk, tapi Widya tidak bodoh. Melihat an@k-anak muda yang matanya tak terlalu fokus membuatnya beransumsi. Ia mendekati Lote, mengendus pakaian anaknya dan mencium bau alk0hol kuat. "Lote mabuk ya, kalian bikin anak tante mabuk?" "Itu ...." Bagas menelan ludah gugup. "Sekarang kalian pergi! Jangan sampai tante liat wajah kalian lagi. Jangan pernah sekali-kali mendekati anak tante!” hardiknya marah, tak bisa menjaga nada suara lagi sampai salah satu suster yang lewat memperingati Widya. "Ya, Tante. Maaf. Kami permisi dulu." Avril buru-buru menggandeng Bagas pergi. "Pantas saja Lote stres, nyokapnya saja modelan begitu. Kek maung," keluh Bagas sewaktu mereka sampai di luar rumah sakit. "Ya 'kan emang kita yang salah juga sih. Kalau Lote kenapa-kenapa bisa berabe." Bagas mengangguk pelan. "Tetap aja, kalau punya nyokap begitu juga gue bakal mabok tiap hari, kabur dah dari rumah." "Hus! Udah. Gas yok, pulang aja. Moga aja Lote ga diceramahin abis-abisan." Avril mendorong Bagas menuju motornya. *** Dua belas jam kemudian Lote terbangun dengan rasa sakit mendera kakinya. Ia sudah di ruang perawatan dan ibunya menatapnya dengan mata melotot. "Kamu ya, kalau ga ngerepotin orang tua ga bisa. Selalu bikin mama pusing, selalu buat masalah." Baru saja terbangun sudah diomelin, Lote merasa kepalanya hendak pecah. "Mulai hari kamu mama hukum!" "Ma, kepala gue sakit." Widya menoyor kepala Lote. "Makanya jangan mabok, masih kecil sudah berani mabok!" "Lote juga ga akan begini kalau Mama perhatiin Lote." Lote membuang wajah, berusaha menahan rasa sakitnya. "Mama sudah cukup berjuang buat kamu, buat keluarga kita! Kamu mau nuntut mama kek gimana lagi! Mama capek Lote! Capek hadapi papa kamu, capek hadapin kamu! Bisa ga, kamu ngertiin posisi mama. Mama bertahan di rumah ini karena kamu!" "Cerai aja!" teriak Lote marah. "Ga usah pakai alasan bertahan demi anak. Nyatanya mama dan papa ga pernah peduli sama mental Lote. Setiap hari saling menyalahkan, bertengkar setiap ketemu. Lote juga capek Ma! Lote capek! Lote cuma pengen keluarga yang tenang!" "Benerin dulu sikap kamu! Sudah capek dibesarin ga tahu balas budi sama orang tua! Sifat kamu persis kek papamu! Mama nyesal punya kalian!" Lote menggigit bibirnya sampai berdarah. Brian masuk ke dalam kamar Lote mendengar suara ribut-ribut. "Keterlaluan kamu Widya. Anak masih sakit udah dimarahin!" Pria itu menunjuk wajah istrinya marah. "Kalau gitu kenapa ga kamu aja yang urus. Dini hari di telepon rumah sakit anak lagi di IGD bukannya bangun nganterin istri malah lanjut tidur. Jangan sok paling peduli sama Lote, nyatanya kamu ga pernah bantuin urus anak! Tahunya marah, tahunya nuntut anak harus baik! Lihat ini! Ini gen kamu! Produk kamu! Lote begini persis kayak sifat kamu!" "Aku butuh istirahat, 'kan kamu bisa nyetir. Buat apa dua orang pergi ke rumah sakit! Buktinya Lote juga baik-baik saja." Widya melempar bantal ke wajah suaminya. "Baik kamu bilang! Anakmu mabuk makanya kecelakaan!" "Apa?! Kamu mabuk, Lote?" Brian menoleh ke arah Lote yang sudah menutup kedua telinganya kuat-kuat. Lote hanya menangis, tak menjawab. "Jangan begitu lagi ya. Nanti sudah bisa cari uang baru boleh minum-minum." Bukannya menegur, suaminya malah mendukung perbuatan tak baik sang anak, membuat Widya semakin meradang. "Gila kamu Mas! Lote rusak gara-gara kamu!" "Enak aja, itu gara-gara kamu yang kerja terus. Anak itu harusnya dididik ibunya, bukan tugas ayah." "Mendidik Lote itu bukan tugas ibu saja, jangan cuma mau enaknya aja Mas!" Keduanya mulai bertengkar dengan urat. Saling berteriak dan menuding. "CUKUP PA, MA! CUKUP!" Lote menangis keras. "Jangan bertengkar lagi! Iya, Lote yang salah, Lote bukan anak baik! Lote salah! Kalian puas sekarang! Puas!" Lote menjambak rambutnya sendiri frustrasi. "Sudah Lote! Jangan!" Widya berusaha menahan lengan Lote. "Mas, tolong." Brian menghela napas berat, turun tangan menghentikan Lote. Butuh beberapa saat sampai akhirnya Lote tenang karena kelelahan. "Mas, mulai sekarang kita ga boleh biarin Lote keluar lagi. Lebih baik dia homeschooling saja biar ga kena pengaruh buruk." Brian mengusap wajahnya. "Terserah kamu saja, atur aja an@kmu itu." Ia berjalan pergi, tak peduli dengan kegelisahan sang istri. Sejak hari itu, Lote dilarang keluar rumah, tidak juga pergi ke sekolah meskipun skorsingnya sudah usai. Widya mengatur agar guru bisa datang mengajar putrinya. "Ma, please. Lote mau keluar. Lote ga tahan begini." "Nanti, kalau kamu kuliah." "Ma, Lote janji bakal nurut," mohon Lote dengan segala cara yang bisa terpikir benaknya. "Sekali mama bilang engga ya engga! Nurut apa kata mama, semua demi kebaikan kamu!" Sayangnya, Widya tetap pada keputusannya. Dia semakin ketat menjaga Lote. Bukannya kedamaian yang gadis itu rasakan, tidak! Dia tak membaik, mental Lote semakin memburuk karena kini harus bersama kedua orang tuanya sepanjang waktu. Tak ada ruang untuk bernapas, pertengkaran yang tiada akhir. Pemberontakan Lote kian menjadi. Sampai pada akhirnya, diam-diam ia kembali melompati jendela kamarnya, menyelinap pergi tanpa sepengetahuan pembantu rumah.Bab 6Daren mulai mendekat, perlahan, memberi ruang bagi Lote untuk mundur, tapi gadis itu bergeming bahkan mulai menutup mata. Yang terjadi, biarlah terjadi.Bibir keduanya bertemu, mulanya Darren lembut, menjelajah hati-hati. Lalu ... tiba-tiba dia menahan belakang kepala Lote, mengungkung gadis itu dengan ciuman yang mulai panas. Lote merasa panas dingin, saliva keduanya berbaur menjadi manisnya madu.Tangan Daren mulai naik, menyusuri sisi tubuh Lote di balik crop top tipis yang dipakainya. Sentuhannya hangat, membuat tubuh Lote merinding. Dia belum pernah disentuh pria secara romantis.Lote menggeliat pelan, tubuhnya bereaksi sebelum pikirannya. Napas gadis itu tercekat, terdistraksi sepenuhnya oleh sentuhan Daren yang terlalu berani.“Emm … Darren …,” desis Lote gugup, melepaskan ciu-man mereka.“Kenapa, hm?”“Di sini terlalu terbuka.”“Pindah ke kamar gue mau ya?” Ajak Darren setelah mendengkuskan tawa pelan.Seakan terbius oleh tatapan pemuda tampan itu, tanpa sadar Lote mengg
Butuh waktu setengah jam sampai Lote menuntaskan hajat hidupnya. Ia perlahan membuka pintu, mengintip keluar."Untung udah pergi." Lote mengelus dada lega. Ia buru-buru kembali ke kamar kost Avril."Loh!" Lote tak mendapati Avril berada dalam kamar. "Kemana tuh an@k?" Gadis itu beranjak ke balkon mencari Avril.Ia mendengar suara tawa Avril dan orang lain."Nah itu dia, baru juga diomongin udah nongol." Avril melambaikan tangan melihat kehadiran Lote. "Gue bilang mau kenalin lo sama an@k Silver Bullets 'kan?"Lote mengangguk pelan, tersenyum ramah pada beberapa pemuda yang menyapanya. Sampai matanya menangkap sosok yang dia kenali. OMG! Pemuda yang mendengar suara kentutnya."Ini Darren, pemimpin The Silver Bullets," ujar Avril, menepuk lengan si pria.Lote berharap ubin di bawah kakinya retak dan menelannya hidup-hidup saking malunya."Semangat ya," ucap Darren sambil terkekeh melihat betapa merahnya wajah Lote.Oh fu©k! Lote tak tahu harus menanggapi apa. Sialnya lagi, senyum pria i
“Vril, share loc alamat kost-an lo yang baru, cepetan,” ucap Lote terburu-buru. Langkahnya cepat menuju pangkalan ojek, melewati pintu samping pemukiman warga yang berbatasan langsung dengan kompleks tempat tinggalnya.“Lo kabur, Lote?” tanya Avril dari seberang sambungan, terdengar kaget.“Iya, cepetan ih sebelum ketahuan,” sahut Lote, menurunkan suara sambil terus berjalan cepat.“Oke, bentar,” jawab Avril lagi. Ia langsung memutus telepon dan mengirim titik lokasi kost barunya pada Lote.Pelariannya kali ini sudah direncanakan dengan matang. Sang ibu sedang dinas ke luar kota, sementara ayahnya sudah beberapa hari tak pulang. Kepada guru homeschooling-nya, Lote beralasan sedang sakit hingga sesi belajar dibatalkan. Hanya tinggal dia dan pembantu rumah tangga.Dalam perjalanan, Lote sempat meminta ojek yang mengantarnya untuk berhenti sejenak di ATM. Setelah itu, ia melanjutkan pelariannya menuju kost-an Avril.“Gue kira nggak bakal ketemu lo lagi,” ujar Avril sambil membuka gerbang
Langkah Widya menggema di sepanjang lorong rumah sakit. Udara dipenuhi bau alkohol medis dan antiseptik, menusuk hidung, membuat dadanya semakin sesak. Detak jantungnya berpacu tak karuan. Rambut perm wanita itu berantakan, napasnya tersengal, sementara matanya menatap lurus ke depan, ke arah pintu IGD yang masih jauh.Di sekelilingnya, deretan kursi tunggu penuh dengan wajah-wajah cemas dan lelah. Teriakan singkat perawat terdengar dari balik tirai-tirai putih, suara roda brankar berderak melintasi lantai keramik. Monitor-monitor memancarkan bunyi bip monoton, menghantui benak Widya dengan pikiran negatif.Widya menabrak seorang pria, hanya sempat berbisik maaf tanpa menoleh, lalu terus berlari, tangannya menggenggam ponsel erat-erat seolah hidupnya bergantung pada benda itu.Pintu IGD terbuka otomatis, wanita paruh baya itu bergegas masuk. Buru-buru ia menghampiri konter perawat di sisi kiri sudut. "Sus, saya orang tua gadis yang kecelakaan dini hari.""Oh, di sebelah, Bu." Perawat
Semakin malam diskotek semakin ramai. Lampu strobo berkedip-kedip, menyoroti lautan manusia yang menari mengikuti irama rancak. Alunan EDM keras menggetarkan lantai, berbaur dengan gerakan puluhan pengunjung yang terlalu bersemangat.Lote masih di tengah kerumunan, tubuhnya terus menari mengikuti alunan musik. Tangan gadis itu terangkat tinggi, kepala bergoyang ke kiri dan kanan, rambutnya mulai berantakan, tetapi justru itulah yang membuatnya terlihat lepas dan hidup.Ia tak peduli meskipun keringat mengalir di pelipis, membuat make-upnya terlihat cakey. Musik memenuhi kepala Lote, setiap entakan bass seolah menyatu dengan detak jantungnya.Sesekali Lote kembali ke meja tempat teman-temannya berkumpul, menenggak gelas berisi minuman keras berwarna kuning . Cairan itu meluncur ke tenggorokannya dan membakar pelan. Matanya menyipit, lalu ia kembali ke lantai dansa menggoyangkan pinggul, lebih berani, lebih panas.“Wohoooo!” beberapa pengunjung berseru ribut mengikuti teriakan sang DJ.
"Kamu nyuruh aku di rumah aja, Mas? Ga adil banget!" Seorang wanita modis dengan pakaian kantoran membanting berkas di meja kerjanya."Tapi Lote butuh kamu, Widya! Lote masih kecil, kamu mamanya!" Pria berkacamata dengan rambut hampir habis di bagian depan itu membentak istrinya."Kamu ga bisa ngungkung aku kek begini, Mas! Ini hidup aku! Dulu kamu janji tetap ngizinin aku kerja mesti udah lahirin, kenapa sekarang berubah?" Widya mengusap rambut gelombang perm-nya tak percaya, hampir menumpahkan gelas kopi kekinian di atas meja."Ya sekarang 'kan kondisinya beda. Aku bisa cukupin hidup kita, Wid! Kamu ga perlu kerja!""Cukup kamu bilang! Sekolah Widya ke depan gimana? Aku pengen ngasih yang terbaik buat anak kita Mas. Bukan yang pas-pasan.""Ya kan bisa hemat dulu, bisa nabung!" Brian mengetuk meja tak sabaran."Nabung Mas bilang, memangnya gaji Mas berapa? Mas tahu berapa kebutuhan rumah kita? Les Lote berapa? SPP berapa? Ga 'kan? Mas cuma kasih 4 juta, cukup ga cukup harus cukup-cuk