Share

02. SALAH MENGENALI

"Dia akan pergi ke Paris ...." Darren berkata dengan suara lemah.

Jonathan; orang yang sadari tadi duduk di sampingnya itu menaikkan satu alisnya. Ia adalah teman sekaligus sekertaris Darren yang tadi datang bersamanya.

"Apa masalahnya? Ayolah Darren, itu hanya Paris. Kekasihmu juga butuh liburan." Jon tidak bermaksud membela Thea, menurutnya Darren terlalu berlebihan jika frustasi hanya karena Thea akan pergi ke Paris.

Darren meliriknya dengan kesal, ia kembali menuangkan alkohol di gelasnya lagi. Lalu meneguknya dengan sekali tegukkan.

"Dia ke Paris bukan untuk liburan, tapi dia akan tinggal di sana selama beberapa bulan. Katanya dia diajak kerja sama oleh salah satu perusahaan di sana." Darren memperjelasnya.

"Maaf, aku tidak tahu. Jadi ..., kau keberatan jika dia pergi?" Jon bertanya dengan hati-hati.

"Bodoh!" Darren mendengus. "Tentu saja aku keberatan. Aku akan melamarnya, tapi dia malah ingin pergi ke Paris."

"Jadi karena itu kemarin kalian bertengkar di telpon." Jon mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.

"Kau-" Darren melotot.

Jon gelagapan karena ia keceplosan. "A-aku tidak sengaja oke, siapa suruh kau tidak menutup kamarmu. Siapapun bisa mendengarnya."

"Sial!" Darren mengumpat. Ia berdiri dari tempat duduknya.

"Eh, kau mau ke mana?" Jon menahan tangannya, keadaan Darren tampak tidak baik-baik saja. Darren menepisnya dan berlalu dari sana tanpa mengatakan apa pun.

***

Seseorang sedang berdiri sendirian di atap sambil memegang Wine di tangannya. Kedatangannya ke sini tidak sia-sia, setidaknya ia ditemani dengan Wine yang berhasil ia ambil diam-diam dan membawanya ke atap gedung ini. Mata hitamnya menatap lurus ke atas, ia minikmati angin malam yang menembus kulitnya.

"Dia pikir aku mau datang!" teriaknya dengan lantang. Ia tidak perlu khawatir seseorang akan mendengarnya karena di sini hanya ada dirinya seorang.

"Aku tidak sudi memakai baju sialan ini ...."

"Kalau kau membenciku, aku bahkan lebih membencimu ...."

"Memangnya salahku jika aku hidup menyedihkan seperti ini!" Merasa tak puas, ia kembali berteriak, "Aku harap aku bisa menghilang dari kalian berdua ...."

Zee, wanita yang lebih memilih memisahkan diri dari acara itu meluapkan amarahnya dengan puas. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah mengumpat semua orang di belakangnya. Nafasnya tersengal-sengal, wajahnya berubah sendu seolah ia tidak merasa cukup jika hanya berteriak saja. Haruskah, ia kembali ke acara tadi dan mengobrak-abrik apa pun yang ada di sana. Dengan begitu ia akan merasa lebih baik.

Tapi sayangnya Zee bukan orang yang seperti itu, ia masih tetaplah Zee yang penyabar. Mana berani ia melakukan hal-hal ekstrim seperti itu, melawan ibunya saja ia tidak berani.

Seketika sudut matanya berair. Di saat-saat seperti ini, yang ia rindukan adalah ayahnya. Seandainya ayahnya masih ada, mungkin Zee tidak akan berakhir bersama ibunya dan berakhir menyedihkan seperti ini. Mungkin saat ini ia akan memiliki tumpuan karena demi apa pun, ayahnya sangat mencintainya.

"Ayah ..., saat itu, harusnya kau bawa aku juga bersamamu." Jika dunia bisa sekejam ini, bukankah lebih baik ia menghilang saja dari dunia.

Tatapan Zee beralih ke bawah, kakinya mendekat ke arah pembatas. Ia bisa melihat seberapa tingginya dirinya saat ini. Ia hampir tidak bisa melihat yang ada di bawah sana, tapi yang ia lihat hanyalah sebuah harapan.

Haruskah Zee mengakhirinya di sini?

Zee merentangkan kedua tangannya, ia merasakan semilir angin yang semakin menusuk ke dalam tubuhnya. Satu tangannya yang masih memegang Botol Wine mengepal kuat seolah ia sedang berperang dengan ketakutan dan keputusasaannya.

Zee tidak tahu apa yang sebenarnya ia lakukan di sini. Satu langkah saja ia bergerak, maka bisa dipastikan ia sudah tak bernyawa di bawah sana. Relung hatinya terus bergumul. Bagi sebagian orang mungkin apa yang Zee alami itu bukan apa-apa, tapi baginya itu adalah siksaan batin yang nyata.

Zee merasa tidak berguna, tak ada alasan untuk terus mempertahankan hidupnya. Ibunya tidak pernah menginginkannya, saudara kembarnya juga secara terang-terangan tak menyukainya. Ia hanya seorang pelayan Cafe yang tidak memiliki masa depan yang cerah. Ia bahkan tidak tahu akan hidup seperti apa nantinya. Mungkin ..., jika ia mengakhirinya malam ini, tidak ada sesuatu yang akan ia sesali nantinya.

Kedua matanya terpejam bersamaan dengan air matanya yang mengalir melewati pipinya yang memerah. Entah sudah berapa lama ia berada diposisi seperti ini, yang pasti rasanya begitu menenangkan.

Beberapa menit kemudian Zee membuka matanya dengan lebar. Setelah sadar dengan apa yang akan dilakukannya, ia segera menjauh dari pembatas.

"Apa yang aku pikirkan," sesalnya. Ia memang bukan wanita hebat, tapi bukan berarti ia bisa melakukan hal bodoh seperti yang baru saja ia pikirkan.

Zee menghapus air matanya, ia lebih memilih menjauh dari sana dan menghabiskan semua alkohol yang tersisa di dalam botol itu.

Sadar jika dirinya terlalu lama berada di tempat asing, Zee memutuskan untuk pergi dari sana sebelum pemikiran bodohnya kembali lagi. Dengan sempoyongan ia menuruni tangga, ia tidak memperdulikan beberapa orang yang melewatinya saat berada di lobby. Yang ia pikirkan hanyalah ingin cepat pulang ke rumahnya.

Zee berjalan sambil berpegangan pada dinding, penglihatannya semakin mengabur karena efek dari alkohol yang ia minum. Mungkin jika Zee bercermin, ia akan tahu wajahnya memerah dengan sendirinya.

Dengan sisa kesadaran yang ada, Zee terus berjalan sambil berusaha mengingat-ingat di mana letak pintu lift berada. Ia ingin segera tertidur di ranjang kesayangannya dengan nyaman.

"Sial, kepalaku sakit sekali," keluhnya. Zee bersandar disebuah pintu, ia memijat kepalanya yang terasa berat.

Sedangkan di tempat lain, seseorang yang tidak berbeda jauh dengan Zee juga sedang menyeret kakinya ke arah yang sama. Siapa lagi jika bukan Darren, pria itu keluar dari acara dengan keadaan linglung. Meski alkohol tidak sepenuhnya menguasai tubuhnya, tapi ia membutuhkan ruang sendiri untuk melampiaskan kekesalan di hatinya.

Darren membawa sebuah kartu yang sengaja ia pesan untuk menyewa kamar, ia tidak berniat pulang ke rumahnya karena jaraknya yang cukup jauh. Mengingat Darren baru sampai dari luar kota ia tidak memiliki tenaga lagi untuk berpergian.

Darren menaikkan satu alisnya saat ada seorang wanita yang meringkuk di depan pintu kamarnya. Wajahnya tertutupi oleh rambut, wanita itu tampak sedang tidak baik-baik saja.

"Permisi, maaf Anda sedang apa di sini?" Darren masih berusaha untuk berbicara diantara kesadarannya yang masih tersisa.

Zee celingukkan, ia mendongak untuk melihat siapa yang berbicara padanya. Alisnya mengerut saat ada seorang pria tampan di hadapannya.

Darren terkejut saat mendapat kenyataan bahwa ternyata kekasihnya yang menghalangi pintu kamarnya.

"Bagaimana kau bisa tahu ini kamarku?" tanya Darren. Ia berpikir Thea mengikutinya sampai ke sini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status