Aku tahu… Panji pasti sudah mencium jejakku.
Mungkin dari caraku bicara yang berubah. Mungkin dari tatapan mataku yang tak lagi sama. Atau… mungkin karena malam itu—malam ketika aku, dalam keadaan mabuk dan hilang arah, jatuh ke pelukan pria asing yang bahkan namanya pun samar di ingatanku.
Dan jika Panji tahu…?
Lelaki yang selama ini berkoar mencintaiku sepenuh jiwa itu bisa berubah menjadi iblis tanpa nalar. Cinta, kalau sudah berlebihan, memang bukan lagi anugerah… melainkan kutukan yang perlahan mencekik.
Aku hanya ingin bebas.
Aku ingin menjauh darinya—dari hidupnya yang penuh manipulasi. Aku ingin membesarkan anak-anakku dalam damai, tanpa bayang-bayang ketakutan, tanpa harus sembunyi seperti penjahat atas kesalahan yang bahkan bukan sepenuhnya milikku.
Tapi semua rencana itu seakan direnggut paksa, saat satu pesan masuk ke ponselku. Sebuah pesan singkat yang membuat lututku seketika lemas, seperti kapas yang habis dijemur hujan, basah dan tak berdaya.
[San, tolong Ibu. Panji ada di kontrakanmu.]
Aku membalas cepat, jantungku berdetak liar tak beraturan.
[Mau ngapain Bu?]
Jawabannya membuat napasku tercekat.
[Sany…! Kamu tanya mau apa lagi? Apa yang sudah kamu lakukan padanya sampai dia marah? Temui dia, Sany. Biar amarahnya hilang.]
Aku mengepalkan tangan, mencoba tetap waras di tengah kekacauan yang semakin hari makin dalam.
[Bu, aku nggak bisa lagi. Aku dan anak-anak akan pergi. Aku sudah bertemu Ayah, dia mengizinkan aku pergi. Tolong, Bu… bantulah aku. Berhenti jadikan aku mesin pencari uang.]
Tapi harapanku seperti kaca jatuh, retak di mana-mana.
[Kamu tega, San. Kamu cuma peduli Ayahmu. Dia sudah menikah, dia punya keluarga. Lalu Ibu? Ibu cuma punya kamu… dan anak-anakmu.]
Aku menutup mata. Suara Ibu menggema di kepala seperti cambuk tak kasat mata. Hidupku seolah ditarik dari dua sisi: Ibu, yang memaksaku bertahan; dan hatiku sendiri, yang sudah hancur tak sanggup lagi.
[Bu, aku nggak mau selamanya jadi wanita simpanan Panji.]
Tapi balasan Ibu lebih menyesakkan.
[Dia mengancam akan membunuhku kalau kamu nggak balik. Apa kamu tega?]
Ancaman itu… membuat seluruh tubuhku membeku. Inilah ketakutan terbesarku selama ini. Aku lari, tapi Panji mulai menyentuh orang-orang yang kusayangi. Dan sekarang, dia ada di kontrakan Ibu. Mungkin semua hanya tinggal hitungan waktu, sampai semuanya pecah berantakan.
Puluhan pesan berdatangan. Tak terhitung panggilan tak terjawab dari Panji. Namanya terus bergetar di layar, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Aku menatap pantulan wajahku di jendela apartemen. Mata sembab, wajah lelah, napas tercekat.
"Aku cuma pengen lepas… apa itu dosa?" bisikku lirih, nyaris tak terdengar.
Aku menunda pelarian.
Aku antar anak-anak ke rumah teman, memastikan mereka aman. Lalu, kembali ke apartemen. Membersihkan diri, mencoba menata napas yang berantakan, lalu memesan taksi.
Begitu roda taksi mulai meluncur di jalanan kota yang sibuk, aku bersandar di kursi, mencoba menyusun pikiranku yang tercecer seperti kaca pecah.
Lampu-lampu kota berkelebat di jendela, mengingatkanku bahwa hidup di kota besar memang indah di permukaan… tapi menyimpan sisi gelap yang mengintai siapa saja.
"Ke mana, Neng?" suara sopir taksi membuyarkan lamunanku.
"Ke Apartemen Menteng, Pak," jawabku, berusaha setenang mungkin, meski dada ini sesak seperti dipeluk duri.
Paris sore itu mulai diguyur gerimis, dingin menempel di kulit, tapi aku tetap melanjutkan perjalanan. Di hati, hanya satu tujuan: menemukan perlindungan sejenak, sebelum badai makin ganas.
Aku menghubungi Irene—sahabat yang selalu jadi rumah kedua, saat hidupku dihancurkan berkali-kali.
"Datang aja, gue kuliah sore ini," katanya.
"Iya, gue pinjam baju lo ya."
"Siap!"
Tiba di apartemennya, aroma ketoprak langsung menyambut. Irene sudah duduk di sofa, dua porsi ketoprak terhidang di meja. Aku tahu dia beli dua begitu aku telpon tadi. Dia selalu paham, tanpa harus banyak tanya.
"Lo panik banget sih, San. Tenang dikit," ucapnya, matanya memandangku dengan iba.
Aku duduk, menggenggam sendok, tapi tanganku gemetar.
"Lo tahu sendiri gimana Panji… Dia bisa gila kalau tahu semuanya. Apalagi… kalau tahu aku sempat mau kabur. Gue nggak tahu harus jawab apa kalau dia nanya."
Irene menggeser air putih ke arahku. "Udah, makan dulu. Perut kenyang, otak waras. Laper malah kepikiran pengen mati."
Aku tertawa kecil. Di tengah kepanikan ini, Irene masih bisa menyelipkan humor yang menghangatkan.
Tapi aku nggak bisa terus bohong.
"Ren, lo tahu nggak… malam itu, gue mabuk… lagi-lagi gue bangun di kamar pria asing."
Matanya melebar. Aku buru-buru melanjutkan.
"Kalau Panji tahu, gue tamat. Kalau dia nanya, bilang aja semalam gue sama lo. Gue udah mau kabur, tapi batal karena Ibu. Gue butuh lo, Ren."
Dia mengangguk tegas. "Santai, gue bantu. Tapi San, lo harus cari cara bener-bener lepas."
Aku menarik napas panjang. "Gue tahu… Tapi Panji yang nggak mau lepasin gue."
Belum sempat aku menyentuh ketoprak, ponselku bergetar di meja. Nama yang muncul membuat napasku tercekat.
Panji.
"Ada di sini aja, kasih ke gue," kata Irene sigap.
Aku menyerahkan ponsel itu, seolah menyerahkan hidupku.
"Halo, Mas Panji," suara Irene selembut kapas.
“Sany di mana?”
“Oh, ada. Dia lagi mandi, Mas.”
“Katakan, jangan pernah kabur. Suruh pulang.”
“Dia nggak kabur, Mas. Cuma nginep di sini. Bentar lagi pulang.”
Klik. Telepon terputus.
"Apa katanya?" tanyaku, napas masih tercekat.
"Dia nyuruh lo pulang."
Aku mengangguk pelan, mengambil tas kecil.
"San, hati-hati. Kalau ada apa-apa, kabarin gue. Gue jemput."
"Thanks, Iren. Lo selalu penyelamat gue."
Dari apartemen Irene, aku naik ojek. Jalanan sore itu padat, motor meliuk di antara mobil, tapi pikiranku kosong. Langit mulai gelap, hujan turun, aspal mengilap diterpa lampu kendaraan.
Sesampainya di depan kontrakan petakan milik Ibu, jantungku seperti mau meledak. Rumah kecil itu sunyi, pintunya tertutup rapat, jendela gelap.
Aku mendorong pintu perlahan.
Dreeek…
Langkahku membeku di ambang pintu.
Ruangan sempit itu seperti kapal karam. Televisi terguling di lantai, pintu lemari terbuka, isinya berhamburan, kursi terbalik, vas bunga pecah berserakan.
Aku berdiri kaku. Napasku tercekat. Suasana seperti medan perang, tanpa peluru, tapi penuh luka.
Lalu suara itu datang. Suara yang selama ini menghantui mimpi-mimpiku.
"Akhirnya kamu pulang juga. Kamu pikir bisa kabur dariku?"
Aku menoleh perlahan. Di sudut ruangan, Panji berdiri, wajahnya merah padam, matanya nyalang seperti binatang buas.
"Aku sudah pulang, Mas," suaraku pelan.
Tapi amarahnya menggelegak.
"Wanita murahan sialan!" teriaknya.
Paaak! Paaak!
Tamparan keras itu mendarat di pipiku. Tubuhku terhuyung, rambutku ditarik kasar, tubuhku diseret ke sofa, lalu dibanting seperti sampah. Ujung meja menghantam pelipisku. Darah mengalir pelan.
Aku tetap diam. Tak menangis. Tak berteriak.
Aku biarkan semuanya terjadi.
Dulu, tangan itu katanya ingin melindungiku. Kini, tangan yang sama berubah jadi senjata yang merobek harga diriku.
Aku cuma ingin bebas.
Tapi ternyata, jalan menuju kebebasan… berdarah.
Saat darah hangat menetes di pelipisku, aku sadar… mungkin aku nggak bisa pergi dengan cara biasa. Mungkin, untuk melawan monster, aku harus jadi lebih kejam dari rasa takutku sendiri.
Dan malam itu, aku bersumpah… jika hidup ini memang panggung sandiwara, aku akan jadi pemain terhebat dalam kisah pelarianku.
Karena kadang, perempuan sepertiku… nggak butuh pahlawan. Aku harus jadi penyelamat untuk diriku sendiri.
Bersambung…
Moho bantuannya kakak, untuk like, komen dan simpan di rak buku karya ini, terimakasih.
Malam itu telah tiba. Udara terasa sedikit lebih hangat dari biasanya, mungkin karena lampu-lampu gantung yang mulai menyala lembut dari halaman rumah keluarga Aslan. Gaunku menjuntai indah, warna merah marun yang kupilih dengan keraguan kini menyatu manis dengan rona pipiku yang memerah karena gugup. Aku ingin memberi kabar itu pada Aslan, sebagai hadiah ulang tahun. Saat ia berdiri di depan kaca merapikan dasi. Aku datang dari belakang dengan langkah pelan tapi pasti. Jantungku berdetak kencang. Sementara tamu sudah berdatangan di bawah.“Sayang …” panggilku pelan.“Hmmm … jawabnya tanpa menoleh ke belakang, lalu dia menatapku dari pantulan kaca, Matanya melonggo dan berbalik.“Sayang … kamu sangat cantik pakai hijab,” ucapnya antusias.“Sayang, aku sudah siap memakainya mulai sekarang. Apa kamu mendukungku?”“Tentu saja,” jawab Aslan dengan cepat.“Aku juga mau kasih sesesuatu.”Aslan menatapku dengan senyuman manis. “Apa itu?”“Ini, Buka.”Tangannya dengan cepat membuka kotak kec
Saat semua orang di rumah sibuk berangkat kerja dan kuliah, inilah waktuku. Me time yang selalu kutunggu-tunggu. Aku menghirup aroma kopi caramel favoritku yang mengepul hangat dari gelas keramik, duduk santai di pinggir kolam renang, sambil menikmati sunyi yang menyelimuti rumah besar ini.Hanya beberapa asisten rumah tangga yang berlalu-lalang, sibuk merapikan ruangan, sementara Pak Raga terlihat sibuk memangkas semak dan menyiram taman. Aku duduk dengan kaki terentang, memejamkan mata sejenak. Pundak dan tubuhku terasa lemah, nyeri yang tak bisa kujelaskan. Lelah. Mungkin karena beberapa minggu terakhir ini, aku terlalu banyak bergerak. Aku mulai mengurut pundakku pelan-pelan.“Sany!” suara itu memanggil dari dalam rumah.“Iya, Bi!” jawabku sambil menoleh.“Biar Abi yang jemput Haikal nanti, ya. Bilang saja ke sopir, tidak usah jemput,” ucap Abi—ayah mertuaku, yang kini sudah tampak sehat, berdiri tanpa tongkat, tanpa kursi roda. Ya, beliau akhirnya bisa berjalan lagi.Semuanya ber
Senja mengambang tenang di langit barat, semburat oranye mencium lembut jendela kaca ruang tengah tempatku duduk bersandar. Angin sore Bali berhembus ringan dari celah jendela, membawa harum melati dari taman belakang. Hari itu nyaris sempurna—jika bukan karena satu telepon yang membuat hatiku bergemuruh.Melisa menghubungiku.Setelah sekian lama tak ada kabar, akhirnya suara lembut itu terdengar kembali di telingaku. Sejak menemani Panji menjalani masa-masa kritis dan pemulihan pasca operasi transplantasi jantung, Melisa seperti lenyap dari peredaran. Tapi hari itu, ia muncul kembali dengan kabar yang membuat dadaku terasa hangat seperti diselimuti matahari pagi."Sany, aku dan Mas Panji akan menikah. Aku cuma ingin pamit dan minta restu darimu," katanya pelan, seperti takut mengusik rasa.Aku membeku sejenak. Mataku langsung berkaca-kaca. "Melisa… Ya Allah. Aku bahagia sekali. Akhirnya kamu mendapatkan kebahagiaan yang kamu layak dapatkan."Dalam diam, aku teringat pada nazar yang pe
Waktu berjalan begitu cepat. Tanpa terasa, sudah satu tahun aku tinggal bersama keluarga Aslan. Banyak hal yang telah kami lewati bersama—suka maupun duka.Dan malam ini, kejutan kembali datang. Tidak ada yang menyangka, Indah akan kembali menginjakkan kaki di rumah ini. Ia adalah putri pertama Panji dan Monik—wanita cantik dengan luka masa lalu yang masih membekas. Dulu, dia pergi dari rumah karena tak sudi melihatku tinggal di sini. Tapi kini, ia pulang. Begitu saja.Flashback.Satu tahun yang lalu…Aku masih ingat samar-samar bagaimana Indah marah besar pada Kakek Haikal saat mendengar aku akan tinggal di rumah Aslan.“Indah, jangan diungkit lagi, Nak,” ujar Kakek dengan nada lelah.“Tidak, Kek! Ibuku mati karena wanita itu!” Ia menunjukku dengan amarah yang membara.“Hentikan, jangan sampai Pamanmu dengar,” bisik Kakek, namun sayang, Aslan sudah mendengarnya.“Aku tidak peduli! Aku yatim piatu karena dia!”Kakek menarik napas panjang, lalu berkata lirih, “Kamu salah. Justru mami-m
Pagi itu, langit Jakarta tampak berawan tipis. Sinar matahari menyelinap malu-malu dari balik tirai jendela kaca besar ruang makan kami. Jam masih menunjukkan pukul tujuh, dan seperti biasa, meja makan panjang diisi oleh aroma roti panggang, kopi hitam, dan tawa-tawa ringan keluarga yang baru bangun dari tidur malam.Rumah besar ini memang tak pernah sepi. Meski berlantai dua dan memiliki banyak kamar, suara dan langkah-langkah penghuninya menyatu menjadi harmoni pagi yang menenangkan. Hari ini, aku duduk di sisi kiri meja makan, berdampingan dengan Aslan yang masih dalam balutan kaos putih dan celana tidur abu. Wajahnya seperti biasa: tampan, kaku, tapi tenang. Tangannya menggenggam cangkir kopi sementara matanya memantau layar ponsel.Haikal duduk di ujung meja, bersandar malas sambil menyeruput susu hangatnya. Bibi dari dapur sesekali mondar-mandir membawa selai stroberi dan irisan buah. Lesa, kakak ipar, sudah lebih dulu berangkat ke rumah sakit. Kak Mona masih mandi. Hanya kami be
Pagi yang teduh di rumah besar ini selalu dimulai dengan aroma kopi dan suara langkah kaki para asisten rumah tangga yang saling bersahutan dari dapur ke ruang makan. Matahari menerobos dari jendela kaca besar, menyapu marmer putih yang mengkilap. Tapi pagi ini berbeda. Ada ketegangan halus yang menggantung di udara sejak semalam.Keputusan itu datang mendadak. Malam sebelumnya, seluruh keluarga berkumpul di ruang makan besar yang selama ini lebih sering sunyi dari tawa. Di bawah cahaya hangat lampu gantung kristal, ayah mertua—dengan suara yang tenang tapi berwibawa—menyatakan sesuatu yang mengubah hidupku.“Sany, mulai sekarang, semua urusan rumah ini menjadi tanggung jawabmu,” ucap beliau dengan senyum teduh. “Kamu adalah nyonya besar di rumah ini.”Aku tertegun. “Sany gak bisa, Yah... Sany orangnya ceroboh,” ujarku pelan, menunduk, tak sanggup menatap wajah semua yang hadir.Ayah mertua hanya tersenyum. Tapi senyuman itu mengandung sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar persetu